Kerajaan Pantanatn (Tamenacerim) alias kerajaan Sambas kuno adalah sebuah kerajaan yang berasal dari pecahan kerajaan Bawakng (Tamaratos) alias kerajaan Bengkayang kuno. Kerajaan ini kemudian populer dikenal dengan nama kerajaan Nek Riuh. Ini merupakan kerajaan masyarakat Dayak Bakati bagian utara, yaitu sebutan komunitas Dayak Bakati yang dahulu menempati daerah dari muara Sungai Sambas, pesisir pantai Kabupaten Sambas sampai ke Tanjung Datu dan pesisir pantai utara Sarawak bagian barat, tepatnya didaerah kota Sematan dan kota Lundu sekarang. Daerah sepanjang aliran Batangan Pantanatn (sungai Bantanan) dan sepanjang aliran Batangan Bakati (sungai Sambas) sampai di muara sungai Seluas.
Pusat
kerajaan ini terletak di hilir Batangan
Pantanatn (Sungai Bantanan). Nama lengkap sungai ini berasal dari bahasa
Dayak Bakati, yakni dibentuk dari kata PITN PATN TANATN, maksudnya adalah aliran air yang berasal dari atau berhulu di
gunung Tanatn, namun sering hanya disebut Pitn tanatn (air tanatn) atau hanya disebut juga Patn
Tanatn (dari tanatn). Karena
Dayak Kanayatn yang “salah dengar”,
yang mulai menempati daerah Sambas setelah kematian raja Patih Ummug Arakng (patih Riog / patih Riuh), mereka menyebuti Pitn
tanatn (air tanatn) menjadi Bintanatn
dan Patn Tanatn (dari
tanatn) menjadi Bantanatn. Hingga akhirnya penyebutan menurut versi Dayak
kanayatn tersebut dipopuler oleh suku melayu yang datang dari kepulauan Riau
dan pulau Singapura serta Johor di semenanjung Malaya pada akhir abad 15 masehi,
yang tetap memakai nama Bantanan untuk menyebuti daerah itu.
Dimasa sekarang gunung Tanatn dikenal dengan sebutan gunung
Rumput, yaitu sebuah gunung yang
terletak diperbatasan kabupaten Sambas dengan Sarawak Malaysia.
Kerajaan
Pantanatn (Bantanatn) didirikan oleh raja
Patih Jaek (langkah pelan /
penuh kehati-hatian) dengan istrinya Dara Amutn (Dara Embun). Perkawinan mereka melahirkan sebanyak tujuh orang
anak laki-laki, dan dua diantaranya adalah anak kembar. Nama ketujuh orang anak
laki-laki dari raja Patih Jaek ( Patih Langkah Pelan / Penuh
Kehati-hatian) tersebut adalah: Tongkor labatn (tunggul kayu laban) yang lahir kembar dengan adiknya Tongkor
Manyam (tunggul kayu Manyam), kemudian Nunggu kaseg (Menunggu dikasiani), Renekng
lonos (rangkaian tulang tangan
dan kaki), Pasa talale (masa pembalasan
kerja-sama), Tamiang talantur (bambu
temiang terlentur) dan Kias
(melek).
Bangsa Eropa Mengenalnya Dengan Nama
Tamenacerim
Setelah
istrinya Dara Amutn (Dara Embun)
melahirkan anak yang ketujuh, yang juga berjenis kelamin laki-laki seperti
jenis kelamin kakak-kakaknya. Sesuai dengan adat lama Bangsa Dayak yang
mengharuskan supaya ayah dari ketujuh orang anak yang mempunyai jenis kelamin
sama tersebut, agar diangkat menjadi Raja baru,maka kemudian rakyat kerajaan Bawakng (Tamaratos) mengangkat
suami Dara Amutn (Dara Embun) untuk menjadi raja baru. Istri raja Patih Jaek (Langkah Pelan / Penuh Kehati-hatian)
yang bernama Dara Amutn (Dara Embun) tersebut
adalah anak kandung tertua dari raja Patih
Ramaga anak raja Patih Langi penguasa kerajaan Bawakng (Tamaratos).
Ketika
diangkat menjadi raja, penobatan raja Patih
Jaek (patih langkah pelan / penuh kehati-hatian) di sahkan dengan sebuah
prosesi adat yang dilakukan didalam istana rumah
panjang kota Bawakng Basawag ibukota
kerajaan Bawakng (Tamaratos). Karena
raja Patih Jaek tidak diperbolehkan
untuk berkuasa di kerajaan Bawakng
yang masih memiliki raja, maka beliau diperintahkan untuk membangun sebuah
kerajaan baru. Untuk melaksanakan tuntutan adat tersebut, kemudian raja Patih Jaek (patih langkah pelan / penuh
kehati-hatian) memilih daerah yang terletak dibagian utara wilayah Kerajaan Bawakng (Tamaratos), untuk
menjadi wilayah kekuasaannya. Ketika meninggalkan kota Bawakng Basawag untuk pergi ke daerah
aliran sungai (DAS) Patntanatn
(Bantanan), raja Patih Jaek (patih
langkah pelan / penuh kehati-hatian) di ikuti oleh puluhan orang yang
ditugaskan untuk menyertainya, di sana mereka tinggal diantara warga Dayak
Bakati lokal yang sejak dahulu telah mendiami wilayah itu.
