Dayak Kanayatn Darit atau Kanayatn Banyuke adalah sebutan
warga subsuku Dayak yang berbahasa Banane atau ba-ampape atau bakamene. Mereka
merupakan warga Dayak yang terbentuk dari percampuran antara tiga subsuku Dayak
yang telah ada sebelum mereka terbentuk. Warga Dayak darit tersebar di
kecamatan Menyuke Darit kabupaten Landak dan sebagian kecil di wilayah
kecamatan kembayan kabupaten Sanggau kapuas.
Pada sekitar abad ke-13 M atau kuranglebih tujuh ratus tahun yang
lalu, raja Patih Aria Magat (Patih Pagumantar) yang sedang
memerintah di Kerajaan Bahanapura (Bangkule Rajakng) tewas dikayau oleh pasukan Kayau Dayak Biaju atau Ngaju
yang berasal dari kerajaan Bataguh
yang terletak di Batangan Dayak Kecil atau dikenal juga dengan nama sungai
kapuas Kalimantan Tengah dimasa kini.
Pemimpin mereka oleh masyarakat Dayak Kalimantan barat di kenal dengan nama gelar “Raja Bangkaka”. Istilah bangkaka adalah nama burung pemangsa ikan dari keluarga Alceminadae. Perilaku burung ini ketika mencari makan, dengan mengamati secara saksama mangsa yang akan diterkam olehnya, begitu waktunya tepat, maka dengan secepatnya dia menerjang menangkap mangsanya dan dengan cepat juga dia membawa mangsanya ke tempatnya bertengger.
Fenomena dari burung inilah yang dipakai oleh masyarakat
Dayak Kalbar untuk menyebutkan pemimpin pasukan pengayau Dayak Biaju kalteng. Ketika
mereka mengayau raja Patih Aria Magat (Patih Pagumantar). Mereka menunggu pada saat yang
sangat tepat untuk menerkam raja Patih Aria Magat (Patih Pagumantar). Hal demikian
dilakukan oleh mereka, karena mereka mengetahui bahwa kekuatan Patih Aria Magat
(Patih Pagumantar) sangat kuat, yang hanya berhadapan
dengan beliau saja, maka orang-orang akan gemetar ketakutan.
Adalah cukup mustahil bagi mereka untuk dapat mengayau raja Patih Aria Magat (Patih Pagumantar), jika beliau dalam keadaan sigap.
Maka cara yang tepat adalah menunggu waktu kapan Patih Gumantar sedang terlena.
Rupanya kenikmatan dunia yang disebut tidur malam, pada saat raja Patih Aria Magat (Patih Pagumantar), dikayau
dahulu, benar-benar dinikmati oleh sang raja yang menakutkan itu. Dinginnya
suasana malam itu benar-benar memulaskan sebagian besar penghuni keraton. Hal
itu kemudian tidak disia-siakan oleh pasukan pengayau Dayak Biaju. Mereka
langsung menerkam ke dalam keraton termasuk ke kamar dimana sang raja tidur,
hingga tidak butuh waktu yang lama, akhirnya kepala raja Patih Aria Magat (Patih Pagumantar), telah terpenggal.
Raja Bangkaka dan sebagian pasukannya langsung melarikan
diri dengan kapalnya. Sebagian pasukannya tertangkap oleh prajurit keraton
mempawah. Prajurit yang tertangkap itu di interogasi sebelum di hukum mati.
Dari mereka diketahui bahwa mereka adalah pasukan kayau Dayak
Biaju. Setelah itu, Raja kerajaan Bahanapura
(Bangkule Rajakng) digantikan oleh Aria Manding. Sejak
saat itu putri Dara Itam mengasingkan
diri dan tinggal diantara masyarakat Dayak kanayatn yang berada di sepanjang
aliran sungai Sengah. Kepergian beliau diikuti oleh sebagian pelayannya.
