Pada masa
awal berdirinya, kerajaan Hulu Aik
bernama “kerajaan Lawai”. Nama
tersebut berasal dari nama tokoh raja yang mendirikannya, yaitu raja Patih Lawai. Dimasa kerajaan Singasari eksis di Jawa Timur, oleh pihak
kerajaan Singasari, kerajaan Lawai
disebut kerajaan Bakulapura (Negeri
Tanjung). Hal ini disebabkan oleh lokasi dimana ibukota kerajaan Lawai (Hulu Aik) yaitu kota Labai Lawai dahulu pernah berdiri,
disitu banyak terdapat tumbuhan bunga bakula (Mimusops Elengi), yang
dalam bahasa rumpun Dayak Kanayatnik disebut dengan nama “Bunga Tanyukng (Bunga Tanjung)”,
sementara dalam bahasa rumpun Dayak Bidayuhik dikenal dengan disebutan “kembang
rempaga”. Kemudian sejak kerajaan Majapahit
eksis, kerajaan Lawai oleh pihak
Majapahit disebut dengan nama kerajaan
Tanjungpura, dimana nama ini merupakan terjemahan langsung dari nama Bakulapura.
Oleh bangsa
Eropa, khususnya penduduk kekaisaran Romawi, yang utusannya dahulu pernah datang ke pulau kalimantan yang dikenal
oleh orang Eropa dahulu dengan nama Tavobrana, mereka mencatat nama kerajaan Lawai dengan ejaan “Lave / Laue / Louis / Lava / Laua / Lawa”. Mereka menyebut
pemimpinnya dengan ejaan “Rachia”.
Kata ini dalam ejaan bahasa Indonesia sekarang adalah “Raja”.
Pemimpin
militer kerajaan tersebut memiliki pangkat
yang oleh mereka disebut dengan ejaan “Chinga”
yang dalam ejaan bahasa Indonesia sekarang adalah “Singa”. Pada adat budaya Dayak, pangkat “Singa”
adalah salahsatu pangkat yang
sering dimiliki oleh para panglima
perang Dayak yang menjadi pejabat Pangalangok
yaitu sebutan panglima tertinggi atau pemimpin
militer pada setiap kerajaan yang pernah dimiliki oleh bangsa Dayak.
Pangkat Singa
kurang-lebih setara dengan pangkat Jendral
pada pangkat kemiliteran dimasa kini.
Dikepulaun nusantara ini hanya kerajaan bangsa Dayak yang
menggunakan pangkat “Singa” untuk para panglima perang dari kerajaan mereka.
Selain pangkat “singa”, pangkat lain
yang juga sering dimiliki oleh para panglima perang kerajaan Dayak adalah
pangkat “Macan”. Pangkat “Macan”
adalah salahsatu pangkat para panglima tentara kerajaan Dayak yang pada masa
sekarang kurang-lebih setara dengan pangkat jendral Besar.
Pendiri Kerajaan Lawai (Hulu Aik)
Umumnya
orang luar menganggap bahwa pendiri kerajaan
Lawai (Hulu Aik) adalah Maniaka. Nama
Maniaka atau Sang Maniaka menjadi sangat populer
disebut-sebut sebagai
pendiri kerajaan Bakulapura alias kerajaan Tanjungpura alias kerajaan Lawai alias kerajaan Hulu Aik merupakan hasil intervensi dari pihak sejarahwan
orde baru. Bagi penduduk
aslinya, yaitu suku Dayak
yang terdapat di Kalimantan Barat bagian selatan, yang menjadi rakyat kerajaan Lawai (Hulu Aik) alias kerajaan Tanjungpura, mereka tidak pernah mengenal adanya tokoh yang disebut dengan nama Maniaka itu.
Nama
Maniaka tersebut samasekali terdengar
sangat asing. Rakyat asli kerajaan Lawai (Hulu Aik) alias kerajaan Bakulapura (Tanjungpura) lebih
mengenal tokoh yang bernama Patih Lawai
sebagai pendirinya. Patih Lawai
sendiri adalah manusia Dayak asli yang lahir dari seorang ayah bernama Kandoag dan ibu bernama Dayakng Kumpa. Patih lawai memiliki lima orang saudara kandung, mereka adalah; Sindih, Dumba, Mohan, Landeg dan Doweg. Ketika
dewasa, Lawai
menikah dengan Sintemaung. Mereka
dikaruniai sebanyak tujuh orang anak laki-laki. Anak-anak mereka itu adalah; Sulong, Sogar,
Gondong, Binong, Muit, Sangkulur dan Galormandang.
Setelah
istri beliau melahirkan putranya
yang ke-tujuh,
maka sesuai dengan tradisi aturan adat kuno yang
berlaku pada bangsa Dayak, yang mengharuskan agar ayah dari ketujuh
orang anak yang berjenis kelamin sama, yaitu dari anak yang pertama sampai anak yang ketujuh secara
berurutan tersebut diangkat menjadi raja, lalu oleh rakyat yang tinggal diwilayah dimana beliau
tinggal, beliau langsung dinobatkan untuk menjadi raja pertama didaerah tersebut. Setelah dinobatkan menjadi
raja, kepada beliau diberi gelar Patih.
Gelar Patih disini adalah Patih yang bukan berasal dari bahasa
Sanskerta, melainkan gelar Patih yang
berasal dari Bahasa Dayak, yang artinya “memang
sangat bernasib putih / mujur”,
mengingat beliau ditakdirkan oleh Tuhan untuk menjadi raja, yang mana oleh
Tuhan kepada Lawai dikaruniakan dengan tujuh orang anak yang berjenis kelamin
sama, hal itu adalah sebagai tanda bahwa Tuhan memilih beliau untuk menjadi raja.
