Tradisi Mangkok Merah awalnya bernama Pinggan Jaranang. Warna merah pada
pinggan (piring) diperolehi dari sari umbi Jaranang
atau Jerangau merah (Acorus calamus).
Ini merupakan sebuah adat yang berfungsi sebagai
media tradisi dalam adat Dayak yang digunakan
untuk menggalang penyatuan kekuatan ketika menghadapi perlawanan dari pihak luar.
Selain itu, adat
mangkok merah juga berfungsi
sebagai media penghubung antara pasukan perang Dayak dengan roh nenek moyang
khususnya para arwah raja-raja dan para panglima
perang Dayak Jaman dahulu, agar merasuki setiap personil pasukan Dayak yang akan bertempur.
Para roh atau arwah-arwah nenek moyang itu di kenal
dengan sebutan kamang tariu.
Perangkat Adat Mangkok Merah terbuat dari bambu atau tanah liat yang
berbentuk bundar, sebagai wadah untuk meletakkan peralatan yang lain. Dasar
mangkuk diolesi dengan sari Jaranang
(Jerangau merah) yang mengandung pengertian pertumpahan darah. Kemudian didalam
mangkok tersebut di isi dengan benda-benda yang memiliki makna masing-masing,
antara lain; Bulu dari sayap ayam yang bermakna
cepat, segera, kilat seperti terbang. Kemudian yang kedua adalah
potongan atap yang terbuat dari daun sagu
(Metroxylon sagus) bermakna bahwa pembawa berita tidak boleh terhambat oleh
hujan dan terik matahari karena si pengedar telah dilindungi atau dipayungi.
Lalu yang ketiga adalah sebuah tongkot
api (potongan sisa kayu bakar yang sudah dipakai untuk memasak di dapur)
bermakna bahwa pembawa berita tidak boleh terhambat oleh petang (gelap) malam
hari karena sudah disediakan penerangan. Dan yang ke-empat adalah seutas
potongan tali simpul yang terbuat dari kapoag
(kulit
kayu
pohon tarap) bermakna sebagai lambang persatuan. Dan yang terakhir
adalah potongan umbi Jaranang atau jerangau merah (Acorus calamus) yang
melambangkan keberanian. Keseluruhannya di masukan ke dalam mangkok tersebut
dan dengan sehelai kain merah kemudian mangkok yang berisi perangkat adat
tersebut dibungkus erat dan siap di edarkan. Setelah perangkat mangkok merah telah siap kemudian
sesepuh Adat membawa mangkuk merah ke panyugu
(mezbah agama adat) pada saat matahari terbenam. Di sana, ia meminta
petunjuk Jubata.
Diyakini bahwa sang Jubata akan menjawab melalui tanda-tanda alam yang
kemudian diterjemahkan oleh sesepuh adat apakah mangkuk merah sudah saatnya
diedarkan atau belum. Jika dianggap layak, tubuh sesepuh tersebut akan dirasuki oleh roh kamang tariu (roh para raja Dayak dan
roh para panglima perang Dayak jaman dahulu). Sesepuh adat yang sudah dirasuki oleh roh kamang tariu akan pulang ke desanya
dengan meneriakan pekikan perang yang
disebut tariu. Penduduk desa mengerti
maksudnya dan berkumpul di lapangan sambil membawa mandau, perisai, dan senjata
lantak dengan kain merah di kepala. Sesepuh Adat kemudian menularkan roh kamang
tariu kepada semua penduduk kemudian mengutus kurir untuk mengantarkan mangkuk
merah ke desa lain.
Beberapa orang yang ditunjuk untuk menyampaikan berita telah diberi arahan
mengenai maksud dan tujuan mangkok merah, siapa saja yang harus ditemui (para
ahli waris), kapan berkumpul, tempat berkumpul, dan sebagainya. Mereka tidak
boleh menginap atau singgah terlalu lama. Meskipun hujan lebat atau hari sudah
petang, mereka harus meneruskan perjalanan. Panglima Adat dari desa lain
dipercaya mengetahui kedatangan kurir dengan kekuatan supernaturalnya dan
menjemputnya bersama dengan penduduk desanya.
Setelah mengetahui siapa musuh yang akan dihadapi, Panglima Adat desa
tersebut akan menularkan roh kamang tariu kepada seluruh penduduk desa. Upacara
mengedarkan mangkuk merah berlangsung di seluruh wilayah yang bisa dijangkau
hingga dianggap cukup untuk menghadapi musuh. Pasukan Dayak yang berada di
bawah pengaruh magis serta dikomando panglima perang konon kebal senjata, tahan
tidak makan hingga sebulan, dan bisa bergerak cepat di dalam hutan, dengan cara
berlari sejauh puluhan sampai ratusan kilometer tanpa mengalami kelelahan dah
kehausan.
Asal Usul Adat Mangkok Merah.
Adat Mangkok Merah pertama kali dirumuskan di kota Bahana yaitu sebuah
kota kuno milik warga Dayak Kanayatn yang
terletak di Kecamatan mempawah
hulu Kabupaten Landak dimasa sekarang. Dahulu kota Bahana adalah pusat pemerintahan yang pertama
dari kerajaan Dayak Kanayatn yang bernama kerajaan Bahana Pura (Bangkule Rajakng),
yaitu cikal
bakal dari kerajaan Mempawah sekarang. Kerajaan Bahanapura (Bangkule
Rajakng) didirikan oleh raja
Patih Ramaga
putra dari putri Balo
Tanang (Cahaya Tenang / Cahaya Temaram)
dengan suaminya pangeran Nyiur Gading anak raja Patih Laja, penguasa kerajaan Panggau
Libau (wijayapura
/ Puchavarao) ,
sebuah kerajaan milik Dayak Iban yang terletak di bantaran sungai
Rajang
(Sungai Raja) Sarawak,
Malaysia dimasa sekarang.
