Senin, 07 November 2016

Dayak Darit


    
          Dayak Kanayatn Darit atau Kanayatn Banyuke adalah sebutan warga subsuku Dayak yang berbahasa Banane atau ba-ampape atau bakamene. Mereka merupakan warga Dayak yang terbentuk dari percampuran antara tiga subsuku Dayak yang telah ada sebelum mereka terbentuk. Warga Dayak darit tersebar di kecamatan Menyuke Darit kabupaten Landak dan sebagian kecil di wilayah kecamatan kembayan kabupaten Sanggau kapuas. 

          Pada sekitar abad ke-13 M atau kuranglebih tujuh ratus tahun yang lalu, raja Patih Aria Magat (Patih Pagumantar) yang sedang memerintah di Kerajaan Bahanapura (Bangkule Rajakng) tewas dikayau oleh pasukan Kayau Dayak Biaju atau Ngaju yang berasal dari kerajaan Bataguh yang terletak di Batangan Dayak Kecil atau dikenal juga dengan nama sungai kapuas Kalimantan Tengah dimasa kini.

          Pemimpin mereka oleh masyarakat Dayak Kalimantan barat di kenal dengan nama gelar “Raja Bangkaka”. Istilah bangkaka adalah nama burung pemangsa ikan dari keluarga Alceminadae. Perilaku burung ini ketika mencari makan, dengan mengamati secara saksama mangsa yang akan diterkam olehnya, begitu waktunya tepat, maka dengan secepatnya dia menerjang menangkap mangsanya dan dengan cepat juga dia membawa mangsanya ke tempatnya bertengger.

          Fenomena dari burung inilah yang dipakai oleh masyarakat Dayak Kalbar untuk menyebutkan pemimpin pasukan pengayau Dayak Biaju kalteng. Ketika mereka mengayau raja Patih Aria Magat (Patih Pagumantar). Mereka menunggu pada saat yang sangat tepat untuk menerkam raja Patih Aria Magat (Patih Pagumantar). Hal demikian dilakukan oleh mereka, karena mereka mengetahui bahwa kekuatan Patih Aria Magat (Patih Pagumantar) sangat kuat, yang hanya berhadapan dengan beliau saja, maka orang-orang akan gemetar ketakutan.

          Adalah cukup mustahil bagi mereka untuk dapat mengayau raja Patih Aria Magat (Patih Pagumantar), jika beliau dalam keadaan sigap. Maka cara yang tepat adalah menunggu waktu kapan Patih Gumantar sedang terlena. Rupanya kenikmatan dunia yang disebut tidur malam, pada saat raja Patih Aria Magat (Patih Pagumantar), dikayau dahulu, benar-benar dinikmati oleh sang raja yang menakutkan itu. Dinginnya suasana malam itu benar-benar memulaskan sebagian besar penghuni keraton. Hal itu kemudian tidak disia-siakan oleh pasukan pengayau Dayak Biaju. Mereka langsung menerkam ke dalam keraton termasuk ke kamar dimana sang raja tidur, hingga tidak butuh waktu yang lama, akhirnya kepala raja Patih Aria Magat (Patih Pagumantar), telah terpenggal. 

          Raja Bangkaka dan sebagian pasukannya langsung melarikan diri dengan kapalnya. Sebagian pasukannya tertangkap oleh prajurit keraton mempawah. Prajurit yang tertangkap itu di interogasi sebelum di hukum mati. Dari mereka diketahui bahwa mereka adalah pasukan kayau Dayak Biaju. Setelah itu, Raja kerajaan Bahanapura (Bangkule Rajakng) digantikan oleh Aria Manding. Sejak saat itu putri Dara Itam mengasingkan diri dan tinggal diantara masyarakat Dayak kanayatn yang berada di sepanjang aliran sungai Sengah. Kepergian beliau diikuti oleh sebagian pelayannya. 

