Minggu, 30 Agustus 2020

Kerajaan Nek Riuh

Kerajaan Pantanatn (Tamenacerim) alias kerajaan Sambas kuno adalah sebuah kerajaan yang berasal dari pecahan kerajaan Bawakng (Tamaratos) alias kerajaan Bengkayang kuno. Kerajaan ini kemudian populer dikenal dengan nama kerajaan Nek Riuh. Ini merupakan kerajaan masyarakat Dayak Bakati bagian utara, yaitu sebutan komunitas Dayak Bakati yang dahulu menempati daerah dari muara Sungai Sambas, pesisir pantai Kabupaten Sambas sampai ke Tanjung Datu dan pesisir pantai utara Sarawak bagian barat, tepatnya didaerah kota Sematan dan kota Lundu sekarang. Daerah sepanjang aliran Batangan Pantanatn (sungai Bantanan) dan sepanjang aliran Batangan Bakati (sungai Sambas) sampai di muara sungai Seluas.



Pusat kerajaan ini terletak di hilir Batangan Pantanatn (Sungai Bantanan). Nama lengkap sungai ini berasal dari bahasa Dayak Bakati, yakni dibentuk dari kata PITN PATN TANATN, maksudnya adalah aliran air yang berasal dari atau berhulu di gunung Tanatn, namun sering hanya disebut Pitn tanatn (air tanatn) atau hanya disebut juga Patn Tanatn (dari tanatn). Karena Dayak Kanayatn yang “salah dengar”, yang mulai menempati daerah Sambas setelah kematian raja Patih Ummug Arakng (patih Riog / patih Riuh), mereka menyebuti Pitn tanatn (air tanatn) menjadi Bintanatn dan Patn Tanatn (dari tanatn) menjadi Bantanatn. Hingga akhirnya penyebutan menurut versi Dayak kanayatn tersebut dipopuler oleh suku melayu yang datang dari kepulauan Riau dan pulau Singapura serta Johor di semenanjung Malaya pada akhir abad 15 masehi, yang tetap memakai nama Bantanan untuk menyebuti daerah itu. Dimasa sekarang gunung Tanatn dikenal dengan sebutan gunung Rumput, yaitu sebuah gunung yang terletak diperbatasan kabupaten Sambas dengan Sarawak Malaysia.

 


Kerajaan Pantanatn (Bantanatn) didirikan oleh raja Patih Jaek (langkah pelan / penuh kehati-hatian) dengan istrinya Dara Amutn (Dara Embun). Perkawinan mereka melahirkan sebanyak tujuh orang anak laki-laki, dan dua diantaranya adalah anak kembar. Nama ketujuh orang anak laki-laki dari raja Patih Jaek ( Patih Langkah Pelan / Penuh Kehati-hatian) tersebut adalah: Tongkor labatn (tunggul kayu laban) yang lahir kembar dengan adiknya Tongkor Manyam (tunggul kayu Manyam), kemudian Nunggu kaseg (Menunggu dikasiani), Renekng lonos (rangkaian tulang tangan dan kaki), Pasa talale (masa pembalasan kerja-sama), Tamiang talantur (bambu temiang terlentur) dan Kias (melek).

 

Bangsa Eropa Mengenalnya Dengan Nama Tamenacerim

Setelah istrinya Dara Amutn (Dara Embun) melahirkan anak yang ketujuh, yang juga berjenis kelamin laki-laki seperti jenis kelamin kakak-kakaknya. Sesuai dengan adat lama Bangsa Dayak yang mengharuskan supaya ayah dari ketujuh orang anak yang mempunyai jenis kelamin sama tersebut, agar diangkat menjadi Raja baru,maka kemudian rakyat kerajaan Bawakng (Tamaratos) mengangkat suami Dara Amutn (Dara Embun) untuk menjadi raja baru. Istri raja Patih Jaek (Langkah Pelan / Penuh Kehati-hatian) yang bernama Dara Amutn (Dara Embun) tersebut adalah anak kandung tertua dari raja Patih Ramaga anak raja Patih Langi penguasa kerajaan Bawakng (Tamaratos).

 

Ketika diangkat menjadi raja, penobatan raja Patih Jaek (patih langkah pelan / penuh kehati-hatian) di sahkan dengan sebuah prosesi adat yang dilakukan didalam istana rumah panjang kota Bawakng Basawag ibukota kerajaan Bawakng (Tamaratos). Karena raja Patih Jaek tidak diperbolehkan untuk berkuasa di kerajaan Bawakng yang masih memiliki raja, maka beliau diperintahkan untuk membangun sebuah kerajaan baru. Untuk melaksanakan tuntutan adat tersebut, kemudian raja Patih Jaek (patih langkah pelan / penuh kehati-hatian) memilih daerah yang terletak dibagian utara wilayah Kerajaan Bawakng (Tamaratos), untuk menjadi wilayah kekuasaannya. Ketika meninggalkan kota Bawakng Basawag untuk pergi ke daerah aliran sungai (DAS) Patntanatn (Bantanan), raja Patih Jaek (patih langkah pelan / penuh kehati-hatian) di ikuti oleh puluhan orang yang ditugaskan untuk menyertainya, di sana mereka tinggal diantara warga Dayak Bakati lokal yang sejak dahulu telah mendiami wilayah itu.