Putri Balo Tanang (Cahaya Tenang / Cahaya Temaram)
sendiri merupakan anak bungsu dari raja Baniamas (Benih emas) yaitu raja yang
berkuasa di kerajaan Bawakng pada waktu itu. Putri Balo Tanang menamai anaknya dengan nama kakeknya yaitu raja Patih Ramaga anak raja patih Langi yakni
raja yang memerintah kerajaan Bawakng sebelum raja Baniamas (Benih emas) berkuasa. Ketika dewasa Ramaga
putra Nyiur
Gading menikah
dengan Santokng Tarig, setelah
menikah mereka melahirkan tujuh orang anak laki-laki. Yaitu Aria Magat, Aria Japu,
Aria
Kombakng, Aria
Taja, Aria
Gandeng, Aria Gading, Aria Jaga.
Sesuai dengan adat
Dayak yang berlaku pada waktu dahulu, bahwa apabila ada pasangan suami
istri yang melahirkan anak pertama hingga anak yang ke tujuh memiliki jenis
kelamin yang sama, maka si suami dari pasangan suami istri tersebut harus
diangkat menjadi raja baru. Maka oleh rakyat kerajaan Bawakng, Ramaga putra Nyiur Gading diangkat menjadi seorang raja, namun beliau tidak
boleh memerintah di kerajaan Bawakng (Tamaratos), melainkan harus membangun kerajaan baru.
Untuk menjalankan tuntutan adat tersebut maka setelah diangkat menjadi
raja, Ramaga bersama keluarganya dan
puluhan warga terpilih yang ditugaskan untuk menyertai Ramaga meninggalkan kota
Bawakng Basawag dan pergi ke selatan
dan tinggal diantara warga orang
Bananag (Dayak Kanayatn) di hulu sungai Karimawatn (sungai
mempawah), disana beliau mendirikan kerajaan baru yang diberi nama kerajaan
Bahanapura dengan ibukotanya “Bahana” dari bahasa sanskerta yang
bearti “bunyi nyaring alias kedengaran
alias terkenal alias masyur”, penggunaan nama bahana dari bahasa sanskerta
dikarenakan patih Ramaga, sebelum menikah beliau pernah merantau ke negeri
bangsa Tambi (tamil) di India selatan
sekarang, dan ketika telah menjadi seorang raja, beliau ingin kerajaannya
terkenal diseantero nusantara.
Itulah sebabnya kenapa nama "bahana"
dipilih untuk menamai ibukota kerajaannya. Suatu saat, oleh generasi
selanjutnya, penyebutan nama kota “Bahana”
berubah pengucapannya menjadi “Bakana”,
kemudian terakhir berubah lagi menjadi diucapkan “Pakana”. Dalam bahasa Dayak sendiri, kota Bahana disebut kota "Gaong", yang jika diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia
bearti "Gaung", dimana kata
ini didalam bahasa Sanskerta juga bearti "Bahana alias Masyur”. Suatu saat di kota Bahana, raja Patih Ramaga pemimpin orang Bananag (Dayak Kanayatn), melakukan
pertemuan dengan para raja dan para pemuka adat dari orang
Banyadu (dayak Banyuke) dan dari orang
Bakati (Dayak Rara), serta
para pemimpin adat dari orang
Banana (Dayak Kanayatn)
bagian timur. Pertemuan tersebut dilakukan untuk membahas perubahan-perubahan tata cara adat
yang telah ada serta pembentukan adat-adat baru.
Salahsatu adat baru yang dibentuk adalah adat mangkok-merah yang pada awalnya
bernama adat Pinggatn
Jaranang. Perumusan adat baru yang bernama mangkok merah tersebut adalah
ide dari raja Patih Ramaga sendiri,
adapun hal-hal yang melatar-belakangi pembentukan adat tersebut adalah adanya
kecemasan raja Patih Ramaga sebagai reaksi
terhadap informasi yang didapatkan dari para pengungsi suku Melayu yang
mendarat di kota Bahana. Kedatangan
kelompok
kecil dari para pengungsi yang berasal dari orang-orang suku melayu tersebut karena disebabkan oleh adanya peristiwa serangan militer kerajaan Singasari yang disebut ekspedisi Pamalayu terhadap kerajaan mereka. Adanya serangan kerajaan Singasari itulah yang
menjadi penyebab rasa cemas yag dihadapi oleh raja Patih Ramaga kala itu.
Ekspedisi Pamalayu adalah sebuah serangan
militer besar yang dilakukan oleh kerajaan Singasari di Jawa Timur, terhadap
kerajaan Melayu di hulu sungai Batang Hari, provinsi Jambi sekarang. Pada masa itu, dunia melayu menjadi “kalang-kabut”. Ibukota kerajaan
Melayu, yaitu kota Darmasraya hancur berantakan, dan hampir seluruh penduduknya mati terbunuh karena kerasnya amukan puluhan ribu tentara Singasari itu. Penduduk-penduduk yang tinggal di luar kota Darmasraya banyak yang memilih melarikan diri ke daerah-daerah disekitarnya, dan tidak sedikit yang melarikan diri keluar dari pulau
Sumatra. Sebagian besar suku Melayu melarikan diri ke Semenanjung Malaya yang
sangat dekat dengan pulau Sumatra, yang lain melarikan diri ke pulau-pulau yang
masuk pada wilayah provinsi Kepulauan Riau dimasa sekarang, dan sebagian lagi
melarikan diri ke pulau Kalimantan.
