Senin, 21 Agustus 2017

Asal Usul Adat Mangkok Merah


      
           

          Tradisi Mangkok Merah awalnya bernama Pinggan Jaranang. Warna merah pada pinggan (piring) diperolehi dari sari umbi Jaranang atau Jerangau merah (Acorus calamus). Ini merupakan sebuah adat yang berfungsi sebagai media tradisi dalam adat Dayak yang digunakan untuk menggalang penyatuan kekuatan ketika menghadapi perlawanan dari pihak luar. Selain itu, adat mangkok merah juga berfungsi sebagai media penghubung antara pasukan perang Dayak dengan roh nenek moyang khususnya para arwah raja-raja dan para panglima perang Dayak Jaman dahulu, agar merasuki setiap personil pasukan Dayak yang akan bertempur. Para roh atau arwah-arwah nenek moyang itu di kenal dengan sebutan kamang tariu.

 


          Perangkat Adat Mangkok Merah terbuat dari bambu atau tanah liat yang berbentuk bundar, sebagai wadah untuk meletakkan peralatan yang lain. Dasar mangkuk diolesi dengan sari Jaranang (Jerangau merah) yang mengandung pengertian pertumpahan darah. Kemudian didalam mangkok tersebut di isi dengan benda-benda yang memiliki makna masing-masing, antara lain; Bulu dari sayap ayam yang bermakna  cepat, segera, kilat seperti terbang. Kemudian yang kedua adalah potongan atap yang terbuat dari daun sagu (Metroxylon sagus) bermakna bahwa pembawa berita tidak boleh terhambat oleh hujan dan terik matahari karena si pengedar telah dilindungi atau dipayungi.

 

          Lalu yang ketiga adalah sebuah tongkot api (potongan sisa kayu bakar yang sudah dipakai untuk memasak di dapur) bermakna bahwa pembawa berita tidak boleh terhambat oleh petang (gelap) malam hari karena sudah disediakan penerangan. Dan yang ke-empat adalah seutas potongan tali simpul yang terbuat dari kapoag (kulit kayu pohon tarap) bermakna sebagai lambang persatuan. Dan yang terakhir adalah potongan umbi Jaranang atau jerangau merah (Acorus calamus) yang melambangkan keberanian. Keseluruhannya di masukan ke dalam mangkok tersebut dan dengan sehelai kain merah kemudian mangkok yang berisi perangkat adat tersebut dibungkus erat dan siap di edarkan. Setelah perangkat mangkok merah telah siap kemudian sesepuh Adat membawa mangkuk merah ke panyugu (mezbah agama adat) pada saat matahari terbenam. Di sana, ia meminta petunjuk Jubata.

 

          Diyakini bahwa sang Jubata akan menjawab melalui tanda-tanda alam yang kemudian diterjemahkan oleh sesepuh adat apakah mangkuk merah sudah saatnya diedarkan atau belum. Jika dianggap layak, tubuh sesepuh tersebut akan dirasuki oleh roh kamang tariu (roh para raja Dayak dan roh para panglima perang Dayak jaman dahulu). Sesepuh adat yang sudah dirasuki oleh roh kamang tariu akan pulang ke desanya dengan meneriakan pekikan perang yang disebut tariu. Penduduk desa mengerti maksudnya dan berkumpul di lapangan sambil membawa mandau, perisai, dan senjata lantak dengan kain merah di kepala. Sesepuh Adat kemudian menularkan roh kamang tariu kepada semua penduduk kemudian mengutus kurir untuk mengantarkan mangkuk merah ke desa lain.

 

          Beberapa orang yang ditunjuk untuk menyampaikan berita telah diberi arahan mengenai maksud dan tujuan mangkok merah, siapa saja yang harus ditemui (para ahli waris), kapan berkumpul, tempat berkumpul, dan sebagainya. Mereka tidak boleh menginap atau singgah terlalu lama. Meskipun hujan lebat atau hari sudah petang, mereka harus meneruskan perjalanan. Panglima Adat dari desa lain dipercaya mengetahui kedatangan kurir dengan kekuatan supernaturalnya dan menjemputnya bersama dengan penduduk desanya.

 

          Setelah mengetahui siapa musuh yang akan dihadapi, Panglima Adat desa tersebut akan menularkan roh kamang tariu kepada seluruh penduduk desa. Upacara mengedarkan mangkuk merah berlangsung di seluruh wilayah yang bisa dijangkau hingga dianggap cukup untuk menghadapi musuh. Pasukan Dayak yang berada di bawah pengaruh magis serta dikomando panglima perang konon kebal senjata, tahan tidak makan hingga sebulan, dan bisa bergerak cepat di dalam hutan, dengan cara berlari sejauh puluhan sampai ratusan kilometer tanpa mengalami kelelahan dah kehausan.

 

 

Asal Usul Adat Mangkok Merah.

          Adat Mangkok Merah pertama kali dirumuskan di kota Bahana yaitu sebuah kota kuno milik warga Dayak Kanayatn yang terletak di Kecamatan mempawah hulu Kabupaten Landak dimasa sekarang. Dahulu kota Bahana adalah pusat pemerintahan yang pertama dari kerajaan Dayak Kanayatn yang bernama kerajaan Bahana Pura (Bangkule Rajakng), yaitu cikal bakal dari kerajaan Mempawah sekarang. Kerajaan Bahanapura (Bangkule Rajakng) didirikan oleh raja Patih Ramaga putra dari putri Balo Tanang  (Cahaya Tenang / Cahaya Temaram) dengan suaminya pangeran Nyiur Gading anak raja Patih Laja, penguasa kerajaan Panggau Libau (wijayapura / Puchavarao) , sebuah kerajaan milik Dayak Iban yang terletak di bantaran sungai Rajang (Sungai Raja) Sarawak, Malaysia dimasa sekarang.