          Pada waktu itu ada seorang pemimpin orang-orang Jawa yang  bersembunyi di kalimantan barat, yang nama aslinya tidak diketahui, bermaksud agar tidak ketahuan oleh pihak kerajaan Majapahit di Jawa, dia menyamarkan namanya dengan nama NATA PULANG PALI, dimana nama NATA berasal dari bahasa Sanskerta yang bearti PEMIMPIN / KETUA / KOMANDAN, dan nama PULANG PALI berasal dari bahasa Dayak Kanayatn yang bearti PANTANG PULANG. Jadi secara keseluruhan arti nama Nata Pulang Pali adalah pemimpin yang pantang pulang. 

          Dia tidak mau pulang ke pulau Jawa setelah ekspedisi pamalayu  yang dilakukan oleh kerajaan Singasari terhadap kerajaan melayu di hulu sungai Batang Hari Jambi. Dia dan pasukannya banyak membawa rampasan perang yang berupa emas yang sangat banyak, yang jumlahnya lebih dari satu gantang, itulah sebabnya ia di kenal oleh orang Dayak sebagai seorang saudagar kaya raya. Pada dasarnya dia bukanlah raja, aslinya dia hanyalah salah-satu dari sekian banyak komandan peleton dari tentara kerajaan Singasari, yang komandan utamanya dahulu bernama Kebo Anabrang.

          Karena takut di tangkap oleh penguasa baru di Jawa Timur yaitu raja kerajaan baru yang bernama kerajaan Majapahit, NATA PULANG PALI bersama dengan komandan peleton tentara Singasari yang lain, yaitu yang namanya disamar dengan sebutan AJI PAMALAYU  yang bearti “pemimpin peleton pasukan ekspedisi Pamalayu” atau bisa juga bearti “pemimpin yang melarikan diri”, yang memilih bersembunyi di Kalimantan Barat, mereka berdua di ikuti oleh para pasukannya. Mereka berpisah sewaktu memasuki sungai kapuas setelah mereka pergi dari Jambi. Kapal AJI PAMALAYU  dan pasukannya bergerak terus ke arah hulu sungai Kapuas hingga memasuki sungai Sepauk di daerah Sintang dimasa sekarang, disana ia juga dikenal sebagai seorang yang saudagar yang kaya raya, jumlah emas yang dibawanya lebih banyak dari yang dibawa oleh NATA PULANG PALI, konon menurut cerita jumlah emas yang dimilikinya lebih dari satu tajau (tempayan besar), kelak disana ia bertemu dan menikah dengan raja Patih Putong Kempat  yang merupakan raja penguasa kerajaan Panggau Banyau (Tampun Juah) yang ibukotanya telah pindah ke Sepauk, setelah berpindah dari kota Banyau dan dari bukit Kujau dimasa ayahnya raja Patih Ambun Manurun (Embun Turun) berkuasa.

          Sementara kapal NATA PULANG PALI berbelok ke kiri dan sesampainya di muara sungai Tenganap (sungai Landak) mereka masuk ke sungai itu. Hingga akhirnya mereka membangun tempat tinggal di bantaran sungai Tenganap atau sungai landak sekarang. Tempat tinggal mereka itu dekat dari muara sungai Sengah. Lama-kelamaan Nata Pulang Pali diangkat oleh para pengikutnya untuk menjadi raja pada kelompoknya, yaitu para tentara Singasari yang dipimpin olehnya, yang seluruhnya telah kawin-mawin dengan wanita Dayak Kanayatn didaerah itu.

          Hingga suatu saat kecantikan putri Dara Itam sampai ke telinga orang-orang jawa yang di pimpin oleh Nata Pulang Pali (Pantang pulang) tersebut. Hingga dengan segala usaha dia ingin memperistrikan putri Dara Itam. Keinginannya tersebut akan tercapai penuh apabila dia bersedia mengambil kepala ayahanda putri Dara Itam yang dikayau oleh Dayak Biaju dahulu. 