Ketika para pengungsi Melayu tiba di pantai-pantai Kalimantan Barat,
kemudian mereka disebut “orang Laut” oleh
penduduk asli Dayak, karena melihat para pengungsi Melayu tersebut datang dari arah lautan, inilah kejadian sejarah yang menjadi awal mula
kenapa keturunan suku Melayu yang tinggal di Kalimantan Barat disebut “orang
Laut”. Setelah mereka berlabuh di pantai-pantai Kalimantan Barat, orang-orang Melayu tersebut mulai membangun beberapa buah pemukiman di pesisir Kalimantan
Barat. Para pengungsi
Melayu yang berlabuh di pantai-pantai yang menjadi bagian dari wilayah kerajaan
Bahanapura (Bangkule Rajakng), yaitu
pantai-pantai di wilayah kabupaten
Mempawah dimasa sekarang, setelah selama beberapa hari menetap di pesisir
pantai, kemudian sebagian dari mereka memutuskan untuk masuk menyusuri batangan Karimawatn (Sungai Mempawah.
Ketika sampai di hulu, kemudian mereka berlabuh di kota Bahana pusat pemerintahan kerajaan Bahanapura (Bangkule Rajakng).
Berbagai informasi yang
didapatkan dari para pengungsi Melayu tersebut, kemudian disampaikan kepada
raja Patih Ramaga pemimpin yang
berkuasa dikerajaan Bahanapura (Bangkule
Rajakng) pada waktu itu, bahwa kedatangan para pengungsi Melayu tersebut
terjadi karena untuk menyelamatkan diri mereka dari pembantaian yang dilakukan
oleh tentara kerajaan Singasari.
Berbekal informasi yang diteruskan kepada raja Patih Ramaga tersebut, akhirnya melatar-belakangi lahirnya adat mangkok merah pada waktu pertemuan
akbar para raja-raja Dayak, yang para pendiri kerajaannya berasal dari kerajaan
Bawakng (Tamaratos). Adat mangkok
merah itulah yang akan digunakan untuk menghimpun kekuatan ketika menghadapi
serangan bala tentara yang berasal dari luar, khususnya untuk berjaga-jaga
dalam menghadapi bala tentara kerajaan Singasari dan kerajaan lainnya.
Maka pada waktu pertemuan itu tidak disia-siakan oleh Raja Patih Ramaga untuk memberitahu kepada seluruh penduduk Dayak yang pemimpinnya adalah keturunan-keturunan dari
Kerajaan Bawakng (Tamaratos), yaitu orang Bakati, Banyadu dan orang Bananag
sendiri. Bahwa seluruh Rakyat Dinasti kerajaan Bawakng (Tamaratos) harus bersatu untuk menghadapi tentara kerajaan
Singasari apabila kelak mereka menyerang salah-satu dari
kerajaan Dayak. Ide
pembentukan adat mangkok merah tersebut disetujui oleh seluruh yang hadir,
kemudian mereka merumuskan
perangkat adat mangkok merah tersebut, sebelum pulang mereka juga berjanji untuk
menyebarkan adat-adat baru yang
salahsatunya adalah adat mangkok merah tersebut kepada sub-sub suku Dayak lain, seperti kepada subu-sub suku
Dayak di daerah Sanggau kapuas, sintang dan kapuas hulu serta sarawak.
Akhirnya apa yang dicemaskan oleh Raja Patih Ramaga tersebut benar-benar terjadi, kelak ketika anak Raja
Patih Ramaga berkuasa yaitu Raja Patih Pagumantar yang nama aslinya adalah Aria
Magat, para agresor yang dicemaskan tersebut
benar-benar datang ke kota Bahana. Para agresor itu adalah pasukan penghancur dari majapahit yang dipimpin oleh Patih (Pemimpin Militer Kerajaan Jawa)
yaitu Gajah
Mada
(Jendral Besar bernama Mada), yang datang membawa ribuan prajurit terlatih, namun naas bagi Gajah
Mada
(Jendral Besar bernama Mada), bahwa kedatangan mereka rupanya telah diketahui oleh
para nelayan Dayak dan prajurit kerajaan Bahanapura (Bangkule
Rajakng) yang di tugaskan
untuk berjaga-jaga dan memantau laut sebelum muara sungai Karimawatn (sungai Mempawah sekarang).
Bahwa kabar kedatangan bala tentara majapahit telah tersiar ke kota raja,
hingga raja Patih Aria Magat akhirnya mengedarkan mangkok merah ke seluruh
negeri orang Banana (Dayak kanayatn),
ke seluruh negeri orang Banyadu (dayak
Banyuke) dan ke seluruh negeri orang
Bakati (Dayak rara). akhirnya bala bantuanpun berdatangan ke kota bahana,
beberapa hari sebelum ribuan tentara majapahit sampai ke pusat kota bahana,
disana telah menanti ribuan juga pasukan
ketiga sub-suku Dayak tadi. Ketika pasukan Gajah Mada datang, mereka telah
disambut dengan kesiagaan dan pekikan perang Dayak yang disebut "Tariu" yang dipekik oleh
ribuan pasukan ketiga sub-suku Dayak yang menyambut dan siap menerima perintah
dari raja Patih Aria Magat, apabila diperintahkan untuk menyerbu. Tariu ini
adalah pekikan perang yang sering dipekik ketika orang Dayak berperang dengan
maksud untuk mengeraskan semangat serta untuk mempersilahkan kepada para roh "kamang Tariu" agar merasuki
pasukan perang Dayak.
