Sabtu, 25 Mei 2019

Kerajaan Hulu Aik



          Pada masa awal berdirinya, kerajaan Hulu Aik bernama “kerajaan Lawai”. Nama tersebut berasal dari nama tokoh raja yang mendirikannya, yaitu raja Patih Lawai. Dimasa kerajaan Singasari eksis di Jawa Timur, oleh pihak kerajaan Singasari, kerajaan Lawai disebut kerajaan Bakulapura (Negeri Tanjung). Hal ini disebabkan oleh lokasi dimana ibukota kerajaan Lawai (Hulu Aik) yaitu kota Labai Lawai dahulu pernah berdiri, disitu banyak terdapat tumbuhan bunga bakula (Mimusops Elengi), yang dalam bahasa rumpun Dayak Kanayatnik disebut dengan nama “Bunga Tanyukng (Bunga Tanjung)”, sementara dalam bahasa rumpun Dayak Bidayuhik dikenal dengan disebutan “kembang rempaga”. Kemudian sejak kerajaan Majapahit eksis, kerajaan Lawai oleh pihak Majapahit disebut dengan nama kerajaan Tanjungpura, dimana nama ini merupakan terjemahan langsung dari nama Bakulapura.

     Oleh bangsa Eropa, khususnya penduduk kekaisaran Romawi, yang utusannya dahulu pernah datang ke pulau kalimantan yang dikenal oleh orang Eropa dahulu dengan nama Tavobrana, mereka mencatat nama kerajaan Lawai dengan ejaan “Lave / Laue / Louis / Lava / Laua / Lawa”. Mereka menyebut pemimpinnya dengan ejaan “Rachia”. Kata ini dalam ejaan bahasa Indonesia sekarang adalah “Raja”.

        Pemimpin militer kerajaan tersebut memiliki pangkat yang oleh mereka disebut dengan ejaan “Chinga” yang dalam ejaan bahasa Indonesia sekarang adalah “Singa”. Pada adat budaya Dayak, pangkatSingaadalah salahsatu pangkat yang sering dimiliki oleh para panglima perang Dayak yang menjadi pejabat Pangalangok yaitu sebutan panglima tertinggi atau pemimpin militer pada setiap kerajaan yang pernah dimiliki oleh bangsa Dayak. Pangkat Singa kurang-lebih setara dengan pangkat Jendral pada pangkat kemiliteran dimasa kini.

     Dikepulaun nusantara ini hanya kerajaan bangsa Dayak yang menggunakan pangkat “Singa” untuk para panglima perang dari kerajaan mereka. Selain pangkat “singa”, pangkat lain yang juga sering dimiliki oleh para panglima perang kerajaan Dayak adalah pangkat “Macan”. Pangkat “Macan” adalah salahsatu pangkat para panglima tentara kerajaan Dayak yang pada masa sekarang kurang-lebih setara dengan pangkat jendral Besar.

Pendiri Kerajaan Lawai (Hulu Aik)
          Umumnya orang luar menganggap bahwa pendiri kerajaan Lawai (Hulu Aik) adalah Maniaka. Nama Maniaka atau Sang Maniaka menjadi sangat populer disebut-sebut sebagai pendiri kerajaan Bakulapura alias kerajaan Tanjungpura alias kerajaan Lawai alias kerajaan Hulu Aik merupakan hasil intervensi dari pihak sejarahwan orde baru. Bagi penduduk aslinya, yaitu suku Dayak yang terdapat di Kalimantan Barat bagian selatan, yang menjadi rakyat kerajaan Lawai (Hulu Aik) alias kerajaan Tanjungpura, mereka tidak pernah mengenal adanya tokoh yang disebut dengan nama Maniaka itu.

          Nama Maniaka tersebut samasekali terdengar sangat asing. Rakyat asli kerajaan Lawai (Hulu Aik) alias kerajaan Bakulapura (Tanjungpura) lebih mengenal tokoh yang bernama Patih Lawai sebagai pendirinya. Patih Lawai sendiri adalah manusia Dayak asli yang lahir dari seorang ayah bernama Kandoag dan ibu bernama Dayakng Kumpa. Patih lawai memiliki lima orang saudara kandung, mereka adalah; Sindih, Dumba, Mohan, Landeg dan Doweg. Ketika dewasa, Lawai menikah dengan Sintemaung. Mereka dikaruniai sebanyak tujuh orang anak laki-laki. Anak-anak mereka itu adalah; Sulong, Sogar, Gondong, Binong, Muit, Sangkulur dan Galormandang.

      Setelah istri beliau melahirkan putranya yang ke-tujuh, maka sesuai dengan tradisi aturan adat kuno yang berlaku pada bangsa Dayak, yang mengharuskan agar ayah dari ketujuh orang anak yang berjenis kelamin sama, yaitu dari anak yang pertama sampai anak yang ketujuh secara berurutan tersebut diangkat menjadi raja, lalu oleh rakyat yang tinggal diwilayah dimana beliau tinggal, beliau langsung dinobatkan untuk menjadi raja pertama didaerah tersebut. Setelah dinobatkan menjadi raja, kepada beliau diberi gelar Patih. Gelar Patih disini adalah Patih yang bukan berasal dari bahasa Sanskerta, melainkan gelar Patih yang berasal dari Bahasa Dayak, yang artinya “memang sangat bernasib putih / mujur, mengingat beliau ditakdirkan oleh Tuhan untuk menjadi raja, yang mana oleh Tuhan kepada Lawai dikaruniakan dengan tujuh orang anak yang berjenis kelamin sama, hal itu adalah sebagai tanda bahwa Tuhan memilih beliau untuk menjadi raja.