          Namun Karena Nata Pulang Pali dan para pengikutnya ketakutan untuk menghadapi pasukan Dayak Biaju Kalteng. Dia tidak habis akal dan menyerah. Lalu Dia melakukan sayembara, seluruh laki-laki masyarakat Dayak di kawasan hilir Sungai tenganap dan sungai Sengah diundang. Pada sayembara itu disebutkan bahwa si Nata Pulang Pali akan memberikan hadiah besar bagi setiap warga yang berani dan bersedia untuk mengambil kepala raja Patih Aria Magat (Patih Pagumantar),. Namun tidak ada satupun warga yang bersedia dan sanggup. Hingga akhirnya muncul Pangeran Aria Senadira (Ria Sinir), pangeran dari kerajaan Dayak Banyadu di kerajaan Jarikng. 

          Rupanya Pangeran Aria Senadira (Ria Sinir) sudah lama jatuh cinta dengan putri Dara Itam, yaitu sejak Pangeran Aria Senadira (Ria Sinir)  tersesat ketika mengejar burung enggang yang diburunya dahulu. Namun karena jarak tempat tinggal mereka yang sangat jauh, terlebih lagi kampung selimpat tempat dimana putri Dara Itam tinggal hanya dapat ditempuh dengan berjalan kaki dari kota Jarikng, rasa cintanya itu tak pernah kesampaian.

          Mengetahui putri Dara Itam telah jatuh ke dalam pelukan Nata Pulang Pali. Pangeran Aria Senadira (Ria Sinir) sangat ingin merebut putri Dara Itam dari genggaman Nata Pulang Pali. Namun meskipun Pangeran Aria Senadira (Ria Sinir) seorang anak Raja, yang mana beliau memiliki kesaktian tinggi, namun beliau ingin melakukan niatnya secara elegan dan jantan kepada Nata Pulang Pali. Jika Pangeran Aria Senadira (Ria Sinir) ingin dengan cara curang untuk dapat merebut Putri Dara Itam, adalah perkara yang sangat mudah bagi beliau, tanpa harus mengirim ratusan prajurit untuk membereskan Nata Pulang Pali, tetapi bagaimanapun Pangeran Aria Senadira (Ria Sinir)  adalah putra Dayak yang sangat beradab dan sangat menghormati jiwa ksatria yang elegan.

          Karena dengan cara seperti itu, beliau ingin memperlihatkan kepada putri Dara Itam, bahwa beliau sangat mencintai sang putri, sehingga berusaha untuk memperlihatkan keberadaban dan kesatriaan dirinya sebagai pria kepada Putri Dara Itam Namun berdasarkan logika, alasan yang sangat logis bagi Pangeran Aria Senadira (Ria Sinir) tidak menggunakan kekerasan adalah karena ia takut putri Dara Itam tidak akan bersimpati dan tidak mau menerimanya, mengingat suami putri Dara Itam yaitu Nata Pulang Pali  tersebut adalah seorang yang sangat kaya raya di jamannya. Karena oleh hal itu pula Pangeran Aria Senadira (Ria Sinir) merasa rendah diri.

          Maka ketika ada sayembara yang diadakan oleh Pulang Pali, hal itu tidak di sia-siakan oleh Pangeran Aria Senadira (Ria Sinir). Karena didalam hatinya, beliau pasti sanggup dan akan meminta hadiahnya nanti adalah bukan harta kekayaan, melainkan beliau akan menekan Nata Pulang Pali agar melepaskan Putri Dara Itam sebagai istrinya. Karena itu, meski jarak yang sangat jauh, Pangeran Aria Senadira (Ria Sinir) rela berjalan kaki bersama pengikutnya selama berhari-hari untuk mendatang kampung Ambator tempat Nata Pulang Pali  berdiam. 

