Tradisi
perlakuan terhadap jasad orang yang telah meninggal dunia pada kebudayaan Dayak
sejak jaman purba hingga sekarang terdapat kurang-lebih lima cara. Ke-lima cara
tersebut antara lain; Tradisi pertama adalah kuburan gua. Jenasah yang
diletakan didalam gua adalah bentuk penguburan Dayak yang paling kuno. Adapun
penyebabnya diduga karena peralatan jaman kuno masih seadanya, yang umumnya
terbuat dari batu. Sehingga jasad-jasad tidak dapat dibenam didalam tanah.
Bentuk adat penguburan kedua adalah penguburan diatas bukit. Cara penguburan
ini terjadi ketika peralatan yang diperlukan telah dibuat. Peralatan yang
dimaksud adalah seperti linggis, cangkul dan perkakas penggali lainnya. Adapun
maksud penguburan diatas bukit ini adalah agar orang yang telah meninggal
tersebut cepat menggapai atau menyentuh langit atau surga.
Pada
kampung-kampung yang didaerahnya tidak terdapat bukit atau memiliki bukit namun
jaraknya terlalu jauh dari kampung, maka jasad tidak dibenamkan didalam tanah
puncak bukit. Sebagai gantinya dilakukanlah adat Sandong (Sandung) yaitu
peletakan Lungun (Peti Jenazah Gantung) yang
berisi jenazah diatas sebuah atau dua buah tiang kayu yang cukup tinggi. Tujuan
adat peletakan Lungun (Peti Jenazah
Gantung) yang berisi jenazah
dengan caraSandong (Sandung) ini sama
dengan tujuan pada adat penguburan jenazah diatas bukit, yaitu bermaksud agar
orang yang telah meninggal dunia segera menggapai atau menyentuh langit (Surga). Hal itulah yang
menyebabkannya disebut Sandong (Sandung)
yang bearti “menyentuh”.
Pada
abad ke delapan masehi, pengaruh agama Yahudi masuk ke kalimantan barat bagian
barat, maka cara penguburan jasad orang yang meninggal dunia pada kebudayaan
Dayak Kalbar bagian barat kemudian diganti. Jika tadinya dilakukan dengan cara
menguburkan jenazah diatas bukit atau digantung diatas tiang Sandong (Sandung), maka setelah mendapat
pengaruh agama Yahudi, cara penguburan diganti dengan cara menguburkan jenazah
lansung didalam tanah yang dekat dengan perkampungan. Sebelum dikubur, jenazah
akan dimasukan kedalam Rarukng (Peti
Jenazah Benam), kemudian dikubur. Setelah dikubur, tiga hari kemudian
diatas kuburan diberi tanda dengan menggunakan dua buah Tambak (Nisan) dengan model yang berbeda.
Model
pertama ditancap diatas tanah pada ujung bagian kaki jenazah berbentuk rumah
kecil yang diletakan pada atas sebuah tiang. Ini merupakan simbol Sandong (Sandung) yaitu bentuk adat
penguburan sebelumnya. Model tambak
(Nisan) yang kedua berbentuk tegak lurus, yang ditancap pada diatas tanah
pada ujung bagian kepala jenazah. Ini merupakan tiruan model tambak (Nisan) pada kuburan orang
Yahudi. Pada abad ke 19 masehi, ketika agama kristen mulai dianut oleh orang
Dayak, maka tambak (Nisan) pada
kuburan orang Dayak bertambah satu, yaitu berbentuk salib yang diletakkan di
atas tanah diujung bagian kepala jenazah, sementara yang mendapat pengaruh
Yahudi posisinya berpindah ke bagian tengah.
Adat Pembakaran Mayat Pada Kebudayaan Dayak
Kal-Bar Bagian Barat
Ketika
pengaruh agama Hindu Masuk ke Kalimantan bagian barat sekitar abad ke 12
masehi, yang ini dibawa oleh orang-orang Jawa yang berasal dari kerajaan
Majapahit. Maka bentuk penguburan jenazah orang yang meninggal dunia juga
mengalami perubahan. Pada masa ini jenazah tidak lagi dikuburkan, namun diganti
dengan cara dibakar. Pada masa ini lokasi kuburan tidak lagi disebut kuburan
tetapi disebut Patinug pada rumpun
Dayak Bidayuhik atau Patunuan pada rumpun Dayak Kanayanik
dan Ibanik. Berikut adalah
tahapan-tahapan yang dilakukan pada adat pembakaran mayat pada kebudayaan Dayak
Kal-Bar bagian barat dan Dayak Sarawak yang dahulu sempat dilakukan adalah
sebagai berikut:
Apabila pada sebuah kampung terdapat
warganya yang meninggal dunia, maka seluruh warga akan bergotong royong bekerja
sesuai keahliannya, untuk mempercepat upacara pembakaran. Sebelum jeazah
diberangkatkan ke Patinug (Lokasi
Pembakaran Mayat), pada jenazah diletakan sebanyak tiga gumpalan tanah.
Adapun bagian tubuh yang diletakan dengan tiga gumpalan tanah tersebut adalah;
Segumpal tanah diletakan diatas kepala, satu gumpal diletakan disisi kiri dan
satu gumpal juga diletakan disebelah kanan.
Kemudian kedua kelopak mata dan pusar
jenazah di tutupi dengan koin. Tubuh jenazah dihiasi seperti seolah-olah masih
hidup, diberi minyak wangi dan ditutupi kain putih baru. Setelah semua sudah
selesai dilakukan, maka jenazah akan dibawa ke Patinug (Lokasi Pembakaran Mayat). Kayu bakar yang digunakan untuk
pembakaran jenasah harus menggunakan kayu yang berasal dari pohon buah, seperti
kayu durian, rambutan dan lain-lain. Namun yang diutamakan adalah kayu bakar
dari pohon Langsat. Jika dalam keadaan terpaksa karena tidak memiliki kayu yang
berasal dari pohon bebuahan, maka kayu pohon non buah boleh dipakai dengan
syarat sangat tidak diperbolehkan untuk menggunakan kayu bakar yang berasal
dari kayu pohon jengkol dan kayu pohon porakng.