       Karena Galor Mandang adalah “sang penentu” bagi ayahnya dalam menjadi raja, maka Galor Mandang memiliki hak istimewa untuk menjadi pengganti ayahnya, dan sejak itu pula garis keturunan raja harus diutamakan melalui anak-anaknya. Namun meskipun demikian, disebabkan selama pernikahan beliau dengan istrinya tidak memiliki anak, maka beliau dan istrinya lebih memilih mengangkat anak orang lain.




Istana Kerajaan Hulu Aik Dimasa Sekarang

      Setelah Patih Lawai meninggal dunia, beliau digantikan oleh anak bungsunya yang bernama Galor Mandang. Dimasa Patih Galor Mandang berkuasa di kerajaan Lawai (Hulu Aik), Militer kerajaannya dipimpin oleh seorang Pangalangok (Pemimpin Militer Kerajaan Dayak) yang bernama Singa Sulong (Jendral Sulong). Beliau adalah abang kandung yang pertama dari raja Galor Mandang.         

        Singa Sulong (jendral Sulong) adalah seorang Dayak yang sangat bengis dan licik. Ia menjadi sangat terkenal karena berbagai bentuk kekejaman yang pernah dilakukan olehnya, sehingga menyebabkannya sangat dibenci oleh rakyat kerajaan-kerajaan yang pernah diserang oleh pasukan kayau yang dipimpinnya, dan dibenci juga oleh rakyat kerajaan Lawai (Hulu Aik) sendiri. Karena perangainya yang sangat kejam, akhirnya Singa Sulong dijuluki oleh rakyat kerajaan Lawai (Hulu Aik) sebagai Singa Tedong Rusi yang beartijendral ular king cobra.
Kerajaan Lawai pada peta Petrus Bertius (1616 M) ditulis dengan ejaan Lave

     Singa Sulong (jendral Sulong) bersama sejumlah prajuritnya sering melakukan pengayauan ke daerah lain, karena itu beliau sangat jarang berada dikota Labai Lawai. Semasa mengayau, beliau tidak hanya memburu kepala para pemimpin Dayak lain saja, namun seringkali beliau dan prajuritnya menangkap banyak rakyat dari para pemimpin yang dikayaunya. Umumnya yang ditangkap adalah anak laki-laki remaja. Para tawanan tersebutlah yang banyak menjadi hamba atau budak di kerajaan Lawai (Hulu Aik) dahulu. Bahkan para budak tersebut juga banyak dijadikan prajurit kerajaan Lawai (Hulu Aik). Para prajurit muda tersebut kebanyakan berasal dari orang-orang Biaju, yaitu sebutan bagi orang-orang Dayak Ngaju Kalimantan Tengah dimasa kuno.

          Karena kebiasaan Pangalangok (Pemimpin Militer) kerajaan Lawai (Hulu Aik) yang banyak menangkap dan mempersembahkan banyak budak kepada rajanya itulah yang menjadi penyebab raja Patih Galor Mandang dijuluki oleh rakyatnya sebagai raja SHIAG BAHULUN (didalam ejaan EYD baku ditulis: SIAK BAHULUN) tersebut. Secara harafiah, kata SHIAG bearti SEMAKIN dan BAHULUN bearti BERBUDAK atau BERHAMBA. Jadi yang dimaksudkan dengan julukan RAJA SHIAG BAHULUN adalah SEORANG RAJA YANG SEMAKIN MEMILIKI BANYAK BUDAK / HAMBA. Singa Sulong (Jendral Sulong) atau Singa Tedong Russi (Jendral Ular King Cobra) sendiri kemudian di kenal juga dengan sebutan Singa Siag Bahulun yang artinya “jendral dari raja yang semakin memiliki banyak hamba”.

Serangan Militer Kerajaan Hulu Aik Terhadap Kerajaan Panggau Banyau (Tampun Juwah).
          Pada suatu waktu rombongan pasukan kayau dari kerajaan Hulu Aik, sedang beristirahat di pinggiran sungai Sekayam. Saat beristirahat, pemimpin mereka Singa Tedong Rusi (Jendral Ular King Cobra) tertidur pulas dan bermimpi. Didalam mimpinya dia mendapat mandat untuk mengambil tujuh orang bayi yang diletakan di dalam tujuh ruas bambu yang dihanyut dengan lanting (rakit) bambu oleh orang tuanya yang bernama Kranamuna (versi Dayak Ibanik: Juwah) dan Kranamuning (versi Dayak Ibanik: Lemay).

       Ketika terbangun, Singa Tedong Rusi (Jendral Ular King Cobra) kemudian memerintahkan para prajuritnya untuk menunggu lanting yang hanyut dan mengambil sebatang bambu yang ke-tujuh ruasnya berisi bayi-bayi tersebut. Ketika lanting (rakit) yang dimaksud tiba, salahsatu prajuritnya menarik lanting (rakit) tersebut dan mengambil bambu yang berisi bayi tersebut. Lalu Ruas Bambu tersebut dibelah dan mereka mendapati tujuh bayi, seperti dalam mimpinya. Pada ruas pertama, terdapat bayi perempuan, dia adalah bayi yang pertama dilahirkan, bersama dia terdapat sepotong logam besi, bayi itulah yang akan dikenal sebagai Dayakng Putukng alias Putri Junjung Buih kelak. Kemudian pada ruas bambu terakhir, terdapat seorang bayi laki-laki yang bersama dia terdapat bongkahan emas besar yang berbentuk buah mentimun, bayi itulah yang kelak dikenal dengan nama Sadong tersebut.