Ketika melihat hal itu, nyali patih gajah mada pemimpin tentara
majapahit tersebut akhirnya menjadi ciut terlebih melihat ribuan prajuritnya
telah menjadi seperti orang gila, menangis dan bergemetaran, selain itu Gajah Mada
sendiri juga mulai gemetar, adapun yang membuat ribuan pasukan majapahit
bergemetaran dan bertingkah seperti orang gila adalah karena mereka sendiri
telah dirasuki oleh roh "Kamang
Layo".
Roh kamang layo ini
adalah entitas roh yang berkebalikan dan berbeda dari entitas roh "Kamang Tariu", yang mana jika
pada roh "Kamang Tariu"
setiap prajurit Dayak yang dirasuki olehnya akan menjadi garang, ganas, maka
pada setiap orang yang dirasuki oleh roh "Kamang
Layo" akan menjadi bergemetaran dan tidak terkontrol serta menjadi
gila, menangis bahkan melakukan bunuh diri atau meninggal dunia dengan
sendirinya.
Pada saat itulah patih gajah mada yang licik akhirnya sadar bahwa
kehebatan pasukannya tidak akan mampu melawan pasukan bangsa Dayak sehingga dia
memilih tidak jadi untuk menaklukkan dan menghancurkan kerajaan Bangkule, namun
kemudian berpura-pura bahwa kedatangan dia bersama ribuan pasukannya adalah
hanya untuk bermaksud baik. Inilah sejarah awal kenapa raja Patih Aria magat diberi gelar oleh
rakyatnya dengan gelar Patih Pagumantar
(atau disingkat Patih Gumantar) yang artinya Patih Penggementar, karena beliaulah satu-satunya raja di nusantara
yang mampu membuat gajah mada (Jendral besar
bernama Mada)
bergemetaran dan bertekuk lutut di hadapannya sehingga tidak berani untuk
melaksanakan niatnya untuk menaklukan dan menghancurkan kerajaan Bahanapura (Bangkule Rajakng).
Setelah itu Patih Gajahmada
yang masih gemetaran itu akhirnya mengajukan dirinya berpura-pura sebagai
seorang saudara kepada Raja Patih Aria magat (Patih Pagumantar). Dan
memohon kepada raja Patih Aria Magat sembari
berjanji dengan mengatakan bahwa pihak Majapahit akan memberikan beberapa imbalan
kepada raja Patih Aria
Magat, agar beliau mau membantu
kerajaan Majapahit, untuk mengirimkan pasukan Dayak ke negeri Siam (Thailand) guna bersama-sama dengan tentara majapahit
untuk menghadapi tentara kekaisaran mongol. Sebagai tanda awal akan adanya
imbalan yang dijanjikan tersebut, Patih
Gajah Mada kemudian memberikan sebilah keris miliknya sendiri kepada Raja Patih Aria Magat yaitu keris susuhan.
Meskipun telah di janjikan akan diberi imbalan oleh kerajaan Majapahit
apabila raja Patih Aria Magat mau
membantu mereka, namun raja Patih Aria
Magat tetap tidak pernah mau tunduk pada kemauan patih Gajah Mada tersebut,
sehingga beliau tidak pernah mengirim pasukan Dayak ke negeri Siam (Thailand). Itulah sejarah awal
bagaimana adat mangkok merah terbentuk. Yaitu sebagai media komunikasi untuk persatuan orang Dayak, terutama penduduk yang menjadi
rakyat dari seluruh kerajaan yag didirikan oleh para dinasti (keturunan) Kerajaan Bawakng (Tamaratos) untuk menghadapi kesewenang-wenangan pasukan perang
dari luar kalimantan termasuk ancaman dari tentara Singasari
dan majapahit.
Terjadi Perang Saudara Antara Dayak Banyuke (Orang
Banyadu) melawan Dayak Kanayatn (orang Bananag) di DAS Karimawatn (Sungai
Mempawah)
Kabar tentang bertekuk-lututnya patih Gajah Mada kepada raja Aria
Magat akhirnya tersebar ke segenap pelosok pulau Kalimantan, termasuk ke
kerajaan Bataguh milik Dayak Biaju (Ngaju) di bantaran sungai Biaju kecil (Sungai Kapuas Kalteng). Mendengar kabar itupula Raja Bataguh bersama para
pembesar kerajaannya berniat untuk
mengayau raja Aria Magat. Dalam adat
budaya bangsa Dayak, yang layak di jadikan target kayau adalah para raja dan
pembesar-pembesar pada suatu kelompok Dayak lain, terlebih jika target kayau
tersebut adalah orang yang sangat sakti, karena di yakini bahwa tengkorak
seorang raja sakti sangat berkhasiat, terutama dalam mencegah penyakit sampar,
hama tanaman dan lain-lain. Maka setelah berunding mereka kemudian mengirim
ratusan prajurit kayau ke kota bahana dengan beberapa buah ajung (kapal).
Pada suatu tengah malam yang tidak terduga, pemimpin
pasukan kayau Dayak Biaju oleh orang Dayak Kal-bar
digelari raja Bangkaka (burung bengkaka)
bersama
tentaranya menerobos
masuk ke dalam istana rumah panjang kota Bahana, karena
raja Aria Magat yang tertidur pulas
dan tidak sedang mengenakan jimat pengebal yang dimilikinya, mengakibatkan
beliau dengan mudah digorok oleh salah-seorang pengayau kerajaan Bataguh.