 

Sesuai dengan nama sungai dimana mereka membangun ibukota kerajaan baru tersebut, maka kerajaannya dinamai “Banoe Patn Tanatn (Kerajaan Pantanan)”. Kerajaan ini berpusat pada kota “Barangan”. Sebutan barangan atau “Bangan” adalah bahasa Dayak untuk menyebutkan pohon kacang Sweet Chessnut. Karena kacang Sweet Chessnut yang disebut “Barangan” atau dalam bahasa Latin dikenal denga nama “Castanea Sativa” itu dahulu banyak tumbuh dilokasi dimana ibukota kerajaan Pantanatn / Nek Riuh (Tamenacerim) dibangun. Didalam literatur tentang pulau Taprobana yang dicatat oleh orang Eropa, yang kemungkinan besar adalah utusan-utusan kaisar Romawi yang yang menjelajahi nusantara dimasa kuno, mereka mengenal kerajaan Pantanan (Kerajaan Nek Riuh) dengan nama Tamenacerim yang bearti "buah Barangan".

 

Konflik Dengan Kerajaan Bawakng (Kingdom Of Tamaratos)

Setelah Patih Jaek meninggal dunia, beliau digantikan oleh anak tertuanya yang bernama Tongkor Labatn (tunggul kayu Laban). Dimasa Patih Tongkor Labatn (tunggul kayu Laban) berkuasa, kerajaannya terlibat konflik dengan kerajaan Bawakng (Tamaratos). Pada konflik tersebut, militer kerajaannya berperang dengan militer kerajaan Bawakng (Tamaratos). Adapun hal yang melatar-belakangi terjadinya konflik tersebut adalah karena kedua orang raja dari kedua kerajaan itu saling memperebutkan dua orang gadis cantik yang kembar siam, yang tubuh mereka berdempet sedikit pada sisi samping pinggang. Kedua orang gadis kembar siam tersebut bernama Pantar Buratn (pancaran sinar bulan). Sejak peperangan perebutan dua gadis kembar siam itulah raja kerajaan Pantanatn yang bernama Patih Tongkor Labatn (tunggul kayu laban) tersebut mulai disebut dengan julukan Patih Marabatn Ampor, yang bearti seorang “Patih yang membawa kehancuran atau keretakan” karena ulahnya yang nekat untuk bersaing dengan pamannya sendiri yaitu raja Patih Baniamas (Benih Emas) dalam memperebutkan Pantar Buratn, yang kemudian mengakibatkan hubungan antara kerajaan Bawakng (Tamaratos) dan kerajaan Pantanatn (Tamenacerim) menjadi retak.

 

Mengingat kerajaan Bawakng dan kerajaan Pantanatn / Nek Riuh (Tamenacerim) adalah dua kerajaan yang bersaudara, maka untuk melerai peperangan yang telanjur terjadi, Singa Shanga (Jendral Shanga) yaitu seorang panglima yang berjenis kelamin perempuan, mendatangi lokasi peperangan tersebut, disana beliau berhasil mendamaikan pasukan tentara kedua kerajaan yang sedang berperang tersebut.  Konon, dengan menggunakan kekuatan ilmu sihirnya, Singa Shanga (jendral Shanga) berhasil memisahkan kedua tubuh Pantar Buratn (Pancaran Sinar Bulan) yang berdempet sedikit disebelah sisi pinggang mereka. Setelah terpisah, Pantar Buratn Keba (Pancaran Bulan kiri) menikah dengan raja Baniamas (Benih Emas) dan Pantar Buratn Santaog (Pancaran Bulan kanan) menikah dengan raja Tongkor Labatn (tunggul kayu laban). Perkawinan antara raja Patih Tongkor Labatn dengan istrinya Pantar Bulatn Santaog melahirkan enam orang anak, mereka adalah; marati (selalu mengerti), Maratek (percikan api / emosian), Dag doyol (yang sempoyongan), Dag dompa (yang kidal), Cincitnari (jinjit tarian) dan Mia Bunsu. Anak mereka yang bernama Dag doyol (yang sempoyongan) dan Dag dompa (yang kidal) adalah anak kembar.