Karena
Galor Mandang adalah “sang penentu”
bagi ayahnya dalam menjadi raja, maka Galor
Mandang memiliki hak istimewa untuk menjadi pengganti ayahnya, dan sejak
itu pula garis keturunan raja harus diutamakan
melalui
anak-anaknya. Namun meskipun demikian, disebabkan selama pernikahan beliau dengan istrinya tidak memiliki anak, maka beliau dan istrinya lebih memilih mengangkat anak
orang lain.
Istana Kerajaan Hulu Aik Dimasa Sekarang
Setelah Patih Lawai meninggal dunia, beliau
digantikan oleh anak bungsunya yang bernama Galor
Mandang. Dimasa Patih Galor
Mandang berkuasa di kerajaan Lawai
(Hulu Aik), Militer kerajaannya dipimpin oleh seorang Pangalangok (Pemimpin Militer Kerajaan Dayak) yang bernama Singa
Sulong (Jendral Sulong). Beliau adalah abang kandung yang pertama dari raja Galor
Mandang.
Singa Sulong (jendral Sulong) adalah seorang Dayak yang sangat bengis dan licik. Ia
menjadi sangat terkenal karena berbagai bentuk kekejaman yang pernah dilakukan olehnya, sehingga menyebabkannya sangat dibenci oleh rakyat
kerajaan-kerajaan yang pernah diserang oleh pasukan kayau yang dipimpinnya, dan
dibenci juga oleh rakyat kerajaan Lawai
(Hulu Aik) sendiri. Karena
perangainya yang sangat kejam, akhirnya Singa
Sulong dijuluki oleh rakyat kerajaan Lawai
(Hulu Aik) sebagai Singa
Tedong Rusi yang bearti “jendral
ular king cobra”.
Kerajaan Lawai pada peta Petrus Bertius (1616 M) ditulis dengan ejaan Lave |
Singa Sulong (jendral Sulong) bersama sejumlah prajuritnya sering
melakukan pengayauan ke daerah lain, karena itu beliau sangat jarang berada
dikota Labai Lawai. Semasa mengayau,
beliau tidak hanya memburu kepala para pemimpin Dayak lain saja, namun
seringkali beliau dan prajuritnya menangkap banyak rakyat dari para pemimpin yang
dikayaunya. Umumnya yang ditangkap adalah anak laki-laki remaja. Para tawanan
tersebutlah yang banyak menjadi hamba atau budak di kerajaan Lawai (Hulu Aik) dahulu. Bahkan para
budak tersebut juga banyak dijadikan
prajurit kerajaan Lawai (Hulu Aik). Para prajurit muda tersebut kebanyakan berasal dari
orang-orang Biaju, yaitu sebutan bagi orang-orang Dayak Ngaju Kalimantan Tengah
dimasa kuno.
Karena kebiasaan Pangalangok (Pemimpin Militer) kerajaan Lawai (Hulu Aik) yang banyak menangkap dan mempersembahkan banyak
budak kepada rajanya itulah yang menjadi penyebab raja Patih Galor Mandang dijuluki oleh rakyatnya sebagai raja SHIAG
BAHULUN (didalam ejaan EYD baku ditulis: SIAK BAHULUN) tersebut. Secara harafiah, kata SHIAG
bearti SEMAKIN dan BAHULUN bearti BERBUDAK atau
BERHAMBA. Jadi yang dimaksudkan dengan julukan RAJA SHIAG BAHULUN adalah SEORANG
RAJA YANG SEMAKIN MEMILIKI BANYAK BUDAK / HAMBA. Singa
Sulong (Jendral Sulong) atau Singa Tedong Russi
(Jendral Ular King Cobra) sendiri kemudian di kenal juga dengan
sebutan Singa Siag Bahulun yang artinya “jendral
dari raja yang semakin
memiliki banyak hamba”.
Serangan Militer Kerajaan Hulu Aik Terhadap Kerajaan Panggau Banyau (Tampun
Juwah).
Pada
suatu waktu rombongan pasukan kayau dari kerajaan Hulu Aik, sedang beristirahat
di pinggiran sungai Sekayam. Saat beristirahat, pemimpin mereka Singa Tedong Rusi (Jendral Ular King Cobra)
tertidur pulas dan bermimpi. Didalam mimpinya dia mendapat mandat untuk
mengambil tujuh orang bayi yang diletakan di dalam tujuh ruas bambu yang
dihanyut dengan lanting
(rakit) bambu oleh orang tuanya yang
bernama Kranamuna (versi Dayak Ibanik: Juwah) dan Kranamuning (versi Dayak Ibanik: Lemay).
Ketika
terbangun, Singa Tedong Rusi (Jendral Ular King Cobra) kemudian
memerintahkan para prajuritnya untuk menunggu lanting yang hanyut dan mengambil
sebatang bambu yang ke-tujuh ruasnya berisi bayi-bayi tersebut. Ketika lanting
(rakit) yang dimaksud tiba, salahsatu prajuritnya menarik lanting (rakit) tersebut dan mengambil
bambu yang berisi bayi tersebut. Lalu Ruas Bambu tersebut dibelah dan mereka
mendapati tujuh bayi, seperti dalam mimpinya. Pada ruas pertama, terdapat bayi perempuan, dia adalah
bayi yang pertama dilahirkan, bersama dia terdapat sepotong logam besi, bayi itulah
yang akan dikenal sebagai Dayakng Putukng
alias Putri Junjung Buih kelak.