Juwah Dan Lemay Menurut Rakyat Kerajaan Panggau Banyau (Tampun Juwah) Adalah Tokoh Karanamuna Dan Kranamuning Menurut Rakyat Kerajaan Lawai (Hulu Aik).
          Pada jaman dahulu di kota Banyau ibukota kerajaan Panggau Banyau (Tampun Juwah) yaitu kerajaan tetangga dari kerajaan Lawai (Hulu Aik), dari antara ribuan penduduknya, hiduplah dua orang saudara kandung (Versi Dayak Ibanik: Saudara sepupu), yang laki-laki bernama Kranamuna (Versi Dayak Ibanik: Juwah) dan yang perempuan bernama Kranamuning (Versi Dayak Ibanik: Lemay). Kedua anak muda tersebut melakukan pelanggaran adat yang sangat berat yakni melakukan hubungan badan sedarah atau yang dikenal dengan istilah insets.  

      Awalnya Kranamuna (Versi Dayak Ibanik: Juwah) meminta supaya Kranamuning (Versi Dayak Ibanik: Lemay) mencari kutu di kepalanya. Ketika mencari kutu tersebut, Kranamuning mendapati dua ekor kutu yang sedang berdekapan di atas kepala Kranamuna. Karena penasaran ingin merasakan berdekapan seperti dua ekor kutu tersebut, kemudian Kranamuning mengajak Kranamuna untuk mengikuti perbuatan kedua ekor kutu tersebut. Sewaktu mereka berdekapan, nafsu birahi sebagai manusia normal bangkit kepada mereka berdua hingga perbuatan hubungan Insets mereka lakukan. Kejadian ini, mengakibatkan Kranamuning (Versi Dayak Ibanik: Lemay) hamil, yang kemudian dirahasiakan oleh orang tua mereka.

       Selama mengandung, Kranamuning tidak menunjukan gejala apapun, yang ada ia hanya mengidam ingin memakani hati Kera putih (Kera Albino). Untuk memenuhi keinginan Kranamuning tersebut, maka suatu hari berangkatlah Kranamuna kedalam hutan untuk memburu kera putih (Kera Albino). Ia pergi hanya membawa sebilah mandau dan sebatang sumpit bersama puluhan damek-nya (anak sumpit). Ketika Kranamuna telah berhasil mendapatkan hati kera putih (Kera Albino), dia segera pulang.

    Setelah beberapa hari berada dirumah, kemudian adiknya yaitu Kranamuning melahirkan sebanyak tujuh orang anak. Bermaksud untuk menghilangkan jejak agar tidak diketahui oleh penduduk kota Banyau, akhirnya Kranamuna bersama dengan kedua orang tuanya memilih untuk segera memasukan tujuh bayi itu ke dalam sebatang bambu Betung (Dendrocalamus asper) yang berukuran cukup besar, yang telah dipotong dan hanya menyisakan sebanyak tujuh ruas bambu yang bagian sisi atas dari ketujuh ruasnya telah dibuka (dibelah).

        Ketujuh orang bayi tersebut dimasukkan ke dalam tiap ruas bambu secara berurutan, dari yang sulung sampai yang bungsu. Ketika dimasukan ke dalam ruas bambu, yang sulung dibekali sepotong logam dan yang bungsu dibekali bongkahan emas besar yang berbentuk buah mentimun, sementara lima anak yang lain tanpa dibekali benda apapun. Setelah itu batang bambu yang telah berisi tujuh bayi tadi diikat diatas lanting bambu dan dihanyutkan disungai Sekayam.

          Beberapa hari kemudian perbuatan keluarga Juwah dan Lemay telah diketahui oleh penduduk kota Banyau, mereka berdua di tangkap dan dijatuhi hukuman mati. Menurut versi rakyat kerajaan Lawai (Hulu Aik) bahwa hukuman terhadap Kranamuna (versi Ibanik: Juwah) dan Kranamuning (Versi Dayak Ibanik: Lemay) dilakukan dengan cara memasukan tubuh mereka berdua yang telah diikat ke dalam sebuah Bubu (perangkap ikan) berukuran besar, yang terbuat dari Bemban (nama tumbuhan). Setelah itu, Bubu tersebut dihanyutkan di sungai Entabai yaitu salahsatu anak sunga Sekayam yang mengalir disisi kota Banyau.

      Sementara menurut versi Dayak Ibanik penduduk kerajaan Panggau Banyau (Tampun Juwah), bahwa eksekusi terhadap Juwah dan Lemay dilakukan dengan cara di Tamputn. Ini adalah kosakata dalam bahasa Dayak, baik dalam bahasa Dayak Ibanik dan dalam bahasa Dayak Bidayuhik maupun dalam bahasa Dayak Kanayatnik, yang dalam bahasa Indonesia kurang lebih bermakna penyambungan.

    Pada saat eksekusi dilakukan, tubuh kedua orang terdakwa itu disambungkan menjadi satu. Tubuh Lemay terlentang dan dan tubuh Juwah tertelungkup padanya. Tangan kanan Juwah di ikat dengan tangan kiri Lemay, dan tangan kiri Juwah di ikat dengan tangan kanan Lemay, begitu juga dengan kaki mereka. Setelah itu sebatang bambu runcing ditancapkan ke tubuh mereka berdua, kemudian tubuh mereka dihanyutkan di sungai sekayam. Eksekusi dilakukan oleh seorang algojo yang bernama Lujun. Sejak saat itu negeri kerajaan Panggau Banyau (Tampun Juwah) dikenal dengan sebutan negeri Tamputn Juwah.