Setelah berhasil mengayau raja Aria Magat
para pengayau langsung meluncurkan ajung
(kapal) mereka secepatnya meninggalkan kota bahana, namun sebagian
prajuritnya tertangkap oleh prajurit kerajaan Bangkule dan di interogasi serta
dihukum mati.
Suatu saat, kabar tentang tewasnya raja Aria magat akhirnya sampai juga kepada warga Dayak Banyuke (orang
Banyadu). Karena gusar dengan warga Dayak kanayatn di DAS karimawatn, wilayah
dimana Aria Magat berkuasa, akhirnya
para pemimpin orang Banyadu bersepakat untuk menghukum orang Bananag (Dayak
Kanayatn) di DAS Karimawatn atas ketidak-becusan
mereka dalam mengamankan raja Patih
aria Magat
(Patih Pagumantar). Akhirnya
ratusan pasukan orang
Banyadu
(Dayak Banyuke) di
kerahkan ke kota Bahana, disana terjadilah satu-satunya perang saudara antara orang Banyadu (Dayak Banyuke) yang
melawan orang Bananag (Dayak Kanayatn)
di DAS (Daerah
Aliran Sungai) sungai Mempawah, dalam peperangan tersebut, orang bananag
mengalami kekalahan, raja kerajaan Bahanapura (Bangkule Rajakng) yang kala itu dijabat oleh raja sementara
yaitu raja Aria Manding, tewas terbunuh pada penyerangan orang-orang Banyadu
tersebut. Untuk menghindari
korban dari pihak keluarga kerajaan Bangkule, maka keluarga kerajaan segera
di ungsikan ke daerah hilir sungai Karimawatn (sungai
mempawah) tepatnya di kota Singaok di daerah Banyalitn (kota Menjalin sekarang). Disana kelak anak raja Aria Magat yaitu Aria Nyabakng diangkat menjadi raja
baru.
Ketika Digunakan Dalam Peperangan Sesama Klan Dayak
Setelah kejadian serangan majapahit tersebut, akhirnya adat mangkok
merah digunakan untuk persatuan klan-klan Dayak dalam menghadapi konflik antar
sesamanya. Adat ini dilangsungkan apabila pada suatu kasus, misalnya kasus
pembunuhan atau pelecehan seksual, jika
pihak pelaku tidak bersedia menyelesaikan secara adat,
maka pihak ahli waris korban yang merasa terhina akan
bersepakat, dan mungkin berakhir dengan melakukan aksi belas dendam melalui
pengerah masa secara adat yang disebut Mangkok Merah.Mangkok Merah hanya
digunakan jika benar-benar terpaksa. Segala macam akibat yang akan ditimbulkan
akan dipertimbangkan masak-masak karena korban jiwa dalam jumlah besar sudah
pasti akan berjatuhan.
Latar belakang terjadinya adat mangkok merah kepada sesama klan Dayak
adalah jika suatu pelaku pelanggaran tidak bersedia menyelesaikan kesalahannya
secara adat sehingga dianggap menghina dan melecehkan harkat dan martabat ahli
waris korban. Akibatnya, ahli waris yang mengetahui akan mengadakan upaya
pembalasan dengan mengumpulkan semua ahli waris korban melalui adat mangkok merah.
Dalam peristiwa pembunuhan, apabila dalam waktu 24 jam tidak ada tanda-tanda
upaya penyelesaian secara adat, pihak ahli waris korban segera menyikapinya
dengan upaya pembalasan. Karena pelaku dianggap telah menentang adat, ia
dianggap pantas untuk dihajar seperti binatang yang tidak beradat.
Gerakan mangkok merah menjadi tanggung jawab ahli
waris korban dan hanya mereka yang berhak memimpin gerakan.
Menurut masyarakat Dayak Banyuke, keturunan
ahli waris Nya’uhakng digambarkan menurut garis lurus berikut:
1. Saudara
Sekandung (Nya setpusat) disebut Dadig.
2. Sepupu satu kali (Nyakadiri) di sebut uhakng kapala.
3. Sepupu dua kali (nyadig) di sebut waris.
4. Sepupu tiga kali (dua nyadig neneng) di sebut waris.
5. Sepupu empat kali (nyaaket) di sebut waris.
6. Sepupu lima kali (Nyadantar) di sebut waris.
7. Sepupu enam kali (dantar) di sebut waris.
8. Sepupu tujuh kali (dantar uhakng) di sebut waris.
9. Sepupu delepan kali (uhakng) masih tergolong waris.
10. Sepupu sembilan kali (nga basadig) tidak tergolong
waris.
Pelaksanaan dan penangung jawab adat mengkok merah adalah seluruh ahli
waris korban yang dipimpin oleh dua nyadig neneng sebagai kepala waris. Apabila
pasukan telah berangkat menuju sasaran, hampir tidak ada cara apapun untuk
mencegahan para pasukan tempur tersebut berangkat, kecuali dengan upaya adat
pamabakng yang merupakan singkatan dari kata Pamanag (peletakan) dan kata Jabakng
(perisai), hal ini disebabkan karena perangkat adat yang digunakan dalam
upacara ini adalah berfungsi sebagai perisai
(tameng) terhadap bala yaitu sesuatu yang menahani atau menghalangi ataupun
membendungi pertumpahan darah lebih lanjut. Semua perangkat adat Pamabakng
tersebut diletakkan dipersimpangan jalan atau dipintu
masuk suatu wilayah kampung atau adat yang melaksanakan ritual adat Pamabakng
itu. Setelah pertempuran selesai, untuk mengembalikan
kesadaran para pasukan maka diadakan upacara Ngurukng samangat yaitu upacara
pengembalian semangat (roh) asli para
pasukan setelah tubuhnya diambil alih oleh roh
Kamang tariu selama pertempuran berlangsung.