Kemudian pada ruas bambu terakhir, terdapat seorang bayi laki-laki yang bersama
dia terdapat bongkahan emas besar yang berbentuk buah mentimun, bayi itulah yang kelak dikenal dengan nama Sadong tersebut.
Juwah Dan Lemay Menurut Rakyat Kerajaan Panggau
Banyau (Tampun Juwah) Adalah Tokoh Karanamuna
Dan Kranamuning Menurut Rakyat Kerajaan Lawai (Hulu Aik).
Pada
jaman dahulu di kota Banyau ibukota
kerajaan Panggau Banyau (Tampun Juwah)
yaitu kerajaan tetangga dari kerajaan Lawai
(Hulu Aik), dari antara ribuan
penduduknya, hiduplah dua orang saudara kandung (Versi Dayak Ibanik: Saudara sepupu),
yang laki-laki bernama Kranamuna (Versi Dayak Ibanik:
Juwah) dan yang perempuan bernama Kranamuning (Versi Dayak Ibanik: Lemay). Kedua anak muda tersebut
melakukan pelanggaran adat yang sangat berat yakni melakukan hubungan badan
sedarah atau yang dikenal dengan istilah insets.
Awalnya
Kranamuna (Versi Dayak Ibanik:
Juwah) meminta supaya Kranamuning
(Versi Dayak Ibanik: Lemay)
mencari kutu di kepalanya. Ketika mencari kutu tersebut, Kranamuning mendapati dua ekor kutu yang sedang berdekapan di atas
kepala Kranamuna. Karena penasaran
ingin merasakan berdekapan seperti dua ekor kutu tersebut, kemudian Kranamuning mengajak Kranamuna untuk mengikuti perbuatan
kedua ekor kutu tersebut. Sewaktu mereka berdekapan, nafsu birahi sebagai
manusia normal bangkit kepada mereka berdua hingga perbuatan hubungan Insets mereka lakukan. Kejadian ini, mengakibatkan Kranamuning
(Versi Dayak Ibanik: Lemay) hamil, yang kemudian dirahasiakan oleh orang tua
mereka.
Selama
mengandung, Kranamuning
tidak menunjukan gejala apapun, yang ada ia hanya mengidam ingin memakani hati
Kera putih (Kera Albino). Untuk memenuhi keinginan Kranamuning tersebut, maka suatu hari berangkatlah Kranamuna kedalam hutan untuk memburu kera
putih (Kera Albino). Ia pergi hanya membawa sebilah mandau dan sebatang sumpit bersama puluhan damek-nya
(anak sumpit). Ketika Kranamuna
telah berhasil mendapatkan
hati kera putih (Kera Albino), dia segera pulang.
Setelah beberapa
hari berada dirumah, kemudian
adiknya yaitu Kranamuning
melahirkan sebanyak tujuh orang anak. Bermaksud untuk menghilangkan jejak agar tidak diketahui
oleh penduduk kota Banyau, akhirnya Kranamuna
bersama dengan kedua orang
tuanya memilih untuk segera memasukan
tujuh bayi itu ke dalam sebatang bambu Betung (Dendrocalamus
asper) yang berukuran cukup
besar, yang telah dipotong
dan hanya menyisakan sebanyak tujuh ruas bambu yang bagian sisi atas dari ketujuh ruasnya telah dibuka (dibelah).
Ketujuh
orang bayi tersebut dimasukkan ke dalam tiap ruas bambu secara berurutan, dari
yang sulung sampai yang bungsu. Ketika dimasukan ke dalam ruas bambu, yang
sulung dibekali sepotong
logam dan yang bungsu dibekali bongkahan emas besar yang berbentuk buah mentimun,
sementara lima anak yang lain tanpa dibekali benda apapun. Setelah itu batang
bambu yang telah berisi tujuh bayi tadi diikat diatas lanting bambu dan
dihanyutkan disungai Sekayam.
Beberapa
hari kemudian perbuatan keluarga Juwah
dan Lemay telah diketahui oleh
penduduk kota Banyau, mereka berdua
di tangkap dan dijatuhi hukuman mati. Menurut versi rakyat kerajaan Lawai (Hulu Aik) bahwa hukuman
terhadap Kranamuna (versi Ibanik: Juwah) dan Kranamuning (Versi Dayak Ibanik:
Lemay) dilakukan dengan cara memasukan tubuh mereka berdua yang telah diikat ke
dalam sebuah Bubu (perangkap ikan)
berukuran besar, yang terbuat dari Bemban
(nama
tumbuhan). Setelah itu, Bubu tersebut dihanyutkan
di sungai Entabai yaitu salahsatu
anak sunga Sekayam yang
mengalir disisi kota Banyau.
Sementara
menurut versi Dayak Ibanik penduduk kerajaan Panggau Banyau (Tampun Juwah), bahwa eksekusi terhadap Juwah dan Lemay dilakukan dengan
cara di Tamputn. Ini adalah kosakata dalam bahasa Dayak, baik dalam
bahasa Dayak Ibanik dan
dalam bahasa Dayak
Bidayuhik maupun dalam bahasa Dayak
Kanayatnik, yang dalam bahasa Indonesia kurang lebih bermakna “penyambungan”.