Sesuai
dengan nama sungai dimana mereka membangun ibukota kerajaan baru tersebut, maka
kerajaannya dinamai “Banoe Patn Tanatn
(Kerajaan Pantanan)”. Kerajaan ini berpusat pada kota “Barangan”. Sebutan barangan atau “Bangan” adalah bahasa Dayak untuk menyebutkan pohon kacang Sweet Chessnut. Karena kacang Sweet Chessnut yang disebut “Barangan” atau dalam bahasa Latin
dikenal denga nama “Castanea Sativa”
itu dahulu banyak tumbuh dilokasi dimana ibukota kerajaan Pantanatn / Nek Riuh
(Tamenacerim) dibangun. Didalam literatur tentang pulau Taprobana yang dicatat oleh orang Eropa,
yang kemungkinan besar adalah utusan-utusan kaisar Romawi yang yang menjelajahi
nusantara dimasa kuno, mereka mengenal kerajaan
Pantanan (Kerajaan Nek Riuh) dengan nama Tamenacerim yang bearti "buah Barangan".
Konflik Dengan Kerajaan Bawakng (Kingdom Of Tamaratos)
Setelah
Patih Jaek meninggal dunia, beliau
digantikan oleh anak tertuanya yang bernama Tongkor
Labatn (tunggul kayu Laban). Dimasa Patih
Tongkor Labatn (tunggul kayu Laban) berkuasa, kerajaannya terlibat konflik
dengan kerajaan Bawakng (Tamaratos).
Pada konflik tersebut, militer kerajaannya berperang dengan militer kerajaan Bawakng (Tamaratos). Adapun hal yang melatar-belakangi terjadinya
konflik tersebut adalah karena kedua
orang raja dari kedua kerajaan itu saling memperebutkan dua orang gadis cantik
yang kembar siam, yang tubuh mereka berdempet sedikit pada sisi samping
pinggang. Kedua orang gadis kembar siam tersebut bernama Pantar Buratn (pancaran sinar bulan). Sejak peperangan perebutan
dua gadis kembar siam itulah raja kerajaan Pantanatn
yang bernama Patih Tongkor Labatn
(tunggul kayu laban) tersebut mulai disebut dengan julukan Patih Marabatn Ampor, yang bearti
seorang “Patih yang membawa kehancuran
atau keretakan” karena ulahnya yang nekat untuk bersaing dengan pamannya
sendiri yaitu raja Patih Baniamas (Benih
Emas) dalam memperebutkan Pantar
Buratn, yang kemudian mengakibatkan hubungan antara kerajaan Bawakng (Tamaratos) dan kerajaan Pantanatn (Tamenacerim) menjadi retak.
Mengingat
kerajaan Bawakng dan kerajaan Pantanatn /
Nek Riuh (Tamenacerim) adalah dua kerajaan yang bersaudara, maka untuk
melerai peperangan yang telanjur terjadi, Singa
Shanga (Jendral Shanga) yaitu seorang panglima yang berjenis kelamin
perempuan, mendatangi lokasi peperangan tersebut, disana beliau berhasil
mendamaikan pasukan tentara kedua kerajaan yang sedang berperang tersebut. Konon, dengan menggunakan kekuatan ilmu
sihirnya, Singa Shanga (jendral Shanga) berhasil memisahkan
kedua tubuh Pantar Buratn (Pancaran Sinar Bulan) yang berdempet
sedikit disebelah sisi pinggang mereka. Setelah terpisah, Pantar Buratn Keba (Pancaran Bulan kiri) menikah dengan raja Baniamas (Benih Emas) dan Pantar Buratn Santaog (Pancaran Bulan kanan)
menikah dengan raja Tongkor Labatn (tunggul
kayu laban). Perkawinan antara raja Patih
Tongkor Labatn dengan istrinya Pantar Bulatn Santaog melahirkan enam orang anak, mereka adalah; marati (selalu mengerti), Maratek (percikan api / emosian), Dag doyol (yang sempoyongan), Dag dompa
(yang kidal), Cincitnari (jinjit tarian) dan Mia
Bunsu. Anak mereka yang bernama Dag doyol
(yang sempoyongan) dan Dag dompa (yang kidal) adalah anak kembar.