 

Setelah Konflik antara kerajaan Bawakng (Tamaratos) dan kerajaan Pantanatn / Nek Riuh (Tamenacerim) dapat dileraikan, kemudian sebagian para bangsawan di kerajaan Bawakng bersepakat untuk membentuk sebuah dewan khusus yang bertugas untuk menjadi penengah dan pelerai apabila konflik diantara kerajaan-kerajaan turunan kerajaan Bawakng (Tamaratos) terjadi lagi dikemudian hari. Menurut versi Dayak Bakati, dewan ini disebut Panungkat Bawakng (Penongkat Dinasti Bawakng). Sementara menurut versi Dayak Banyadu dan Dayak Kanayatn, dewan tersebut bernama Dewan Panungkakng Bawakng (Penunjang Dinasti Bawakng). Pembentukkan dewan Panungkakng Bawakng ini dikomandoi oleh Pangeran Salopo, yakni salahsatu kakak kandung raja Baniamas (Benih Emas). Namun dewan Panungkakng Bawakng (Penunjang Dinasti Bawakng) tersebut tidak bertahan lama, karena hanya eksis sekitar dua abad saja, setelah itu dewan tersebut dibubarkan.

 

Setelah raja Patih Tongkor Labatn meninggal dunia, kemudian tugas sebagai raja diemban oleh menantunya yaitu suami Putri Cincit Nari (Jinjit Tarian) yang bernama Enal (Pemicu). Ketika menjabat tugas sebagai raja, kepada Enal (pemicu) diberikan gelar Patih, sehingga beliau dikenal dengan sebutan Patih Enal (Patih pemicu). Selama menikah, Putri Cincitnari (jinjit tarian) dengan suaminya Patih Enal (patih pemicu) melahirkan enam orang anak, yaitu; Kasonta, Rarapm, Jajawe, Bangkunug, Magon dan Jamani. Setelah Patih Enal (patih pemicu) meninggal dunia, maka para bangsawan kerajaan Pantanatn / Nek Riuh (Tamenacerim) bersepakat untuk menyerahkan tugas raja kepada anaknya yang bernama Putri Jamani. Karena pada adat bangsa Dayak yang lebih mengutamakan pemimpin harus seorang laki-laki, maka tugas sebagai raja tersebut kemudian diemban oleh suami putri Jamani, yaitu Baruwakng Kulub (Berkerabatan kulub).

 

Suami Putri Jamani yang bernama Baruwakng Kulub (berkerabatan yang kulub) itu sejatinya adalah anak dari mantan pejabat Pangalangok (pemimpin militer) kerajaan Bantanatn / Nek Riuh (Tamenacerim) yang paling awal, yaitu anak dari Singa Barinang (jendral belimbing sayur), yang sering disebut juga sebagai Singa Nek Jaek (Jendral dari raja Jaek). Dahulu Singa Barinang (Jendral Belimbing Sayur) bersama pasukannya melakukan pengayauan ke wilayah kerajaan Sihkukng, namun mereka tidak berhasil mendapatkan satupun kepala Kayau, karena merasa  malu untuk pulang ke kota Barangan, kemudian mereka memutuskan untuk mendatangi kerajaan Panggau Libau (wijayapura / Puchavarao).

 

          Di kerajaan Panggau Libau (wijayapura / Puchavarao), Singa Barinang (Jendral Belimbing Sayur) bersama sisa pasukannya diterima dengan baik oleh raja Patih Xeniba penguasa kerajaan Panggau Libau (wijayapura / Puchavarao), bahkan beliau dijodohkan dengan salahsatu anak perempuan raja Patih Xeniba yang bernama Jelati Dara Sebayan, atau menurut versi Dayak Bakati dan Dayak Banyadu disebut Jalate Dara Sabayatnatau menurut versi Dayak Kanayatn disebut Julate Dara Subayatn. Dikota Barangan sendiri, Singa Barinang (Jendral belimbing sayur) telah memiliki dua orang anak laki-laki hasil perkawinan dengan istrinya terdahulu, kedua orang anaknya itu bernama Salumang dan Sabulid.

 

Anak laki-laki tertua yang lahir dari perkawinan antara Singa Barinang (Jendral belimbing sayur) dengan istri keduanya yang bernama Jelati Dara Sebayan itulah yang dinamai dengan nama Baruwakng tersebut. Dalam bahasa Dayak Bakati, bahasa asal Singa Barinang (jendral belimbing sayur), nama Baruwakng bearti “berkerabatan”. Adapun hal yang menjadi alasan kenapa anak tertuanya diberi nama Baruwakng adalah karena Baruwakng seorang anak blasteran yang lahir dari seorang ayah yang berdarah Dayak Bakati dan seorang ibu yang berdarah Dayak Iban, sehingga beliau memiliki darah “kekerabatan” diantara orang Dayak Bakati dan orang Dayak Iban.

 

Sewaktu Singa Barinang (jendral Belimbing sayur) masih hidup dan tinggal di kerajaan Panggau Libau (Wijayapura / Puchavarao), antara kerajaan Pantanatn / Nek Riuh (Tamenacerim) dan kerajaan Panggau Libau (wijayapura / Puchavarao) masih berhubungan dengan sangat baik, bahkan setelah anak Singa Barinang (jendral belimbing sayur) yang bernama Baruwakng (berkerabatan) dewasa, raja kerajaan Pantanatn / Nek Riuh (Tamenacerim) yang berkuasa pada waktu itu, yakni raja Patih Enal  (Patih Pemicu) mengirim Patone (utusan pelamar pengantin)  ke kerajaan Panggau Libau (wijayapura / Puchavarao), untuk meminta kepada Singa Barinang (jendral belimbing sayur), agar beliau bersedia menjodohkan anaknya dengan anak raja Patih Enal (patih pemicu).

