Minggu, 30 Agustus 2020

Adat Pembakaran Mayat Bangsa Dayak


Tradisi perlakuan terhadap jasad orang yang telah meninggal dunia pada kebudayaan Dayak sejak jaman purba hingga sekarang terdapat kurang-lebih lima cara. Ke-lima cara tersebut antara lain; Tradisi pertama adalah kuburan gua. Jenasah yang diletakan didalam gua adalah bentuk penguburan Dayak yang paling kuno. Adapun penyebabnya diduga karena peralatan jaman kuno masih seadanya, yang umumnya terbuat dari batu. Sehingga jasad-jasad tidak dapat dibenam didalam tanah. Bentuk adat penguburan kedua adalah penguburan diatas bukit. Cara penguburan ini terjadi ketika peralatan yang diperlukan telah dibuat. Peralatan yang dimaksud adalah seperti linggis, cangkul dan perkakas penggali lainnya. Adapun maksud penguburan diatas bukit ini adalah agar orang yang telah meninggal tersebut cepat menggapai atau menyentuh langit atau surga.

 

Pada kampung-kampung yang didaerahnya tidak terdapat bukit atau memiliki bukit namun jaraknya terlalu jauh dari kampung, maka jasad tidak dibenamkan didalam tanah puncak bukit. Sebagai gantinya dilakukanlah adat Sandong (Sandung)  yaitu peletakan Lungun (Peti Jenazah Gantung) yang berisi jenazah diatas sebuah atau dua buah tiang kayu yang cukup tinggi. Tujuan adat peletakan Lungun (Peti Jenazah Gantung) yang berisi jenazah dengan caraSandong (Sandung) ini sama dengan tujuan pada adat penguburan jenazah diatas bukit, yaitu bermaksud agar orang yang telah meninggal dunia segera menggapai atau menyentuh langit (Surga). Hal itulah yang menyebabkannya disebut Sandong (Sandung) yang bearti “menyentuh”.

 

Pada abad ke delapan masehi, pengaruh agama Yahudi masuk ke kalimantan barat bagian barat, maka cara penguburan jasad orang yang meninggal dunia pada kebudayaan Dayak Kalbar bagian barat kemudian diganti. Jika tadinya dilakukan dengan cara menguburkan jenazah diatas bukit atau digantung diatas tiang Sandong (Sandung), maka setelah mendapat pengaruh agama Yahudi, cara penguburan diganti dengan cara menguburkan jenazah lansung didalam tanah yang dekat dengan perkampungan. Sebelum dikubur, jenazah akan dimasukan kedalam Rarukng (Peti Jenazah Benam), kemudian dikubur. Setelah dikubur, tiga hari kemudian diatas kuburan diberi tanda dengan menggunakan dua buah Tambak (Nisan) dengan model yang berbeda.

 

Model pertama ditancap diatas tanah pada ujung bagian kaki jenazah berbentuk rumah kecil yang diletakan pada atas sebuah tiang. Ini merupakan simbol Sandong (Sandung) yaitu bentuk adat penguburan sebelumnya. Model tambak (Nisan) yang kedua berbentuk tegak lurus, yang ditancap pada diatas tanah pada ujung bagian kepala jenazah. Ini merupakan tiruan model tambak (Nisan) pada kuburan orang Yahudi. Pada abad ke 19 masehi, ketika agama kristen mulai dianut oleh orang Dayak, maka tambak (Nisan) pada kuburan orang Dayak bertambah satu, yaitu berbentuk salib yang diletakkan di atas tanah diujung bagian kepala jenazah, sementara yang mendapat pengaruh Yahudi posisinya berpindah ke bagian tengah.  

 

Adat Pembakaran Mayat Pada Kebudayaan Dayak Kal-Bar Bagian Barat

Ketika pengaruh agama Hindu Masuk ke Kalimantan bagian barat sekitar abad ke 12 masehi, yang ini dibawa oleh orang-orang Jawa yang berasal dari kerajaan Majapahit. Maka bentuk penguburan jenazah orang yang meninggal dunia juga mengalami perubahan. Pada masa ini jenazah tidak lagi dikuburkan, namun diganti dengan cara dibakar. Pada masa ini lokasi kuburan tidak lagi disebut kuburan tetapi disebut Patinug pada rumpun Dayak Bidayuhik atau Patunuan pada rumpun Dayak Kanayanik dan Ibanik. Berikut adalah tahapan-tahapan yang dilakukan pada adat pembakaran mayat pada kebudayaan Dayak Kal-Bar bagian barat dan Dayak Sarawak yang dahulu sempat dilakukan adalah sebagai berikut:

 

          Apabila pada sebuah kampung terdapat warganya yang meninggal dunia, maka seluruh warga akan bergotong royong bekerja sesuai keahliannya, untuk mempercepat upacara pembakaran. Sebelum jeazah diberangkatkan ke Patinug (Lokasi Pembakaran Mayat), pada jenazah diletakan sebanyak tiga gumpalan tanah. Adapun bagian tubuh yang diletakan dengan tiga gumpalan tanah tersebut adalah; Segumpal tanah diletakan diatas kepala, satu gumpal diletakan disisi kiri dan satu gumpal juga diletakan disebelah kanan.


          Kemudian kedua kelopak mata dan pusar jenazah di tutupi dengan koin. Tubuh jenazah dihiasi seperti seolah-olah masih hidup, diberi minyak wangi dan ditutupi kain putih baru. Setelah semua sudah selesai dilakukan, maka jenazah akan dibawa ke Patinug (Lokasi Pembakaran Mayat). Kayu bakar yang digunakan untuk pembakaran jenasah harus menggunakan kayu yang berasal dari pohon buah, seperti kayu durian, rambutan dan lain-lain. Namun yang diutamakan adalah kayu bakar dari pohon Langsat. Jika dalam keadaan terpaksa karena tidak memiliki kayu yang berasal dari pohon bebuahan, maka kayu pohon non buah boleh dipakai dengan syarat sangat tidak diperbolehkan untuk menggunakan kayu bakar yang berasal dari kayu pohon jengkol dan kayu pohon porakng.