          Ketika berada pada acara sayembara tersebut,  Pangeran Aria Senadira (Ria Sinir) maju dan menyatakan dirinya sanggup melakukan misi untuk mengambil kepala raja Patih Aria Magat (Patih Pagumantar). Karena tidak dapat percaya seratus persen kepada pasukannya dan tidak mau keinginannya itu akan gagal, maka Pangeran Aria Senadira (Ria Sinir) tidak mau hanya mempekerjakan pasukannya saja untuk melakukan tugas tersebut. Maka beliau memimpin langsung pasukannya untuk menebang kayu merbau yang gaib, untuk membuat kapal, yang akan digunakan oleh beliau bersama pasukannya untuk mendatangi kerajaan Bataguh dalam misi mengambil kepala raja Patih Aria Magat (Patih Gumantar)

          Setelah kapal mereka jadi. Pangeran Aria Senadira (Ria Sinir)  bersama puluhan pasukannya, yang datang langsung dari kota Jarikng dan sekitarnya segera berangkat. Mereka menghilir sungai tenganap, lalu ke sungai kapuas kawasan kota Pontianak sekarang hingga kemudian berlayar kearah selatan dilautan pesisir barat kalimantan. Setelah ujung selatan kal-bar mereka berbelok kearah timur, menyusuri pesisir kalteng hingga sampai dimuara sungai tempat kerajaan Dayak Biaju berada. Pada saat mereka menyusuri sungai tersebut, mereka menamai sungai tersebut dengan nama sungai kapuas, hal ini dilakukan karena sungai tersebut sangat lebar mirif sungai kapuas di tanah kelahiran mereka. 

          Pada saat pagi hari, Pangeran Aria Senadira (Ria Sinir)  dan pasukannya sampai ke kota kerajaan Bataguh dan dengan akalnya dia langsung masuk dengan mudah, mereka langsung mencari dan mengambil tajau (Tempayan besar) tempat kepala raja Patih Aria Magat (Patih Pagumantar), diletakkan. Setelah kepala raja Patih Aria Magat (Patih  Gumantar ) didapati, mereka segera pulang kembali ke kampung Ambator, tempat kediaman Nata Pulang Pali

          Ketika menunjukan kepala raja Patih Aria Magat (Patih Pagumantar),di hadapan Nata Pulang Pali. Kemudian Pangeran Aria Senadira (Ria Sinir) menagih Janji dalam sayembara Nata pulang Pali dahulu. Pangeran Aria Senadira (Ria Sinir) tidak mau menerima hadiah harta kekayaan namun beliau menginginkan agar Nata Pulang Pali melepaskan putri Dara Itam sebagai istrinya untuk diperistri oleh Pangeran Aria Senadira (Ria Sinir). Awalnya Nata Pulang Pali sangat menolak untuk menyerahkan Dara Itam sembari mempersilakan kepada Pangeran Aria Senadira (Ria Sinir) untuk memilih istri Nata Pulang Pali  yang lainnya. Namun Karena tertekan dan ketakutan terhadap kesaktian pangeran Aria Senadira (Ria Sinir), akhirnya Nata Pulang Pali menyerah dan membiarkan putri Dara Itam pergi bersama Pangeran Aria Senadira (Ria Sinir)

     Setelah kejadian itu. Pangeran Aria Senadira (Ria Sinir) dan pasukannya segera pulang ke kota Jarikng, kelak ia akan menjadi raja di kerajaan Satona (Sthanapura)  yang pada waktu itu telah berpusat di kota Jarikng, untuk menggantikan almarhum ayahnya raja Patih Aria Jampi (Ria Jambi). Beliau memboyong putri Dara Itam dan seluruh pelayannya serta sebagian warga Dayak Kanayatn yang berada di DAS Sengah. Di kota Jarikng Pangeran Aria Senadira (Ria Sinir) dan Putri Dara Itam segera menikah, sementara para pengikut Dara Itam yang ikut dibawa kemudian mulai membangun tempat tinggal sementara. Mereka hidup membaur dengan warga kota Jarikng dan sekitarnya. Selama Jarikng menjadi ibukota kerajaan, banyak warga Dayak Balangin yang tinggal di bagian timur laut negeri Jarikng, yang berhubungan dengan warga Banyadu di kota Jarikng dan kampung-kampung disekitarnya. Akhirnya ketiga sub-suku Dayak ini banyak melakukan kawin campur.