Peristiwa mangkuk merah dalam sejarah Setelah serangan
Majapahit:
Peperangan melawan belanda
Pada jaman penjajahan Belanda dahulu, hampir disetiap
kota yang menjadi ibukota kabupaten di pedalaman kalimantan barat dimasa
sekarang memiliki tangsi militer belanda. Karena
ketika belanda bermain keras dengan orang Dayak, maka setelah itu terjadi
serangan balasan dari pihak Dayak, akibat kejadian-kejadian tersebut pihak
belanda selalu menderita kekalahan dengan korban jiwa yang banyak ditanggung
oleh tentara mereka. Kekalahan tersebut dikarenakan serangan sporadis dari
orang-orang Dayak yang menyerang dalam keadaan
trance (kerasukan) sehingga seluruh sistem persenjataan tentara Belanda
menjadi tidak berguna ketika menghadapi pasukan Dayak yang sebagiannya telah
menjadi kebal peluru. Adanya serangan yang sangat sporadis dan para pasukan
Dayak yang telah menjadi "trance" tersebut adalah berkat adanya adat
mangkok merah. Karena tidak sanggup menghadapi orang Dayak, kemudian seluruh
tangsi militer Belanda di pedalaman di tinggalkan oleh pihak tentara Belanda,
yang kemudian memusatkan penjajahannya di wilayah di daerah pesisir pantai
hingga menjadikan orang Melayu sebagai bulan-bulanan
mereka.
Peperangan Melawan Jepang
Peperangan orang Dayak melawan Jepang seperti perang Sidas dan Ngabang
pimpinan Pak Kasih dan perang Majang Desa didaerah
sekadau, meliau dan Sintang.
Pada Perang Dayak Desa terjadi pada 1944-1945 untuk membalas dendam pihak
Jepang yang kejam terhadap mereka. Pada masa awal perang, para pemuka adat Dayak
mengumpulkan kaum-kaum mereka di Sekadau, dengan salah satu caranya adalah
dengan Mangkok Merah. Sesudahnya, rakyat dikumpulkan untuk bermusyawarah
bersiasat untuk mengalahkan Jepang. Perang Dayak Desa berakhir dengan
kemenangan di tangan Suku Dayak.
Peristiwa Penumpasan PARAKU / PGRS
Dahulu konsentrasi penduduk kalimantan barat adalah di daerah
pedalaman. Setelah menambang di daerah Monterado, kaum Tionghoa mencari daerah tambang di
wilayah pedalaman. Umumnya mereka bertempat tinggal di tanah-tanah perbatasan
antar sub-suku Dayak, yang umumnya beberapa puluh hingga ratusan meter
merupakan tanah tak bertuan, hal ini dikarenakan sebagai batas wilayah
masing-masing suku Dayak yang bertetangga. Ketika
kaum Tionghoa masuk ke wilayah perbatasan antara orang Banyadu (Dayak Banyuke) dan orang Bakati (Dayak Rara),
mereka menambang disana dan membangun kota yang diberi nama kota “Tamue”, yaitu sebuah kata yang berasal
dari bahasa orang Banyadu (Dayak
Banyuke), yang didalam bahasa Indonesia bearti “Tamu”. Adapun alasan
mereka menamai pemukiman mereka dengan nama
“Tamue” adalah karena seluruh orang Tionghoa yang datang didaerah itu
dianggap sebagai tamu. Selain kota Tamue (Tamu), pemukiman orang Tionghoa yang lain, yang
kemudian menjadi kota yang terletak di perbatasan
antara orang Banyadu dengan orang Bakati adalah Sebinte dan Sayung.
Kemudian kota Batukng yang
merupakan perbatasan antara orang Banyadu
(Dayak
Banyuke) dengan orang Bangape (Dayak Kanayatn
Darit), dan kota-kota di
tanah perbatasan yang lainnya. Kemudian karena ingin mencari lokasi tambang
yang lain di tengah-tengah wilayah sub-suku dayak tertentu. Orang-orang
tionghoa tersebut umumnya membeli tanah-tanah orang Dayak yang menjadi lokasi
tambang emas mereka. Disamping dengan cara membeli, dari mereka ada juga yang
memperolehi tanah sebagai warisan dari mertua mereka yang orang Dayak.
Kampung-kampung tionghoa yang kemudian menjadi kota yang terletak di jantung
wilayah sub-suku Dayak tertentu adalah seperti kota Sebalo, kota sunge raya
(sunge betung) dan pinggiran kampung Bagu
(pusat kota Bengkayang) di jantung wilayah orang Bakati. Kemudian ada kota Suna (bahasa Hakka-nya: kampet) dan kota Parigi yang terletak
di jantung wilayah orang Banyadu. Dan kota-kota lainnya diseluruh jantung
wilayah masing-masing sub-suku dayak Kal-bar.