 

Akhirnya, atas perintah ayahandanya, kemudian Pangeran Baruwakng yang telah menduda dua kali itu hijrah ke kota Barangan untuk menikah dengan Putri Jamani, anak raja Patih Enal (patih pemicu). Sewaktu mendatangi kota Barangan, pangeran Baruwakng (berkerabatan) bersama utusan dari kerajaan Pantanatn / Nek Riuh (Tamenacerim) membawa banyak bibit padi Dayak Iban yang mempunyai rasa seenak rasa buah, yaitu padi yang pada masa sekarang dikenal denga nama padi “palawakng”. Seluruh gabah padi Palawakng bawaan mereka dibungkus dengan menggunakan kain kulub (kain selimut). penggunaan kain kulub tersebut adalah agar gabah-gabah yang dibawa tersebut tidak mudah tumpah atau berceceran selama berada diatas ajung (kapal laut), karena satu-satunya cara untuk mendatangi kota Barangan yang paling cepat adalah melalui jalur laut.

 

Selain itu, dalam adat Dayak yang para pemimpinnya berasal dari kerajaan Bawakng (Tamaratos), yaitu Dayak Bakati, Dayak Banyadu, Dayak Kanayatn Bananag, Dayak, Balangin, Dayak Bakambai, Dayak Bamag dan Dayak Baaye (mali). Semuanya memiliki adat Babalak (sunat), yakni adat pembuangan bagian kulit kulub kelamin laki-laki. Pada agama asli orang-orang Dayak tersebut memiliki adat sunat. Dahulu pada proses pemotongan kulub kelamin laki-laki, seluruh kulit kulub yang mengelilingi penis seorang laki-laki harus dibuang seluruhnya. Karena Baruwakng belum disunat, maka sesuai dengan tradisi adat Dayak Bakati, sebelum menikah Baruwakng harus disunat dahulu. Mengetahui bahwa pangeran Baruwakng belum disunat, banyak penduduk kota Barangan yang meledekinya, dengan menyebutkan “Baruwakng Kulub”. Sejak saat itu Baruwakng populer dikenal dengan sebutan “Baruwakng Kulub”, yang berarti “si Baruwakng yang belum disunat”.  

 

Setelah selesai disunat, pangeran Baruwakng kemudian dinikahkan dengan putri Jamani. Perkawinan mereka melahirkan empat orang anak laki-laki, yaitu; Kalikng Rangit, Ummug Arakng (Neng Rio’ / Nek Riuh), Dara Ngatapm dan Jamawar. Anak mereka yang bernama Kalikng Rangit (Kubah Langit) pada waktu masih kecil pernah mengalami “mati suri”, kemudian setelah hidup kembali, ia dihantar untuk dititipkan kepada Singa Barinang (Jendral Belimbing Sayur), kakeknya yang tinggal di kerajaan Panggau Libau / Wijayapura (Puchavarao). Setelah raja Patih Enal (patih pemicu) meninggal dunia, sudah menjadi tradisi pada kerajaan Dayak, bahwa; setiap raja yang tidak memiliki anak-laki-laki, maka tugas sebagai raja akan diemban oleh suami dari anak perempuan terpilih, demikian juga dengan putri Jamani yang dipilih untuk menjadi raja, yang kemudian tugas sebagai raja tersebut harus diemban oleh suaminya si Baruwakng Kulub. Setelah raja Patih Baruwakg Kulub meninggal dunia, beliau digantikan oleh anaknya yang bernama Ummug Arakng.

 

Konflik Dengan Kerajaan Panggau Libau (Kerajaan Wijayapura / Kingdom Of Puchavarao)

Seperti yang telah dijelaskan diatas bahwa dimasa-masa awalnya, antara kerajaan Pantanatn / Nek Riuh (Tamenacerim) dan kerajaan Panggau Libau (Wijayapura / Puchavarao) masih berhubungan dengan sangat baik, bahkan anak raja Patih Enal (patih pemicu) dijodohkan dengan Baruwakng. Namun dimasa kerajaan Pantanatn telah dipimpin oleh anak raja Patih Baruwakng Kulub, yang bernama raja Patih Ummug Arakng, hubungan kedua kerajaan mulai retak. Adapun hal yang menjadi penyebab keretakan hubungan antara kerajaan Pantanatn / Nek Riuh (Tamenacerim) dengan kerajaan Panggau Libau / Wijayapura (Puchavarao) tersebut adalah karena adanya niat perebutan kekuasaan yang dilakukan oleh Pangeran Kalikng Rangit (Kubah Langit) terhadap adik kandungnya raja Patih Ummug Arakng. Pangeran Kalikng Rangit (Kubah Langit) yang kala itu tinggal dilingkungan istana kerajaan Panggau Libau / Wijayapura (Puchavarao), merasa tidak dapat menerima atas terpilihnya Ummug Arakng, adik kandungnya sendiri sebagai raja untuk menggantikan kedudukan almarhum ayahnya raja Patih Baruwakng Kulub.

