Secara
asal kerajaan Panggau Banyau (Tamputn Juwah)
adalah kerajaan yang didirikan oleh Rumpun Dayak Bidayuhik timur sebelum
terpecah menjadi subsuku Dayak Galik
/ Golik, Dayak
Noyan, Dayak
Jangkang, Dayak Hibun, Dayak
Pangkodatn dan lain-lain. Kerajaan ini didirikan oleh Patih Banyau. Selama berdirinya tidak diketahui berapa jumlah raja yang pernah berkuasa pada kerajaan ini. Ibukota
Kerajaan Pangggau Banyau (Tamputn Juah)
adalah kota Banyau sama dengan nama raja yang mendirikannya, yang berlokasi di
dekat hulu sungai Entabai, yang merupakan salahsatu anak sungai Sekayam, yang
konon lokasinya berada tepat di dekat Kampung
Segumon, Kecamatan Noyan kabupaten Sanggau sekarang. Dahulu didalam kota ini,
setidaknya memiliki tiga puluh buah
rumah panjang. Setiap rumah panjang terdiri atas minimal
sebanyak 30 pintu (kepala keluarga).
Dengan demikian, kota ini dihuni minimal sebanyak 900 kepala keluarga. Dengan
perkiraan jumlah penduduknya berkisar antara 3000 – 7000 jiwa, sudah tentu ini
merupakan kota yang cukup besar yang berada di pedalaman kalimantan pada abad 11
masehi. Sekitar abad 11 Masehi kerajaan ini mulai mengalami kejayaan dan runtuh
sekitar abad 13 masehi.
KEDATANGAN PENGUNGSI DAYAK IBAN SELATAN (IBAN KAL-BAR) KE KOTA BANYAU
Dayak
Iban selatan (Iban Kalbar) adalah Dayak Iban yang sejak dahulu telah tinggal
dibagian timur kalimantan barat. Suatu saat sebagian dari warga Dayak Iban yang
semula tinggal di kawasan hulu kapuas, tepatnya di kawasan bukit Kujau dan
bukit ayau, Air Berurung, Balai Bidai
dan Tinting Lalang Kuning, mendatangi
kerajaan Pangau Banyau (Tamputn Juwah)
secara massal menjelang akhir abad ke-11 masehi (namun
bukan bearti seluruh warga Dayak Iban selatan), disebabkan oleh bencana
kelaparan akibat kegagalan panen.
Meskipun
telah bertahun-tahun tinggal dikerajaan dikota Banyau, warga Dayak Iban masih sering memuja para raja dari
kerajaan asal mereka yang bernama Panggau
Libau (Wijayapura) sebagai dewa pujaan mereka dalam bentuk buah cerita pada puitis atau nyanyian sastra tua (ensera / buah cerita
kerinduan). Para raja kerajaan
Panggau Libau (Wijayapura/ Puchavarao) yang kisah kehidupannya sering
diceritakan secara turun temurun oleh warga Dayak Iban yang menetap di kerajaan
Panggau Banyau tersebut dikenal
dengan sebutan “orang buah kana”.
Setidaknya
terdapat sebelas roh para raja
kerajaan Panggau Libau (Wijayapura /
Puchavarao) yang sering dipuja-puji dan diagung-agungkan serta sering
dikisahkan oleh para tetua Dayak Iban di kerajaan Panggau Banyau (Tamputn Juwah). Nama-nama para roh raja dan
istrinya itu adalah Kelieng, Landai,
Romuyan, Beday, laja, Pesampang dan Manuk
Babari untuk yang laki-laki, dan para istri raja-raja tersebut, yaitu; Kumang, Panti, Sinyau dan Belunan.
STRATIFIKASI SOSIAL PENDUDUK KERAJAAN PANGGAU
BANYAU
Masyarakat
kerajaan Pangau Banyau / Tampun Juah
(Tamaio Baio) terbagi atas tiga
kelas sosial. Kelas tertinggi yang disebut kaum
Masuka (suka) adalah kelas kaum bangsawan. Mereka ini terdiri atas raja dan
keluarganya, para birokrat kerajaan dan para keluarga kaya. Kemudian kelas
menengah yang disebut kaum meluar, mereka
terdiri dari orang-orang yang hidupnya berkecukupan tanpa memikin hutang
piutang. Dan, yang terakhir adalah kelas bawah yang disebut kaum Melawang, yaitu kelas kaum miskin
alias rakyat jelata.
Menjelang
kehancurannya, kerajaan Panggau
Banyau / Tampun Juah (Tamaio Baio) kala
itu diperintah oleh seorang “Raja”
yang sekaligus menjabat sebagai tokoh spiritual yaitu pemimpin tertinggi
seluruh kegiatan spiritual di kota Banyau.
Raja itu bernama Ambun Manurun (Embun
Turun), ia memiliki permaisuri yang bernama Pukat Mengawan. Perkawinan mereka dikaruiai dengan sepuluh orang
anak yakni tujuh orang laki-laki dan tiga orang perempuan. Anak-anak mereka itu
adalah; Puyang Gana yang
merupakan anak sulung. Ia lahir dalam keadaan cacat (Abnormal), yakni hanya memiliki satu kaki dan satu tangan
hingga menyebabkannya dinamai Gana.
Ia meninggal tidak lama setelah lahir dan di kubur di bawah tangga. Anak kedua
bernama Puyang Belawan. Anak ketiga adalah bernama Genuk, ia berjenis kelamin perempuan yang lahir abnormal (cacat) dengan tubuh kerdil,
oleh sebab itu ia di sebut Dara Genuk (Dara Kerdil). Anak yang
ke-empat juga terlahir abnormal (cacat)
karena memiliki alat kelamin yang berukuran besar, Oleh sebab itulah ia dinamai
Bejid
Manay (Penis Besar).
Anak
yang kelima bernama Belang Patung. Ia
lahir dengan kelainan pada setiap ruas tulangnya yang belang-belang, oleh sebab
itu ia disebut Belang Patung (Belang Tulang Rusuk). Anak yang ke-enam bernama Belang Pinggang, ia lahir dengan
kelainan pada bagian pinggangnya, dimana pinggangnya berwarna belang, oleh
sebab itu ia disebut Belang Pinggang. Anak yang ke-tujuh
bernama Belang Bau. Ia lahir dalam keadaan bahunya berwarna belang.