Setelah
Konflik antara kerajaan Bawakng (Tamaratos) dan kerajaan Pantanatn / Nek Riuh (Tamenacerim) dapat
dileraikan, kemudian sebagian para bangsawan di kerajaan Bawakng bersepakat untuk membentuk sebuah dewan khusus
yang bertugas untuk menjadi penengah dan pelerai apabila konflik diantara
kerajaan-kerajaan turunan kerajaan Bawakng
(Tamaratos) terjadi lagi dikemudian hari. Menurut versi Dayak Bakati, dewan
ini disebut Panungkat Bawakng (Penongkat
Dinasti Bawakng). Sementara menurut versi Dayak Banyadu dan Dayak Kanayatn,
dewan tersebut bernama Dewan Panungkakng
Bawakng (Penunjang Dinasti Bawakng). Pembentukkan dewan Panungkakng Bawakng ini dikomandoi oleh Pangeran Salopo, yakni salahsatu kakak kandung raja Baniamas (Benih Emas). Namun dewan Panungkakng Bawakng (Penunjang Dinasti
Bawakng) tersebut tidak bertahan lama,
karena hanya eksis sekitar dua abad saja, setelah itu dewan
tersebut dibubarkan.
Setelah raja Patih Tongkor Labatn meninggal dunia, kemudian tugas sebagai raja
diemban oleh menantunya yaitu suami Putri Cincit
Nari (Jinjit Tarian) yang bernama Enal
(Pemicu). Ketika menjabat tugas sebagai raja, kepada Enal (pemicu) diberikan gelar Patih,
sehingga beliau dikenal dengan sebutan Patih
Enal (Patih pemicu). Selama
menikah, Putri Cincitnari (jinjit tarian)
dengan suaminya Patih Enal (patih pemicu)
melahirkan enam orang anak, yaitu; Kasonta,
Rarapm, Jajawe, Bangkunug, Magon dan
Jamani. Setelah Patih Enal (patih pemicu)
meninggal dunia, maka para bangsawan kerajaan Pantanatn / Nek Riuh (Tamenacerim) bersepakat untuk menyerahkan
tugas raja kepada anaknya yang bernama Putri
Jamani. Karena pada adat bangsa Dayak yang lebih mengutamakan pemimpin
harus seorang laki-laki, maka tugas sebagai raja tersebut kemudian diemban oleh
suami putri Jamani, yaitu Baruwakng Kulub (Berkerabatan kulub).
Suami Putri
Jamani yang bernama Baruwakng Kulub
(berkerabatan yang kulub) itu sejatinya
adalah anak dari mantan pejabat Pangalangok
(pemimpin militer) kerajaan Bantanatn
/ Nek Riuh (Tamenacerim) yang paling awal, yaitu anak dari Singa Barinang (jendral belimbing sayur), yang
sering disebut juga sebagai Singa Nek Jaek (Jendral dari raja Jaek).
Dahulu Singa Barinang (Jendral Belimbing
Sayur) bersama pasukannya melakukan pengayauan ke wilayah kerajaan Sihkukng, namun mereka tidak berhasil
mendapatkan satupun kepala Kayau, karena merasa
malu untuk pulang ke kota Barangan,
kemudian mereka memutuskan untuk mendatangi kerajaan Panggau Libau (wijayapura / Puchavarao).
Di kerajaan Panggau Libau (wijayapura / Puchavarao),
Singa Barinang (Jendral Belimbing Sayur)
bersama sisa pasukannya diterima dengan baik oleh raja Patih Xeniba penguasa kerajaan
Panggau Libau (wijayapura / Puchavarao), bahkan beliau dijodohkan dengan
salahsatu anak perempuan raja Patih Xeniba yang bernama Jelati
Dara Sebayan, atau menurut
versi Dayak Bakati dan Dayak Banyadu disebut Jalate Dara Sabayatn, atau
menurut versi Dayak Kanayatn disebut Julate Dara Subayatn. Dikota Barangan sendiri, Singa Barinang
(Jendral belimbing sayur) telah
memiliki dua orang anak laki-laki hasil perkawinan dengan istrinya terdahulu,
kedua orang anaknya itu bernama Salumang dan Sabulid.
Anak laki-laki tertua yang lahir dari
perkawinan antara Singa Barinang (Jendral belimbing sayur) dengan istri keduanya
yang bernama Jelati Dara Sebayan itulah yang dinamai dengan nama Baruwakng
tersebut. Dalam bahasa Dayak Bakati, bahasa asal Singa Barinang (jendral belimbing
sayur), nama Baruwakng
bearti “berkerabatan”. Adapun
hal yang menjadi alasan kenapa anak tertuanya diberi nama Baruwakng adalah karena Baruwakng
seorang anak blasteran yang lahir dari seorang ayah yang berdarah Dayak Bakati
dan seorang ibu yang berdarah Dayak Iban, sehingga beliau memiliki darah “kekerabatan” diantara orang Dayak Bakati
dan orang Dayak Iban.
Sewaktu Singa
Barinang (jendral Belimbing sayur) masih hidup dan tinggal di kerajaan Panggau Libau (Wijayapura / Puchavarao),
antara kerajaan Pantanatn / Nek Riuh
(Tamenacerim) dan kerajaan Panggau
Libau (wijayapura / Puchavarao) masih berhubungan dengan sangat baik,
bahkan setelah anak Singa Barinang
(jendral belimbing sayur) yang bernama Baruwakng
(berkerabatan) dewasa, raja kerajaan Pantanatn / Nek Riuh (Tamenacerim) yang
berkuasa pada waktu itu, yakni raja Patih
Enal (Patih Pemicu) mengirim Patone (utusan pelamar pengantin) ke kerajaan Panggau Libau (wijayapura / Puchavarao), untuk meminta kepada Singa Barinang (jendral belimbing sayur), agar beliau bersedia menjodohkan anaknya
dengan anak raja Patih Enal (patih pemicu).