 

Karena marah, kemudian Pangeran Kalikng Rangit (Kubah Langit) mengerahkan sebagian kekuatan militer kerajaan Panggau Libau / Wijayapura (Puchavarao) ke kota Barangan ibukota kerajaan Pantanatn / Nek Riuh (Tamenacerim), akibatnya perangpun tak terhindarkan. Pada peperangan tersebut, raja kerajaan Pantanatn / Nek Riuh (Tamenacerim) yang berkuasa pada waktu itu, yakni; raja Patih Ummug Arakng yang merupakan adik kandung dari Kalikng Rangit sendiri, tewas terpenggal ditangan tentara kerajaan Panggau Libau (wijayapura / Puchavarao). Karena ini adalah murni perkara perebutan tahta antar anak raja di kerajaan Pantanantn (Tamenacerim), maka pasukan tentara Panungkakng Bawakng tidak diperkenankan untuk ikut campur, pada perkara yang terjadi didalam negeri kerajaan Pantanatn (Tamenacerim) tersebut. Maka dari itu, pihak pengurus dewan Panungkakng Bawakng (penunjang dinasti Bawakng) yang berada di kota Bawakng Basawag ibukota kerajaan Bawakng (Tamaratos) tidak dapat mengirim pasukannya ke kerajaan Pantanatn.

 

Terbunuhnya raja Patih Ummug Arakng ditangan tentara kerajaan Panggau Libau / Wijayapura (Puchavarao) yang dikerahkan oleh pangeran Kalikng Rangit (Kubah Langit), abang kandungnya sendiri, akhirnya menyebabkan diseluruh wilayah kerajaan Pantanatn / Nek Riuh (Tamenacerim) terjadi suasana yang dalam bahasa Dayak Bakati disebut  “riogatau dalam bahasa Dayak Banyadu dikenal dengan sebutan “rioh / Chioh”, atau dalam bahasa Dayak Kanayatn dikenal dengan sebutan “riuh”, yang bearti “gempar”. Ini adalah suasana kegemparan besar yang melanda rakyat kerajaan Pantanatn, karena tewasnya raja mereka. Setelah peristiwa terbunuhnya raja patih Ummug Arakng inilah yang menyebabkan rakyat kerajaan Pantanatn mulai menyebutkan almarhum raja Patih Ummug Arakng sebagai “Patih Riog atau patih rioh / Chioh atau patih riuh”, yang bearti “raja yang menyebabkan kegemparan”, dan sejak itu pula kerajaan Pantanatn (Tamenacerim) mulai dikenal sebagai kerajaan Nek Riuh (Kakek Riuh).

 

Selanjutnya, situasi dan keadaan di ibukota dan diseluruh wilayah kerajaan Pantanatn / Nek Riuh (Tamenacerim) mulai terjadi suasana “bago” yaitu suasana kalut atau kekacauan atau huru-hara sebagai akibat atas terbunuhnya raja Patih Ummug Arakng (Patih Riuh / Nek Riuh). Pada saat kekosongan kekuasaan tersebut, para bangsawan kerajaan mengadakan pertemuan didalam istana rumah panjang kota Barangan, mereka saling berdebat, untuk mencari cara bagaimana membuat kebijakan yang tepat dalam menghadapi gempuran tentara kerajaan Panggau Libau (Wijayapura / Puchavarao). Sebagian Bangsawan mengusulkan agar si Kalikng Rangit diangkat menjadi raja, dengan harapan ia menghentikan serangan tentaranya. Namun, karena sudah terlanjur benci dengan Kalikng Rangit, maka mayoritas dari para Bangsawan kerajaan Pantanatn (Tamenacerim) menolaknya.

 

Untuk mengatasi suasana Bago (kalut / Chaos / Kacau) tersebut, kemudian rakyat kerajaan Pantanatn / Nek Riuh (Tamenacerim) mengangkat adik laki-laki dari raja Patih Ummug Arakng (nek Riuh) dan Kalikng Rangit untuk menjadi raja, dia adalah Jamawar. Sudah menjadi tradisi kepada seluruh raja Dayak, bahwa setelah seorang raja dinobatkan, kepadanya akan diberi gelar “patih”. Maka, setelah dinobatkan menjadi raja kerajaan Pantanatn, kepada Jamawar diberi gelar Patih, sehingga beliau dikenal dengan sebutan Patih Jamawar. Pada saat Patih Jamawar berkuasa, serangan tentara kerajaan Panggau Libau (wijayapura / Puchavarao) masih cukup masif terjadi, bahkan mereka mendirikan beberapa benteng atau kamp penampungan pasukan di wilayah kerajaan Bantanatn. Raja Patih Jamawar yang masih muda menjadi stress karena melihat tentara kerajaannya tidak mampu mengusir orang-orang Dayak Iban Saribas, yaitu para personil pasukan tentara kerajaan Panggau Libau (wijayapura / Puchavarao)  yang dikerahkan oleh abangnya si Kalikng Rangit tersebut.