Oleh sebab itu ia disebut Belang Bau (belang bahu).
Anak
yang ke-lapan berjenis kelamin perempuan, ia dinamai Dara Kantag (Dara Tompel).
Meskipun lahir dalam keadaan normal tetapi dipipinya terdapat calag (kelainan kulit), oleh sebab itu
ia disebut Dara Kantag (Dara Tompel). Anak yang ke-sembilan berkelamin
perempuan, ia lahir normal dengan penampilan fisik yang nyaris sempurna
bagaikan sesuatu yang dibuat atau dicetak menurut cetakan yang telah
ditentukan, dimana dia memiliki kulit mulus dan berwarna putih
Dayak (Kuning putih sedikit merah) dan memiliki bentuk tubuh yang sangat
indah serta memiliki wajah yang sangat cantik. Oleh sebab itu ia dinamai Putong
Kempat. Anak yang ke-sepuluh berkelamin laki-laki dan dinamai Bui
Basi, ia lahir dengan tubuh normal.
PENEGAKAN HUKUM YANG MEMBAWA MALAPETAKA
Pada masa kerajaan Panggau Banyau (Tampun Juwah) diperintah
oleh raja Ambun Manurun (Embun Turun).
Didalam kota Banyau ibukota kerajaan Panggau Banyau (Tampun
Juwah) dari antara ribuan penduduknya, hiduplah dua orang saudara
kandung yang laki-laki bernama Juwah dan yang perempuan bernama Lemay. Kedua anak muda tersebut melakukan pelanggaran adat yang sangat berat yakni melakukan
hubungan badan sedarah atau yang dikenal dengan istilah insets.
Awalnya Juwah meminta supaya Lemay mencari kutu di kepalanya.
Ketika mencari kutu tersebut, Lemay mendapati dua ekor kutu yang sedang berdekapan di atas kepala Juwah. Karena penasaran ingin
merasakan berdekapan seperti dua ekor kutu tersebut, kemudian Lemay mengajak Juwah untuk mengikuti perbuatan
kedua ekor kutu tersebut. Sewaktu mereka berdekapan, nafsu birahi sebagai
manusia normal bangkit kepada mereka berdua hingga perbuatan hubungan Insets mereka lakukan. Kejadian ini, mengakibatkan Lemay hamil, yang kemudian dirahasiakan oleh orang tua mereka.
Selama
mengandung, Lemay tidak menunjukan gejala apapun, yang ada ia hanya mengidam ingin memakani hati Kera putih (Kera Albino). Untuk memenuhi keinginan Lemay tersebut, maka suatu hari berangkatlah Juwah kedalam hutan untuk memburu kera putih (Kera Albino). Ia pergi hanya membawa sebilah mandau dan sebatang sumpit bersama puluhan damek-nya (anak
sumpit). Ketika Juwah telah berhasil mendapatkan hati kera putih (Kera Albino), dia segera pulang.
Setelah
beberapa hari berada dirumah, kemudian adiknya yaitu Lemay melahirkan sebanyak tujuh
orang anak. Bermaksud untuk menghilangkan jejak agar tidak diketahui
oleh penduduk kota Banyau, akhirnya Juwah bersama dengan kedua orang tuanya memilih untuk segera memasukan tujuh bayi itu ke dalam sebatang bambu Betung (Dendrocalamus asper) yang berukuran
cukup besar, yang telah dipotong dan hanya menyisakan sebanyak
tujuh ruas bambu yang bagian sisi atas dari ketujuh ruasnya telah dibuka (dibelah).
Ketujuh orang bayi tersebut dimasukkan ke dalam tiap ruas bambu secara
berurutan, dari yang sulung sampai yang bungsu. Ketika dimasukan ke dalam ruas bambu, yang sulung dibekali sepotong logam dan yang bungsu
dibekali bongkahan emas besar yang berbentuk buah mentimun, sementara lima anak yang lain tanpa dibekali benda
apapun. Setelah itu batang bambu yang telah berisi tujuh bayi tadi diikat
diatas lanting bambu dan dihanyutkan disungai Sekayam.
Beberapa hari kemudian perbuatan keluarga Juwah dan Lemay telah
diketahui oleh penduduk kota Banyau,
mereka berdua di tangkap dan dijatuhi hukuman mati. Menurut versi rakyat kerajaan Lawai (Hulu Aik) bahwa hukuman terhadap Juwah (versi Rakyat Hulu Aik: Kranamuna) dan Lemay (Versi Rakyat Hulu Aik: Kranamuning) dilakukan dengan cara memasukan tubuh mereka berdua
yang telah diikat ke dalam sebuah Bubu (perangkap ikan) berukuran besar, yang terbuat dari Bemban (nama tumbuhan). Setelah itu, Bubu tersebut dihanyutkan di sungai Entabai yaitu salahsatu anak sunga Sekayam yang mengalir disisi kota Banyau.
Sementara menurut versi Dayak Ibanik penduduk kerajaan Panggau
Banyau (Tampun Juwah), bahwa eksekusi terhadap Juwah dan Lemay dilakukan dengan cara di Tamputn.
Ini adalah kosakata yang terdapat pada bahasa Dayak, baik
dalam bahasa Dayak Ibanik dan dalam bahasa Dayak Bidayuhik maupun dalam bahasa Dayak Kanayatnik, yang dalam bahasa Indonesia kurang lebih bermakna “penyambungan”.
Pada saat eksekusi dilakukan, tubuh kedua orang terdakwa itu disambungkan menjadi satu. Tubuh Lemay terlentang dan dan tubuh Juwah tertelungkup padanya. Tangan kanan Juwah di ikat dengan tangan kiri Lemay, dan tangan kiri Juwah di ikat dengan tangan kanan Lemay, begitu juga dengan kaki mereka.
Setelah itu sebatang bambu runcing ditancapkan ke tubuh mereka
berdua,
kemudian tubuh mereka dihanyutkan di sungai sekayam. Eksekusi dilakukan oleh
seorang algojo yang bernama Lujun.
Sejak saat itu negeri kerajaan Panggau Banyau (Tampun Juwah) dikenal dengan sebutan negeri Tamputn
Juwah.