Akhirnya, atas perintah ayahandanya, kemudian Pangeran
Baruwakng yang telah menduda dua kali
itu hijrah ke kota Barangan untuk
menikah dengan Putri Jamani, anak
raja Patih Enal (patih pemicu). Sewaktu
mendatangi kota Barangan, pangeran Baruwakng (berkerabatan) bersama utusan
dari kerajaan Pantanatn / Nek Riuh
(Tamenacerim) membawa banyak bibit padi Dayak Iban yang mempunyai rasa
seenak rasa buah, yaitu padi yang pada masa sekarang dikenal denga nama padi “palawakng”. Seluruh gabah padi Palawakng bawaan mereka dibungkus dengan
menggunakan kain kulub (kain selimut). penggunaan
kain kulub tersebut adalah agar gabah-gabah yang dibawa tersebut tidak mudah
tumpah atau berceceran selama berada diatas ajung
(kapal laut), karena satu-satunya cara untuk mendatangi kota Barangan yang paling cepat adalah
melalui jalur laut.
Selain itu, dalam adat Dayak yang para
pemimpinnya berasal dari kerajaan Bawakng
(Tamaratos), yaitu Dayak Bakati, Dayak Banyadu, Dayak Kanayatn Bananag,
Dayak, Balangin, Dayak Bakambai, Dayak Bamag dan Dayak Baaye (mali). Semuanya
memiliki adat Babalak (sunat),
yakni adat pembuangan bagian kulit kulub kelamin laki-laki. Pada agama asli
orang-orang Dayak tersebut memiliki adat sunat. Dahulu pada proses pemotongan
kulub kelamin laki-laki, seluruh kulit kulub yang mengelilingi penis seorang
laki-laki harus dibuang seluruhnya. Karena Baruwakng
belum disunat, maka sesuai dengan tradisi adat Dayak Bakati, sebelum menikah Baruwakng harus disunat dahulu.
Mengetahui bahwa pangeran Baruwakng
belum disunat, banyak penduduk kota Barangan
yang meledekinya, dengan menyebutkan
“Baruwakng Kulub”. Sejak saat itu Baruwakng populer dikenal dengan sebutan
“Baruwakng Kulub”, yang berarti “si Baruwakng yang belum disunat”.
Setelah selesai disunat, pangeran Baruwakng kemudian dinikahkan dengan
putri Jamani. Perkawinan mereka
melahirkan empat orang anak laki-laki, yaitu; Kalikng Rangit, Ummug Arakng
(Neng Rio’ / Nek Riuh), Dara Ngatapm dan
Jamawar. Anak mereka yang bernama Kalikng
Rangit (Kubah Langit) pada waktu masih kecil pernah mengalami “mati suri”, kemudian setelah hidup kembali, ia dihantar
untuk dititipkan kepada Singa Barinang
(Jendral Belimbing Sayur), kakeknya yang tinggal di kerajaan Panggau Libau / Wijayapura (Puchavarao). Setelah
raja Patih Enal (patih pemicu)
meninggal dunia, sudah menjadi tradisi pada kerajaan Dayak, bahwa; setiap raja
yang tidak memiliki anak-laki-laki, maka tugas sebagai raja akan diemban oleh
suami dari anak perempuan terpilih, demikian juga dengan putri Jamani yang dipilih untuk menjadi raja,
yang kemudian tugas sebagai raja tersebut harus diemban oleh suaminya si Baruwakng Kulub. Setelah raja Patih Baruwakg Kulub meninggal dunia, beliau
digantikan oleh anaknya yang bernama Ummug
Arakng.
Konflik Dengan
Kerajaan Panggau Libau (Kerajaan
Wijayapura / Kingdom Of Puchavarao)
Seperti yang telah dijelaskan diatas bahwa dimasa-masa
awalnya, antara kerajaan Pantanatn / Nek Riuh (Tamenacerim) dan kerajaan Panggau Libau (Wijayapura / Puchavarao) masih
berhubungan dengan sangat baik, bahkan anak raja Patih Enal (patih pemicu) dijodohkan dengan Baruwakng. Namun dimasa kerajaan Pantanatn telah dipimpin oleh anak raja Patih Baruwakng Kulub, yang bernama raja Patih Ummug Arakng, hubungan
kedua kerajaan mulai retak. Adapun hal yang menjadi penyebab keretakan hubungan
antara kerajaan Pantanatn / Nek Riuh
(Tamenacerim) dengan kerajaan Panggau
Libau / Wijayapura (Puchavarao) tersebut
adalah karena adanya niat perebutan kekuasaan yang dilakukan oleh Pangeran Kalikng Rangit (Kubah Langit) terhadap
adik kandungnya raja Patih Ummug Arakng.