Pada
saat eksekusi dilakukan, tubuh kedua orang terdakwa itu disambungkan
menjadi satu. Tubuh Lemay
terlentang dan dan tubuh Juwah tertelungkup padanya. Tangan kanan Juwah di
ikat dengan tangan kiri Lemay, dan
tangan kiri Juwah di ikat dengan
tangan kanan Lemay, begitu juga
dengan kaki mereka. Setelah itu sebatang bambu runcing
ditancapkan ke tubuh mereka berdua,
kemudian
tubuh mereka dihanyutkan di sungai sekayam. Eksekusi dilakukan oleh seorang
algojo yang bernama Lujun. Sejak saat
itu negeri kerajaan Panggau Banyau
(Tampun Juwah) dikenal dengan sebutan negeri Tamputn Juwah.
Serangan Militer Kerajaan Hulu
Aik (Kerajaan Lawai) Ke Kerajaan Pungau (tamputn juwah).
Setelah
pasukan kayau Singa Tedong Rusi (Jendral Ular King Cobra) mendapatkan ketujuh orang bayi tersebut, seperti dalam mimpinya. Kemudian Singa
Tedong Rusi
(Jendral Ular King Cobra) memerintahkan empat orang prajuritnya untuk pergi melakukan mata-mata ke ibukota kerajaan Panggau Banyau (Tampun Juwah)
yang bernama kota Banyau. Mereka
mencari informasi tentang situasi dan kondisi di kerajaan Panggau Banyau (Tamputn Juwah).
Setelah
mengetahui keadaan di kota Banyau, ke-empat orang
mata-mata yang diutus tadi segera kembali
ke kemah mereka dan menceritakan keadaan di kota Banyau kepada Singa Tedong
Rusi (Jendral Ular King Cobra) dan
prajurit lainnya. Mereka mengatakan bahwa situasi dan kondisi di ibukota kerajaan Panggau Banyau (Tamputn Juwah)
yang bernama Banyau dalam keadaan aman dan tentram, serta
penduduknya hidup makmur dan beradab yang
hidup tertib karena
diatur dengan hukum adat yang sangat kuat. Diceritakan juga bahwa didalam kota Banyau,
terdapat bangunan keraton rumah panjang tempat kediaman raja, dan puluhan buah rumah panjang tempat tinggal
penduduknya.
Setelah
mendengar cerita dari para mata-matanya, kemudian timbul keinginan didalam hati Singa
Tedong Rusi
(Jendral Ular King Cobra) untuk menyerang ibukota kerajaan Panggau Banyau (Tamputn Juwah)
tersebut, dengan tujuan untuk menjarah semua harta penduduknya dan untuk menangkap banyak hulun (budak) baru. Untuk mewujudkan
keinginannya tersebut, Singa Tedong Rusi (Jendral Ular King Cobra) kemudian
memerintahkan kembali para mata-mata tersebut agar secepatnya pulang ke kota Labai Lawai, untuk mengantar
ketujuh bayi yang diambil beberapa hari yang lalu kepada raja Galor Mandang alias Raja Siag
Bahulun (raja yang semakin memiliki banyak budak), supaya beliau mau memeliharanya, sekalian
membujuk raja Galor Mandang alias Raja
Siag Bahulun (raja
yang semakin memiliki banyak budak) agar
beliau mengirim
prajurit tambahan untuk menyerang kerajaan Panggau Banyau (Tampun Juwah).
Ketika
sampai di kota Labai Lawai,
para prajurit yang membawa ketujuh bayi tersebut segera menemui raja Galor Mandang untuk mempersembahkan kepada beliau yang
tidak memilik anak, agar
dipelihara menjadi anak angkatnya. Selain itu mereka juga menceritakan
bagaimana mereka menemui ketujuh bayi tadi, hingga bagaimana awal mulai mereka melakukan mata-mata ke kota Banyau ibukota kerajaan Panggau Banyau (Tampun Juwah).
Juga,
mereka mengatakan kepada raja bahwa situasi
dan kondisi didalam kota Banyau
dalam keadaan maju dan makmur, dan sang Pangalangok
(Pemimpin Militer)
kerajaan
Hulu Aik yaitu Singa Tedong Rusi
(Jendral Ular King Cobra) sangat berkeinginan menyerang kota Banyau. Untuk mewujudkan keinginan
tersebut beliau berpesan agar raja mengirim prajurit tambahan untuk bergabung
dengan prajurit lain, yang sedang menunggu di kemah mereka bersama Singa Tedong Rusi (Jendral Ular King Cobra).
Setelah mendengar cerita dari para mata-mata
yang mengantar ketujuh bayi tadi, akhirnya raja Galor Mandang setuju kemudian memerintahkan pengumpulan prajurit
tambahan untuk menyusul pasukan Singa
Tedong Russi (jendral king cobra) yang sedang menunggu dikemah mereka.
Keesokan harinya, ratusan prajurit Kerajaan
Lawai (Hulu Aik) telah berkumpul dikota Labai
Lawai dan siap untuk segera berangkat menuju kemah Singa tedong Russi (jendral king cobra).
Dari kota Labai
Lawai ibukota kerajaan Lawai (Hulu
Aik) yang lokasinya terletak dihilir dan dekat muara sungai Labai, dengan menggunakan beberapa buah perahu
panjang, mereka bergerak ke arah utara
menyusuri sungai Labai yaitu
sebuah sungai yang pada peta Google
dinamakan sungai Cimanuk (nama yang
berbau intervensi dari pihak luar). Sungai Labai merupakan salah cabang sungai Kapuas yang bermuara di Kabupaten Kayong dimasa sekarang. Ketika telah
sampai di bantaran utama sungai Kapuas,
kemudian mereka berbelok ke arah kanan menuju kearah hulu Sungai Kapuas, hingga
melintasi pulau Tayan, dan bergerak terus sampai ke muara sungai Sekayam.