Serangan Militer Kerajaan Hulu Aik (Kerajaan Lawai) Ke Kerajaan Pungau (tamputn juwah).
          Setelah pasukan kayau Singa Tedong Rusi (Jendral Ular King Cobra) mendapatkan ketujuh orang bayi tersebut, seperti dalam mimpinya. Kemudian Singa Tedong Rusi (Jendral Ular King Cobra) memerintahkan empat orang prajuritnya untuk pergi melakukan mata-mata ke ibukota kerajaan Panggau Banyau (Tampun Juwah) yang bernama kota Banyau. Mereka mencari informasi tentang situasi dan kondisi di kerajaan Panggau Banyau (Tamputn Juwah).

        Setelah mengetahui keadaan di kota Banyau, ke-empat orang mata-mata yang diutus tadi segera kembali ke kemah mereka dan menceritakan keadaan di kota Banyau kepada Singa Tedong Rusi (Jendral Ular King Cobra) dan prajurit lainnya. Mereka mengatakan bahwa situasi dan kondisi di ibukota kerajaan Panggau Banyau (Tamputn Juwah) yang bernama Banyau dalam keadaan aman dan tentram, serta penduduknya hidup makmur dan beradab yang hidup tertib karena diatur dengan hukum adat yang sangat kuat. Diceritakan juga bahwa didalam kota Banyau, terdapat bangunan keraton rumah panjang tempat kediaman raja, dan puluhan buah rumah panjang tempat tinggal penduduknya.

      Setelah mendengar cerita dari para mata-matanya, kemudian timbul keinginan didalam hati Singa Tedong Rusi (Jendral Ular King Cobra) untuk menyerang ibukota kerajaan Panggau Banyau (Tamputn Juwah) tersebut, dengan tujuan untuk menjarah semua harta penduduknya dan untuk menangkap banyak hulun (budak) baru. Untuk mewujudkan keinginannya tersebut, Singa Tedong Rusi (Jendral Ular King Cobra) kemudian memerintahkan kembali para mata-mata tersebut agar secepatnya pulang ke kota Labai  Lawai, untuk mengantar ketujuh bayi yang diambil beberapa hari yang lalu kepada raja Galor Mandang alias Raja Siag Bahulun (raja yang semakin memiliki banyak budak), supaya beliau mau memeliharanya, sekalian membujuk raja Galor Mandang alias Raja Siag Bahulun (raja yang semakin memiliki banyak budak) agar  beliau mengirim prajurit tambahan untuk menyerang kerajaan Panggau Banyau (Tampun Juwah).

          Ketika sampai di kota Labai Lawai, para prajurit yang membawa ketujuh bayi tersebut segera menemui raja Galor Mandang untuk mempersembahkan kepada beliau yang tidak memilik anak, agar dipelihara menjadi anak angkatnya. Selain itu mereka juga menceritakan bagaimana mereka menemui ketujuh bayi tadi, hingga bagaimana awal mulai mereka melakukan mata-mata ke kota Banyau ibukota kerajaan Panggau Banyau (Tampun Juwah).

       Juga, mereka mengatakan kepada raja bahwa situasi dan kondisi didalam kota Banyau dalam keadaan maju dan makmur, dan sang Pangalangok (Pemimpin Militer) kerajaan Hulu Aik yaitu Singa Tedong Rusi (Jendral Ular King Cobra) sangat berkeinginan menyerang kota Banyau. Untuk mewujudkan keinginan tersebut beliau berpesan agar raja mengirim prajurit tambahan untuk bergabung dengan prajurit lain, yang sedang menunggu di kemah mereka bersama Singa Tedong Rusi (Jendral Ular King Cobra).

Setelah mendengar cerita dari para mata-mata yang mengantar ketujuh bayi tadi, akhirnya raja Galor Mandang setuju kemudian memerintahkan pengumpulan prajurit tambahan untuk menyusul pasukan Singa Tedong Russi (jendral king cobra) yang sedang menunggu dikemah mereka. Keesokan harinya, ratusan prajurit Kerajaan Lawai (Hulu Aik) telah berkumpul dikota Labai Lawai dan siap untuk segera berangkat menuju kemah Singa tedong Russi (jendral king cobra). 
Sungai Labai di peta Google disebut Kali Cimanuk, merupakan jalur sungai yang dipakai oleh tentara kerajaan Lawai / Tanjungpura ketika melakukas serangan ke kerajaan Tampun Juah. Desa Kuala Labai kemungkinan besar merupakan lokasi kota Labai Lawai  ibukota kerajaan Lawai / Tanjungpura dimasa kuno. Kemungkinan lain adalah Teluk Batang atau Pulau Maya

Dari kota Labai Lawai ibukota kerajaan Lawai (Hulu Aik) yang lokasinya terletak dihilir dan dekat muara sungai Labai, dengan menggunakan beberapa buah perahu panjang, mereka bergerak ke arah utara menyusuri sungai Labai yaitu sebuah sungai yang pada peta Google dinamakan sungai Cimanuk (nama yang berbau intervensi dari pihak luar). Sungai Labai merupakan salah cabang sungai Kapuas yang bermuara di Kabupaten Kayong dimasa sekarang. Ketika telah sampai di bantaran utama sungai Kapuas, kemudian mereka berbelok ke arah kanan menuju kearah hulu Sungai Kapuas, hingga melintasi pulau Tayan, dan bergerak terus sampai ke muara sungai Sekayam. Dimuara sungai Sekayam, kemudian mereka berbelok ke arah kiri untuk memasuki bantaran sungai Sekayam.  
Desa Kuala Labai kemungkinan bekas kota Labai Lawai ibukota kerajaan Lawai atau Tanjungpura