Pembakaran Mayat pada suku Dayak Pesaguan Kabupaten Ketapang Kal-Bar |
Api pembakaran harus berasal dari kayu
api yang sedang dibakar, yang berasal langsung dari dapur rumah almarhum. Pada
saat pembakaran mayat, api disulut oleh enam orang penyulut, yakni tiga orang
dari pihak ayah almarhum yang berdiri disebelah kanan jenazah dan tiga orang
dari pihak Ibu almarhum yang berdiri disebelah kanan jenazah dan kepala adat
berdiri di ujung kepala jenazah almarhum. Masing-masing memegang nyiru (alat penampi). Pembakaran Jenazah
harus sampai menjadi Abu. Selama dibakar menurut kepercayaan Dayak, jiwa orang
mati akan melayang menuju sabayatn
(Surga).
Setelah proses penguburan selesai,
seluruh peserta harus pulang ke rumah almarhum. Di depan rumah almarhum harus
dibuat api unggun kecil oleh orang-orang yang tidak ikut ke Patinug (Lokasi Pembakaran Mayat). Ketika
seluruh orang telah pulang dari Patinug
(Lokasi Pembakaran Mayat), mereka tidak diperbolehkan untuk langsug pulang
ke rumah masing-masing, melainkan harus menuju ke rumah almarhum terlebih
dahulu. Sebelum mereka memasuki rumah almarhum, maka mereka diharuskan untuk
melangkahi api unggun kecil yang telah dinyalakan dihalaman depan rumah almarhum.
Tujuan melangkahi api unggun ini adalah agar segala setan perusak dan
pengganggu diusir dan dicegah masuk ke dalam rumah almarhum. Setelah itu mereka
diharuskan mandi untuk membersihkan diri.
Selama tiga hari setelah hari pembakaran
jenazah. Seluruh keluarga bergotong royong membuat berbagai bentuk perabot dari
kayu dengan model segala benda yang pernah dilihat almarhum ketika masih hidup,
baik berupa meja, kursi dan benda lainnya. Setelah seluruh benda tersebut
dibuat, kemudian seluruh benda tersebut dibawa ke Patinug (Lokasi Pembakaran Mayat). Pada lokasi Patinug (Lokasi Pembakaran Mayat) mereka berdoa kepada Tuhan dengan
maksud agar arwah almarhum itu tidak lagi datang ke rumah almarhum dan agar arwah
almarhum di terima disisi Tuhan di Sabayatn
(Surga).
Tiga hari kemudian atau hari yang
ke-enam setelah upacara pembakaran jenazah. Keluarga almarhum mengantar makanan
ke Patinug (Lokasi Pembakaran Mayat), ini
bermaksud sebagai hubungan terakhir dengan arwah almarhum. Pada hari yang ke-tujuh
diadakan upacara di rumah almarhum, dimana pada waktu itu pihak keluarga wajib
menyediakan satu piring berisi abu dapur, satu piring berisi air dan satu
piring berisi makanan. Ke-tiga buah piring tersebut diletakan secara berurutan didepan
tetua adat yang berjaga didepan tangga rumah dengan urutan dari piring makanan,
piring air dan piring Abu.
Kemudian tetua akan memanggilarwah
almarhum. Jika arwah almarhum datang
maka akan terlihat telapak kaki pada abu, kemudian wajah arwah almarhum akan
terlihat pada pantulan air didalam piring dan kemudian piring makanan akan
berderai jatuh. Menurut kepercayaan Dayak setelah arwah almarhum akan melihat
bayangan dirinya pada permukaan air didalam piring tersebut, maka ia akan sadar
setelah melihat goresan kunyit pada dahinya,
bahwa ia telah berbeda dengan orang yang
masih hidup.
Dengan demikian arwah almarhum akan
mengerti bahwa ia tidak diperbolehkan lagi untuk mendatangi rumah keluarganya.
Dan segera pergi untuk menuju ke Sabayatn
(Surga) yang telah disiapkan oleh Jubata
(Tuhan). Acara terakhir yang dilakukan oleh pihak keluarga almarhum adalah
mengucapkan syukur dan terima kasih kepada Jubata
(Tuhan), pada saat itu seluruh tamu yang hadir harus membawa Makanan
sebagai bentuk kerja-sama untuk menghibur keluarga yang berduka.
Pada abad ke-17 masehi atas perintah Neng Matas, yang merupakan seorang tetua
adat yang sangat berpengaruh, adat pembakaran mayat pada orang Dayak Kal-Bar
bagian barat dihentikan. Setelah itu cara perlakuan terhadap jenazah orang yang
meninggal dunia dikembalikan ke cara penguburan seperti pada jaman pengaruh
agama Yahudi. Pada masa kini, pengaruh adat pembakaran jenazah tersebut masih
dilakukan oleh orang Dayak di kampung-kampung pedalaman Kal-Bar dan Sarawak,
dimana apabila terdapat warga kampung yang meninggal dunia, pada waktu sebelum
penguburan, oleh mereka yang bertugas untuk menggali tanah kuburan, mereka
diharuskan untuk membawa obor yang dinyalakan dengan api, begitu juga dengan
rombongan pengantar jenazah pada saat ke kuburan, orang yang paling depan atau
kepala jalan diharuskan membawa obor yang dinyalakan dengan api.
0 komentar :
Posting Komentar