Dimuara sungai Sekayam, kemudian mereka berbelok ke arah kiri untuk memasuki bantaran
sungai Sekayam.
Desa Kuala Labai kemungkinan bekas kota Labai Lawai ibukota kerajaan Lawai atau Tanjungpura |
Ketika sampai dikemah Singa
tedong Rusi (Jendral Ular King Cobra), mereka berhenti
sehari untuk beristirahat dan menyusun siasat. Keesokan-harinya mereka segera bergerak
menuju ke arah hulu, ke lokasi dimana kota Banyau
berada. Dari kejauhan rombongan
pasukan Singa tedong Rusi (Jendral Ular
King Cobra) tersebut, rupanya telah diketahui oleh penduduk kota Banyau, sehingga
bersama dengan prajurit Kerajaan Panggau
Banyau (Tampun Juah), mereka membendung kedatangan pasukan Singa tedong Rusi (Jendral Ular King Cobra) tersebut,
akhirnya perangpun terjadi.
Dalam
peperangan ini laskar dari kerajaan Panggau Banyau (Tampun Juah)
dengan gigih dan gagah berani berjuang melawan pasukan kerajaan Lawai (Hulu Aik) dibawah pimpinan Singa Tedong Rusi
(Jendral Ular King Cobra). Dalam pertempuran ini tentara Singa Tedong Rusi (Jendral Ular King Cobra) dan
melarikan diri ke arah hilir. Pada perang yang pertama ini, seluruh yang terlibat, baik tentara Kerajaan
Panggau Banyau (Tamputn Juwah)
maupun tentara Kerajaan Lawai (Hulu
Aik) sama-sama
berperang menggunakan senjata jarak jauh Bangsa Dayak yang disebut sumpit, oleh
karena hal itu pula, maka perang yang pertama dikenal dengan nama Perang
Sumpit.
Setelah
kalah dan prajuritnya banyak yang tewas, Singa
Tedong Rusi
(Jendral Ular King Cobra) bersama
prajuritnya kembali ke kemah mereka dan menyusun siasat baru. Dengan mengadakan
ritual gaib, kemudian mereka meminta bantuan kepada makhluk halus untuk bersama
dengan mereka bergerak kembali ke kota Banyau
untuk melakukan serangan yang kedua. Serangan yang kedua ini juga gagal, karena
prajurit Kerajaan Lawai (Hulu
Aik) yang dibantu makhluk halus juga dapat
dikalahkan oleh prajurit kerajaan Panggau Banyau
(Tamputn Juwah).
Setelah
serangan yang kedua juga gagal, kemudian mereka kembali menggunakan
kesaktian yang mereka miliki. Kali ini mereka berusaha untuk memengaruhi hewan
liar baik rimong (harimau kalimantan),
macatn (harimau dahan), beruang,
kijang, rusa, kulang (serigala) dan
hewan lainnya, yang seluruhnya di arahkan dengan kekuatan gaib untuk menyerang
kota Banyau. Peperangan yang ketiga
akhirnya terjadi, namun pasukan berbagai spesies binatang tersebut juga dapat
dikalahkan.
Karena
masih kurang puas dengan serangan
yang ketiga kalinya, maka Singa
Tedong Rusi
(Jendral Ular King Cobra) kembali mencari cara yang lain, kali ini prajuritnya diperintahkan untuk
menanam berbagai jenis
jamur beracun diladang, dan sekitar pemukiman masyarakat kota Banyau pada
malam hari, Akibatnya,
banyak
rakyat kerajaan Panggau
Banyau (Tampun
Juah) yang keracunan, tetapi keracunan ini
dapat disembuhkan menggunakan akar dan tumbuhan hutan lainnya.
Setelah
penduduk kota Banyau
sembuh
dari racun kulat itu, ternyata efek racun tersebut berdampak pada perubahan
intonasi bahasa, logat dan pengucapan kata-kata pada bahasa komunikasi yang menjadi bahasa
keseharian penduduk kota Banyau. Kejadian ini kemudian menyebabkan timbulnya kelompok-kelompok
bahasa baru yang
berbeda dialek dan bunyi
kata-kata walaupun masih dapat dimengerti (serumpun).
Melihat
perpecahan bahasa tersebut, Singa Tedong
Rusi (Jendral Ular King Cobra) mengetahui bahwa hal itu merupakan suatu bentuk kelemahan dan menjadikan hal ini sebagai
ide, untuk mengalahkan penduduk kerajaan Panggau Banyau
(Tampun Juwah). Singa
Tedong Rusi
(Jendral Ular King Cobra) tahu bahwa untuk merebut dan mengalahkan
kerajaan Panggau Banyau (Tampun Juwah)
tidak mampu melalui perang, melainkan
dengan mengotori wilayahnya.
Pada
saat keracunan terjadi dimana-mana, membuat kekuatan masyarakat kerajaan Panggau Banyau (Tampun Juwah)
menjadi rapuh. Hal ini tidak disia-siakan oleh Singa Tedong Rusi
(Jendral Ular King Cobra), sekali lagi mereka mengirimkan
sihirnya yakni dengan cara mengotori setiap tempat kegiatan sehari-hari, tempat
tinggal dan perabotan makan dengan kotoran. Karena kotoran terus-menerus muncul
dan tak kunjung selesai dalam jangka waktu yang lama, akhirnya banyak masyarakat Tampun Juah menjadi
sangat strees dan panik hingga menyebabkan seluruh penduduk kerajaan Panggau Banyau (Tampun Juah) menjadi
gempar.