Ketika sampai dikemah Singa tedong Rusi (Jendral Ular King Cobra), mereka berhenti sehari untuk beristirahat dan menyusun siasat. Keesokan-harinya mereka segera bergerak menuju ke arah hulu, ke lokasi dimana kota Banyau berada. Dari kejauhan rombongan pasukan Singa tedong Rusi (Jendral Ular King Cobra) tersebut, rupanya telah diketahui oleh penduduk kota Banyau, sehingga bersama dengan prajurit Kerajaan Panggau Banyau (Tampun Juah), mereka membendung kedatangan pasukan Singa tedong Rusi (Jendral Ular King Cobra) tersebut, akhirnya perangpun terjadi.

       Dalam peperangan ini laskar dari kerajaan Panggau Banyau (Tampun Juah) dengan gigih dan gagah berani berjuang melawan pasukan kerajaan Lawai (Hulu Aik) dibawah pimpinan Singa Tedong Rusi (Jendral Ular King Cobra). Dalam pertempuran ini tentara Singa Tedong Rusi (Jendral Ular King Cobra) dan melarikan diri ke arah hilir. Pada perang yang pertama ini, seluruh yang terlibat, baik tentara Kerajaan Panggau Banyau (Tamputn Juwah) maupun tentara Kerajaan Lawai (Hulu Aik) sama-sama berperang menggunakan senjata jarak jauh Bangsa Dayak yang disebut sumpit, oleh karena hal itu pula, maka perang yang pertama dikenal dengan nama Perang Sumpit.

       Setelah kalah dan prajuritnya banyak yang tewas, Singa Tedong Rusi (Jendral Ular King Cobra) bersama prajuritnya kembali ke kemah mereka dan menyusun siasat baru. Dengan mengadakan ritual gaib, kemudian mereka meminta bantuan kepada makhluk halus untuk bersama dengan mereka bergerak kembali ke kota Banyau untuk melakukan serangan yang kedua. Serangan yang kedua ini juga gagal, karena prajurit Kerajaan Lawai (Hulu Aik) yang dibantu makhluk halus juga dapat dikalahkan oleh prajurit kerajaan Panggau Banyau (Tamputn Juwah).

      Setelah serangan yang kedua juga gagal, kemudian mereka kembali menggunakan kesaktian yang mereka miliki. Kali ini mereka berusaha untuk memengaruhi hewan liar baik rimong (harimau kalimantan), macatn (harimau dahan), beruang, kijang, rusa, kulang (serigala) dan hewan lainnya, yang seluruhnya di arahkan dengan kekuatan gaib untuk menyerang kota Banyau. Peperangan yang ketiga akhirnya terjadi, namun pasukan berbagai spesies binatang tersebut juga dapat dikalahkan.

          Karena masih kurang puas dengan serangan yang ketiga kalinya, maka Singa Tedong Rusi (Jendral Ular King Cobra) kembali mencari cara yang lain, kali ini prajuritnya diperintahkan untuk menanam berbagai jenis jamur beracun diladang, dan sekitar pemukiman masyarakat kota Banyau pada malam hari, Akibatnya, banyak rakyat kerajaan Panggau Banyau (Tampun Juah) yang keracunan, tetapi keracunan ini dapat disembuhkan menggunakan akar dan tumbuhan hutan lainnya.

          Setelah penduduk kota Banyau sembuh dari racun kulat itu, ternyata efek racun tersebut berdampak pada perubahan intonasi bahasa, logat dan pengucapan kata-kata pada bahasa komunikasi yang menjadi bahasa keseharian penduduk kota Banyau. Kejadian ini kemudian menyebabkan timbulnya kelompok-kelompok bahasa baru yang berbeda dialek dan bunyi kata-kata walaupun masih dapat dimengerti (serumpun).

       Melihat perpecahan bahasa tersebut, Singa Tedong Rusi (Jendral Ular King Cobra) mengetahui bahwa hal itu merupakan suatu bentuk kelemahan dan menjadikan hal ini sebagai ide, untuk mengalahkan penduduk kerajaan Panggau Banyau (Tampun Juwah). Singa Tedong Rusi (Jendral Ular King Cobra) tahu bahwa untuk merebut dan mengalahkan kerajaan Panggau Banyau (Tampun Juwah) tidak mampu melalui perang, melainkan dengan mengotori wilayahnya.

      Pada saat keracunan terjadi dimana-mana, membuat kekuatan masyarakat kerajaan Panggau Banyau (Tampun Juwah) menjadi rapuh. Hal ini tidak disia-siakan oleh Singa Tedong Rusi (Jendral Ular King Cobra), sekali lagi mereka mengirimkan sihirnya yakni dengan cara mengotori setiap tempat kegiatan sehari-hari, tempat tinggal dan perabotan makan dengan kotoran. Karena kotoran terus-menerus muncul dan tak kunjung selesai dalam jangka waktu yang lama, akhirnya banyak masyarakat Tampun Juah menjadi sangat strees dan panik hingga menyebabkan seluruh penduduk kerajaan Panggau Banyau (Tampun Juah) menjadi gempar.