Apakah
Hukuman Yang Dijatuhkan Kepada Juwah Dan Lemay Hanya Sebagai Penegakan Hukum
Semata?
Menurut
legenda, hukuman yang dijatuhkan kepada Juwah dan Lemay adalah hukuman mati
yang dilakukan dengan cara di tampun (penyambungan).
Hukuman mati tersebut dianggap hanya
sebagai bagian dari penegakan hukum adat yang berlaku pada masa itu. Yang
menjadi permasalahannya adalah bahwa; Lemay
melahirkan tujuh orang sekaligus anak kembar. Menurut adat lama bangsa Dayak
bahwa seorang raja baru dapat diangkat, apabila pada sebuah komuitas Dayak
terdapat sebuah keluarga yang mempuyai tujuh orang anak dari yang tertua hingga
yang ke tujuh berjenis kelamin sama semuanya. Maka, ayah dari ketujuh orang
anak yang sama jenis kelaminya tersebut harus diangkat menjadi raja baru.
Selain
itu, jika pada sebuah keluarga, terdapat istrinya melahirkan anak kembar
sekaligus tujuh orang tanpa harus sama jenis kelaminya, maka ayah dari ketujuh
orang anak kembar tersebut juga harus diangkat menjadi raja. Karena kasus yang
terjadi pada pasangan Juwah dan Lemay
yang melahirkan anak kembar tujuh orang sekaligus, maka seharusnya rakyat di
kerajaan Panggau Banyau (tampun juwah)
mengangkat Juwah menjadi raja baru,
tentu saja beliau harus diperintahkan untuk mencari lokasi kerajaan ditempat
baru.
Namun
yang terjadi malah sebaliknya. Juwah
dan Lemay harus dihukum mati. Mereka
memang bersalah, namun tidak seharusnya untuk dihukum mati, akan cukup tepat
jika mereka seharusnya diusir dari wilayah kerajaan Panggau Banyau (tampun juwah). Alasan yang sangat masuk akal dari
kejadian itu adalah, bahwa; raja Ambun
Manurun (Embun Turun) merasa kekuasaannya dan keturunannya kelak terancam akan
didepak jika seandainya si Juwah
harus diangkat menjadi raja di kerajaan Panggau
Banyau. Karena itu dengan memanfaatkan alasan “hukum”, beliau kemudian
memerintahkan agar Juwah dan Lemay dihukum mati.
KERUNTUHAN TAMPUN JUWAH
Pada suatu waktu, rombongan pasukan
kayau dari kerajaan Lawai (hulu aik),
sedang beristirahat di pinggiran sungai Sekayam. Saat beristirahat, pemimpin mereka Singa Sulong (jendral Sulong) alias Singa Tedong Rusi (jendral king cobra) tertidur pulas dan bermimpi. Didalam mimpinya dia mendapat mandat untuk mengambil
tujuh orang bayi yang diletakan di
dalam tujuh ruas bambu yang dihanyut dengan lanting bambu oleh orang tuanya
yang bernama Kranamuna (versi Ibanik:
Juwah) dan Kranamuning (versi Ibanik:
Lemay).
Ketika terbangun, Singa Tedong Russi (Jendral
Ular King Cobra) kemudian memerintahkan para prajuritnya untuk menunggu
lanting yang hanyut dan mengambil sebatang bambu yang ke-tujuh ruasnya berisi
bayi-bayi tersebut. Setelah lanting yang dimaksud tiba, salahsatu prajuritnya menarik
lanting tersebut dan mengambil bambu yang berisi bayi tersebut. Lalu ruas bambu tersebut dibelah dan mereka mendapati tujuh bayi, seperti dalam mimpinya.
Setelah pasukan kayau Singa Tedong
Rusi
(Jendral Ular King Cobra) mendapatkan ketujuh orang bayi tersebut, seperti
dalam mimpinya. Kemudian Singa Tedong Rusi (Jendral Ular King Cobra) memerintahkan empat orang prajuritnya untuk pergi melakukan mata-mata ke ibukota kerajaan Panggau Banyau (Tampun
Juwah) yang bernama kota Banyau. Mereka mencari informasi tentang situasi dan kondisi di
kerajaan Panggau Banyau (Tamputn Juwah).
Setelah mengetahui keadaan di kota Banyau, ke-empat orang mata-mata yang diutus tadi segera kembali ke kemah mereka dan menceritakan keadaan di kota Banyau kepada Singa Tedong Rusi (Jendral Ular King Cobra) dan prajurit lainnya. Mereka mengatakan bahwa situasi dan kondisi di ibukota kerajaan Panggau Banyau (Tamputn Juwah) yang bernama Banyau dalam keadaan aman
dan tentram, serta penduduknya hidup makmur dan beradab yang hidup tertib karena diatur dengan hukum adat
yang sangat kuat. Diceritakan juga bahwa didalam kota Banyau, terdapat bangunan keraton rumah panjang tempat kediaman raja, dan puluhan buah rumah panjang tempat tinggal penduduknya.
Setelah mendengar cerita dari para mata-matanya, kemudian timbul keinginan didalam hati Singa Tedong Rusi (Jendral Ular King Cobra) untuk menyerang ibukota kerajaan Panggau Banyau (Tamputn Juwah) tersebut, dengan tujuan untuk menjarah semua harta penduduknya dan untuk menangkap banyak hulun
(budak) baru. Untuk mewujudkan keinginannya tersebut, Singa Tedong Rusi (Jendral Ular King Cobra) kemudian memerintahkan kembali para mata-mata tersebut agar secepatnya pulang ke kota Labai Lawai untuk mengantar
ketujuh bayi yang diambil beberapa hari yang lalu kepada raja Galor Mandang alias Raja Siag Bahulun (raja yang semakin
memiliki banyak budak) supaya beliau mau memeliharanya, sekalian
membujuk raja Galor Mandang alias Raja
Siag Bahulun (raja yang semakin memiliki
banyak budak) agar beliau mengirim prajurit tambahan untuk menyerang kerajaan Panggau Banyau (Tampun Juwah).