Ketika tinggal di pedalaman, rata-rata generasi orang tionghoa yang
lahir adalah anak-anak blasteran antara Tionghoa dan Dayak. Pada waktu itu
wilayah pedalaman Kalbar menjadi sangat maju daripada wilayah pesisir. Di daerah
pesisir satu-satunya kota besar dahulu hanya kota
pontianak, sementara kota Singkawang yang pada saat sekarang dikenal sebagai
kota besar kedua di kal-bar, dahulu hanya sebuah kota kecil. Karena kemajuan
wilayah pedalaman, kemudian menyebabkan ribuan orang Melayu dari daerah sambas dan pontianak masuk ke
pedalaman untuk tinggal diantara orang
Tionghoa dan Dayak. Hal inilah yang menyebabkan terdapat adanya
orang-orang Melayu di bekas-bekas kota yang pernah ada di pedalaman dahulu.
Ketika kota-kota pedalaman Kal-Bar telah menjadi maju, terjadi konflik
antara Indonesia dengan Malaysia. Untuk melawan malaysia, pemerintah presiden
Sukarno melatih ratusan pemuda blasteran tionghoa-Dayak untuk melawan tentara
malaysia dan tentara inggris. Setelah konflik selesai dan setelah kejatuhan
pemerintahan presiden Sukarno. Suharto yang berkuasa memerintahkan seluruh
orang tionghoa di seluruh Indonesia untuk meninggalkan pemukiman
mereka yang berada di
desa-desa dan di kota-kota kecil, agar mereka tinggal di kota-kota
besar. Karena hal itu, ratusan ribu bahkan jutaan orang
Tionghoa di seluruh Indonesia meninggalkan tempat
asalnya.
Sementara di Kal-bar umumnya himbauan presiden Suharto tersebut tidak di
gubris. Hampir seluruh populasi orang Tionghoa di Kal-Bar masih tetap bertahan
tinggal di antara saudaranya orang Dayak. Setelah beberapa tahun berlalu sisa-sisa
pasukan pengganyang Malaysia yang berasal dari pemuda-pemuda blasteran
Tionghoa-Dayak tersebut kerap kali mendapat bantuan logistik dari oknum-oknum
orang Tionghoa di pedalaman, mereka akhirnya dianggap tidak setia oleh
pemerintah dan bahkan dapat mengancam pemerintahan, maka atas perintah Suharto
pihak TNI melakukan pembersihan dengan menumpas pasukan pengganyang malaysia
tersebut, namun meskipun jumlahnya hanya ratusan orang, tentara Indonesia tidak
sanggup melawan mereka.
Karena ketidak-mampuan TNI dari kesatuan Pasukan Kujang Siliwangi yaitu
cikal bakal Kopassus sekarang, dalam menumpas bekas pasukan pengganyang
Malaysia yang dibentuk dimasa pemerintahan presiden Sukarno. Kemudian dengan
licik para petinggi pasukan kujang Siliwangi membuat adu-domba antara Dayak
dengan saudaranya kaum Tionghoa. Akhirnya setelah politik devide et inpera di jalankan
oleh Tentara Nasional Indonesia (TNI), mereka kemudian memperoleh bantuan dari
masyarakat Dayak dalam peristiwa pemberantasan pasukan pengganyang malaysia
yang dicap dengan sebutan komunis di Kalimantan pada tahun 1967an. Peristiwa
tersebut menjadi awal tragedi pembunuhan dan pengusiran ribuan warga etnis
Tionghoa di Kalimantan Barat pada akhir 1967.
Sering diceritakan oleh orang-orang tua Dayak Banyuke (Orang Banyadu) bahwa ketika tentara Kujang (kopassus) menyerang orang tionghoa,
mereka menggunakan senjata putar, yaitu sejenis senjata semi otomatis yang
ketika menggerakan mesinnya dengan cara memutari engkol senjata tersebut,
selain itu beberapa helikopter tentara Kujang juga mondar mandir di atas
kota Suna (bahasa Hakka-nya:
kampet), kota parigi dan kota Tamue (Bahasa
Indonesianya: Tamu) sambil
menjatuhkan puluhan bahkan ratusan buah bom untuk menghancurkan kota-kota
tersebut. Ada ratusan orang Tionghoa yang bersembunyi di celah-celah batu dan
di gua-gua yang terdapat di gunung Marabukatn di perbatasan kota Suna (bahasa
Hakka-nya: kampet)
dan kota Parigi seluruhnya tewas oleh ledakan ratusan
buah bom yang dijatuhkan oleh helikopter dan pesawat tempur tentara kujang (Kopassus).
Soemadi, salah satu mantan gubernur Kalimantan Barat dan mantan Pangdam
XII
/ Tanjungpura dalam bukunya yang terkenal “Peranan
Kalimantan Barat dalam Menghadapi Subversi Komunis Asia Tenggara” terbitan Yayasan Tanjungpura menyebut bahwa praktik
Ngayau dan Mangkok Merah menjadi salah satu kebanggaan tersendiri bagi Pangdam
dalam penumpasan Paraku /
PGRS dan mesti diberi penghargaan dari Pangdam.
Para pemimpin Pengayauan ini kemudian dibawa ke Jakarta pada tahun
1972 untuk menemui Soeharto, Presiden Republik Indonesia yang kedua. Praktik
Ngayau ini dihidupkan lagi setelah Indonesia merdeka oleh TNI. Para pemimpin pasukan
Dayak yang membantu TNI diberi
penghargaan dengan pangkat militer Pembantu Letnan Satu Tituler. Mereka bertemu dengan Presiden Soeharto pada November 1972
dan diberi tunjangan seumur hidup. Di antaranya, ada Aziz, Jimbau, Burung,
Nayau, Dangih, dan Sinau.