 

          Putri Balo Tanang  (Cahaya Tenang / Cahaya Temaram) sendiri merupakan anak bungsu dari raja Baniamas (Benih emas) yaitu raja yang berkuasa di kerajaan Bawakng pada waktu itu. Putri Balo Tanang menamai anaknya dengan nama kakeknya yaitu raja Patih Ramaga anak raja patih Langi yakni raja yang memerintah kerajaan Bawakng sebelum raja Baniamas (Benih emas) berkuasa. Ketika dewasa Ramaga putra Nyiur Gading menikah dengan Santokng Tarig, setelah menikah mereka melahirkan tujuh orang anak laki-laki. Yaitu Aria Magat, Aria Japu, Aria Kombakng, Aria Taja, Aria Gandeng, Aria Gading, Aria Jaga. Sesuai dengan adat  Dayak yang berlaku pada waktu dahulu, bahwa apabila ada pasangan suami istri yang melahirkan anak pertama hingga anak yang ke tujuh memiliki jenis kelamin yang sama, maka si suami dari pasangan suami istri tersebut harus diangkat menjadi raja baru. Maka oleh rakyat kerajaan Bawakng, Ramaga putra Nyiur Gading diangkat menjadi seorang raja, namun beliau tidak boleh memerintah di kerajaan Bawakng (Tamaratos), melainkan harus membangun kerajaan baru.

 

          Untuk menjalankan tuntutan adat tersebut maka setelah diangkat menjadi raja, Ramaga bersama keluarganya dan puluhan warga terpilih yang ditugaskan untuk menyertai Ramaga meninggalkan kota Bawakng Basawag dan pergi ke selatan dan tinggal diantara warga orang Bananag (Dayak Kanayatn) di hulu sungai Karimawatn (sungai mempawah), disana beliau mendirikan kerajaan baru yang diberi nama kerajaan Bahanapura dengan ibukotanya “Bahana” dari bahasa sanskerta yang bearti “bunyi nyaring alias kedengaran alias terkenal alias masyur”, penggunaan nama bahana dari bahasa sanskerta dikarenakan patih Ramaga, sebelum menikah beliau pernah merantau ke negeri bangsa Tambi (tamil) di India selatan sekarang, dan ketika telah menjadi seorang raja, beliau ingin kerajaannya terkenal diseantero nusantara.

 

          Itulah sebabnya kenapa nama "bahana" dipilih untuk menamai ibukota kerajaannya. Suatu saat, oleh generasi selanjutnya, penyebutan nama kota “Bahana” berubah pengucapannya menjadi “Bakana”, kemudian terakhir berubah lagi menjadi diucapkan “Pakana”. Dalam bahasa Dayak sendiri, kota Bahana disebut kota "Gaong", yang jika diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia bearti "Gaung", dimana kata ini didalam bahasa Sanskerta juga bearti "Bahana alias Masyur”. Suatu saat di kota Bahana, raja Patih Ramaga pemimpin orang Bananag (Dayak Kanayatn), melakukan pertemuan dengan para raja dan para pemuka adat dari orang Banyadu (dayak Banyuke) dan dari orang Bakati (Dayak Rara), serta para pemimpin adat dari orang Banana (Dayak Kanayatn) bagian timur. Pertemuan tersebut dilakukan untuk membahas perubahan-perubahan tata cara adat yang telah ada serta pembentukan adat-adat baru.

 

          Salahsatu adat baru yang dibentuk adalah adat mangkok-merah yang pada awalnya bernama adat Pinggatn Jaranang. Perumusan adat baru yang bernama mangkok merah tersebut adalah ide dari raja Patih Ramaga sendiri, adapun hal-hal yang melatar-belakangi pembentukan adat tersebut adalah adanya kecemasan raja Patih Ramaga sebagai reaksi terhadap informasi yang didapatkan dari para pengungsi suku Melayu yang mendarat di kota Bahana. Kedatangan kelompok kecil dari para pengungsi yang berasal dari orang-orang suku melayu tersebut karena disebabkan oleh adanya peristiwa serangan militer kerajaan Singasari yang disebut ekspedisi Pamalayu terhadap kerajaan mereka. Adanya serangan kerajaan Singasari itulah yang menjadi penyebab rasa cemas yag dihadapi oleh raja Patih Ramaga kala itu.

 

          Ekspedisi Pamalayu adalah sebuah serangan militer besar yang dilakukan oleh kerajaan Singasari di Jawa Timur, terhadap kerajaan Melayu di hulu sungai Batang Hari, provinsi Jambi sekarang. Pada masa itu, dunia melayu menjadi “kalang-kabut”. Ibukota kerajaan Melayu, yaitu kota Darmasraya hancur berantakan, dan hampir seluruh penduduknya mati terbunuh karena kerasnya amukan puluhan ribu tentara Singasari itu. Penduduk-penduduk yang tinggal di luar kota Darmasraya banyak yang memilih melarikan diri ke daerah-daerah disekitarnya, dan tidak sedikit yang melarikan diri keluar dari pulau Sumatra. Sebagian besar suku Melayu melarikan diri ke Semenanjung Malaya yang sangat dekat dengan pulau Sumatra, yang lain melarikan diri ke pulau-pulau yang masuk pada wilayah provinsi Kepulauan Riau dimasa sekarang, dan sebagian lagi melarikan diri ke pulau Kalimantan.