Ketika sampai di kota Labai Lawai, para prajurit yang
membawa ketujuh bayi tersebut segera menemui raja Galor Mandang untuk mempersembahkan kepada
beliau yang tidak memilik anak, agar dipelihara menjadi anak
angkatnya. Selain itu mereka juga menceritakan bagaimana mereka menemui ketujuh
bayi tadi, hingga bagaimana awal mulai mereka melakukan mata-mata
ke kota Banyau ibukota kerajaan Panggau Banyau (Tampun
Juwah).
Juga, mereka mengatakan kepada raja bahwa situasi dan kondisi
didalam kota Banyau dalam keadaan maju
dan makmur, dan sang Pangalangok (Pemimpin Militer) kerajaan Hulu
Aik yaitu Singa Tedong Rusi
(Jendral Ular King Cobra) sangat berkeinginan
menyerang kota Banyau. Untuk
mewujudkan keinginan tersebut beliau berpesan agar raja mengirim prajurit
tambahan untuk bergabung dengan prajurit lain, yang sedang menunggu di kemah
mereka bersama Singa Tedong Rusi
(Jendral Ular King Cobra).
Setelah mendengar cerita dari para mata-mata
yang mengantar ketujuh bayi tadi, akhirnya raja Galor Mandang setuju kemudian memerintahkan pengumpulan prajurit
tambahan untuk menyusul pasukan Singa
Tedong Russi (jendral king cobra) yang sedang menunggu dikemah mereka.
Keesokan harinya, ratusan prajurit Kerajaan
Lawai (Hulu Aik) telah berkumpul dikota Labai
Lawai dan siap untuk segera berangkat menuju kemah Singa tedong Russi (jendral king cobra).
Dari kota Labai
Lawai ibukota kerajaan Lawai (Hulu
Aik) yang lokasinya terletak dihilir dan dekat muara sungai Labai, dengan menggunakan beberapa buah perahu
panjang, mereka bergerak ke arah utara
menyusuri sungai Labai yaitu
sebuah sungai yang pada peta Google
dinamakan sungai Cimanuk (nama yang
berbau intervensi dari pihak luar). Sungai Labai merupakan salah cabang sungai Kapuas yang bermuara di Kabupaten Kayong dimasa sekarang. Ketika
telah sampai di bantaran utama sungai Kapuas,
kemudian mereka berbelok ke arah kanan menuju kearah hulu Sungai Kapuas, hingga
melintasi pulau Tayan, dan bergerak terus sampai ke muara sungai Sekayam.
Dimuara sungai Sekayam, kemudian mereka berbelok ke arah kiri untuk memasuki
bantaran sungai Sekayam.
Sesampai dikemah Singa Tedong Russi (jendral king cobra), mereka berhenti sehari
untuk beristirahat dan menyusun siasat. Keesokan-harinya mereka segera bergerak menuju ke arah hulu, ke lokasi dimana kota Banyau berada. Dari kejauhan rombongan pasukan Singa tedong Rusi (Jendral Ular King Cobra)
tersebut, rupanya telah diketahui oleh penduduk kota Banyau, sehingga bersama
dengan prajurit Kerajaan Panggau Banyau
(Tampun Juah), mereka membendung kedatangan pasukan Singa tedong Rusi (Jendral Ular King Cobra) tersebut, akhirnya
perangpun terjadi.
Dalam peperangan ini laskar dari kerajaan Panggau Banyau (Tampun Juah) dengan gigih dan gagah berani berjuang melawan pasukan kerajaan Lawai (Hulu Aik) dibawah pimpinan Singa Tedong Rusi
(Jendral Ular King Cobra). Dalam pertempuran ini
tentara Singa Tedong Rusi
(Jendral Ular King Cobra) dan melarikan diri ke arah
hilir. Pada perang yang pertama ini, baik tentara Kerajaan Panggau Banyau (Tamputn Juwah) maupun tentara Kerajaan Lawai (Hulu Aik) sama-sama berperang
menggunakan senjata jarak jauh Bangsa Dayak yang disebut sumpit, oleh karena
hal itu pula, maka perang yang pertama dikenal dengan nama Perang Sumpit.
Setelah kalah dan prajuritnya banyak yang tewas, Singa Tedong Rusi (Jendral Ular King Cobra) bersama prajuritnya kembali ke kemah mereka dan menyusun siasat baru.
Dengan mengadakan ritual gaib, kemudian mereka meminta bantuan kepada makhluk
halus untuk bersama dengan mereka bergerak kembali ke kota Banyau untuk melakukan serangan yang kedua. Serangan yang kedua ini
juga gagal, karena prajurit Kerajaan Lawai (Hulu Aik) yang dibantu makhluk halus
juga dapat dikalahkan oleh prajurit kerajaan Panggau Banyau (Tamputn Juwah).
Setelah
serangan yang kedua juga gagal, kemudian mereka kembali menggunakan kesaktian yang mereka miliki. Kali ini
mereka berusaha untuk memengaruhi hewan liar baik rimong (harimau kalimantan), macatn
(harimau dahan), beruang, kijang, rusa, kulang
(serigala) dan hewan lainnya, yang seluruhnya di arahkan dengan kekuatan
gaib untuk menyerang kota Banyau.
Peperangan yang ketiga akhirnya terjadi, namun pasukan berbagai spesies
binatang tersebut juga dapat dikalahkan.
Karena masih kurang puas dengan serangan yang ketiga kalinya, maka Singa Tedong Rusi
(Jendral Ular King Cobra) kembali mencari cara yang lain, kali ini prajuritnya diperintahkan untuk menanam berbagai jenis jamur beracun diladang,
dan sekitar pemukiman masyarakat kota Banyau pada
malam hari, Akibatnya, banyak rakyat kerajaan Panggau Banyau (Tampun Juah) yang keracunan, tetapi
keracunan ini dapat disembuhkan menggunakan akar dan tumbuhan hutan lainnya.
Setelah penduduk kota Banyau sembuh dari racun kulat itu, ternyata efek racun tersebut berdampak pada perubahan
intonasi bahasa, logat dan pengucapan kata-kata pada bahasa komunikasi yang menjadi bahasa keseharian penduduk kota Banyau. Kejadian ini kemudian menyebabkan timbulnya kelompok-kelompok
bahasa baru yang berbeda dialek dan bunyi kata-kata walaupun masih dapat dimengerti (serumpun).