Pangeran Kalikng Rangit (Kubah Langit) yang
kala itu tinggal dilingkungan istana kerajaan Panggau Libau / Wijayapura (Puchavarao), merasa tidak dapat
menerima atas terpilihnya Ummug Arakng,
adik kandungnya sendiri sebagai raja untuk menggantikan kedudukan almarhum
ayahnya raja Patih Baruwakng Kulub.
Karena marah, kemudian Pangeran Kalikng Rangit (Kubah Langit) mengerahkan
sebagian kekuatan militer kerajaan Panggau
Libau / Wijayapura (Puchavarao) ke kota Barangan
ibukota kerajaan Pantanatn / Nek Riuh
(Tamenacerim), akibatnya perangpun tak terhindarkan. Pada peperangan
tersebut, raja kerajaan Pantanatn / Nek
Riuh (Tamenacerim) yang berkuasa pada waktu itu, yakni; raja Patih Ummug Arakng yang merupakan adik
kandung dari Kalikng Rangit sendiri,
tewas terpenggal ditangan tentara kerajaan Panggau
Libau (wijayapura / Puchavarao). Karena ini adalah murni perkara perebutan
tahta antar anak raja di kerajaan Pantanantn
(Tamenacerim), maka pasukan tentara Panungkakng
Bawakng tidak diperkenankan untuk ikut campur, pada perkara yang terjadi
didalam negeri kerajaan Pantanatn
(Tamenacerim) tersebut. Maka dari itu, pihak pengurus dewan Panungkakng Bawakng (penunjang dinasti Bawakng) yang berada di kota Bawakng Basawag
ibukota kerajaan Bawakng (Tamaratos)
tidak dapat mengirim pasukannya ke kerajaan Pantanatn.
Terbunuhnya raja Patih Ummug Arakng ditangan tentara kerajaan Panggau Libau / Wijayapura
(Puchavarao) yang dikerahkan oleh pangeran Kalikng
Rangit (Kubah Langit), abang kandungnya sendiri, akhirnya menyebabkan diseluruh
wilayah kerajaan Pantanatn / Nek Riuh
(Tamenacerim) terjadi suasana yang dalam bahasa Dayak Bakati disebut “riog” atau dalam bahasa Dayak Banyadu dikenal dengan sebutan “rioh
/ Chioh”, atau dalam bahasa Dayak Kanayatn dikenal dengan sebutan “riuh”,
yang bearti “gempar”. Ini adalah suasana kegemparan
besar yang melanda rakyat kerajaan Pantanatn,
karena tewasnya raja mereka. Setelah peristiwa terbunuhnya raja patih Ummug Arakng inilah yang
menyebabkan rakyat kerajaan Pantanatn
mulai menyebutkan almarhum raja Patih
Ummug Arakng sebagai “Patih Riog atau patih rioh / Chioh atau patih riuh”, yang bearti “raja yang menyebabkan kegemparan”, dan
sejak itu pula kerajaan Pantanatn
(Tamenacerim) mulai dikenal sebagai kerajaan Nek Riuh (Kakek Riuh).
Selanjutnya, situasi dan keadaan di ibukota
dan diseluruh wilayah kerajaan Pantanatn
/ Nek Riuh (Tamenacerim) mulai terjadi suasana “bago” yaitu suasana kalut atau kekacauan atau huru-hara sebagai akibat atas
terbunuhnya raja Patih Ummug Arakng
(Patih Riuh / Nek Riuh). Pada saat kekosongan kekuasaan tersebut, para
bangsawan kerajaan mengadakan pertemuan didalam istana rumah panjang kota Barangan, mereka saling berdebat, untuk mencari
cara bagaimana membuat kebijakan yang tepat dalam menghadapi gempuran tentara
kerajaan Panggau Libau (Wijayapura /
Puchavarao). Sebagian Bangsawan mengusulkan agar si Kalikng Rangit diangkat menjadi raja, dengan harapan ia menghentikan
serangan tentaranya. Namun, karena sudah terlanjur benci dengan Kalikng Rangit, maka mayoritas dari para
Bangsawan kerajaan Pantanatn (Tamenacerim) menolaknya.
Untuk mengatasi suasana Bago (kalut / Chaos / Kacau)
tersebut, kemudian rakyat kerajaan Pantanatn
/ Nek Riuh (Tamenacerim) mengangkat adik laki-laki dari raja Patih Ummug Arakng (nek Riuh) dan Kalikng Rangit untuk menjadi raja, dia
adalah Jamawar. Sudah menjadi tradisi
kepada seluruh raja Dayak, bahwa setelah seorang raja dinobatkan, kepadanya
akan diberi gelar “patih”. Maka,
setelah dinobatkan menjadi raja kerajaan Pantanatn,
kepada Jamawar diberi gelar Patih,
sehingga beliau dikenal dengan sebutan Patih
Jamawar. Pada saat Patih Jamawar
berkuasa, serangan tentara kerajaan Panggau
Libau (wijayapura / Puchavarao) masih cukup masif terjadi, bahkan mereka
mendirikan beberapa benteng atau kamp penampungan pasukan di wilayah kerajaan Bantanatn. Raja Patih Jamawar yang masih muda menjadi stress karena melihat tentara kerajaannya tidak mampu mengusir
orang-orang Dayak Iban Saribas, yaitu para personil pasukan tentara kerajaan Panggau Libau (wijayapura / Puchavarao) yang dikerahkan oleh abangnya si Kalikng Rangit tersebut.