 

          Ketika para pengungsi Melayu tiba di pantai-pantai Kalimantan Barat, kemudian mereka disebut “orang Laut” oleh penduduk asli Dayak, karena melihat para pengungsi Melayu tersebut datang dari arah lautan, inilah kejadian sejarah yang menjadi awal mula kenapa keturunan suku Melayu yang tinggal di Kalimantan Barat disebut “orang Laut”. Setelah mereka berlabuh di pantai-pantai Kalimantan Barat, orang-orang Melayu tersebut mulai membangun beberapa buah pemukiman di pesisir Kalimantan Barat. Para pengungsi Melayu yang berlabuh di pantai-pantai yang menjadi bagian dari wilayah kerajaan Bahanapura (Bangkule Rajakng), yaitu pantai-pantai di wilayah kabupaten Mempawah dimasa sekarang, setelah selama beberapa hari menetap di pesisir pantai, kemudian sebagian dari mereka memutuskan untuk masuk menyusuri batangan Karimawatn (Sungai Mempawah. Ketika sampai di hulu, kemudian mereka berlabuh di kota Bahana pusat pemerintahan kerajaan Bahanapura (Bangkule Rajakng).

 

          Berbagai informasi yang didapatkan dari para pengungsi Melayu tersebut, kemudian disampaikan kepada raja Patih Ramaga pemimpin yang berkuasa dikerajaan Bahanapura (Bangkule Rajakng) pada waktu itu, bahwa kedatangan para pengungsi Melayu tersebut terjadi karena untuk menyelamatkan diri mereka dari pembantaian yang dilakukan oleh tentara kerajaan Singasari. Berbekal informasi yang diteruskan kepada raja Patih Ramaga tersebut, akhirnya melatar-belakangi lahirnya adat mangkok merah pada waktu pertemuan akbar para raja-raja Dayak, yang para pendiri kerajaannya berasal dari kerajaan Bawakng (Tamaratos). Adat mangkok merah itulah yang akan digunakan untuk menghimpun kekuatan ketika menghadapi serangan bala tentara yang berasal dari luar, khususnya untuk berjaga-jaga dalam menghadapi bala tentara kerajaan Singasari dan kerajaan lainnya.

 

          Maka pada waktu pertemuan itu tidak disia-siakan oleh Raja Patih Ramaga untuk memberitahu kepada seluruh penduduk Dayak yang pemimpinnya adalah keturunan-keturunan dari Kerajaan Bawakng (Tamaratos), yaitu orang Bakati, Banyadu dan orang Bananag sendiri. Bahwa seluruh Rakyat Dinasti kerajaan Bawakng (Tamaratos) harus bersatu untuk menghadapi tentara kerajaan Singasari apabila kelak mereka menyerang salah-satu dari kerajaan Dayak. Ide pembentukan adat mangkok merah tersebut disetujui oleh seluruh yang hadir, kemudian mereka merumuskan perangkat adat mangkok merah tersebut, sebelum pulang mereka juga berjanji untuk menyebarkan adat-adat baru yang salahsatunya adalah adat mangkok merah tersebut kepada sub-sub suku Dayak lain, seperti kepada subu-sub suku Dayak di daerah Sanggau kapuas, sintang dan kapuas hulu serta sarawak.

 

          Akhirnya apa yang dicemaskan oleh Raja Patih Ramaga tersebut benar-benar terjadi, kelak ketika anak Raja Patih Ramaga berkuasa yaitu Raja Patih Pagumantar yang nama aslinya adalah Aria Magat, para agresor yang dicemaskan tersebut benar-benar datang ke kota Bahana. Para agresor itu adalah pasukan penghancur dari majapahit yang dipimpin oleh Patih (Pemimpin Militer Kerajaan Jawa) yaitu Gajah Mada (Jendral Besar bernama Mada), yang datang membawa ribuan prajurit terlatih, namun naas bagi Gajah Mada (Jendral Besar bernama Mada), bahwa kedatangan mereka rupanya telah diketahui oleh para nelayan Dayak dan prajurit kerajaan Bahanapura (Bangkule Rajakng) yang di tugaskan untuk berjaga-jaga dan memantau laut sebelum muara sungai Karimawatn (sungai Mempawah sekarang).

 

          Bahwa kabar kedatangan bala tentara majapahit telah tersiar ke kota raja, hingga raja Patih Aria Magat akhirnya mengedarkan mangkok merah ke seluruh negeri orang Banana (Dayak kanayatn), ke seluruh negeri orang Banyadu (dayak Banyuke) dan ke seluruh negeri orang Bakati (Dayak rara). akhirnya bala bantuanpun berdatangan ke kota bahana, beberapa hari sebelum ribuan tentara majapahit sampai ke pusat kota bahana, disana telah menanti ribuan  juga pasukan ketiga sub-suku Dayak tadi. Ketika pasukan Gajah Mada datang, mereka telah disambut dengan kesiagaan dan pekikan perang Dayak yang disebut "Tariu" yang dipekik oleh ribuan pasukan ketiga sub-suku Dayak yang menyambut dan siap menerima perintah dari raja Patih Aria Magat, apabila diperintahkan untuk menyerbu. Tariu ini adalah pekikan perang yang sering dipekik ketika orang Dayak berperang dengan maksud untuk mengeraskan semangat serta untuk mempersilahkan kepada para roh "kamang Tariu" agar merasuki pasukan perang Dayak.