Melihat perpecahan bahasa tersebut, Singa
Tedong Rusi (Jendral Ular King Cobra) mengetahui bahwa hal itu merupakan suatu bentuk kelemahan dan menjadikan hal ini sebagai ide, untuk mengalahkan penduduk
kerajaan Panggau Banyau (Tampun
Juwah). Singa
Tedong Rusi (Jendral Ular King Cobra) tahu bahwa untuk merebut dan mengalahkan kerajaan Panggau Banyau (Tampun
Juwah) tidak mampu melalui perang, melainkan dengan mengotori wilayahnya.
Pada saat keracunan terjadi dimana-mana, membuat kekuatan masyarakat
kerajaan Panggau Banyau (Tampun
Juwah) menjadi rapuh. Hal ini tidak disia-siakan oleh Singa Tedong Rusi (Jendral Ular King
Cobra), sekali lagi mereka mengirimkan sihirnya yakni
dengan cara mengotori setiap tempat kegiatan sehari-hari, tempat tinggal dan
perabotan makan dengan kotoran. Karena kotoran terus-menerus muncul dan tak
kunjung selesai dalam jangka waktu yang lama, akhirnya banyak masyarakat Tampun Juah menjadi sangat strees dan panik hingga menyebabkan seluruh penduduk kerajaan Panggau Banyau (Tampun Juah) menjadi gempar.
Menyikapi hal itu maka para temenggung segera berkumpul untuk memecahkan permasalahan ini. Pekat Banyau (mupakat kota Banyau) dilakukan dan dari hasil mupakat
(musyawarah ) diputuskan untuk meninggalkan Kerajaan Pungau (Tampun Juah)
secara berangsur-angsur, inilah alkisah akhir dari keruntuhan
kerajaan Panggau Banyau (Tamputn Juwah).
MENINGGALKAN KOTA BANYAU
Menyikapi
hal itu maka para temenggung berkumpul untuk memecahkan permasalahan ini. Pekat Banyau (Mupakat kota Banyau)
dilakukan dan dari hasil pekat (musyawarah)
tersebut, memutuskan agar seluruh penduduk meninggalkan kota Banyau secara berangsur-angsur. Setiap rombongan yang berangkat
harus dipimpin oleh masing-masing temenggung, dan yang berangkat dahulu harus
membuat tanda dengan menggunakan lujok
(tunggul kayu) pada setiap tempat yang dilalui oleh kelompoknya, agar
diikuti oleh setiap kelompok yang bergerak belakangan dengan perjanjian: “jika
kelak menemukan tempat yang subur, enak dan cocok nanti, mereka dapat berkumpul
lagi dan membina kehidupan seperti masa di Tampun Juah. Setelah selesai bepekat (bermupakat) maka diputuskanlah
siapa yang berangkat terlebih dahulu.
Kelompok pertama
Mereka
yang berangkat pertama kali adalah: kelompok penduduk kota Banyau yang
keturunannya dimasa sekarang dikenal dengan sebutan Dayak Iban Batang Lupar.
Mereka berangkat menyusuri sungai sa’i, tembus ke muara sungai ketungau dan sampai
ke Batang Lupar, Kapuas hulu. Setelah tinggal untuk beberapa lama di DAS Batangan Lupar (sungai lupar), kelompok
ini kemudian terpecah dan berpisah. Yang bergerak ke arah timur, keturunannya
membentuk Dayak Kantug.
Sementara
yang bergerak ke arah utara, keturunannya hidup berbaur dengan suku-suku Dayak Iban lokal asli Sarawak, yaitu
orang-orang Dayak Iban yang telah sejak dahulu tinggal di tanah Sarawak yakni
orang Sebaruk, orang sebuyau, orang Saribas dan lain-lain. Para keturunan Dayak
Iban yang berasal dari kota Banyau yang
telah berbaur denga Dayak Iban asli Sarawak inilah yang pada masa sekarang sering
bercerita tentang asal usul mereka sebagai orang yang datang dari kota Banyau, ibukota kerajaan Panggau Banyau (tampun juwah) tersebut.
Jadi tidak benar jika dikatakan bahwa Dayak Iban Sarawak seluruhnya berasal
dari Tamputn Juwah, hanya sebagian
kecil saja yang datang dari tamputn juwah, hanya saja mereka telah melebur
dengan Dayak Iban asli Sarawak.
Kelompok Kedua
Atau Kelompok Ketungau.
Kelompok ini dipimpin
langsung oleh raja Ambun Manurun dan
istrinya Pukat Mengawan. Mereka menyusuri
aliran Sungai Sa’i, lalu masuk ke sungai ketungau, dan menetap disana di
sepanjang sungai ketungau dan membentuk kelompok-kelompok kecil diantaranya:
Bugao, Banyur, Tabun dan lain-lain. Dilereng Gunung Kujau mereka membangun bandong (ibukota) kerajaan yang baru.
Setelah raja Ambun Manurun meninggal
dunia, beliau kemudian digantikan oleh putrinya yang bernama Putong
Kempat.
Diangkatnya Putong Kempat
untuk menjadi raja, menyebabkan para saudara kandungnya murka. Untuk
menghindari sesuatu yang tidak diinginkan, Putong
Kempat bersama sejumlah pengikutnya lari dengan cara menghanyutkan diri (baca: menghilir) disungai Sepauk.
Hingga akhirnya mereka membangun ibukota kerajaannya
yang baru, yaitu kota Sepauk. Ketika
berkuasa di kota Sepauk, raja Putong Kempat menikah dengan Aji Melayu yaitu seorang saudagar dari
negeri seberang. perkawinan raja Putong
kempat dengan Aji Melayu
melahirkan delapan orang anak, mereka adalah; Dayang lengkong, Dayang
Randung, Abang Panjang, Demong Karang, Demong kara, Demong Minyak dan Demong
Irawan. Kelak anak
bungsu mereka yang bernama Demong Irawan
dipilih untuk menggantikan kedudukan ibunya Putong
Kempat untuk menjadi raja dan di sah-kan sebagai raja pertama di kerajaan
Sintang.