Setelah itu timbul ide dari raja Patih Jamawar, untuk meminta bantuan
kepada orang Dayak Kanayatn (Salako
Badamea), agar mengumpulkan orang-orang Salako untuk membantu orang-orang
Dayak Bakati penduduk kerajaan Pantanatn
(Tamenacerim), agar bersama bergabung bersama dengan tentara
kerajaan Pantanatn (Tamenacerim), untuk mengusir orang-orang Dayak Iban Saribas
yang menjadi tentara kerajaan Panggau
Libau (Wijayapura / Puchavarao) tersebut. Raja Patih Jamawar berjanji akan menyerahkan sebagian tanah diwilayah
kerajaannya kepada Dayak Salako, apabila mereka dapat mengusir orang-orang Iban
tersebut.
Untuk menemui orang-orang Dayak Salako, raja Patih Jamawar mengutus kepala kampung Nanga Bakati, yang kampungnya terletak disekitar
muara batangan Bakati (sungai Sambas),
yang juga dekat dengan wilayah penyebaran Dayak Salako, supaya segera menemui
para pemimpin adat orang Dayak Salako. Kepala kampung Nanga Bakati tersebut bernama Anjel.
Didalam kesehariannya, tuan Anjel
sering disapa atau dipanggil dengan sapaan “Shama
Mangkat” yang bearti “ayahnya si
Mangkat”, hal ini dilakukan karena disebabkan oleh nama anak tertuanya yang
bernama “mangkat”. Didalam bahasa Dayak Kanayatn
Salako, sapaan “ayahnya si Mangkat” disebut dengan sapaan atau panggilan “Pa’ Mangkat”. Dari nama panggilan Pa’ Mangkat menurut versi Dayak Kanayatn
Salako inilah kampung tuan Anjel
alias ayahnya si Mangkat, yaitu kampung Nanga
Bakati tersebut mulai disebut kampung Pa’ mangkat. Kampung Pa’ Mangkat inilah yang berkembang menjadi
kota yang disebut Pemangkat dimasa
sekarang ini.
Sewaktu menemui para pemimpin orang Dayak
Salako dan meminta bantuan kepada mereka, Tuan Anjel juga menyampaikan janji raja Patih Jamawar, bahwa beliau akan memberikan sebagian dari wilayah
kerajaannya yang berada dibagian barat, untuk diserahkan kepada penduduk Dayak
Salako, apabila mereka mampu mengusir tentara kerajaan Panggau Libau (Wijayapura / Puchavarao) kelak. Sejak pertemuan
antara tuan Anjel dengan para
pemimpin orang Dayak Salako inilah, tuan Anjel
mulai dikenal dengan sebutan “Anjel
Pajanji” yang artinya adalah “Anjel
si tukang janji”. Tidak semua orang Bakati senang dengan kebijakan raja Patih Jamawar yang berjanji akan
menyerahkan wilayah kerajaannya sebagai hadiah kepada orang Dayak Salako. Ada
cukup rakyatnya yang tidak setuju. Sejak saat itu, oleh mereka yang tidak
setuju tersebut, mulai menjuluki raja Patih
Jamawar dengan bahasa Dayak Bakati sebagai “patih Sarag” yang artinya “patih
Salah”. Maksudnya adalah “patih yang
membuat kebijakan yang salah”.
Beberapa hari kemudian, sebagai tanggapan atas
permintaan raja patih Jamawar alias Patih Sarag tersebut, warga Dayak
Kanayatn yang bermukim dibagian hilir dan didekat muara Batangan Salako (Sungai Selakau) langsung mengumpulkan massa untuk
membentuk sebuah pasukan khusus yang dipimpin oleh tiga orang panglima. Para
pemimpin pasukan Dayak Kanayatn Salako tersebut adalah; panglima Keto, panglima Antoro dan panglima Padatn. Pada serangan yang dilancarkan oleh pasukan
ketiga orang panglima Dayak Kanayatn Salako tersebut, berhasil membunuh Shama Jopi (ayahnya si Jopi), yang tak
lain adalah abang kandung dari raja Patih Ummug
Arakng yang bernama Kalikng Rangit, yang
mengerahkan dan memimpin tentara kerajaan
Panggau Libau (wijayapura / Puchavarao) tersebut.
Tidak lama kemudian pasukan lain dari Dayak Kanayatn yang dipimpin oleh Panglima Nibog bergabung dengan
pasukan Dayak Kanayatn yang melakukan penyerangan terlebih dahulu tadi.