 

          Ketika melihat hal itu, nyali patih gajah mada pemimpin tentara majapahit tersebut akhirnya menjadi ciut terlebih melihat ribuan prajuritnya telah menjadi seperti orang gila, menangis dan bergemetaran, selain itu Gajah Mada sendiri juga mulai gemetar, adapun yang membuat ribuan pasukan majapahit bergemetaran dan bertingkah seperti orang gila adalah karena mereka sendiri telah dirasuki oleh roh "Kamang Layo". Roh kamang layo ini adalah entitas roh yang berkebalikan dan berbeda dari entitas roh "Kamang Tariu", yang mana jika pada roh "Kamang Tariu" setiap prajurit Dayak yang dirasuki olehnya akan menjadi garang, ganas, maka pada setiap orang yang dirasuki oleh roh "Kamang Layo" akan menjadi bergemetaran dan tidak terkontrol serta menjadi gila, menangis bahkan melakukan bunuh diri atau meninggal dunia dengan sendirinya.

 

          Pada saat itulah patih gajah mada yang licik akhirnya sadar bahwa kehebatan pasukannya tidak akan mampu melawan pasukan bangsa Dayak sehingga dia memilih tidak jadi untuk menaklukkan dan menghancurkan kerajaan Bangkule, namun kemudian berpura-pura bahwa kedatangan dia bersama ribuan pasukannya adalah hanya untuk bermaksud baik. Inilah sejarah awal kenapa raja Patih Aria magat diberi gelar oleh rakyatnya dengan gelar Patih Pagumantar (atau disingkat Patih Gumantar) yang artinya Patih Penggementar, karena beliaulah satu-satunya raja di nusantara yang mampu membuat gajah mada (Jendral besar bernama Mada) bergemetaran dan bertekuk lutut di hadapannya sehingga tidak berani untuk melaksanakan niatnya untuk menaklukan dan menghancurkan kerajaan Bahanapura (Bangkule Rajakng).

 

          Setelah itu Patih Gajahmada yang masih gemetaran itu akhirnya mengajukan dirinya berpura-pura sebagai seorang saudara kepada Raja Patih Aria magat (Patih Pagumantar). Dan memohon kepada raja Patih Aria Magat sembari berjanji dengan mengatakan bahwa pihak Majapahit akan memberikan beberapa imbalan kepada raja Patih Aria Magat, agar beliau mau membantu kerajaan Majapahit, untuk mengirimkan pasukan Dayak ke negeri Siam (Thailand) guna bersama-sama dengan tentara majapahit untuk menghadapi tentara kekaisaran mongol. Sebagai tanda awal akan adanya imbalan yang dijanjikan tersebut, Patih Gajah Mada kemudian memberikan sebilah keris miliknya sendiri kepada Raja Patih Aria Magat yaitu keris susuhan.      

 

          Meskipun telah di janjikan akan diberi imbalan oleh kerajaan Majapahit apabila raja Patih Aria Magat mau membantu mereka, namun raja Patih Aria Magat tetap tidak pernah mau tunduk pada kemauan patih Gajah Mada tersebut, sehingga beliau tidak pernah mengirim pasukan Dayak ke negeri Siam (Thailand). Itulah sejarah awal bagaimana adat mangkok merah terbentuk. Yaitu sebagai media komunikasi untuk persatuan orang Dayak, terutama penduduk yang menjadi rakyat dari seluruh kerajaan yag didirikan oleh para dinasti (keturunan) Kerajaan Bawakng (Tamaratos) untuk menghadapi kesewenang-wenangan pasukan perang dari luar kalimantan termasuk ancaman dari tentara Singasari dan majapahit.

 

Terjadi Perang Saudara Antara Dayak Banyuke (Orang Banyadu) melawan Dayak Kanayatn (orang Bananag) di DAS Karimawatn (Sungai Mempawah)

        Kabar tentang bertekuk-lututnya patih Gajah Mada kepada raja Aria Magat akhirnya tersebar ke segenap pelosok pulau Kalimantan, termasuk ke kerajaan Bataguh milik Dayak Biaju (Ngaju) di bantaran sungai Biaju kecil (Sungai Kapuas Kalteng). Mendengar kabar itupula Raja Bataguh bersama para pembesar  kerajaannya berniat untuk mengayau raja Aria Magat. Dalam adat budaya bangsa Dayak, yang layak di jadikan target kayau adalah para raja dan pembesar-pembesar pada suatu kelompok Dayak lain, terlebih jika target kayau tersebut adalah orang yang sangat sakti, karena di yakini bahwa tengkorak seorang raja sakti sangat berkhasiat, terutama dalam mencegah penyakit sampar, hama tanaman dan lain-lain. Maka setelah berunding mereka kemudian mengirim ratusan prajurit kayau ke kota bahana dengan beberapa buah ajung (kapal).