Pada waktu itu ada seorang pemimpin orang-orang Jawa yang bersembunyi di kalimantan barat, yang nama aslinya tidak diketahui,
bermaksud agar tidak ketahuan oleh pihak kerajaan Majapahit di Jawa, dia
menyamarkan namanya dengan nama NATA
PULANG PALI, dimana nama NATA berasal dari bahasa Sanskerta yang bearti PEMIMPIN / KETUA / KOMANDAN, dan nama PULANG PALI berasal dari bahasa Dayak
Kanayatn yang bearti PANTANG PULANG. Jadi secara keseluruhan arti nama Nata Pulang Pali adalah pemimpin yang pantang pulang.
Dia tidak mau pulang ke pulau Jawa setelah ekspedisi pamalayu yang
dilakukan oleh kerajaan Singasari terhadap kerajaan melayu di hulu sungai Batang Hari Jambi. Dia dan pasukannya banyak membawa rampasan
perang yang berupa emas yang sangat banyak, yang jumlahnya lebih dari satu gantang, itulah sebabnya ia di kenal oleh orang Dayak sebagai seorang saudagar
kaya raya. Pada dasarnya dia bukanlah raja, aslinya dia hanyalah salah-satu
dari sekian banyak komandan peleton dari tentara kerajaan Singasari, yang
komandan utamanya dahulu bernama Kebo Anabrang.
Karena takut di tangkap oleh penguasa baru di Jawa Timur yaitu raja
kerajaan baru yang bernama kerajaan Majapahit,
NATA PULANG PALI bersama dengan komandan peleton tentara Singasari yang lain, yaitu yang namanya disamar
dengan sebutan AJI PAMALAYU yang bearti
“pemimpin peleton pasukan ekspedisi Pamalayu” atau bisa juga bearti “pemimpin yang melarikan diri”, yang memilih bersembunyi di Kalimantan Barat, mereka berdua di ikuti oleh para
pasukannya. Mereka berpisah sewaktu memasuki
sungai kapuas setelah mereka pergi dari Jambi. Kapal AJI PAMALAYU dan pasukannya bergerak
terus ke arah hulu sungai Kapuas hingga memasuki sungai Sepauk di daerah
Sintang dimasa sekarang, disana ia juga dikenal sebagai seorang yang saudagar
yang kaya raya, jumlah emas yang dibawanya lebih banyak dari yang dibawa oleh NATA PULANG PALI, konon menurut cerita jumlah
emas yang dimilikinya lebih dari satu tajau
(tempayan besar), kelak disana ia bertemu dan menikah dengan raja Patih Putong Kempat yang merupakan raja penguasa kerajaan Panggau Banyau (Tampun Juah) yang
ibukotanya telah pindah ke Sepauk, setelah
berpindah dari kota Banyau dan dari bukit Kujau dimasa ayahnya raja Patih Ambun Manurun (Embun Turun) berkuasa.
Sementara kapal NATA PULANG PALI berbelok ke kiri dan
sesampainya di muara sungai Tenganap (sungai
Landak) mereka masuk ke sungai itu. Hingga akhirnya mereka membangun tempat tinggal di bantaran sungai Tenganap
atau sungai landak sekarang. Tempat tinggal mereka itu dekat dari muara sungai
Sengah. Lama-kelamaan Nata Pulang Pali diangkat oleh para
pengikutnya untuk menjadi raja pada kelompoknya, yaitu para tentara Singasari
yang dipimpin olehnya, yang seluruhnya telah kawin-mawin dengan wanita Dayak
Kanayatn didaerah itu.
Hingga suatu saat kecantikan putri Dara Itam sampai ke telinga orang-orang jawa yang di pimpin oleh Nata Pulang Pali (Pantang pulang) tersebut. Hingga dengan segala usaha dia ingin
memperistrikan putri Dara Itam.
Keinginannya tersebut akan tercapai penuh apabila dia bersedia mengambil kepala
ayahanda putri Dara Itam yang dikayau
oleh Dayak Biaju dahulu.
