Minggu, 12 Juli 2020

Kerajaan Tampun Juah



Secara asal kerajaan Panggau Banyau (Tamputn Juwah) adalah kerajaan yang didirikan oleh Rumpun Dayak Bidayuhik timur sebelum terpecah menjadi subsuku Dayak Galik / Golik, Dayak Noyan, Dayak Jangkang, Dayak Hibun, Dayak Pangkodatn dan lain-lain. Kerajaan ini didirikan oleh Patih Banyau. Selama berdirinya tidak diketahui berapa jumlah raja yang pernah berkuasa pada kerajaan ini. Ibukota Kerajaan Pangggau Banyau (Tamputn Juah) adalah kota Banyau sama dengan nama raja yang mendirikannya, yang berlokasi di dekat hulu sungai Entabai, yang merupakan salahsatu anak sungai Sekayam, yang konon lokasinya berada tepat di dekat Kampung Segumon, Kecamatan Noyan kabupaten Sanggau sekarang. Dahulu didalam kota ini, setidaknya memiliki tiga puluh buah rumah panjang. Setiap rumah panjang terdiri atas minimal sebanyak 30 pintu (kepala keluarga). Dengan demikian, kota ini dihuni minimal sebanyak 900 kepala keluarga. Dengan perkiraan jumlah penduduknya berkisar antara 3000 – 7000 jiwa, sudah tentu ini merupakan kota yang cukup besar yang berada di pedalaman kalimantan pada abad 11 masehi. Sekitar abad 11 Masehi kerajaan ini mulai mengalami kejayaan dan runtuh sekitar abad 13 masehi.  

KEDATANGAN PENGUNGSI DAYAK IBAN SELATAN (IBAN KAL-BAR) KE KOTA BANYAU
Dayak Iban selatan (Iban Kalbar) adalah Dayak Iban yang sejak dahulu telah tinggal dibagian timur kalimantan barat. Suatu saat sebagian dari warga Dayak Iban yang semula tinggal di kawasan hulu kapuas, tepatnya di kawasan bukit Kujau dan bukit ayau, Air Berurung, Balai Bidai dan Tinting Lalang Kuning, mendatangi kerajaan Pangau Banyau (Tamputn Juwah) secara massal menjelang akhir abad ke-11 masehi (namun bukan bearti seluruh warga Dayak Iban selatan), disebabkan oleh bencana kelaparan akibat kegagalan panen. 
Pantak (Patung) pada Lokasi Tampun Juah





Meskipun telah bertahun-tahun tinggal dikerajaan dikota Banyau, warga Dayak Iban masih sering memuja para raja dari kerajaan asal mereka yang bernama Panggau Libau (Wijayapura) sebagai dewa pujaan mereka dalam bentuk buah cerita pada puitis atau nyanyian sastra tua (ensera / buah cerita kerinduan). Para raja kerajaan Panggau Libau (Wijayapura/ Puchavarao) yang kisah kehidupannya sering diceritakan secara turun temurun oleh warga Dayak Iban yang menetap di kerajaan Panggau Banyau tersebut dikenal dengan sebutan “orang buah kana”.

Setidaknya terdapat sebelas roh para raja kerajaan Panggau Libau (Wijayapura / Puchavarao) yang sering dipuja-puji dan diagung-agungkan serta sering dikisahkan oleh para tetua Dayak Iban di kerajaan Panggau Banyau (Tamputn Juwah). Nama-nama para roh raja dan istrinya itu adalah Kelieng, Landai, Romuyan, Beday, laja, Pesampang dan Manuk Babari untuk yang laki-laki, dan para istri raja-raja tersebut, yaitu; Kumang, Panti, Sinyau dan Belunan.

STRATIFIKASI SOSIAL PENDUDUK KERAJAAN PANGGAU BANYAU
Masyarakat kerajaan Pangau Banyau / Tampun Juah (Tamaio Baio)  terbagi atas tiga kelas sosial. Kelas tertinggi yang disebut kaum Masuka (suka) adalah kelas kaum bangsawan. Mereka ini terdiri atas raja dan keluarganya, para birokrat kerajaan dan para keluarga kaya. Kemudian kelas menengah yang disebut kaum meluar, mereka terdiri dari orang-orang yang hidupnya berkecukupan tanpa memikin hutang piutang. Dan, yang terakhir adalah kelas bawah yang disebut kaum Melawang, yaitu kelas kaum miskin alias rakyat jelata.

Menjelang kehancurannya, kerajaan Panggau Banyau  / Tampun Juah (Tamaio Baio) kala itu diperintah oleh seorang “Raja” yang sekaligus menjabat sebagai tokoh spiritual yaitu pemimpin tertinggi seluruh kegiatan spiritual di kota Banyau. Raja itu bernama Ambun Manurun (Embun Turun), ia memiliki permaisuri yang bernama Pukat Mengawan. Perkawinan mereka dikaruiai dengan sepuluh orang anak yakni tujuh orang laki-laki dan tiga orang perempuan. Anak-anak mereka itu adalah; Puyang Gana yang merupakan anak sulung. Ia lahir dalam keadaan cacat (Abnormal), yakni hanya memiliki satu kaki dan satu tangan hingga menyebabkannya dinamai Gana. Ia meninggal tidak lama setelah lahir dan di kubur di bawah tangga. Anak kedua bernama Puyang Belawan. Anak ketiga adalah bernama Genuk, ia berjenis kelamin perempuan yang lahir abnormal (cacat) dengan tubuh kerdil, oleh sebab itu ia di sebut Dara Genuk (Dara Kerdil). Anak yang ke-empat juga terlahir abnormal (cacat) karena memiliki alat kelamin yang berukuran besar, Oleh sebab itulah ia dinamai Bejid Manay (Penis Besar).