 

        Pada suatu tengah malam yang tidak terduga, pemimpin pasukan kayau Dayak Biaju oleh orang Dayak Kal-bar digelari raja Bangkaka (burung bengkaka) bersama tentaranya menerobos masuk ke dalam istana rumah panjang kota Bahana, karena raja Aria Magat yang tertidur pulas dan tidak sedang mengenakan jimat pengebal yang dimilikinya, mengakibatkan beliau dengan mudah digorok oleh salah-seorang pengayau kerajaan Bataguh. Setelah berhasil mengayau raja Aria Magat para pengayau langsung meluncurkan ajung (kapal) mereka secepatnya meninggalkan kota bahana, namun sebagian prajuritnya tertangkap oleh prajurit kerajaan Bangkule dan di interogasi serta dihukum mati.

 

          Suatu saat, kabar tentang tewasnya raja Aria magat akhirnya sampai juga kepada warga Dayak Banyuke (orang Banyadu). Karena gusar dengan warga Dayak kanayatn di DAS karimawatn, wilayah dimana Aria Magat berkuasa, akhirnya para pemimpin orang Banyadu bersepakat untuk menghukum orang Bananag (Dayak Kanayatn) di DAS Karimawatn atas ketidak-becusan mereka dalam mengamankan raja Patih aria Magat (Patih Pagumantar). Akhirnya ratusan pasukan orang Banyadu (Dayak Banyuke) di kerahkan ke kota Bahana, disana terjadilah satu-satunya perang saudara antara orang Banyadu (Dayak Banyuke) yang melawan orang Bananag (Dayak Kanayatn) di DAS (Daerah Aliran Sungai) sungai Mempawah, dalam peperangan tersebut, orang bananag mengalami kekalahan, raja kerajaan Bahanapura (Bangkule Rajakng)  yang kala itu dijabat oleh raja sementara yaitu raja Aria Manding, tewas terbunuh pada penyerangan orang-orang Banyadu tersebut. Untuk menghindari korban dari pihak keluarga kerajaan Bangkule, maka keluarga kerajaan segera di ungsikan ke daerah hilir sungai Karimawatn (sungai mempawah) tepatnya di kota Singaok di daerah Banyalitn (kota Menjalin sekarang). Disana kelak anak raja Aria Magat yaitu Aria Nyabakng diangkat menjadi raja baru.

 

Ketika Digunakan Dalam Peperangan Sesama Klan Dayak

          Setelah kejadian serangan majapahit tersebut, akhirnya adat mangkok merah digunakan untuk persatuan klan-klan Dayak dalam menghadapi konflik antar sesamanya. Adat ini dilangsungkan apabila pada suatu kasus, misalnya kasus pembunuhan atau pelecehan seksual, jika pihak pelaku tidak bersedia menyelesaikan secara adat, maka pihak ahli waris korban yang merasa terhina akan bersepakat, dan mungkin berakhir dengan melakukan aksi belas dendam melalui pengerah masa secara adat yang disebut Mangkok Merah.Mangkok Merah hanya digunakan jika benar-benar terpaksa. Segala macam akibat yang akan ditimbulkan akan dipertimbangkan masak-masak karena korban jiwa dalam jumlah besar sudah pasti akan berjatuhan.

 

          Latar belakang terjadinya adat mangkok merah kepada sesama klan Dayak adalah jika suatu pelaku pelanggaran tidak bersedia menyelesaikan kesalahannya secara adat sehingga dianggap menghina dan melecehkan harkat dan martabat ahli waris korban. Akibatnya, ahli waris yang mengetahui akan mengadakan upaya pembalasan dengan mengumpulkan semua ahli waris korban melalui adat mangkok merah. Dalam peristiwa pembunuhan, apabila dalam waktu 24 jam tidak ada tanda-tanda upaya penyelesaian secara adat, pihak ahli waris korban segera menyikapinya dengan upaya pembalasan. Karena pelaku dianggap telah menentang adat, ia dianggap pantas untuk dihajar seperti binatang yang tidak beradat. Gerakan mangkok merah menjadi tanggung jawab ahli waris korban dan hanya mereka yang berhak memimpin gerakan.

 

Menurut masyarakat Dayak Banyuke, keturunan ahli waris Nya’uhakng digambarkan menurut garis lurus berikut:

1.  Saudara Sekandung (Nya setpusat) disebut Dadig.

2. Sepupu satu kali (Nyakadiri) di sebut uhakng kapala.

3. Sepupu dua kali (nyadig) di sebut waris.

4. Sepupu tiga kali (dua nyadig neneng) di sebut waris.

5. Sepupu empat kali (nyaaket) di sebut waris.

6. Sepupu lima kali (Nyadantar) di sebut waris.

7. Sepupu enam kali (dantar) di sebut waris.

8. Sepupu tujuh kali (dantar uhakng) di sebut waris.

9. Sepupu delepan kali (uhakng) masih tergolong waris.

10. Sepupu sembilan kali (nga basadig) tidak tergolong waris.

 

          Pelaksanaan dan penangung jawab adat mengkok merah adalah seluruh ahli waris korban yang dipimpin oleh dua nyadig neneng sebagai kepala waris. Apabila pasukan telah berangkat menuju sasaran, hampir tidak ada cara apapun untuk mencegahan para pasukan tempur tersebut berangkat, kecuali dengan upaya adat pamabakng yang merupakan singkatan dari kata Pamanag (peletakan) dan kata Jabakng (perisai), hal ini disebabkan karena perangkat adat yang digunakan dalam upacara ini adalah berfungsi sebagai perisai (tameng) terhadap bala yaitu sesuatu yang menahani atau menghalangi ataupun membendungi pertumpahan darah lebih lanjut. Semua perangkat adat Pamabakng tersebut diletakkan dipersimpangan jalan atau dipintu masuk suatu wilayah kampung atau adat yang melaksanakan ritual adat Pamabakng itu. Setelah pertempuran selesai, untuk mengembalikan kesadaran para pasukan maka diadakan upacara Ngurukng samangat yaitu upacara pengembalian semangat (roh) asli para pasukan setelah tubuhnya diambil alih oleh roh Kamang tariu selama pertempuran berlangsung.