 

Setelah itu timbul ide dari raja Patih Jamawar, untuk meminta bantuan kepada orang Dayak Kanayatn (Salako Badamea), agar mengumpulkan orang-orang Salako untuk membantu orang-orang Dayak Bakati penduduk kerajaan Pantanatn (Tamenacerim), agar  bersama bergabung bersama dengan tentara kerajaan Pantanatn (Tamenacerim), untuk mengusir orang-orang Dayak Iban Saribas yang menjadi tentara kerajaan Panggau Libau (Wijayapura / Puchavarao) tersebut. Raja Patih Jamawar berjanji akan menyerahkan sebagian tanah diwilayah kerajaannya kepada Dayak Salako, apabila mereka dapat mengusir orang-orang Iban tersebut.

 

Untuk menemui orang-orang Dayak Salako, raja Patih Jamawar mengutus kepala kampung Nanga Bakati, yang kampungnya terletak disekitar muara batangan Bakati (sungai Sambas), yang juga dekat dengan wilayah penyebaran Dayak Salako, supaya segera menemui para pemimpin adat orang Dayak Salako. Kepala kampung Nanga Bakati tersebut bernama Anjel. Didalam kesehariannya, tuan Anjel sering disapa atau dipanggil dengan sapaan “Shama Mangkat” yang bearti “ayahnya si Mangkat”, hal ini dilakukan karena disebabkan oleh nama anak tertuanya yang bernama “mangkat”. Didalam bahasa Dayak Kanayatn Salako, sapaan “ayahnya si Mangkat” disebut dengan sapaan atau panggilan “Pa’ Mangkat”. Dari nama panggilan Pa’ Mangkat menurut versi Dayak Kanayatn Salako inilah kampung tuan Anjel alias ayahnya si Mangkat, yaitu kampung Nanga Bakati  tersebut mulai disebut kampung Pa’ mangkat. Kampung Pa’ Mangkat inilah yang berkembang menjadi kota yang disebut Pemangkat dimasa sekarang ini.

 

Sewaktu menemui para pemimpin orang Dayak Salako dan meminta bantuan kepada mereka, Tuan Anjel juga menyampaikan janji raja Patih Jamawar, bahwa beliau akan memberikan sebagian dari wilayah kerajaannya yang berada dibagian barat, untuk diserahkan kepada penduduk Dayak Salako, apabila mereka mampu mengusir tentara kerajaan Panggau Libau (Wijayapura / Puchavarao) kelak. Sejak pertemuan antara tuan Anjel dengan para pemimpin orang Dayak Salako inilah, tuan Anjel mulai dikenal dengan sebutan “Anjel Pajanji” yang artinya adalah “Anjel si tukang janji”. Tidak semua orang Bakati senang dengan kebijakan raja Patih Jamawar yang berjanji akan menyerahkan wilayah kerajaannya sebagai hadiah kepada orang Dayak Salako. Ada cukup rakyatnya yang tidak setuju. Sejak saat itu, oleh mereka yang tidak setuju tersebut, mulai menjuluki raja Patih Jamawar dengan bahasa Dayak Bakati sebagai “patih Sarag” yang artinya “patih Salah”. Maksudnya adalah “patih yang membuat kebijakan yang salah”.

 

Beberapa hari kemudian, sebagai tanggapan atas permintaan raja patih Jamawar alias Patih Sarag tersebut, warga Dayak Kanayatn yang bermukim dibagian hilir dan didekat muara Batangan Salako (Sungai Selakau) langsung mengumpulkan massa untuk membentuk sebuah pasukan khusus yang dipimpin oleh tiga orang panglima. Para pemimpin pasukan Dayak Kanayatn Salako tersebut adalah; panglima Keto, panglima Antoro dan panglima Padatn. Pada serangan yang dilancarkan oleh pasukan ketiga orang panglima Dayak Kanayatn Salako tersebut, berhasil membunuh Shama Jopi (ayahnya si Jopi), yang tak lain adalah abang kandung dari raja Patih Ummug Arakng yang bernama Kalikng Rangit, yang mengerahkan dan memimpin tentara kerajaan Panggau Libau (wijayapura / Puchavarao) tersebut. Tidak lama kemudian pasukan lain dari Dayak Kanayatn yang dipimpin oleh Panglima Nibog bergabung dengan pasukan Dayak Kanayatn yang melakukan penyerangan terlebih dahulu tadi. Gabungan pasukan mereka itu akhirnya mampu menewaskan banyak tentara kerajaan Panggau Libau (wijayapura / Puchavarao), hingga akhirnya menyebabkan tentara kerajaan Panggau Libau yang tersisa mundur dan melarikan diri ke negerinya.