     Menyikapi hal itu maka para temenggung segera berkumpul untuk memecahkan permasalahan ini. Pekat Banyau (mupakat kota Banyau) dilakukan dan dari hasil mupakat (musyawarah ) diputuskan untuk meninggalkan Kerajaan Pungau (Tampun Juah) secara berangsur-angsur, inilah alkisah akhir dari keruntuhan kerajaan Panggau Banyau (Tamputn Juwah).

Menjadi Anak Angkat Raja Galor Mandang
          Setelah tujuh orang bayi Kranamuna (versi Ibanik: Juwah) dan istrinya Kranamuning (versi ibanik: Lemay) tersebut diterima raja, kemudian raja memberi nama kepada masing-masing bayi tersebut:

1. Putukng (Dayakng Putukng alias Putri Junjung Buih)
2. Layukng (Dayakng Bacalokng)
3. Pangalumpat (Dayakng Bakompat)
4. Bapurukng (Dayakng Baparas).
5. Suwuk Palunyap (Dayakng Mamal )
6. Palimmukng (Dayakng Maya Mangkalakng)
7. Sadong (Ria Bansa)

          Ketika mereka telah dewasa enam orang anak-anak angkat Raja Galor Mandang menikah dengan rakyat kerajaan Hulu Aik sendiri, sementara anak sulungnya yaitu; Dayakng Putukng atau Putri Junjung Buih menikah dengan bangsawan dari Kerajaan Majapahit yang bernama Brawijaya yang kelak menurunkan Raja Baparung di Sukadana, Raja Likar di Meliau dan Raja Mancar di Tayan.

Perpecahan Kerajaan Lawai (Hulu Aik) Dan Perpindahan Ibukota Kerajaan.

          Setelah raja Patih Galor Mandang meinggal dunia, beliau diganti oleh anak angkatnya yang bernama Sadong, yang tak lain adalah anak kandung Juwah dan Lemay penduduk kerajaan Panggau Banyau (Tampun Juwah) yang dihukum mati dengan cara di Tampun (penyambungan) dan mayat mereka dihanyutkan ke sungai Entabai dahulu. Ketika dinobatkan menjadi raja kerajaan Lawai (Hulu Aik), kepada raja Sadong diberi gelar Patih Ria Bansa. Sadong dengan istrinya melahirkan tiga orang anak yaitu Ukir dan Sarugi serta seorang putri yang bernama Dara Jampe yang diperistrikan oleh raja Patih Aria Magat dari kerajaan Bahanapura (Bangkule Rajakng).

     Kakak kandung raja Patih Sadong yang bernama Dayakng Putukng alias Putri Junjung Buih bersama suaminya yang berasal dari pulau Jawa yaitu seorang bangsawan Majapahit yang bernama Brawijaya lebih memilih membangun kerajaan mereka sendiri di kota Sukadana, sehingga kerajaan mereka dikenal dengan nama kerajaan Sukadana.

     Setelah raja Patih Sadong meninggal dunia, beliau digantikan oleh anak tertuanya yang bernama Ukir. Ketika dinobatkan menjadi raja, kepada Ukir diberi gelar Patih Umpu Garemekng. Pada waktu beliau berkuasa, agama islam mulai tersebar dikawasan pesisir Kalimantan dan di anut oleh sebagian besar pengungsi melayu. Para pengungsi melayu tersebut seluruhnya berasal dari pulau Sumatra. Mereka meninggalkan negerinya untuk menyelamatkan diri dari pembantaian yang dilakukan oleh tentara Singasari semasa ekspedisi Pamalayu. Selain oleh orang Melayu, agama Islam juga dianut oleh sebagian bangsawan kerajaan Lawai (Hulu Aik), terutama para keturunan Suwuk Palunyap (Dayakng Mamal) dan Palimmukng (Dayakng Maya Mangkalakng).

          Ketika agama Islam diperkenalkan di kota Labai Lawai ibukota kerajaan Lawai (Hulu Aik), adik kandung raja Ukir yang bernama Sarugi juga ikut memeluk agama islam dan mengubah namanya menjadi Giri Kesuma. Kejadian Sarugi yang memutuskan dirinya untuk menjadi mualaf itu akhirnya menyebabkan para bangsawan kerajaan Lawai (Hulu Aik) menjadi terpecah. Mereka yang nekat memeluk agama islam kemudian diusir dari lingkungan istana rumah panjang kota Labai Lawai. Setelah diusir, para bangsawan yang menjadi mualaf tersebut, seluruhnya memilih untuk pindah ke muara sungai Pawan, yang dekat dengan pemukiman komunitas pengungsi Melayu yang seluruhnya telah menganut agama Islam juga.

          Dimuara Sungai Pawan, Sarugi alias Giri Kesuma mendirikan kerajaan baru yang bernama kerajaan Matan Tanjungpura. Disana beliau mendapat legitimasi dan pengabdian yang loyal dari para pengungsi melayu tersebut. Sehingga mayoritas yang menjadi rakyat dari kerajaan raja Giri Kesuma tersebut adalah keturunan pengungsi Melayu.

          Setelah Raja Ukir meninggal, beliau diganti oleh anaknya yang bernama Bihukng Tiukng. Pada masa raja Patih Bihukng Tiukng berkuasa, dahwah agama Islam semakin menjadi-jadi di wilayah kerajaan Lawai (Hulu Aik), dengan maksud agar keturunannya terhindar dari dakwah Islam, raja Patih Bihukng Tiukng bersepakat dengan para bangsawan kerajaannya untuk memindahkan lokasi ibukota kerajaannya ke pedalaman, tepatnya di hulu batangan Kereho (sungai Kerio).