Namun Karena Nata Pulang Pali dan para pengikutnya ketakutan untuk menghadapi pasukan Dayak Biaju Kalteng. Dia tidak habis akal dan menyerah. Lalu Dia melakukan sayembara, seluruh laki-laki masyarakat Dayak di kawasan hilir Sungai tenganap dan sungai Sengah diundang. Pada sayembara itu disebutkan bahwa si Nata Pulang Pali akan memberikan hadiah besar bagi setiap warga yang berani dan bersedia untuk mengambil kepala raja Patih Aria Magat (Patih Pagumantar),. Namun tidak ada satupun warga yang bersedia dan sanggup. Hingga akhirnya muncul Pangeran Aria Senadira (Ria Sinir), pangeran dari kerajaan Dayak Banyadu di kerajaan Jarikng.
Rupanya Pangeran Aria Senadira (Ria Sinir) sudah lama jatuh cinta dengan putri
Dara Itam, yaitu sejak Pangeran Aria Senadira (Ria Sinir) tersesat ketika mengejar burung
enggang yang diburunya dahulu. Namun karena
jarak tempat tinggal mereka yang sangat jauh, terlebih lagi kampung selimpat
tempat dimana putri Dara Itam tinggal
hanya dapat ditempuh dengan berjalan kaki dari kota Jarikng, rasa cintanya itu
tak pernah kesampaian.
Mengetahui putri Dara
Itam telah jatuh ke dalam pelukan Nata Pulang Pali. Pangeran Aria Senadira (Ria Sinir) sangat ingin merebut putri Dara Itam dari genggaman Nata Pulang Pali.
Namun meskipun Pangeran Aria Senadira (Ria Sinir) seorang anak Raja, yang mana beliau memiliki kesaktian tinggi,
namun beliau ingin melakukan niatnya secara elegan dan jantan
kepada Nata Pulang Pali. Jika Pangeran Aria Senadira (Ria Sinir) ingin dengan cara curang untuk
dapat merebut Putri Dara Itam, adalah
perkara yang sangat mudah bagi beliau, tanpa harus mengirim ratusan prajurit
untuk membereskan Nata Pulang Pali, tetapi bagaimanapun Pangeran Aria Senadira
(Ria Sinir) adalah putra Dayak yang sangat beradab dan
sangat menghormati jiwa ksatria yang elegan.
Karena dengan cara seperti itu, beliau ingin memperlihatkan
kepada putri Dara Itam, bahwa beliau
sangat mencintai sang putri, sehingga berusaha untuk memperlihatkan keberadaban
dan kesatriaan dirinya sebagai pria kepada Putri Dara Itam. Namun berdasarkan logika, alasan yang sangat logis bagi Pangeran Aria Senadira (Ria Sinir) tidak menggunakan kekerasan adalah
karena ia takut putri Dara Itam tidak
akan bersimpati dan tidak mau menerimanya, mengingat suami putri Dara Itam yaitu Nata Pulang Pali tersebut adalah
seorang yang sangat kaya raya di jamannya. Karena oleh hal itu pula Pangeran Aria Senadira (Ria Sinir) merasa rendah diri.
Maka ketika ada sayembara yang diadakan oleh Pulang Pali, hal itu tidak di sia-siakan
oleh Pangeran Aria Senadira (Ria Sinir). Karena didalam hatinya, beliau pasti sanggup dan akan
meminta hadiahnya nanti adalah bukan harta kekayaan, melainkan beliau akan menekan
Nata Pulang Pali agar
melepaskan Putri Dara Itam sebagai
istrinya. Karena itu, meski jarak yang sangat jauh, Pangeran Aria Senadira (Ria Sinir) rela berjalan kaki bersama pengikutnya selama berhari-hari
untuk mendatang kampung Ambator tempat Nata Pulang Pali berdiam.
Ketika berada pada acara sayembara tersebut, Pangeran
Aria Senadira (Ria Sinir) maju dan menyatakan dirinya sanggup
melakukan misi untuk mengambil kepala raja Patih Aria Magat (Patih Pagumantar). Karena tidak
dapat percaya seratus persen kepada pasukannya dan tidak mau keinginannya itu
akan gagal, maka Pangeran Aria Senadira (Ria Sinir) tidak mau hanya mempekerjakan
pasukannya saja untuk melakukan tugas tersebut. Maka beliau memimpin langsung
pasukannya untuk menebang kayu merbau yang gaib, untuk membuat kapal, yang akan
digunakan oleh beliau bersama pasukannya untuk mendatangi kerajaan Bataguh dalam misi mengambil kepala raja Patih Aria Magat
(Patih Gumantar).