Konflik Sanggau Ledo
Ritual mangkuk merah terjadi dalam pertikaian antara etnis Dayak dengan
suku Madura di Sanggau ledo tahun 1966.
Kerusuhan yang kemudian disebut Kasus Sanggau Ledo tersebut bermula dari
kejadian sepele: "senggolan
dangdut". Awalnya, menjelang tahun baru 1997, ada pertunjukan musik
dangdut untuk merayakan sebuah resepsi perkawinan di Pasar Ledo. Banyak
anak muda dari kecamatan
lain ikut datang, termasuk
beberapa
pemuda Madura dari desa-desa
Transmigrasi yang ada di kecamatan Sanggau Ledo yang bertaut sekitar 30 kilometer.
Di antara keremangan Minggu malam 29 Desember itu, ketika anak-anak muda
tersebut asyik berjoget, sekelompok pemuda Madura menyenggol seorang gadis
Dayak. Melihat hal itu, dua orang pemuda Dayak melabrak pemuda Madura
yang menyenggol gadis Dayak tadi. Karena dendam kesumat, akibat malu
dilabrak oleh pemuda Dayak, kemudian menyebabkan pemuda Madura yang dilabrak
tersebut mengajak para pemuda Madura yang lain untuk mengeroyok pemuda Dayak yang
melabraknya tadi. Para
pemuda Madura yang mengeroyok itu, diantara mereka ada yang menghunus senjata tajam, lalu menikam
tubuh kedua pemuda Dayak
yang melabrak mereka tadi. Karena darah banyak mengalir dari tubuh kedua orang
pemuda Dayak yang ditikam tadi, kemudian mereka segera dilarikan ke rumah sakit Bethesda di Kecamatan
Samalantan, tak jauh dari sana.
Tidak lama setelah itu, tersiar kabar
bahwa kedua orang pemuda Dayak yang ditikam tadi mati dalam perjalanan. Kemudian keesokan harinya, 30 Desember, beberapa
orang warga Dayak Ledo mendatangi kampung
transmigrasi di Kecamatan
Sanggau Ledo, tempat tinggal para pemuda
Madura itu, bermaksud untuk meminta pertanggung-jawaban mereka. agar mereka mau
mengikuti proses hukum adat Dayak untuk menyelesaikan perkara yang dilakukan
oleh para pemuda Madura tersebut. Namun, bukannya diterima secara baik-baik,
malah sebagian besar penduduk Transmigrasi Madura tersebut membawa senjata
tajam dan menantang orang-orang Dayak yang datang baik-baik itu.
Melihat hal itu, amarah orang Dayak-pun
timbul, sebagian orang Dayak yang datang baik-baik itu pulang untuk mengambil
senjata sekalian membawa puluhan massa, maka setelah puluhan
orang massa Dayak yang baru datang ke situ, akhirnya tawuran bersenjata
secara massal akhirnya terjadi.
Tawuran itu terjadi bagaikan perang dua kelompok tentara dari dua kerajaan yang
berbeda, dimana pada kelompok Madura yang berasal dari kampung tempat kejadian
itu berlangsung lebih banyak, bahkan ada ratusan orang, yang menghadapi sekitar
40 orang Dayak.
Pada kejadian itu banyak orang madura
yang terbunuh, sementara pada pihak Dayak tidak satupun yang terbunuh. Setelah
melihat hal itu, orang-orang Madura yang tadinya menantang dan ganas bagaikan
singa itu, akhirnya ciut dan mulai kocar-kacir, sebagian pergi ke
kampung-kampung Madura yang lain untuk minta bantuan dari warga Madura dari
kampung-kampung tetangganya itu. Setelah itu, ribuan orang Madura berdatangan
dengan membawa berbagai macam senjata, namun mereka juga tidak mampu menghadapi
puluhan orang Dayak yang membela maruahnya atas pelecehan yang dilakukan oleh
para warga Madura itu. Korban dari pihak Madura terus berjatuhan, yang lari ke
hutan dikejar sampai dapat dan sampai terpenggal. Karena sudah tidak mampu lagi
untuk menghadapi puluhan orang Dayak itu. Akhirnya orang-orang Madura lari
mengungsi ke Pangkalan Udara
Supadio II, yang terletak di kota kecamatan tersebut.
Setelah itu secara bertahap para pengungsi itu diterbangkan
ke pontianak. Beberapa penduduk
asal Madura yang tinggal di kecamatan tetangga, seperti Ledo, Bengkayang, dan
Samalantan, juga terpaksa mengungsi. ke Singkawang. Panglima Kodam (Pangdam) VI
/ Tanjungpura Mayor Jenderal Namoeri Anoem yang berkantor di Balikpapan, Kalimantan Timur,
datang ke daerah kerusuhan. Ia juga mengirimkan pasukan tambahan.
Bersama pimpinan daerah Kalimantan Barat, tepat di
hari tahun baru itu, Pangdam menggelar pertemuan dengan sejumlah tokoh Dayak
dan Madura di Singkawang agar mereka
dapat menenangkan massa.
Edok sidi tulisannya, kadek mulih nuan kak mae namu sumber referensi sejarahnya koa? Salam Kenal. Ame lupa kunjungi ugak blog ku wilbeblogger.com
BalasHapusTrims
Sumbernya dari Carita urakng tuha pamaliatn man panyagahatn Nang pernah ku dangar dee. Ditambah dari internet uga.
HapusSip jd tau sejarah dulu
BalasHapus