 

Peristiwa mangkuk merah dalam sejarah Setelah serangan Majapahit:

 

Peperangan melawan belanda

        Pada jaman penjajahan Belanda dahulu, hampir disetiap kota yang menjadi ibukota kabupaten di pedalaman kalimantan barat dimasa sekarang memiliki tangsi militer belanda. Karena ketika belanda bermain keras dengan orang Dayak, maka setelah itu terjadi serangan balasan dari pihak Dayak, akibat kejadian-kejadian tersebut pihak belanda selalu menderita kekalahan dengan korban jiwa yang banyak ditanggung oleh tentara mereka. Kekalahan tersebut dikarenakan serangan sporadis dari orang-orang Dayak yang menyerang dalam keadaan trance (kerasukan) sehingga seluruh sistem persenjataan tentara Belanda menjadi tidak berguna ketika menghadapi pasukan Dayak yang sebagiannya telah menjadi kebal peluru. Adanya serangan yang sangat sporadis dan para pasukan Dayak yang telah menjadi "trance" tersebut adalah berkat adanya adat mangkok merah. Karena tidak sanggup menghadapi orang Dayak, kemudian seluruh tangsi militer Belanda di pedalaman di tinggalkan oleh pihak tentara Belanda, yang kemudian memusatkan penjajahannya di wilayah di daerah pesisir pantai hingga menjadikan orang Melayu sebagai bulan-bulanan mereka.

 

Peperangan Melawan Jepang

          Peperangan orang Dayak melawan Jepang seperti perang Sidas dan Ngabang pimpinan Pak Kasih dan perang Majang Desa didaerah sekadau, meliau dan Sintang. Pada Perang Dayak Desa terjadi pada 1944-1945 untuk membalas dendam pihak Jepang yang kejam terhadap mereka. Pada masa awal perang, para pemuka adat Dayak mengumpulkan kaum-kaum mereka di Sekadau, dengan salah satu caranya adalah dengan Mangkok Merah. Sesudahnya, rakyat dikumpulkan untuk bermusyawarah bersiasat untuk mengalahkan Jepang. Perang Dayak Desa berakhir dengan kemenangan di tangan Suku Dayak.

 

Peristiwa Penumpasan PARAKU / PGRS

          Dahulu konsentrasi penduduk kalimantan barat adalah di daerah pedalaman. Setelah menambang di daerah Monterado, kaum Tionghoa mencari daerah tambang di wilayah pedalaman. Umumnya mereka bertempat tinggal di tanah-tanah perbatasan antar sub-suku Dayak, yang umumnya beberapa puluh hingga ratusan meter merupakan tanah tak bertuan, hal ini dikarenakan sebagai batas wilayah masing-masing suku Dayak yang bertetangga. Ketika kaum Tionghoa masuk ke wilayah perbatasan antara orang Banyadu (Dayak Banyuke) dan orang Bakati (Dayak Rara), mereka menambang disana dan membangun kota yang diberi nama kota “Tamue”, yaitu sebuah kata yang berasal dari bahasa orang Banyadu (Dayak Banyuke), yang didalam bahasa Indonesia bearti “Tamu”. Adapun alasan mereka menamai pemukiman mereka dengan nama “Tamue” adalah karena seluruh orang Tionghoa yang datang didaerah itu dianggap sebagai tamu. Selain kota Tamue (Tamu), pemukiman orang Tionghoa yang lain, yang kemudian menjadi kota yang terletak di perbatasan antara orang Banyadu dengan orang Bakati adalah Sebinte dan Sayung.

 

          Kemudian kota Batukng yang merupakan perbatasan antara orang Banyadu (Dayak Banyuke) dengan orang Bangape (Dayak Kanayatn Darit), dan kota-kota di tanah perbatasan yang lainnya. Kemudian karena ingin mencari lokasi tambang yang lain di tengah-tengah wilayah sub-suku dayak tertentu. Orang-orang tionghoa tersebut umumnya membeli tanah-tanah orang Dayak yang menjadi lokasi tambang emas mereka. Disamping dengan cara membeli, dari mereka ada juga yang memperolehi tanah sebagai warisan dari mertua mereka yang orang Dayak. Kampung-kampung tionghoa yang kemudian menjadi kota yang terletak di jantung wilayah sub-suku Dayak tertentu adalah seperti kota Sebalo, kota sunge raya (sunge betung) dan pinggiran kampung Bagu (pusat kota Bengkayang) di jantung wilayah orang Bakati. Kemudian ada kota Suna (bahasa Hakka-nya: kampet) dan kota Parigi yang terletak di jantung wilayah orang Banyadu. Dan kota-kota lainnya diseluruh jantung wilayah masing-masing sub-suku dayak Kal-bar.