Menyikapi hal itu maka para temenggung
segera berkumpul untuk memecahkan permasalahan
ini. Pekat Banyau (mupakat kota Banyau)
dilakukan dan dari hasil mupakat (musyawarah ) diputuskan untuk meninggalkan
Kerajaan Pungau (Tampun Juah) secara berangsur-angsur, inilah alkisah akhir dari keruntuhan kerajaan Panggau Banyau (Tamputn Juwah).
Menjadi Anak Angkat Raja Galor
Mandang
Setelah
tujuh orang bayi Kranamuna
(versi Ibanik: Juwah) dan
istrinya Kranamuning (versi ibanik:
Lemay) tersebut diterima raja, kemudian raja memberi nama kepada
masing-masing bayi tersebut:
1. Putukng (Dayakng Putukng alias Putri Junjung
Buih)
2. Layukng (Dayakng Bacalokng)
3. Pangalumpat (Dayakng Bakompat)
4. Bapurukng (Dayakng Baparas).
5. Suwuk Palunyap (Dayakng Mamal )
6. Palimmukng (Dayakng Maya Mangkalakng)
7. Sadong (Ria Bansa)
Ketika
mereka telah dewasa enam orang
anak-anak angkat Raja Galor Mandang
menikah dengan rakyat kerajaan Hulu Aik sendiri, sementara anak sulungnya yaitu; Dayakng
Putukng atau Putri Junjung
Buih menikah dengan bangsawan dari Kerajaan Majapahit yang bernama Brawijaya yang kelak menurunkan Raja Baparung di Sukadana,
Raja Likar di Meliau dan Raja Mancar di Tayan.
Perpecahan Kerajaan Lawai (Hulu Aik) Dan Perpindahan Ibukota Kerajaan.
Setelah raja Patih Galor
Mandang meinggal dunia, beliau diganti oleh anak angkatnya yang bernama Sadong,
yang tak lain adalah anak kandung Juwah
dan Lemay penduduk kerajaan Panggau Banyau (Tampun Juwah) yang
dihukum mati dengan cara di Tampun
(penyambungan) dan mayat mereka dihanyutkan ke sungai Entabai dahulu. Ketika
dinobatkan menjadi raja kerajaan Lawai (Hulu Aik), kepada raja Sadong diberi gelar Patih Ria Bansa. Sadong dengan
istrinya melahirkan tiga
orang anak yaitu Ukir dan
Sarugi serta seorang putri yang bernama Dara Jampe yang diperistrikan oleh raja Patih Aria Magat dari kerajaan Bahanapura (Bangkule Rajakng).
Kakak
kandung raja Patih Sadong yang bernama Dayakng Putukng alias Putri
Junjung Buih bersama suaminya yang berasal dari pulau Jawa yaitu seorang
bangsawan Majapahit yang bernama Brawijaya
lebih memilih membangun kerajaan mereka sendiri di
kota Sukadana, sehingga kerajaan mereka dikenal dengan nama
kerajaan Sukadana.
Setelah
raja Patih Sadong meninggal dunia, beliau digantikan oleh anak tertuanya yang
bernama Ukir. Ketika dinobatkan menjadi
raja, kepada Ukir diberi gelar Patih Umpu Garemekng. Pada
waktu beliau berkuasa, agama islam mulai tersebar
dikawasan pesisir Kalimantan dan di anut oleh sebagian besar pengungsi
melayu. Para pengungsi
melayu tersebut seluruhnya
berasal dari pulau Sumatra. Mereka meninggalkan negerinya untuk menyelamatkan diri dari pembantaian yang
dilakukan oleh tentara Singasari
semasa ekspedisi Pamalayu. Selain
oleh orang Melayu, agama Islam juga dianut oleh sebagian bangsawan kerajaan Lawai (Hulu Aik), terutama para
keturunan Suwuk Palunyap (Dayakng Mamal)
dan Palimmukng (Dayakng Maya
Mangkalakng).
Ketika
agama Islam diperkenalkan di kota Labai
Lawai ibukota kerajaan Lawai (Hulu Aik), adik kandung raja Ukir
yang
bernama Sarugi juga ikut memeluk
agama islam dan mengubah namanya menjadi Giri
Kesuma. Kejadian Sarugi yang memutuskan dirinya untuk menjadi
mualaf itu akhirnya
menyebabkan para bangsawan kerajaan Lawai (Hulu Aik) menjadi terpecah. Mereka
yang nekat memeluk agama islam kemudian diusir dari lingkungan istana rumah panjang kota
Labai Lawai. Setelah diusir, para
bangsawan yang menjadi mualaf tersebut, seluruhnya memilih untuk pindah ke muara sungai Pawan, yang dekat
dengan pemukiman komunitas pengungsi
Melayu yang seluruhnya telah menganut
agama Islam juga.
Dimuara Sungai Pawan, Sarugi alias Giri Kesuma mendirikan kerajaan baru yang bernama kerajaan Matan Tanjungpura. Disana beliau mendapat legitimasi dan pengabdian yang loyal dari para pengungsi melayu tersebut. Sehingga mayoritas yang menjadi rakyat dari kerajaan raja Giri Kesuma tersebut adalah keturunan pengungsi Melayu.