Setelah kapal mereka jadi. Pangeran Aria Senadira (Ria Sinir) bersama puluhan pasukannya, yang datang
langsung dari kota Jarikng dan sekitarnya segera berangkat. Mereka menghilir
sungai tenganap, lalu ke sungai kapuas kawasan kota Pontianak sekarang hingga
kemudian berlayar kearah selatan dilautan pesisir barat kalimantan. Setelah
ujung selatan kal-bar mereka berbelok kearah timur, menyusuri pesisir kalteng
hingga sampai dimuara sungai tempat kerajaan Dayak Biaju berada. Pada saat
mereka menyusuri sungai tersebut, mereka menamai sungai tersebut dengan nama
sungai kapuas, hal ini dilakukan karena sungai tersebut sangat lebar mirif
sungai kapuas di tanah kelahiran mereka.
Pada saat pagi hari, Pangeran Aria Senadira (Ria Sinir) dan pasukannya sampai ke kota kerajaan Bataguh dan dengan akalnya
dia langsung masuk dengan mudah, mereka langsung mencari
dan mengambil tajau (Tempayan besar) tempat kepala raja Patih Aria Magat (Patih Pagumantar), diletakkan.
Setelah kepala raja Patih Aria Magat (Patih Gumantar
) didapati, mereka segera pulang
kembali ke kampung Ambator, tempat kediaman Nata Pulang Pali.
Ketika menunjukan kepala raja Patih Aria Magat (Patih Pagumantar),di hadapan Nata Pulang Pali.
Kemudian Pangeran Aria Senadira (Ria Sinir) menagih Janji dalam sayembara Nata pulang Pali dahulu. Pangeran Aria Senadira
(Ria Sinir) tidak mau menerima hadiah harta
kekayaan namun beliau menginginkan agar Nata Pulang Pali melepaskan putri Dara Itam sebagai istrinya untuk
diperistri oleh Pangeran Aria Senadira (Ria Sinir). Awalnya Nata Pulang Pali sangat menolak untuk menyerahkan Dara Itam sembari mempersilakan kepada Pangeran
Aria Senadira (Ria Sinir) untuk memilih istri Nata Pulang Pali
yang lainnya. Namun Karena tertekan
dan ketakutan terhadap kesaktian pangeran Aria Senadira
(Ria Sinir), akhirnya Nata Pulang Pali menyerah
dan membiarkan putri Dara Itam pergi
bersama Pangeran Aria Senadira (Ria Sinir).
Setelah
kejadian itu. Pangeran Aria Senadira (Ria Sinir) dan pasukannya segera pulang ke
kota Jarikng, kelak ia
akan menjadi raja di kerajaan Satona
(Sthanapura) yang pada waktu itu
telah berpusat di kota Jarikng, untuk menggantikan almarhum ayahnya raja Patih Aria Jampi (Ria Jambi). Beliau memboyong putri Dara Itam dan seluruh pelayannya serta sebagian warga Dayak
Kanayatn yang berada di DAS Sengah. Di kota Jarikng Pangeran Aria Senadira (Ria Sinir) dan Putri Dara Itam segera menikah, sementara para pengikut Dara Itam yang ikut dibawa kemudian
mulai membangun tempat tinggal sementara. Mereka hidup membaur dengan warga
kota Jarikng dan sekitarnya. Selama Jarikng menjadi ibukota kerajaan, banyak
warga Dayak Balangin yang tinggal di bagian timur laut negeri Jarikng, yang berhubungan
dengan warga Banyadu di kota Jarikng dan kampung-kampung disekitarnya. Akhirnya
ketiga sub-suku Dayak ini banyak melakukan kawin campur.