Kelompok Ketiga
Atau Kelompok Mualang
Mereka adalah kelompok yang terakhir meinggalkan
kota Banyau ibukota kerajaan Panggau Banyau (Tampun Juah), hal ini disebabkan
oleh adanya salah seorang penduduk yang melahirkan. Kelompok dipimpi oleh tuan Guyau yaitu pejabat temenggung dari wilayah Budhi dan seorang Manok
Sabong (prajurit pengawal) yang bernama Mualang.
Setelah
sekian lama, akhirnya mereka meninggalkan kota Banyau. Mereka bergerak menyusuri Sungai Sa’i, lalu setelah sampai
di muara sungai ketungau, mereka berbelok memasuki sungai ketungau. Didalam
perjalanan mereka, manok sabong (prajurit
pengawal) yang bernama Mualang
tersebut meninggal dunia, ia dikubur disebelah kanan mudik sungai ketungau. Mualang diabadikan untuk menyebut nama
anak sungai tersebut, dan rombongan tuan Guyau
pejabat temenggung dari wilayah budhi mengabadikan
nama kelompok yang dipimpinnya tersebut dengan nama Orang Mualang, yang berasal dari sungai Mualang dan lambat laun oleh penerusnya disebut dengan nama Dayak
Mualang.
Untuk
memenuhi kebutuhan makanan mereka selama didalam perjalanan, mereka melakukan
perburuan. Pada saat sedang berburu, mereka (orang Mualang), menemukan kelompok
pemburu lainnya yang mempunyai bahasa sama dengan rombongan orang Mualang,
tetapi bukan dari rombongan maupun komunitas mereka. Orang-orang tersebut
mengaku berasal dari Tanah Tabog (tanah
tumbuhan sulur). Berita ini kemudian di sampaikan kepada pimpinan orang
Mualang, yakni tuan Guyau pejabat temenggung
Budi, yang akhirnya membawa seluruh orang-orang
Mualang yang dipimpinnya untuk bergabung dengan masyarakat di Tanah Tabog (tanah tumbuhan sulur).
Penduduk
yang mendiami Tanah Tabog (tanah tumbuhan
sulur) merupakan keturunan dari khesekag
Busong. Khesekag Busong menikah
dengan Dara jantong, dia adalah salahsatu
anak perempuan Patih Xeniba yaitu
seorang raja yang berkuasa di kerajaan Panggau
Libau (wijayapura / Pucavarao).
Sebelum
bertemu dan menikah dengan Khesekag
Busong, putri Dara jantong diusir
dari keraton dan berkelana dihutan jauh dari tempat asalnya. Dihutan, dia
tinggal didalam sebuah pondok yang seluruh lantai dan dinding serta atapnya
terbuat dari bambu betung yang di ikat dengan tali yang terbuat dari akar kayu Tabog Tengang (Bajakah). Perkawinan Khesekag Busong dengan Dara Jantong melahirkan beberapa orang
anak, yang salahsatunya bernama Bujang
Panjai.
Gabungan
antara kelompok Mualang pimpinan Temenggung Guyau dengan masyarakat Tanah Tabog (tanah tumbuhan sulur) inilah
yang disebut dengan nama Dayak Mualang yag mendiami daerah aliran sungai (DAS)
Perupuk, yang kemudian dikenal dengan sebutan sungai Belitang, setelah Hulun (budak / hamba sahaya) yang
bernama Belitang dikubur dipinggiran sungai tersebut.
BERTEMU DAN BERASIMILASI DENGAN TENTARA MUSUH
Sebagian dari penduduk
kota Banyau yang didalamnya ikutserta
dua orang anak gadis raja Ambun Manurun.
Mereka bertemu dengan pasukan tentara musuh, yaitu tentara yang berasal dari kerajaan Lawai (hulu aik) yang datang
belakangan. Pasukan itu dipimpin oleh dua orang panglima perang yakni Singa Bardat (jendral Bardat) dan Singa Bangi (jendral Bangi).
Didalam
rombongan pasukan kerajaan Lawai (hulu
aik) yang datang belakangan itu, ikut juga Dara Nante, dia adalah istri dari Singa Tedong Rusi (jendral king cobra) yang dikenal juga sebagai Babai
Cinga / Labai Singa (artinya: Singa / jendral yang berasal dari kota Labai).
Pada waktu itu, rombongan tersebut sedang didalam perjalanan menuju ke kota Banyau ibukota kerajaan Panggau Banyau (Tamputn Juwah) untuk mencari Babai
Cinga /
Labai Singa (Singa / jendral dari kota Labai) beserta
para prajuritnya. Rombongan pasukan tentara kerajaan Lawai (Hulu Aik) ini
tersesat ketika mencari
kota Banyau
ibukota kerajaan Panggau Banyau (Tampun Juah).
Antara
warga Tamputn Juwah yang melarikan
diri karena serangan yang dilakukan oleh tentara kerajaan Lawai (Hulu Aik) pimpinan Singa
Tedong Russi (jendral king cobra), dengan tentara kerajaan Lawai (hulu aik) dalam rombongan Dara Nante tersebut tidak saling
berperang, malah sebaliknya mereka saling bekerja sama untuk pergi menjauh dari
wilayah kerajaan Panggau Banyau (tamputn
juwah).
Pada
cerita menurut versi Dayak Iban, dikisahkan bahwa; Singa (jendral) yang berasal dari kota Labai ibukota kerajaan Lawai
(hulu aik), dikenal dengan sebutan BABAI CINGA ini sebenarnya adalah bermaksud
untuk menyebutkan SINGA LABAI (jendral dari kota labai) yang diucap terbalik dan
berubah huruf konsonannya, yang seharusnya SINGA LABAI, lalu terucap menjadi BABAI
(labai / kota Labai) CINGA (singa / jendral). Jadi yang
dimaksud dengan sebutan BABAI CINGA adalah SINGA
LABAI yang bearti “SINGA
alias JENDRAL DARI KOTA LABAI ibukota
kerajaan Lawai (hulu aik)”.