Setelah Raja Ukir
meninggal,
beliau diganti oleh anaknya yang bernama Bihukng
Tiukng. Pada masa raja Patih Bihukng Tiukng berkuasa, dahwah agama Islam semakin menjadi-jadi di wilayah
kerajaan Lawai (Hulu Aik), dengan maksud agar keturunannya terhindar dari
dakwah Islam, raja Patih Bihukng Tiukng
bersepakat dengan para bangsawan kerajaannya untuk memindahkan lokasi ibukota
kerajaannya ke pedalaman, tepatnya di hulu batangan Kereho (sungai Kerio).
Dengan berpindahnya
lokasi ibukota kerajaan Lawai,
kemudian menyebabkannya mulai dikenal dengan sebutan kerajaan Hulu Aik. Sebutan ini berasal dari bahasa Dayak Kereho (krio) yang artinya “Kerajaan Hulu Sungai”. Selain raja dan para bangsawan kerajaan
Lawai (Hulu Aik), sebagian
dari rakyatnya,
yaitu masyarakat
Dayak pesisir yang tidak mau menganut Islam, juga mengikuti jejak rajanya untuk segera pindah ke arah hulu atau pedalaman dan tinggal diantara saudara-saudaranya,
yaitu warga Dayak Lokal yang sejak dahulu telah mendiami lokasi dimana istana
baru didirikan.
Petrus Singa Bansa Raja kerajaan Lawai / Hulu Aik / Tanjungpura dimasa sekarang |
Pada masa
sekarang, kerajaan Lawai (Hulu Aik)
diperintah oleh raja Patih Petrus Singa Bansa, istananya terletak di Kampung Sengkuang, Desa
Benua Krio, Kec. Hulu Sungai, Kabupaten Ketapang.
Ia mempunyai seorang anak laki-laki
yang
bernama Edi Kurniawan. Di istana
kerajaan Lawai (Hulu
Aik), masih tersimpan benda-benda pusaka
milik kerajaan seperti “Koris
Bosi Kolikng Tungkat Rakyat (Keris besi kuning tongkat rakyat)",
yaitu sebilah keris yang terbuat dari besi kuning yang panjangnya 20 Cm. Selain itu juga terdapat banyak benda-benda
pusaka lainnya,
yang dimandikan raja dan keluarganya melalui Upacara Meruba yang diadakan tanggal 25 Juni, setiap tahun.
KESALAH-FAHAMAN: Menganggap
Kerajaan Lawai (Hulu Aik) Alias
Kerajaan Bakulapura Alias Kerajaan Tanjungpura Adalah Kerajaan Melayu.
Bagi orang-orang
yang tidak mengerti, menganggap
bahwa kerajaan Lawai (Hulu Aik) alias kerajaan Bakulapura alias kerajaan
Tanjungpura tersebut adalah kerajaan suku Melayu. Padahal sejatinya
adalah sebuah kerajaan milik rumpun Dayak
Kanayatnik Selatan, yaitu suku-suku Dayak
Kereho (Kerio), Dayak Kayong, Dayak Pesaguan, Dayak Laur dan lain-lain.
Awal mulai
gelombang kedatangan sebagian kecil kelompok suku Melayu ke Kalimantan Barat adalah terjadi pada
masa peristiwa serangan militer kerajaan Singasari yang disebut ekspedisi Pamalayu terhadap kerajaan Melayu di Sumatra dahulu.
Kelompok terbesar kedatangan suku melayu ke Kalimantan Barat terjadi pada abad ke-15 Masehi, dimasa
penyebaran agama Islam serta masa kejatuhan kerajaan Malaka milik suku Melayu
disemenanjung Malaya ke tangan Portugis, hingga mencapai puncaknya yaitu pada abad ke -17 masehi.
Ekspedisi Pamalayu
adalah sebuah serangan militer besar yang dilakukan oleh kerajaan Singasari di
Jawa Timur, terhadap kerajaan Melayu di hulu sungai Batang Hari, provinsi Jambi
sekarang. Pada saat itu, dunia melayu menjadi “kalang-kabut”. Ibukota kerajaan
Melayu, yaitu kota Darmasraya
mengalami kehancuran, dan hampir
seluruh penduduknya mati terbunuh
karena kerasnya amukan
puluhan ribu pasukan tentara
Singasari itu.
Penduduk-penduduk yang tinggal di luar kota Darmasraya banyak yang memilih
melarikan
diri ke daerah-daerah
disekitarnya, dan tidak sedikit yang melarikan diri keluar dari pulau Sumatra.
Sebagian besar suku Melayu melarikan diri ke Semenanjung Malaya yang sangat
dekat dengan pulau Sumatra, yang lain melarikan diri ke pulau-pulau yang masuk
pada wilayah provinsi Kepulauan Riau dimasa sekarang, dan sebagian lagi
melarikan diri ke pulau Kalimantan.
Ketika para pengungsi Melayu
tiba di pantai-pantai Kalimantan Barat, kemudian mereka disebut “orang Laut” oleh penduduk asli Dayak, karena melihat para pengungsi Melayu tersebut datang dari arah lautan, inilah kejadian sejarah yang menjadi awal kenapa
keturunan suku Melayu yang tinggal di Kalimantan Barat disebut “orang Laut”. Setelah mendarat di pantai-pantai Kalimantan
Barat, orang-orang Melayu tersebut mulai membangun
beberapa buah pemukiman di pesisir
Kalimantan Barat.
Para
pengungsi Melayu yang mendarat di pantai-pantai yang menjadi bagian dari wilayah
kerajaan Bahanapura (Bangkule Rajakng), yaitu
pantai-pantai di wilayah kabupaten
Mempawah dimasa sekarang, Setelah beberapa hari menetap di pesisir pantai, terdapat
beberapa orang dari mereka yang memutuskan untuk memasuki batangan Karimawatn (Sungai Mempawah) dan bergerak hingga ke hulu.