 

          Ketika tinggal di pedalaman, rata-rata generasi orang tionghoa yang lahir adalah anak-anak blasteran antara Tionghoa dan Dayak. Pada waktu itu wilayah pedalaman Kalbar menjadi sangat maju daripada wilayah pesisir. Di daerah pesisir satu-satunya kota besar dahulu hanya kota pontianak, sementara kota Singkawang yang pada saat sekarang dikenal sebagai kota besar kedua di kal-bar, dahulu hanya sebuah kota kecil. Karena kemajuan wilayah pedalaman, kemudian menyebabkan ribuan orang Melayu dari daerah sambas dan pontianak masuk ke pedalaman untuk tinggal diantara orang Tionghoa dan Dayak. Hal inilah yang menyebabkan terdapat adanya orang-orang Melayu di bekas-bekas kota yang pernah ada di pedalaman dahulu.

 

          Ketika kota-kota pedalaman Kal-Bar telah menjadi maju, terjadi konflik antara Indonesia dengan Malaysia. Untuk melawan malaysia, pemerintah presiden Sukarno melatih ratusan pemuda blasteran tionghoa-Dayak untuk melawan tentara malaysia dan tentara inggris. Setelah konflik selesai dan setelah kejatuhan pemerintahan presiden Sukarno. Suharto yang berkuasa memerintahkan seluruh orang tionghoa di seluruh Indonesia untuk meninggalkan pemukiman mereka yang berada di desa-desa dan di kota-kota kecil, agar mereka tinggal di kota-kota besar. Karena hal itu, ratusan ribu bahkan jutaan orang Tionghoa di seluruh Indonesia meninggalkan tempat asalnya.

 

          Sementara di Kal-bar umumnya himbauan presiden Suharto tersebut tidak di gubris. Hampir seluruh populasi orang Tionghoa di Kal-Bar masih tetap bertahan tinggal di antara saudaranya orang Dayak. Setelah beberapa tahun berlalu sisa-sisa pasukan pengganyang Malaysia yang berasal dari pemuda-pemuda blasteran Tionghoa-Dayak tersebut kerap kali mendapat bantuan logistik dari oknum-oknum orang Tionghoa di pedalaman, mereka akhirnya dianggap tidak setia oleh pemerintah dan bahkan dapat mengancam pemerintahan, maka atas perintah Suharto pihak TNI melakukan pembersihan dengan menumpas pasukan pengganyang malaysia tersebut, namun meskipun jumlahnya hanya ratusan orang, tentara Indonesia tidak sanggup melawan mereka.

 

          Karena ketidak-mampuan TNI dari kesatuan Pasukan Kujang Siliwangi yaitu cikal bakal Kopassus sekarang, dalam menumpas bekas pasukan pengganyang Malaysia yang dibentuk dimasa pemerintahan presiden Sukarno. Kemudian dengan licik para petinggi pasukan kujang Siliwangi membuat adu-domba antara Dayak dengan saudaranya kaum Tionghoa. Akhirnya setelah politik devide et inpera di jalankan oleh Tentara Nasional Indonesia (TNI), mereka kemudian memperoleh bantuan dari masyarakat Dayak dalam peristiwa pemberantasan pasukan pengganyang malaysia yang dicap dengan sebutan komunis di Kalimantan pada tahun 1967an. Peristiwa tersebut menjadi awal tragedi pembunuhan dan pengusiran ribuan warga etnis Tionghoa di Kalimantan Barat pada akhir 1967.

 

          Sering diceritakan oleh orang-orang tua Dayak Banyuke (Orang Banyadu) bahwa ketika tentara Kujang (kopassus) menyerang orang tionghoa, mereka menggunakan senjata putar, yaitu sejenis senjata semi otomatis yang ketika menggerakan mesinnya dengan cara memutari engkol senjata tersebut, selain itu beberapa helikopter tentara Kujang juga mondar mandir di atas kota Suna (bahasa Hakka-nya: kampet), kota parigi dan kota Tamue (Bahasa Indonesianya: Tamu) sambil menjatuhkan puluhan bahkan ratusan buah bom untuk menghancurkan kota-kota tersebut. Ada ratusan orang Tionghoa yang bersembunyi di celah-celah batu dan di gua-gua yang terdapat di gunung Marabukatn di perbatasan kota Suna (bahasa Hakka-nya: kampet) dan kota Parigi seluruhnya tewas oleh ledakan ratusan buah bom yang dijatuhkan oleh helikopter dan pesawat tempur tentara kujang (Kopassus).

 

          Soemadi, salah satu mantan gubernur Kalimantan Barat dan mantan Pangdam XII / Tanjungpura dalam bukunya yang terkenal Peranan Kalimantan Barat dalam Menghadapi Subversi Komunis Asia Tenggara terbitan Yayasan Tanjungpura menyebut bahwa praktik Ngayau dan Mangkok Merah menjadi salah satu kebanggaan tersendiri bagi Pangdam dalam penumpasan Paraku / PGRS dan mesti diberi penghargaan dari Pangdam. Para pemimpin Pengayauan ini kemudian dibawa ke Jakarta pada tahun 1972 untuk menemui Soeharto, Presiden Republik Indonesia yang kedua. Praktik Ngayau ini dihidupkan lagi setelah Indonesia merdeka oleh TNI. Para pemimpin pasukan Dayak yang membantu TNI diberi penghargaan dengan pangkat militer Pembantu Letnan Satu Tituler. Mereka bertemu dengan Presiden Soeharto pada November 1972 dan diberi tunjangan seumur hidup. Di antaranya, ada Aziz, Jimbau, Burung, Nayau, Dangih, dan Sinau.