Pembakaran Mayat pada suku Dayak Pesaguan Kabupaten Ketapang Kal-Bar


          Api pembakaran harus berasal dari kayu api yang sedang dibakar, yang berasal langsung dari dapur rumah almarhum. Pada saat pembakaran mayat, api disulut oleh enam orang penyulut, yakni tiga orang dari pihak ayah almarhum yang berdiri disebelah kanan jenazah dan tiga orang dari pihak Ibu almarhum yang berdiri disebelah kanan jenazah dan kepala adat berdiri di ujung kepala jenazah almarhum. Masing-masing memegang nyiru (alat penampi). Pembakaran Jenazah harus sampai menjadi Abu. Selama dibakar menurut kepercayaan Dayak, jiwa orang mati akan melayang menuju sabayatn (Surga).


          Setelah proses penguburan selesai, seluruh peserta harus pulang ke rumah almarhum. Di depan rumah almarhum harus dibuat api unggun kecil oleh orang-orang yang tidak ikut ke Patinug (Lokasi Pembakaran Mayat). Ketika seluruh orang telah pulang dari Patinug (Lokasi Pembakaran Mayat), mereka tidak diperbolehkan untuk langsug pulang ke rumah masing-masing, melainkan harus menuju ke rumah almarhum terlebih dahulu. Sebelum mereka memasuki rumah almarhum, maka mereka diharuskan untuk melangkahi api unggun kecil yang telah dinyalakan dihalaman depan rumah almarhum. Tujuan melangkahi api unggun ini adalah agar segala setan perusak dan pengganggu diusir dan dicegah masuk ke dalam rumah almarhum. Setelah itu mereka diharuskan mandi untuk membersihkan diri.


          Selama tiga hari setelah hari pembakaran jenazah. Seluruh keluarga bergotong royong membuat berbagai bentuk perabot dari kayu dengan model segala benda yang pernah dilihat almarhum ketika masih hidup, baik berupa meja, kursi dan benda lainnya. Setelah seluruh benda tersebut dibuat, kemudian seluruh benda tersebut dibawa ke Patinug (Lokasi Pembakaran Mayat). Pada lokasi Patinug (Lokasi Pembakaran Mayat) mereka berdoa kepada Tuhan dengan maksud agar arwah almarhum itu tidak lagi datang ke rumah almarhum dan agar arwah almarhum di terima disisi Tuhan di Sabayatn (Surga).


          Tiga hari kemudian atau hari yang ke-enam setelah upacara pembakaran jenazah. Keluarga almarhum mengantar makanan ke Patinug (Lokasi Pembakaran Mayat), ini bermaksud sebagai hubungan terakhir dengan arwah almarhum. Pada hari yang ke-tujuh diadakan upacara di rumah almarhum, dimana pada waktu itu pihak keluarga wajib menyediakan satu piring berisi abu dapur, satu piring berisi air dan satu piring berisi makanan. Ke-tiga buah piring tersebut diletakan secara berurutan didepan tetua adat yang berjaga didepan tangga rumah dengan urutan dari piring makanan, piring air dan piring Abu.


          Kemudian tetua akan memanggilarwah almarhum. Jika arwah almarhum  datang maka akan terlihat telapak kaki pada abu, kemudian wajah arwah almarhum akan terlihat pada pantulan air didalam piring dan kemudian piring makanan akan berderai jatuh. Menurut kepercayaan Dayak setelah arwah almarhum akan melihat bayangan dirinya pada permukaan air didalam piring tersebut, maka ia akan sadar setelah melihat goresan kunyit  pada dahinya,  bahwa ia telah berbeda dengan orang yang masih hidup.


          Dengan demikian arwah almarhum akan mengerti bahwa ia tidak diperbolehkan lagi untuk mendatangi rumah keluarganya. Dan segera pergi untuk menuju ke Sabayatn (Surga) yang telah disiapkan oleh Jubata (Tuhan). Acara terakhir yang dilakukan oleh pihak keluarga almarhum adalah mengucapkan syukur dan terima kasih kepada Jubata (Tuhan), pada saat itu seluruh tamu yang hadir harus membawa Makanan sebagai bentuk kerja-sama untuk menghibur keluarga yang berduka.


          Pada abad ke-17 masehi atas perintah Neng Matas, yang merupakan seorang tetua adat yang sangat berpengaruh, adat pembakaran mayat pada orang Dayak Kal-Bar bagian barat dihentikan. Setelah itu cara perlakuan terhadap jenazah orang yang meninggal dunia dikembalikan ke cara penguburan seperti pada jaman pengaruh agama Yahudi. Pada masa kini, pengaruh adat pembakaran jenazah tersebut masih dilakukan oleh orang Dayak di kampung-kampung pedalaman Kal-Bar dan Sarawak, dimana apabila terdapat warga kampung yang meninggal dunia, pada waktu sebelum penguburan, oleh mereka yang bertugas untuk menggali tanah kuburan, mereka diharuskan untuk membawa obor yang dinyalakan dengan api, begitu juga dengan rombongan pengantar jenazah pada saat ke kuburan, orang yang paling depan atau kepala jalan diharuskan membawa obor yang dinyalakan dengan api.

0 komentar :

Posting Komentar

 

Translate

Label

Adat (5) Bigbang (14) Budaya (5) Dayak (10) Kerajaan Dayak (11) Multiverse (3)