Campuran bahasa-bahasa ini, lama-kelamaan akhirnya
membentuk sebuah varian bahasa baru yang disebut bahasa Banane atau Ba-ampape
atau Bakamene atau Bangape, dimana istilah-istilah kata dalam bahasa mereka
merupakan perpaduan dari istilah-istilah kata dari bahasa Banyadu, bahasa
banana dan Bahasa Balangin serta istilah-istilah yang “secara asal” memang sama-sama
dimiliki oleh ketiga subsuku Dayak itu, misal istilah sidi, repo, banar, nyaman
dan istilah lainnya.
|
Informasi diatas adalah
dari hasil wawancara yang dilakukan oleh Bambang Bider, wartawan majalah
kalimantan review tahun 2001
|
Bahasa Banane kemudian berkembang menjadi bahasa percakapan di antara penduduk kota Jarikng sekitar pertengahan tahun 1500 M. Karena Dayak Kanayatn (Banana) dan Dayak Balangin tergolong satu rumpun bahasa, yang banyak istilah bahasa atau kosakata mereka yang sama atau mirif, akibatnya bahasa baru itu cenderung dekat ke rumpun Kanayatn daripada ke dalam rumpun bahasa Bidayuhik Banyadu yang merupakan bahasa asli kota Jarikng, meskipun demikian ada cukup kosakata Bidayuhik Banyadu yang tetap dipakai oleh mereka.
Raja Aria Senadira (Ria Sinir) dengan Putri Dara
Itam melahirkan dua orang putra, mereka adalah Lutih dan Kari. Lutih suatu saat menggantikan
ayahandanya menjadi pemimpin di Jarikng. Dimasa pemerintahan Lutih seluruh penduduk kota Jarikng dan
sekitarnya telah menggunakan bahasa Banane. Karena kehidupan mereka bermata
pencarian sebagai petani ladang. Semakin lama, semakin jauh pula ladang yang
mereka buat dari pemukiman mereka. Karena tidak mau bolak-balik pulang ke
kota asalnya, banyak dari warga kota Jarikng yang memilih membangun
parokng-parokng di sekitar ladang mereka. Lama-kelamaan karena peningkatan
jumlah penduduk, parokng-parokng tersebut berkembang menjadi kampung yang
ramai.
Penduduk parokng disebelah utara yakni di wilayah kecamatan Meranti sekarang. Melakukan hubungan yang sangat intensif, termasuk hubungan perkawinan dengan warga Dayak bakati dan Dayak Bakambay yang ada disebelah utara parokng (kampung ladang) mereka, yaitu masyarakat Dayak Bakati dan Dayak Bakambay yang bermukim di wilayah kecamatan Ledo dan Suti Semarang sekarang ini. Para suami atau istri warga Dayak Banane yang berasal dari Dayak Bakati dan Dayak Bakambay tersebut banyak yang diboyong kekampung Dayak Darit (Orang Banane) yang bermukim disitu. Karena pengaruh dari para suami ataupun para istri yang berasal dari orang Bakati dan Dayak Bakambay tersebut, anak-anak mereka yang lahir kelak akan berbahasa Banane dengan logat yang mirif logat Dayak Bakati dan Dayak Bakambay, yang logat mereka mangkakng atau ngalampai yakni bahasa yang bunyi kata-kata yang diucapkan tidak sesuai seperti yang seharusnya. Karena hal itu, akhirnya bahasa Dayak Darit versi baru terbentuk. Selain Logat bahasa Dayak Bakati dan Bakambay, beberapa istilah kata dari bahasa Bakati dan Bakambay juga dipakai oleh keturunan mereka. Masyarakat Dayak yang berbahasa Kanayatn Darit yang logat mereka dipengaruhi oleh logat dan bahasa Dayak bakati dan Dayak Bakambay inilah yang kita kenal dengan nama masyarakat Dayak Kanayatn yang berbahasa Banana Ngalampa di wilayah kecamatan meranti dimasa sekarang.
Dimasa pemerintahan Lutih.