 

Konflik Sanggau Ledo

          Ritual mangkuk merah terjadi dalam pertikaian antara etnis Dayak dengan suku Madura di Sanggau ledo  tahun 1966. Kerusuhan yang kemudian disebut Kasus Sanggau Ledo tersebut bermula dari kejadian sepele: "senggolan dangdut". Awalnya, menjelang tahun baru 1997, ada pertunjukan musik dangdut untuk merayakan sebuah resepsi perkawinan di Pasar Ledo. Banyak anak muda dari kecamatan lain ikut datang, termasuk beberapa pemuda Madura dari desa-desa Transmigrasi yang ada di kecamatan Sanggau Ledo yang bertaut sekitar 30 kilometer.

 

          Di antara keremangan Minggu malam 29 Desember itu, ketika anak-anak muda tersebut asyik berjoget, sekelompok pemuda Madura menyenggol seorang gadis Dayak. Melihat hal itu, dua orang pemuda Dayak melabrak pemuda Madura yang menyenggol gadis Dayak tadi. Karena dendam kesumat, akibat malu dilabrak oleh pemuda Dayak, kemudian menyebabkan pemuda Madura yang dilabrak tersebut mengajak para pemuda Madura yang lain untuk mengeroyok pemuda Dayak yang melabraknya tadi. Para pemuda Madura yang mengeroyok itu, diantara mereka ada yang menghunus senjata tajam, lalu menikam tubuh kedua pemuda Dayak yang melabrak mereka tadi. Karena darah banyak mengalir dari tubuh kedua orang pemuda Dayak yang ditikam tadi, kemudian mereka segera dilarikan ke rumah sakit Bethesda di Kecamatan Samalantan, tak jauh dari sana.

 

          Tidak lama setelah itu, tersiar kabar bahwa kedua orang pemuda Dayak yang ditikam tadi mati dalam perjalanan. Kemudian keesokan harinya, 30 Desember, beberapa orang warga Dayak Ledo mendatangi kampung transmigrasi di Kecamatan Sanggau Ledo, tempat tinggal para pemuda Madura itu, bermaksud untuk meminta pertanggung-jawaban mereka. agar mereka mau mengikuti proses hukum adat Dayak untuk menyelesaikan perkara yang dilakukan oleh para pemuda Madura tersebut. Namun, bukannya diterima secara baik-baik, malah sebagian besar penduduk Transmigrasi Madura tersebut membawa senjata tajam dan menantang orang-orang Dayak yang datang baik-baik itu.

 

          Melihat hal itu, amarah orang Dayak-pun timbul, sebagian orang Dayak yang datang baik-baik itu pulang untuk mengambil senjata sekalian membawa puluhan massa, maka setelah puluhan orang massa Dayak yang baru datang ke situ, akhirnya tawuran bersenjata secara massal akhirnya terjadi. Tawuran itu terjadi bagaikan perang dua kelompok tentara dari dua kerajaan yang berbeda, dimana pada kelompok Madura yang berasal dari kampung tempat kejadian itu berlangsung lebih banyak, bahkan ada ratusan orang, yang menghadapi sekitar 40 orang Dayak.

 

          Pada kejadian itu banyak orang madura yang terbunuh, sementara pada pihak Dayak tidak satupun yang terbunuh. Setelah melihat hal itu, orang-orang Madura yang tadinya menantang dan ganas bagaikan singa itu, akhirnya ciut dan mulai kocar-kacir, sebagian pergi ke kampung-kampung Madura yang lain untuk minta bantuan dari warga Madura dari kampung-kampung tetangganya itu. Setelah itu, ribuan orang Madura berdatangan dengan membawa berbagai macam senjata, namun mereka juga tidak mampu menghadapi puluhan orang Dayak yang membela maruahnya atas pelecehan yang dilakukan oleh para warga Madura itu. Korban dari pihak Madura terus berjatuhan, yang lari ke hutan dikejar sampai dapat dan sampai terpenggal. Karena sudah tidak mampu lagi untuk menghadapi puluhan orang Dayak itu. Akhirnya orang-orang Madura lari mengungsi ke Pangkalan Udara Supadio II, yang terletak di kota kecamatan tersebut.

 

          Setelah itu secara bertahap para pengungsi itu diterbangkan ke pontianak. Beberapa penduduk asal Madura yang tinggal di kecamatan tetangga, seperti Ledo, Bengkayang, dan Samalantan, juga terpaksa mengungsi. ke Singkawang. Panglima Kodam (Pangdam) VI / Tanjungpura Mayor Jenderal Namoeri Anoem yang berkantor di Balikpapan, Kalimantan Timur, datang ke daerah kerusuhan. Ia juga mengirimkan pasukan tambahan. Bersama pimpinan daerah Kalimantan Barat, tepat di hari tahun baru itu, Pangdam menggelar pertemuan dengan sejumlah tokoh Dayak dan Madura di Singkawang agar mereka dapat menenangkan massa.

 

3 komentar :

  1. Edok sidi tulisannya, kadek mulih nuan kak mae namu sumber referensi sejarahnya koa? Salam Kenal. Ame lupa kunjungi ugak blog ku wilbeblogger.com

    Trims

    BalasHapus
    Balasan
    1. Sumbernya dari Carita urakng tuha pamaliatn man panyagahatn Nang pernah ku dangar dee. Ditambah dari internet uga.

      Hapus

 

Translate

Label

Adat (5) Bigbang (14) Budaya (5) Dayak (10) Kerajaan Dayak (11) Multiverse (3)