          Campuran bahasa-bahasa ini, lama-kelamaan akhirnya membentuk sebuah varian bahasa baru yang disebut bahasa Banane atau Ba-ampape atau Bakamene atau Bangape, dimana istilah-istilah kata dalam bahasa mereka merupakan perpaduan dari istilah-istilah kata dari bahasa Banyadu, bahasa banana dan Bahasa Balangin serta istilah-istilah yang “secara asal” memang sama-sama dimiliki oleh ketiga subsuku Dayak itu, misal istilah sidi, repo, banar, nyaman dan istilah lainnya.   

Informasi diatas adalah dari hasil wawancara yang dilakukan oleh Bambang Bider, wartawan majalah kalimantan review tahun 2001

          Bahasa Banane kemudian berkembang menjadi bahasa percakapan di antara penduduk kota Jarikng sekitar pertengahan tahun 1500 M. Karena Dayak Kanayatn (Banana) dan Dayak Balangin tergolong satu rumpun bahasa, yang banyak istilah bahasa atau kosakata mereka yang sama atau mirif, akibatnya bahasa baru itu cenderung dekat ke rumpun Kanayatn daripada ke dalam rumpun bahasa Bidayuhik Banyadu yang merupakan bahasa asli kota Jarikng, meskipun demikian ada cukup kosakata Bidayuhik Banyadu yang tetap dipakai oleh mereka. 

      Raja Aria Senadira (Ria Sinir) dengan Putri Dara Itam melahirkan dua orang putra, mereka adalah Lutih dan Kari. Lutih suatu saat menggantikan ayahandanya menjadi pemimpin di Jarikng. Dimasa pemerintahan Lutih seluruh penduduk kota Jarikng dan sekitarnya telah menggunakan bahasa Banane. Karena kehidupan mereka bermata pencarian sebagai petani ladang. Semakin lama, semakin jauh pula ladang yang mereka buat dari pemukiman mereka.  Karena tidak mau bolak-balik pulang ke kota asalnya, banyak dari warga kota Jarikng yang memilih membangun parokng-parokng di sekitar ladang mereka. Lama-kelamaan karena peningkatan jumlah penduduk, parokng-parokng tersebut berkembang menjadi kampung yang ramai. 

     Penduduk parokng disebelah utara yakni di wilayah kecamatan Meranti sekarang. Melakukan hubungan yang sangat intensif, termasuk hubungan perkawinan dengan warga Dayak bakati dan Dayak Bakambay yang ada disebelah utara parokng (kampung ladang) mereka, yaitu masyarakat Dayak Bakati dan Dayak Bakambay yang bermukim di wilayah kecamatan Ledo dan Suti Semarang sekarang ini. Para suami atau istri warga Dayak Banane yang berasal dari Dayak Bakati dan Dayak Bakambay tersebut banyak yang diboyong kekampung Dayak Darit (Orang Banane) yang bermukim disitu. Karena pengaruh dari para suami ataupun para istri yang berasal dari orang Bakati dan Dayak Bakambay tersebut, anak-anak mereka yang lahir kelak akan berbahasa Banane dengan logat yang mirif logat Dayak Bakati dan Dayak Bakambay, yang logat mereka mangkakng atau ngalampai yakni
bahasa yang bunyi kata-kata yang diucapkan tidak sesuai seperti yang seharusnya. Karena hal itu, akhirnya bahasa Dayak Darit versi baru terbentuk. Selain Logat bahasa Dayak Bakati dan Bakambay, beberapa istilah kata dari bahasa Bakati dan Bakambay juga dipakai oleh keturunan mereka. Masyarakat Dayak yang berbahasa Kanayatn Darit yang logat mereka dipengaruhi oleh logat dan bahasa Dayak bakati dan Dayak Bakambay inilah yang kita kenal dengan nama masyarakat Dayak Kanayatn yang berbahasa Banana Ngalampa di wilayah kecamatan meranti dimasa sekarang. 