Gabungan pasukan mereka itu akhirnya mampu menewaskan banyak tentara kerajaan Panggau Libau (wijayapura / Puchavarao),
hingga akhirnya menyebabkan tentara kerajaan Panggau Libau yang tersisa mundur dan melarikan diri ke negerinya.
Terjadinya
Peristiwa Sambas
Dengan kemenangan yang telah dicapai oleh sisa
tentara kerajaan Pantanatn / Nek Riuh
(Tamenacerim) yang dibantu oleh pasukan Dayak Kanayatn Salako tersebut,
kemudian sesuai janji raja Patih Jamawar
alias Patih Sarag (patih salah).
Akhirnya wilayah bagian barat dari kerajaan Pantanatn
/ Nek Riuh (Tamenacerim), yaitu tanah pesisir pantai barat, tanah pesisir
pantai utara dan tanah disepanjang daerah aliran sungai (DAS) Bantanatn
diserahkan kepada Dayak Kanayatn Salako. Dengan penyerahan wilayah bagian barat
kerajaan Bantanatn / Nek Riuh (Tamenacerim) tersebut, maka seluruh penduduknya,
yaitu seluruh orang Bakati yang tinggal ditepi pantai barat dan pantai utara,
yang tinggal disepanjang Batangan Bantanatn (sungai Bantanatn) dan yang tinggal
di muara batangan Bakati (sungai Sambas), diminta untuk segera pindah ke arah
timur wilayah kerajaan Pantanatn / Nek
Riuh (Tamenacerim).
Peristiwa pengosongan
penduduk Dayak Bakati dari wilayah kerajaan Pantanatn
/ Nek Riuh (Tamenacerim) bagian barat tersebutlah yang dikenal dengan
sebutan peristiwa SAMBAS tersebut. Istilah SAMBAS berasal dari bahasa Dayak
Bakati, yaitu terbentuk dari singkatan kata SAMpe aBAS yang bearti SAMPAI
HABIS. Dimasa kini kebanyak orang mengira sebutan SAMBAS merupakan
singkatan dari kata dalam bahasa tionghoa “SAM” yang artinya “tiga” dan kata
dalam bahasa Dayak “BASa” yang artinya
“bahasa”. Jadi menurut versi yang beredar selama ini, SAMBAS bearti “tiga bahasa dari
tiga bangsa”, hal ini untuk menyebutkan bahasa penduduk kabupaten Sambas
dimasa sekarang yang terdiri dari bahasa Dayak, bahasa Melayu dan bahasa
Tionghoa.
Perkiraan tersebut
sangat tidak tepat, mengingat kenyataan bahasa yang terdapat dikabupaten Sambas
terdapat empat bahasa, yaitu bahasa Dayak Bakati, Bahasa Dayak Kanayatn
(Salako), bahasa Melayu dan bahasa Tionghoa. Yang menjadi permasalahannya
adalah; jika memang sebutan SAMBAS berasal dari bahasa Tionghoa, maka
seharusnya bukan menggunakan nama SAMBAS, melainkan dengan nama SAM MINCHUK (tiga Bangsa) atau SAM NGINGIEN (tiga Bahasa). Karena kenyataannya
adalah disebut SAMBAS. Karena itu, dugaan paling kuat dari maksud sebutan
“Sambas” tersebut adalah memang “SAMpe aBAS (Sampai Habis). Hal ini dilakukan untuk mengenang peristiwa
bersejarah tentang pengosongan wilayah barat kerajaan Pantanatn (Tamenacerim) dari orang-orang Dayak Bakati sebagai
penduduk aslinya.
Dengan dilakukannya “pengosongan SAMpe aBAS (SAMBAS)” terhadap penduduk Dayak Bakati
dibagian barat wilayah kerajaan Pantanatn
/ Nek Riuh (Tamenacerim) tersebut. Kemudian menyebabkan seluruh penduduk
kota Barangan dan kampung-kampung
Dayak Bakati diseluruh DAS Batangan
Bantanatn (sungai Bantanatn), penduduk pantai barat dan utara serta penduduk
muara Batangan Bakati (sungai Sambas),
segera beramai-ramai pergi kearah timur, mereka menyusuri batangan bakati (sungai sambas). Kelompok orang Bakati yang setia
dengan almarhum raja Patih Ummug Arakng
(Neng Rio’ / Nek Riuh) masuk ke sungai seluas dan tinggal menyebar di
antara orang-orang Dayak Bakati lokal disepanjang sungai seluas dan tanah utara
sanggau ledo dimasa sekarang. Orang-orang Dayak Bakati yang berasal dari keturunan
kelompok yang setia dengan raja Patih
Ummug Arakng (Neng Rio’ / Nek Riuh) inilah yang dikenal dengan sebutan
Dayak Bakati Rio’ dimasa sekarang.