Warga Dayak Balangin yang bermukim di sebelah timur sungai Tenganap, yakni di
dekat kawasan kecamatan kembayan dimasa sekarang ini, masih sering di kayau
oleh para pengayau dari Dayak Bidayuhik Badeneh yang bermukim di daerah hulu
sungai sekayam sekarang. Seperti sudah menjadi tradisi bagi warga Dayak
Balangin, mereka kembali meminta bantuan kepada kerajaan Jarikng untuk
membendung pasukan kayau Dayak Badeneh. Ratusan prajurit kayau dari kerajaan
Jarikng diberangkatkan ke wilayah Balangin tersebut.
Setelah perang kayau selesai, untuk berjaga-jaga apabila
pasukan kayau Dayak Badeneh generasi berikutnya kembali melakukan kayau di
wilayah Dayak Balangin tersebut, Maka para prajurit kayau dari kerajaan Jarikng
tidak pulang ke Jarikng, mereka menetap dan berkeluarga disitu. Seiring waktu
berjalan, jumlah mereka menjadi ramai, hingga akhirnya mereka membangun
beberapa kampung disana, yaitu kampung-kampung diwilayah barat laut kecamatan
kembayan kabupaten Sanggau sekarang.
Penduduk kota Jarikng yang berladang di bagian selatan dan
barat daya kota Jarikng, banyak mendirikan parokng disekitar ladang mereka.
Seiring pertambahan waktu, parokng-parokng tersebut telah menjadi ramai menjadi
kampung-kampung ladangan, Sigonyekng, Ringo, Paluntatn, Sabalit, Guna, Labak
dan Jongkak. Awalnya bahasa kanayatn mereka masih versi Kanayatn Banane
(kanayatn darit), namun karena hubungan yang instesif termasuk hubungan
perkawinan dengan warga Dayak Kanayatn asli di wilayah kecamatan sompak dan
kecamatan Sengah temila di masa sekarang, menyebabkan bahasa banane
lama-kelamaan menjadi sama dengan bahasa Kanayatn asli atau bahasa Banana.
Sementara yang berladang ke arah barat yaitu ke arah
kampung-kampung saudara mereka yang bertahan menggunakan bahasa Banyadu, warga
Jarikng membangun beberapa parokng, diantaranya adalah parokng Ansakng, Songga,
kayu ara, dan lain – lain. Karena hubungan mereka sangat intensif dengan
saudara mereka yang masih berbahasa Banyadu termasuk hubungan perkawinan dan
terlebih banyak dari mereka yang memilih tinggal di kampung-kampung saudara
banyadu mereka.
Akibatnya karena warga Kanayatn darit tersebut agak kesulitan
berbahasa Banyadu jika dibandingkan dengan warga berbahasa Banyadu yang rerata
bisa berbahasa Kanayatn dalam berkomunikasi, Hal ini memaksa orang-orang
Banyadu yang mengalah hingga rela melupakan bahasa asal mereka demi menggunakan
bahasa Kanayatn. Seiring perjalanan waktu pula, beberapa kampung yang dahulu
masih berbahasa Banyadu di sepanjang aliran sungai selandang (anak sungai
Banyuke), dimasa sekarang telah berubah menjadi kampung-kampung berbahasa
Kanayatn Darit (Banane). Kampung-kampung tersebut adalah kampung Sidatn, bujal,
Sahakng, Antong, Takapm dan lain-lain.
Karena di tinggalkan oleh penduduknya yang memilih
membangun pemukiman baru yang jauh dari kota Jarikng, mengakibatkan kota
Jarikng mengalami nasib yang sama dengan kota Banyuke yaitu Ibukota kerajaan
Banyuke, yakni kerajaan yang terlebih dahulu di bangun oleh leluhur raja Aria Senadira (Ria Sinir),
yang berada di hulu sungai utama di daerah itu. Yakni mengalami kemunduran dan
kembali menjadi sebuah kampung, yang tidak begitu ramai dibandingkan waktu
sebelumnya. Tidak diketahui secara pasti kenapa kerajaan Jarikng mengalami
kemunduran, hingga kini hanya menjadi kenangan seluruh masyarakat Dayak yang
bermukim di bantaran sungai Banyuke.
0 komentar :
Posting Komentar