Ketika sampai di hulu, kemudian mereka mendarat di kota Bahana ibukota kerajaan Bahanapura
(Bangkule Rajakng).
Berbagai
informasi yang didapatkan dari para pengungsi Melayu tersebut, kemudian disampaikan
kepada raja Patih Rumaga pemimpin yang
berkuasa dikerajaan Bahanapura (Bangkule
Rajakng) pada waktu itu, bahwa kedatangan para pengungsi Melayu tersebut terjadi
karena untuk menyelamatkan diri mereka dari pembantaian yang dilakukan oleh
tentara kerajaan Singasari.
Istana kerajaan Lawai / Hulu Aik / Tanjungpura dimasa Belanda |
Berbekal informasi
yang diteruskan kepada raja Patih Rumaga tersebut, akhirnya melatar-belakangi lahirnya
adat mangkok merah pada waktu
pertemuan akbar para raja-raja Dayak, yang para pendiri kerajaannya berasal
dari kerajaan Bawakng. Adat mangkok
merah itulah yang akan digunakan untuk menghimpun kekuatan ketika menghadapi
serangan bala tentara yang berasal dari luar, khususnya untuk berjaga-jaga
dalam menghadapi bala tentara kerajaan Singasari dan kerajaan Majapahit.
Ketika
Putri Junjung Buih dan suaminya Prabu Jaya, seorang bangsawan yang berasal dari kerajaan Majapahit, membangun
kerajaannya sendiri yang berpusat di kota Sukadana, hingga menyebabkan kerajaan mereka itu dikenal
dengan nama kerajaan Sukadana, mereka
mendapatkan legitimasi dan
pengabdian yang loyal dari
para keturunan
pengungsi melayu, yang
pada waktu itu banyak terdapat dikota Sukadana, hingga akhirnya menyebabkan kerajaannya
tumbuh sebagai kerajaan yang berbudaya Melayu.
Pada
abad ke-15 masehi, ketika agama Islam masuk ke pesisir Kalimantan Barat,
seluruh penduduk pe-legitimasi dan
pengabdi pada kerajaan Sukadana,
yaitu orang-orang keturunan
pengungsi Melayu,
seluruhnya memilih menganut agama islam, demikian juga dengan para pemimpin di
lingkungan istana Sukadana, mereka
semua beralih dari penganut agama Hindu menjadi penganut agama Islam.
Berikut adalah Daftar Kerajaan-Kerajaan Yang Para Pendirinya Berasal Dari Keturunan
Dinasti Kerajaan Lawai / Hulu Aik
(Tanjungpura):
1. Kerajaan
Sanggau
Didirikan Oleh; Sulong Alias
Singa Tedong Rusi
(Jendral Ular King Cobra) Alias Babai Cinga / Labai Singa (Singa / Jendral Dari Kota Labai), yang merupakan abang kandung raja Patih Galor Mandang alias raja Shiag Bahulun (raja yang semakin memiliki
banyak hamba) bersama istrinya Dara
Nante
2.
Kerajaan Sukadana
Didirikan Oleh; Dayakng Putukng Alias Putri Junjung Buih, yang merupakan anak angkat
raja Patih Galor Mandang alias raja Shiag Bahulun (raja yang semakin memiliki
banyak hamba) bersama suaminya Prabu Jaya (Brawijaya)
3.
Kerajaan Matan / Ketapang
Didirikan Oleh; Sarugi Alias Giri Kesuma, yang merupakan cucu raja Patih Galor Mandang alias raja Shiag Bahulun (raja yang semakin memiliki banyak
hamba), tepatnya adalah anak kandung dari raja Patih Sadong
alias raja Patih Ria Bansa
4.
Kerajaan Simpakng
5.
Kerajaan Tayan
6.
Kerajaan Meliau
Berikut daftar raja-raja Kerajaan Lawai
(Hulu Aik) / Bakulapura / Tanjungpura Yang Diketahui:
1. Patih Lawai
2. Patih Galor Mandang / Raja Shiag Bahulun
3. Patih Sadong (Demong Sudek) /
Patih Ria Bansa
4. Patih Ukir / Patih Umpu Garemekng
5. Patih Bihukng Tiung
6. Patih Bansa Pati
7. Patih Ira Bansa
8. Patih Jambu
9. Patih Bebek
10.
Patih
Petrus Singa Bansa (Sekarang)
Catatan:
Harap difahami, bahwa yang disebut dengan nama kerajaan Tanjungpura atau Bakulapura adalah sama dengan kerajaan Lawai alias kerajaan Hulu Aik. Nama kuno atau nama paling awal dari kerajaan ini adalah kerajaan Lawai, nama ini berasal dari nama tokoh pendirinya yaitu Patih Lawai. Sementara nama kerajaan Bakulapura adalah sebutan versi (pemberian) kerajaan Singasari dan nama Tanjungpura adalah nama versi (pemberian) Majapahit. Namun, ketika raja dan para bangsawan dari kerajaan Lawai bertindak untuk menghindari agama Islam pada abad 15 Masehi dahulu, mereka memilih untuk memindahkan ibukotanya ke pedalaman, tepatnya ke daerah hulu sungai Kereho (Kerio) dan sejak saat itu, kerajaan Lawai alias kerajaan Bakulapura alias kerajaan Tanjungpura tersebut dikenal dengan sebutan KERAJAAN HULU AIK, artinya kerajaan yang pusat pemerintahannya terletak didaerah hulu.
0 komentar :
Posting Komentar