  Dengan berpindahnya lokasi ibukota kerajaan Lawai, kemudian menyebabkannya mulai dikenal dengan sebutan kerajaan Hulu Aik. Sebutan ini berasal dari bahasa Dayak Kereho (krio) yang artinya “Kerajaan Hulu Sungai”. Selain raja dan para bangsawan kerajaan Lawai (Hulu Aik), sebagian dari rakyatnya, yaitu masyarakat Dayak pesisir yang tidak mau menganut Islam, juga mengikuti jejak rajanya untuk segera pindah ke arah hulu atau pedalaman dan tinggal diantara saudara-saudaranya, yaitu warga Dayak Lokal yang sejak dahulu telah mendiami lokasi dimana istana baru didirikan.
Petrus Singa Bansa Raja kerajaan Lawai / Hulu Aik / Tanjungpura dimasa sekarang

        Pada masa sekarang, kerajaan Lawai (Hulu Aik) diperintah oleh raja Patih Petrus Singa Bansa, istananya terletak di Kampung Sengkuang, Desa Benua Krio, Kec. Hulu Sungai, Kabupaten Ketapang. Ia mempunyai seorang anak laki-laki yang bernama Edi Kurniawan. Di istana kerajaan Lawai (Hulu Aik), masih tersimpan benda-benda pusaka milik kerajaan seperti Koris Bosi Kolikng Tungkat Rakyat (Keris besi kuning tongkat rakyat)", yaitu sebilah keris yang terbuat dari besi kuning yang panjangnya 20 Cm. Selain itu juga terdapat banyak benda-benda pusaka lainnya, yang dimandikan raja dan keluarganya melalui Upacara Meruba yang diadakan tanggal 25 Juni, setiap tahun.



KESALAH-FAHAMAN: Menganggap Kerajaan Lawai (Hulu Aik) Alias Kerajaan Bakulapura Alias Kerajaan Tanjungpura Adalah Kerajaan Melayu.

      Bagi orang-orang yang tidak mengerti, menganggap bahwa kerajaan Lawai (Hulu Aik) alias kerajaan Bakulapura alias kerajaan Tanjungpura tersebut adalah kerajaan suku Melayu. Padahal sejatinya adalah sebuah kerajaan milik rumpun Dayak Kanayatnik Selatan, yaitu suku-suku Dayak Kereho (Kerio), Dayak Kayong, Dayak Pesaguan, Dayak Laur dan lain-lain.

        Awal mulai gelombang kedatangan sebagian kecil kelompok suku Melayu ke Kalimantan Barat adalah terjadi pada masa peristiwa serangan militer kerajaan Singasari yang disebut ekspedisi Pamalayu terhadap kerajaan Melayu di Sumatra dahulu. Kelompok terbesar kedatangan suku melayu ke Kalimantan Barat terjadi pada abad ke-15 Masehi, dimasa penyebaran agama Islam serta masa kejatuhan kerajaan Malaka milik suku Melayu disemenanjung Malaya ke tangan Portugis, hingga mencapai puncaknya yaitu pada abad ke -17 masehi.

       Ekspedisi Pamalayu adalah sebuah serangan militer besar yang dilakukan oleh kerajaan Singasari di Jawa Timur, terhadap kerajaan Melayu di hulu sungai Batang Hari, provinsi Jambi sekarang. Pada saat itu, dunia melayu menjadi “kalang-kabut”. Ibukota kerajaan Melayu, yaitu kota Darmasraya mengalami kehancuran, dan hampir seluruh penduduknya mati terbunuh karena kerasnya amukan puluhan ribu pasukan tentara Singasari itu.

     Penduduk-penduduk yang tinggal di luar kota Darmasraya banyak yang memilih melarikan diri ke daerah-daerah disekitarnya, dan tidak sedikit yang melarikan diri keluar dari pulau Sumatra. Sebagian besar suku Melayu melarikan diri ke Semenanjung Malaya yang sangat dekat dengan pulau Sumatra, yang lain melarikan diri ke pulau-pulau yang masuk pada wilayah provinsi Kepulauan Riau dimasa sekarang, dan sebagian lagi melarikan diri ke pulau Kalimantan.

     Ketika para pengungsi Melayu tiba di pantai-pantai Kalimantan Barat, kemudian mereka disebut “orang Laut” oleh penduduk asli Dayak, karena melihat para pengungsi Melayu tersebut datang dari arah lautan, inilah kejadian sejarah yang menjadi awal kenapa keturunan suku Melayu yang tinggal di Kalimantan Barat disebut “orang Laut”. Setelah mendarat di pantai-pantai Kalimantan Barat, orang-orang Melayu tersebut mulai membangun beberapa buah pemukiman di pesisir Kalimantan Barat.

      Para pengungsi Melayu yang mendarat di pantai-pantai yang menjadi bagian dari wilayah kerajaan Bahanapura (Bangkule Rajakng), yaitu pantai-pantai di wilayah kabupaten Mempawah dimasa sekarang, Setelah beberapa hari menetap di pesisir pantai, terdapat beberapa orang dari mereka yang memutuskan untuk memasuki batangan Karimawatn (Sungai Mempawah) dan bergerak hingga ke hulu. Ketika sampai di hulu, kemudian mereka mendarat di kota Bahana ibukota kerajaan Bahanapura (Bangkule Rajakng).