 

Terjadinya Peristiwa Sambas

Dengan kemenangan yang telah dicapai oleh sisa tentara kerajaan Pantanatn / Nek Riuh (Tamenacerim) yang dibantu oleh pasukan Dayak Kanayatn Salako tersebut, kemudian sesuai janji raja Patih Jamawar alias Patih Sarag (patih salah). Akhirnya wilayah bagian barat dari kerajaan Pantanatn / Nek Riuh (Tamenacerim), yaitu tanah pesisir pantai barat, tanah pesisir pantai utara dan tanah disepanjang daerah aliran sungai (DAS) Bantanatn diserahkan kepada Dayak Kanayatn Salako. Dengan penyerahan wilayah bagian barat kerajaan Bantanatn / Nek Riuh (Tamenacerim) tersebut, maka seluruh penduduknya, yaitu seluruh orang Bakati yang tinggal ditepi pantai barat dan pantai utara, yang tinggal disepanjang Batangan Bantanatn (sungai Bantanatn) dan yang tinggal di muara batangan Bakati (sungai Sambas), diminta untuk segera pindah ke arah timur wilayah kerajaan Pantanatn / Nek Riuh (Tamenacerim).

 

          Peristiwa pengosongan penduduk Dayak Bakati dari wilayah kerajaan Pantanatn / Nek Riuh (Tamenacerim) bagian barat tersebutlah yang dikenal dengan sebutan peristiwa SAMBAS tersebut. Istilah SAMBAS berasal dari bahasa Dayak Bakati, yaitu terbentuk dari singkatan kata SAMpe aBAS yang bearti SAMPAI HABIS. Dimasa kini kebanyak orang mengira sebutan SAMBAS merupakan singkatan dari kata dalam bahasa tionghoa “SAM” yang artinya “tiga” dan kata dalam bahasa Dayak “BASa” yang artinya “bahasa”. Jadi menurut versi yang beredar selama ini, SAMBAS bearti “tiga bahasa dari tiga bangsa”, hal ini untuk menyebutkan bahasa penduduk kabupaten Sambas dimasa sekarang yang terdiri dari bahasa Dayak, bahasa Melayu dan bahasa Tionghoa.

 

          Perkiraan tersebut sangat tidak tepat, mengingat kenyataan bahasa yang terdapat dikabupaten Sambas terdapat empat bahasa, yaitu bahasa Dayak Bakati, Bahasa Dayak Kanayatn (Salako), bahasa Melayu dan bahasa Tionghoa. Yang menjadi permasalahannya adalah; jika memang sebutan SAMBAS berasal dari bahasa Tionghoa, maka seharusnya bukan menggunakan nama SAMBAS, melainkan dengan nama SAM MINCHUK (tiga Bangsa) atau SAM NGINGIEN (tiga Bahasa). Karena kenyataannya adalah disebut SAMBAS. Karena itu, dugaan paling kuat dari maksud sebutan “Sambas” tersebut adalah memang SAMpe aBAS (Sampai Habis). Hal ini dilakukan untuk mengenang peristiwa bersejarah tentang pengosongan wilayah barat kerajaan Pantanatn (Tamenacerim) dari orang-orang Dayak Bakati sebagai penduduk aslinya.

 

          Dengan dilakukannya “pengosongan SAMpe aBAS (SAMBAS)” terhadap penduduk Dayak Bakati dibagian barat wilayah kerajaan Pantanatn / Nek Riuh (Tamenacerim) tersebut. Kemudian menyebabkan seluruh penduduk kota Barangan dan kampung-kampung Dayak Bakati diseluruh DAS Batangan Bantanatn (sungai Bantanatn), penduduk pantai barat dan utara serta penduduk muara Batangan Bakati (sungai Sambas), segera beramai-ramai pergi kearah timur, mereka menyusuri batangan bakati (sungai sambas). Kelompok orang Bakati yang setia dengan almarhum raja Patih Ummug Arakng (Neng Rio’ / Nek Riuh) masuk ke sungai seluas dan tinggal menyebar di antara orang-orang Dayak Bakati lokal disepanjang sungai seluas dan tanah utara sanggau ledo dimasa sekarang. Orang-orang Dayak Bakati yang berasal dari keturunan kelompok yang setia dengan raja Patih Ummug Arakng (Neng Rio’ / Nek Riuh) inilah yang dikenal dengan sebutan Dayak Bakati Rio’ dimasa sekarang. Sementara, kelompok orang-orang Dayak Bakati yang menjadi pengikut setia dari raja Patih Jamawar alias Patih Sarag, masuk ke arah timur melalui sungai sanggau ledo, mereka tinggal menyebar diantara orang-orang Dayak Bakati lokal. Orang-orang Bakati yang berasal dari keturunan para pengikut raja Patih Jamawar alias Patih Sarag inilah yang dikenal dengan sebutan Dayak Bakati Sarag dimasa sekarang ini.