Seperti
yang telah diceritakan diatas, bahwa ketika rombongan penduduk kota Banyau yang melarikan diri dari wilayah
kerajaan Panggau Banyau (tampun Juwah)
tersebut bertemu dengan pasukan tentara musuh yaitu tentara yang datang dari
kota Labai Lawai ibukota kerajaan Lawai (hulu aik), yang dipimpin oleh Singa Bangi (jendral Bangi) dan Singa Bardat (jendral Bardat) serta Dara Nante tersebut, mereka tidak saling
berperang, malah yang terjadi adalah sebaliknya, yaitu; mereka saling bekerja
sama untuk pergi meninggalkan kota Banyau.
Setelah
hidup bersama sebagai satu kelompok didalam perjalanan, kemudian antara
orang-orang Dayak Ibanik dan orang-orang Dayak Kayong yang menjadi prajurit
kerajaan Lawai (hulu aik) tersebut,
menjodohkan dua orang anak raja Ambun
Manurun yang bernama Dara Kantag
dan Dara genuk tersebut dengan kedua
orang Singa (jendral) yang memimpin tentara kerajaan Lawai (hulu aik) yang
bernama Singa Bangi (jendral Bangi)
dan Singa Bardat (jendral Bardat) tersebut.
Setelah
Singa Bangi (jendral Bangi) menikah
dengan Dara Kantag, dan Singa Bardat (jendral Bardat) menikah
dengan Dara genuk. Setelah itu mereka berpisah. Selain itu, para anak
gadis Dayak Ibanik yang belum berjodoh, juga dinikahkan dengan para personil
prajurit kerajaan Lawai (hulu aik)
yag dipimpin oleh kedua orang Singa
(jendral) tersebut, kelak Keturunan hasil asimilasi mereka itu melahirkan
subsuku Dayak Kematu, Dayak Benawas dan Dayak Mualang Sekadau.
Setelah mereka menikah, masing-masing dari
kedua orang Singa (jendral) tersebut
bersama istrinya serta para pengikutnya yaitu masing-masing dari sebagian warga
kota Banyau dan sebagian prajurit-prajurit kerajaan Lawai (hulu aik) berpisah, untuk mencari tempat menetap
masing-masing. Demikian juga dengan Dara Nante yang kemudian di ikuti oleh
sebagian dari prajurit kerajaan Lawai (hulu aik). Mereka berpisah untuk
melanjutkan pencarian suaminya si Babai
Cinga / Labai Singa (Singa / jendral dari kota Labai).
Membangun Kerajaan
Belitang Dan Sekadau
Rombongan tentara kerajaan Hulu Aik yang dipimpin oleh Singa Bangi (jendral Bangi)
yang telah bercampur dengan warga Tamputn
Juwah yang lari tersebut, menyusuri hulu
sungai ke daerah yang disebut Belitang, keturunan mereka
itu disebut Dayak Mualang Belitang.
Setelah mereka hidup menetap daerah Belitang, mereka kemudian mengangkat Dara Kantag anak raja Ambun Manurun, yaitu istri dari Singa Bangi (jendral Bangi), untuk
menjadi raja. Karena berdasarkan tuntutan adat lama bangsa Dayak, dia memiliki
hak untuk membangun kerajaan baru. Namun, dikarenakan dalam adat kuno bangsa Dayak
yang lebih mengutamakan agar yang menjadi pemimpin adalah seorang laki-laki. Akhirnya
mereka menugaskan suami Dara Kantag
yaitu Singa Bangi (jendral Bangi)
untuk mengembankan tugas sebagai raja, dengan persyaratan yang telah
ditentukan. Pada saat Singa Bangi (jendral Bangi) dinobatkan sebagai raja,
kepada beliau diberi gelar Patih, sehingga dikenal sebagai Patih Bangi.
Perkawinan
antara Dara Kantag anak raja Ambun Manurun raja kerajaan Panggau Banyau (Tampun Juwah) dengan
seorang panglima perang kerajaan Lawai
(hulu aik) yang bernama Singa Bangi
(jendral Bangi) tersebut melahirkan seorang anak yang bernama pangeran Engkong. Setelah raja Patih Bangi meninggal dunia, kemudian
beliau diganti oleh anaknya pangeran
Engkong. Raja pangeran Engkong
dengan istrinya melahirkan tiga orang putra, mereka adalah: pangeran Agong, pangeran Kadar dan pangeran
Senarong. Sesudah Pangeran Engkong (Raja Sekadau) wafat, dia digantikan
oleh Pangeran Kadar, sedangkan Pangeran
Senarong, yang meneruskan keturunan Raja-Raja Belitang.
Kerajaan
Sekadau mulai memeluk agama Islam setelah pangeran
Kadar wafat dan digantikan oleh anaknya yang bernama pangeran Suma, dia mendalami agama Islam di Mempawah. Dayak Kematu
yang merupakan gabungan dari pecahan rombongan Dara Nante dan Dayak Mualang di sekitar
Sekadau, adalah yang pertama memeluk agama Islam di daerah Sekadau, selanjutnya
berangsur-angsur di ikuti beberapa suku Dayak lainnya. mereka kemudian menyebut
dirinya dengan sebutan Senganan (orang
Dayak yang memeluk agama Islam). Perkembangan agama Islam di
kerajaan Sekadau semakin pesat, maka
pindahlah pusat kerajaan Sekadau ke sungai bara dan disitu didirikan sebuah
Mesjid Besar.
Membangun Kerajaan
Lawang Kuwari
Karena
Dara Genuk adalah anak kandung raja Ambun Manurun, yang berdasarkan pada adat
kuno bangsa Dayak, maka dia memiliki hak untuk membangun sebuah kerajaan.
Kemudian gabungan antara Dayak Mualang dan pasukan kerajaan Lawai (hulu aik) pimpinan Singa Bardat (jendral Bardat) tersebut mengangkat Dara Genuk anak raja Ambun
Turun tersebut untuk menjadi raja. Namun karena adat Dayak kuno yang lebih
mengutamakan agar jabatan seorang raja harus seorang laki-laki, hal ini memaksa
mereka untuk mempercayai suami Dara Genuk
untuk mengemban tugas sebagai raja, yang dalam hal ini adalah Singa Bardat (jendral Bardat). Akhirnya Singa Bardat (jendral Bardat) dinobatkan
menjadi pengemban tugas raja, dan kepada beliau diberi gelar “patih”, sehingga
kita mengenalnya dengan sebutan “Patih
Bardat”.