          Dimasa pemerintahan Lutih. Warga Dayak Balangin yang bermukim di sebelah timur sungai Tenganap, yakni di dekat kawasan kecamatan kembayan dimasa sekarang ini, masih sering di kayau oleh para pengayau dari Dayak Bidayuhik Badeneh yang bermukim di daerah hulu sungai sekayam sekarang. Seperti sudah menjadi tradisi bagi warga Dayak Balangin, mereka kembali meminta bantuan kepada kerajaan Jarikng untuk membendung pasukan kayau Dayak Badeneh. Ratusan prajurit kayau dari kerajaan Jarikng diberangkatkan ke wilayah Balangin tersebut.

          Setelah perang kayau selesai, untuk berjaga-jaga apabila pasukan kayau Dayak Badeneh generasi berikutnya kembali melakukan kayau di wilayah Dayak Balangin tersebut, Maka para prajurit kayau dari kerajaan Jarikng tidak pulang ke Jarikng, mereka menetap dan berkeluarga disitu. Seiring waktu berjalan, jumlah mereka menjadi ramai, hingga akhirnya mereka membangun beberapa kampung disana, yaitu kampung-kampung diwilayah barat laut kecamatan kembayan kabupaten Sanggau sekarang. 

          Penduduk kota Jarikng yang berladang di bagian selatan dan barat daya kota Jarikng, banyak mendirikan parokng disekitar ladang mereka. Seiring pertambahan waktu, parokng-parokng tersebut telah menjadi ramai menjadi kampung-kampung ladangan, Sigonyekng, Ringo, Paluntatn, Sabalit, Guna, Labak dan Jongkak. Awalnya bahasa kanayatn mereka masih versi Kanayatn Banane (kanayatn darit), namun karena hubungan yang instesif termasuk hubungan perkawinan dengan warga Dayak Kanayatn asli di wilayah kecamatan sompak dan kecamatan Sengah temila di masa sekarang, menyebabkan bahasa banane lama-kelamaan menjadi sama dengan bahasa Kanayatn asli atau bahasa Banana.

          Sementara yang berladang ke arah barat yaitu ke arah kampung-kampung saudara mereka yang bertahan menggunakan bahasa Banyadu, warga Jarikng membangun beberapa parokng, diantaranya adalah parokng Ansakng, Songga, kayu ara, dan lain – lain. Karena hubungan mereka sangat intensif dengan saudara mereka yang masih berbahasa Banyadu termasuk hubungan perkawinan dan terlebih banyak dari mereka yang memilih tinggal di kampung-kampung saudara banyadu mereka.

          Akibatnya karena warga Kanayatn darit tersebut agak kesulitan berbahasa Banyadu jika dibandingkan dengan warga berbahasa Banyadu yang rerata bisa berbahasa Kanayatn dalam berkomunikasi, Hal ini memaksa orang-orang Banyadu yang mengalah hingga rela melupakan bahasa asal mereka demi menggunakan bahasa Kanayatn. Seiring perjalanan waktu pula, beberapa kampung yang dahulu masih berbahasa Banyadu di sepanjang aliran sungai selandang (anak sungai Banyuke), dimasa sekarang telah berubah menjadi kampung-kampung berbahasa Kanayatn Darit (Banane). Kampung-kampung tersebut adalah kampung Sidatn, bujal, Sahakng, Antong, Takapm dan lain-lain. 

          Karena di tinggalkan oleh penduduknya yang memilih membangun pemukiman baru yang jauh dari kota Jarikng, mengakibatkan kota Jarikng mengalami nasib yang sama dengan kota Banyuke yaitu Ibukota kerajaan Banyuke, yakni kerajaan yang terlebih dahulu di bangun oleh leluhur raja Aria Senadira (Ria Sinir), yang berada di hulu sungai utama di daerah itu. Yakni mengalami kemunduran dan kembali menjadi sebuah kampung, yang tidak begitu ramai dibandingkan waktu sebelumnya. Tidak diketahui secara pasti kenapa kerajaan Jarikng mengalami kemunduran, hingga kini hanya menjadi kenangan seluruh masyarakat Dayak yang bermukim di bantaran sungai Banyuke.

0 komentar :

Posting Komentar

 

Translate

Label

Adat (5) Bigbang (14) Budaya (5) Dayak (10) Kerajaan Dayak (11) Multiverse (3)