 

Selain itu, sebagian dari orang-orang Bakati yang berasal dari tanah barat kerajaan Pantanatn / Nek Riuh (Tamenacerim) tersebut memilih bergerak ke arah hulu batangan Bakati (sungai Sambas) yang masuk wilayah kerajaan Bawakng (Tamaratos), kelompok ini dipimpin oleh kakak kandung raja Patih Jamawar alias Patih Sarag (Patih Salah) yang bernama Dara Ngatapm. Kakak perempuan raja Jamawar inilah yang dikenal dengan nama Ngatapm Barangan (Ngatapm dari kota Barangan) yang kemudian diperebuti oleh raja Patih Payog (Bujakng Nyangkog Samabue) raja yang berkuasa di kerajaan Bawakng (Tamaratos) pada waktu itu, dengan raja Patih Ria Jambi (Aria Jampi) yaitu raja yang berkuasa di kerajaan Satona (Sthana Pura) yang ibukotanya telah pindah ke kota Jarikng tersebut.

 

Setelah ibukota kerajaan Pantanatn / Nek Riuh (Tamenacerim) pindah ke kota Sango (sanggau ledo), beberapa tahun kemudian, terjadi konflik antara raja Patih Jamawar dengan satu rakyatnya, hal ini disebabkan oleh Patih Jamawar yang merebut istri salahsatu rakyatnya tersebut, karena sang suami tidak dapat menerima perbuatan Patih sarag, akhirnya ia nekat membunuh raja Patih Jamawar alias Patih Sarag (Patih Salah). Karena raja Patih Jamawar / Patih Sarag (Patih Salah) belum memiliki keturunan, menyebabkan kerajaan Bantanatn / Nek Riuh (Tamenacerim) langsung runtuh. Peristiwa keruntuhan kerajaan Pantanatn / Nek Riuh (Tamenacerim) dimasa pimpinan raja Patih Jamawar alias Patih Sarag inilah yag menyebabkan almarhum Patih Jamawar kemudian disebut sebagai raja Patih Jamawar Ampor Gayokng atau hanya disebut “Mawar Ampor Gayokng” saja. Yang artinya “Patih Jamawar hancur total”, maksudnya adalah kerajaan yang dipimpin oleh raja Patih Jamawar berakhir total secara tragis tanpa bekas.

 

Setelah wilayah bagian barat kerajaan Bantanatn kosong dari penduduk aslinya yaitu orang-orang Dayak Bakati, kemudian secara bertahap orang-orang Dayak Kanayatn dari Batangan Salako (sungai selakau) datang untuk menempati pemukiman-pemukiman orang bakati yang telah kosong tersebut. Daerah tersebut meliputi kampung Nanga Bakati (muara sungai sambas) yang dimasa sekarang menjadi wilayah kecamatan Pemangkat, Bantaran Batangan Bakati (sungai Sambas) yang meliputi kecamatan Sambas dan Kecamatan Tebas, bantaran sungai Bantanatn yang meliputi Kecamatan Sekura, Kecamatan Galing dan lain-lain, wilayah pantai barat yang meliputi Kecamatan Paloh, Tanjung Datu serta daerah pantai utara yang meliputi daerah Sematan dan daerah Lundu Sarawak Barat dan kecamatan Sajingan. Setelah kurang-lebih selama dua abad orang-orang Dayak Kanayatn Salako menempati wilayah bagian barat kerajaan Bantanatn, kemudian orang-orang melayu yang berasal dari kepulauan Riau, pulau Singapura dan semenanjung Malaya mulai berdatangan ke daerah Sambas. Orang-orang Melayu tersebut banyak kawin-mawin dengan penduduk lokal, baik yang berasal dari Dayak Kanayatn Salako maupun dengan penduduk lokal yang berasal dari Dayak Bakati.

 

Berikut Adalah Nama Enam Orang Raja Yang Pernah Berkuasa Di Kerajaan Pantanatn / Nek Riuh (Tamenacerim)

1.   Patih Jaek (Langkah Pelan / Penuh dengan Kehati-hatian),

menjelang akhir abad 11 M

2.   Patih Tongkor Labatn (Tunggul Kayu Laban) / Patih Marabatn Ampor (Patih yang Membawa Keretakan / kehancuran), abad 12

3.   Patih Enal (patih Pemicu), Abad 12

4.   Patih Baruwakng Kulub (Berkerabatan Kulub), Abad 13

5.   Patih Ummug Arakng (Patih Riog / Patih Riuh), abad 13

6.   Patih Jamawar / Patih Sarag (patih Salah) / Patih Jamawar Ampor Gayokng (patih Jamawar Hancur Total), Abad 13

 

 

 

 

0 komentar :

Posting Komentar

 

Translate

Label

Adat (5) Bigbang (14) Budaya (5) Dayak (10) Kerajaan Dayak (11) Multiverse (3)