        Berbagai informasi yang didapatkan dari para pengungsi Melayu tersebut, kemudian disampaikan kepada raja Patih Rumaga pemimpin yang berkuasa dikerajaan Bahanapura (Bangkule Rajakng) pada waktu itu, bahwa kedatangan para pengungsi Melayu tersebut terjadi karena untuk menyelamatkan diri mereka dari pembantaian yang dilakukan oleh tentara kerajaan Singasari.
Istana kerajaan Lawai / Hulu Aik / Tanjungpura dimasa Belanda

       Berbekal informasi yang diteruskan kepada raja Patih Rumaga tersebut, akhirnya melatar-belakangi lahirnya adat mangkok merah pada waktu pertemuan akbar para raja-raja Dayak, yang para pendiri kerajaannya berasal dari kerajaan Bawakng. Adat mangkok merah itulah yang akan digunakan untuk menghimpun kekuatan ketika menghadapi serangan bala tentara yang berasal dari luar, khususnya untuk berjaga-jaga dalam menghadapi bala tentara kerajaan Singasari dan kerajaan Majapahit.
        
        Ketika Putri Junjung Buih dan suaminya Prabu Jaya, seorang bangsawan yang berasal dari kerajaan Majapahit, membangun kerajaannya sendiri yang berpusat di kota Sukadana, hingga menyebabkan kerajaan mereka itu dikenal dengan nama kerajaan Sukadana, mereka mendapatkan legitimasi dan pengabdian yang loyal dari para keturunan pengungsi melayu, yang pada waktu itu banyak terdapat dikota Sukadana, hingga akhirnya menyebabkan kerajaannya tumbuh sebagai kerajaan yang berbudaya Melayu.

          
      Pada abad ke-15 masehi, ketika agama Islam masuk ke pesisir Kalimantan Barat, seluruh penduduk pe-legitimasi dan pengabdi pada kerajaan Sukadana, yaitu orang-orang keturunan pengungsi Melayu, seluruhnya memilih menganut agama islam, demikian juga dengan para pemimpin di lingkungan istana Sukadana, mereka semua beralih dari penganut agama Hindu menjadi penganut agama Islam.

Berikut adalah Daftar Kerajaan-Kerajaan Yang Para Pendirinya Berasal Dari Keturunan Dinasti Kerajaan Lawai / Hulu Aik (Tanjungpura):

1.   Kerajaan Sanggau                              
    Didirikan Oleh; Sulong Alias Singa Tedong Rusi (Jendral Ular King Cobra) Alias Babai Cinga / Labai Singa (Singa / Jendral Dari Kota Labai), yang merupakan abang kandung raja Patih Galor Mandang alias raja Shiag Bahulun (raja yang semakin memiliki banyak hamba) bersama istrinya Dara Nante

2.   Kerajaan Sukadana  
Didirikan Oleh; Dayakng Putukng Alias Putri Junjung Buih, yang merupakan anak angkat raja Patih Galor Mandang alias raja Shiag Bahulun (raja yang semakin memiliki banyak hamba) bersama suaminya Prabu Jaya (Brawijaya)

3.   Kerajaan Matan / Ketapang
Didirikan Oleh; Sarugi Alias Giri Kesuma, yang merupakan cucu raja Patih Galor Mandang alias raja Shiag Bahulun (raja yang semakin memiliki banyak hamba), tepatnya adalah anak kandung dari raja Patih Sadong alias raja Patih Ria Bansa

4.   Kerajaan Simpakng
5.   Kerajaan Tayan
6.   Kerajaan Meliau

Berikut daftar raja-raja Kerajaan Lawai (Hulu Aik) / Bakulapura / Tanjungpura Yang Diketahui:
1.   Patih Lawai
2.   Patih Galor Mandang / Raja Shiag Bahulun
3.   Patih Sadong (Demong Sudek) / Patih Ria Bansa
4.   Patih Ukir / Patih Umpu Garemekng
5.   Patih Bihukng Tiung
6.   Patih Bansa Pati
7.   Patih Ira Bansa
8.   Patih Jambu
9.   Patih Bebek
10.               Patih Petrus Singa Bansa (Sekarang)


Catatan:
Harap difahami, bahwa yang disebut dengan nama kerajaan Tanjungpura atau Bakulapura adalah sama dengan kerajaan Lawai alias kerajaan Hulu Aik. Nama kuno atau nama paling awal dari kerajaan ini adalah kerajaan Lawai, nama ini berasal dari nama tokoh pendirinya yaitu Patih Lawai. Sementara nama kerajaan Bakulapura adalah sebutan versi (pemberian) kerajaan Singasari dan nama Tanjungpura adalah nama versi (pemberian) Majapahit. Namun, ketika raja dan para bangsawan dari kerajaan Lawai bertindak untuk menghindari agama Islam pada abad 15 Masehi dahulu, mereka memilih untuk memindahkan ibukotanya ke pedalaman, tepatnya ke daerah hulu sungai Kereho (Kerio) dan sejak saat itu, kerajaan Lawai alias kerajaan Bakulapura alias kerajaan Tanjungpura tersebut dikenal dengan sebutan KERAJAAN HULU AIK, artinya kerajaan yang pusat pemerintahannya terletak didaerah hulu.

0 komentar :

Posting Komentar

 

Translate

Label

Adat (5) Bigbang (14) Budaya (5) Dayak (10) Kerajaan Dayak (11) Multiverse (3)