Sementara, kelompok orang-orang Dayak Bakati yang menjadi pengikut setia dari
raja Patih Jamawar alias Patih Sarag, masuk ke arah timur melalui
sungai sanggau ledo, mereka tinggal menyebar diantara orang-orang Dayak Bakati
lokal. Orang-orang Bakati yang berasal dari keturunan para pengikut raja Patih Jamawar alias Patih Sarag inilah yang dikenal dengan sebutan Dayak Bakati Sarag dimasa sekarang ini.
Selain itu, sebagian dari orang-orang Bakati
yang berasal dari tanah barat kerajaan Pantanatn
/ Nek Riuh (Tamenacerim) tersebut memilih bergerak ke arah hulu batangan Bakati (sungai Sambas) yang
masuk wilayah kerajaan Bawakng
(Tamaratos), kelompok ini dipimpin oleh kakak kandung raja Patih Jamawar alias Patih Sarag (Patih Salah) yang bernama Dara Ngatapm. Kakak perempuan raja Jamawar inilah yang dikenal dengan nama Ngatapm Barangan (Ngatapm dari kota Barangan) yang kemudian
diperebuti oleh raja Patih Payog (Bujakng
Nyangkog Samabue) raja yang berkuasa di kerajaan Bawakng (Tamaratos) pada waktu itu, dengan raja Patih Ria Jambi (Aria Jampi) yaitu raja
yang berkuasa di kerajaan Satona (Sthana
Pura) yang ibukotanya telah pindah ke kota Jarikng tersebut.
Setelah ibukota kerajaan Pantanatn / Nek Riuh (Tamenacerim) pindah ke kota Sango (sanggau ledo), beberapa tahun
kemudian, terjadi konflik antara raja Patih
Jamawar dengan satu rakyatnya, hal ini disebabkan oleh Patih Jamawar yang merebut istri salahsatu rakyatnya tersebut,
karena sang suami tidak dapat menerima perbuatan Patih sarag, akhirnya ia nekat membunuh raja Patih Jamawar alias Patih
Sarag (Patih Salah). Karena raja Patih
Jamawar / Patih Sarag (Patih Salah) belum memiliki keturunan, menyebabkan
kerajaan Bantanatn / Nek Riuh
(Tamenacerim) langsung runtuh. Peristiwa keruntuhan kerajaan Pantanatn / Nek Riuh (Tamenacerim)
dimasa pimpinan raja Patih Jamawar
alias Patih Sarag inilah yag
menyebabkan almarhum Patih Jamawar
kemudian disebut sebagai raja Patih Jamawar Ampor Gayokng atau
hanya disebut “Mawar Ampor Gayokng” saja. Yang artinya “Patih Jamawar hancur total”, maksudnya adalah kerajaan yang
dipimpin oleh raja Patih Jamawar
berakhir total secara tragis tanpa bekas.
Setelah wilayah bagian barat kerajaan
Bantanatn kosong dari penduduk aslinya yaitu orang-orang Dayak Bakati, kemudian
secara bertahap orang-orang Dayak Kanayatn dari Batangan Salako (sungai selakau) datang untuk menempati
pemukiman-pemukiman orang bakati yang telah kosong tersebut. Daerah tersebut
meliputi kampung Nanga Bakati (muara
sungai sambas) yang dimasa sekarang menjadi wilayah kecamatan Pemangkat, Bantaran
Batangan Bakati (sungai Sambas) yang
meliputi kecamatan Sambas dan Kecamatan Tebas, bantaran sungai Bantanatn yang meliputi Kecamatan
Sekura, Kecamatan Galing dan lain-lain, wilayah pantai barat yang meliputi
Kecamatan Paloh, Tanjung Datu serta daerah pantai utara yang meliputi daerah
Sematan dan daerah Lundu Sarawak Barat dan kecamatan Sajingan. Setelah kurang-lebih
selama dua abad orang-orang Dayak Kanayatn Salako menempati wilayah bagian
barat kerajaan Bantanatn, kemudian orang-orang melayu yang berasal dari
kepulauan Riau, pulau Singapura dan semenanjung Malaya mulai berdatangan ke daerah
Sambas. Orang-orang Melayu tersebut banyak kawin-mawin dengan penduduk lokal,
baik yang berasal dari Dayak Kanayatn Salako maupun dengan penduduk lokal yang
berasal dari Dayak Bakati.
Berikut Adalah
Nama Enam Orang Raja Yang Pernah Berkuasa Di Kerajaan Pantanatn / Nek Riuh
(Tamenacerim)
1. Patih Jaek (Langkah Pelan / Penuh dengan
Kehati-hatian),
menjelang
akhir abad 11 M
2. Patih Tongkor Labatn (Tunggul Kayu Laban) /
Patih Marabatn Ampor (Patih yang Membawa Keretakan / kehancuran), abad 12
3. Patih Enal (patih Pemicu), Abad 12
4. Patih Baruwakng Kulub (Berkerabatan Kulub),
Abad 13
5. Patih Ummug Arakng (Patih Riog / Patih Riuh),
abad 13
6. Patih Jamawar / Patih Sarag (patih Salah) /
Patih Jamawar Ampor Gayokng (patih Jamawar Hancur Total), Abad 13
0 komentar :
Posting Komentar