Berdasarkan
cerita yang telah “dibumbui” dengan “rempah mitos”, disebutkan bahwa;
kerajaan Lawang Kuari runtuh setelah
dikutuk, sehingga istana rumah panjangnya lebur menjadi batu. Kenyataannya
bukanlah demikian, melainkan runtuh karena diserang oleh Pangeran Agong dan pengikutnya yang berasal dari sebagian tentara
kerajaan Sekadau dimasa pemerintahan Pangeran Kadar. Serangan tentara
kerajaan Sekadau tersebut tersebut
dipimpin oleh pangeran Agong yaitu
salahsatu adik kandung raja pangeran Kadar.
Pada saat itu pangeran Agong yang “ngambek”
karena tidak dapat menerima kakaknya si Pangeran
Kadar, yang diangkat untuk menjadi raja pengganti ayahya. Akhirnya dia dan
pengikutnya mendatangi kerajaan Lawang
Kuwari bermaksud ingin merampas kekuasaan raja Lawang Kuwari. Hal inilah yang menyebabkan terjadinya peperangan di
kerajaan Lawang Kuwari.
Pada
peperangan ini, pangeran Agong dan
seluruh pasukannya tewas terbunuh, dan raja terakhir yang berkuasa di kerajaan Lawang Kuwari yaitu cucu Singa Bardat (Jendral Bardat) dan sebagian tentara kerajaannya juga
tewas terbunuh. Dalam peperangan tersebut, istana rumah panjang kerajaan Lawang Kuwari menjadi lebur setelah
dibakar oleh pasukan pangeran Agong,
sebelum mereka semua tewas terbunuh. Hingga hari ini, lokasi dimana ibukota
kerajaan Lawang Kuari tersebut pernah
berdiri, dianggap sebagai tempat keramat oleh penduduk yang tinggal
disekitarnya.
Banyak Yang Menganggap Pihak Musuh Yang
Menyerang Tampun Juwah Adalah Tentara
Kerajaan Sukadana
Kebanyakan orang mengira bahwa yang
melakukan penyerangan ke kerajaan Panggau
Banyau (tampun juwah) adalah tentara kerajaan Sukadana. Sudah jelas itu adalah klaim yang sangat salah. Karena
kerajaan Sukadana yang merupakan
pecahan kerajaan Lawai (hulu aik)
baru berdiri pada abad 14 Masehi, atau kurang lebih dua abad setelah peristiwa negeri
Tampun Juwah diserang. Jadi adalah
sebuah bentuk kesalahan jika
memaksakan diri untuk mengklaim bahwa pihak penyerang kerajaan Panggau Banyau (tampu juwah) tersebut
adalah tentara kerajaan Sukadana.
Raja yang berkuasa di kerajaan Lawai (Hulu Aik) pada waktu penyerangan
kerajaan Panggau Banyau (Tampun Juwah)
adalah Patih Galor Mandang atau yag
sering juga disebut raja Shiag Bahulun
(raja yang semakin memiliki banyak budak), dia adalah raja yang kedua yang
berkuasa dikerajaan Lawai (Hulu Aik). Setelah Raja Patih Galor Mandanng
meinggal dunia, beliau diganti oleh anak angkatnya yang bernama Patih Sadong, yang
tak lain adalah anak kandung Juwah
dan Lemay penduduk kerajaan Panggau Banyau (Tampun Juwah) yang
dihukum mati dengan cara di Tampun (penyambungan) dan mayat
mereka dihanyutkan ke sungai Entabai dahulu.
Kakak kandung raja Patih sadong yang
bernama Dayakng Putukng alias Putri Junjung Buih bersama suaminya yang
berasal dari pulau Jawa yaitu seorang bangsawan Majapahit yang bernama Prabu Jaya atau Brawijaya memilih membangun kerajaan sendiri. Kerajaan mereka itu
berpusat di Sukadana, sehingga disebut kerajaan
Sukadana.
Menganggap Pihak Tentara Musuh Dibantu Oleh
Tentara Jawa
Karena
kebanyakan orang menganggap bahwa yang melakukan penyerangan adalah kerajaan
Sukadana, akhirnya mereka menganggap bahwa tentara yang menyerang kerajaan Panggau Banyau (Tampun Juwah) tersebut,
dibantu oleh prajurit Jawa. Hal ini mengingat kerajaan Sukadana didirikan oleh Putri
Junjung Buih dan suaminya Brawijaya
yang berasal dari jawa, yang dimasa berdirinya kerajaan Sukadana tersebut pernah bersekutu dengan kerajaan asal dari suami Putri Junjung Buih, yaitu kerajaan
Majapahit di Jawa Timur.
Seluruh
prajurit kerajaan Lawai (Hulu Aik) pimpinan Singa
Sulong (jendral Sulong) alias Singa
Tedong Rusi (jendral king cobra) alias Singa
Shiag Bahulun (jendral dari raja yang semakin banyak memiliki budak), yang
menyerang kerajaan Panggau Banyau (Tampun
Juwah) tersebut adalah asli orang-orang Dayak penduduk wilayah kerajaan Lawai (Hulu Aik), yaitu orang-orang Dayak Tobag (Tobang), Dayak Kayong, Dayak
Pesaguan, Dayak Kereho (krio), Dayak Simpakng, Dayak Gorai, Dayak Jalai dan
Dayak Biaju (Ngaju) asal Kalimantan
tengah, yang dahulu di tangkap oleh prajurit kerajaan Lawai (Hulu Aik).
Menganggap Dara Nante Adalah Anak Angkat Raja
Patih Galor Mandang Alias Raja Shiag Bahulun (Raja Yang Semakin Memiliki Banyak
Budak).
Dara Nante
sejatinya bukanlah anak angkat raja Patih Galor
Mandang alias raja Shiag Bahulun (raja yang semakin memiliki
banyak budak), melainkan istri abang kandung raja Shiag Bahulun, yaitu istri Pangalangok
(pemimpin militer) kerajaan Lawai
(Hulu Aik) yang bernama Singa Sulong
(jendral Sulong) alias Singa Tedong
Rusi (jendral King Cobra) alias Singa
Shiag Bahulun (Jendral dari Raja yag semakin memiliki banyak budak).
0 komentar :
Posting Komentar