Anak yang kelima bernama Belang Patung. Ia lahir dengan kelainan pada setiap ruas tulangnya yang belang-belang, oleh sebab itu ia disebut Belang Patung (Belang Tulang Rusuk). Anak yang ke-enam bernama Belang Pinggang, ia lahir dengan kelainan pada bagian pinggangnya, dimana pinggangnya berwarna belang, oleh sebab itu ia disebut Belang Pinggang. Anak yang ke-tujuh bernama Belang Bau. Ia lahir dalam keadaan bahunya berwarna belang. Oleh sebab itu ia disebut Belang Bau (belang bahu).

Anak yang ke-lapan berjenis kelamin perempuan, ia dinamai Dara Kantag (Dara Tompel). Meskipun lahir dalam keadaan normal tetapi dipipinya terdapat calag (kelainan kulit), oleh sebab itu ia disebut Dara Kantag (Dara Tompel). Anak yang ke-sembilan berkelamin perempuan, ia lahir normal dengan penampilan fisik yang nyaris sempurna bagaikan sesuatu yang dibuat atau dicetak menurut cetakan yang telah ditentukan, dimana dia memiliki kulit mulus dan berwarna  putih Dayak (Kuning putih sedikit merah) dan memiliki bentuk tubuh yang sangat indah serta memiliki wajah yang sangat cantik. Oleh sebab itu ia dinamai Putong Kempat. Anak yang ke-sepuluh berkelamin laki-laki dan dinamai Bui Basi, ia lahir dengan tubuh normal.

PENEGAKAN HUKUM YANG MEMBAWA MALAPETAKA
Pada masa kerajaan Panggau Banyau (Tampun Juwah) diperintah oleh raja Ambun Manurun (Embun Turun). Didalam kota Banyau ibukota kerajaan Panggau Banyau (Tampun Juwah) dari antara ribuan penduduknya, hiduplah dua orang saudara kandung  yang laki-laki bernama Juwah dan yang perempuan bernama Lemay. Kedua anak muda tersebut melakukan pelanggaran adat yang sangat berat yakni melakukan hubungan badan sedarah atau yang dikenal dengan istilah insets.  

Awalnya Juwah meminta supaya Lemay mencari kutu di kepalanya. Ketika mencari kutu tersebut, Lemay mendapati dua ekor kutu yang sedang berdekapan di atas kepala Juwah. Karena penasaran ingin merasakan berdekapan seperti dua ekor kutu tersebut, kemudian Lemay mengajak Juwah untuk mengikuti perbuatan kedua ekor kutu tersebut. Sewaktu mereka berdekapan, nafsu birahi sebagai manusia normal bangkit kepada mereka berdua hingga perbuatan hubungan Insets mereka lakukan. Kejadian ini, mengakibatkan Lemay hamil, yang kemudian dirahasiakan oleh orang tua mereka.

Selama mengandung, Lemay tidak menunjukan gejala apapun, yang ada ia hanya mengidam ingin memakani hati Kera putih (Kera Albino). Untuk memenuhi keinginan Lemay tersebut, maka suatu hari berangkatlah Juwah kedalam hutan untuk memburu kera putih (Kera Albino). Ia pergi hanya membawa sebilah mandau dan sebatang sumpit bersama puluhan damek-nya (anak sumpit). Ketika Juwah telah berhasil mendapatkan hati kera putih (Kera Albino), dia segera pulang.

Setelah beberapa hari berada dirumah, kemudian adiknya yaitu Lemay melahirkan sebanyak tujuh orang anak. Bermaksud untuk menghilangkan jejak agar tidak diketahui oleh penduduk kota Banyau, akhirnya Juwah bersama dengan kedua orang tuanya memilih untuk segera memasukan tujuh bayi itu ke dalam sebatang bambu Betung (Dendrocalamus asper) yang berukuran cukup besar, yang telah dipotong dan hanya menyisakan sebanyak tujuh ruas bambu yang bagian sisi atas dari ketujuh ruasnya telah dibuka (dibelah)

Ketujuh orang bayi tersebut dimasukkan ke dalam tiap ruas bambu secara berurutan, dari yang sulung sampai yang bungsu. Ketika dimasukan ke dalam ruas bambu, yang sulung dibekali sepotong logam dan yang bungsu dibekali bongkahan emas besar yang berbentuk buah mentimun, sementara lima anak yang lain tanpa dibekali benda apapun. Setelah itu batang bambu yang telah berisi tujuh bayi tadi diikat diatas lanting bambu dan dihanyutkan disungai Sekayam.

 Beberapa hari kemudian perbuatan keluarga Juwah dan Lemay telah diketahui oleh penduduk kota Banyau, mereka berdua di tangkap dan dijatuhi hukuman mati. Menurut versi rakyat kerajaan Lawai (Hulu Aik) bahwa hukuman terhadap Juwah (versi Rakyat Hulu Aik: Kranamuna) dan Lemay (Versi Rakyat Hulu Aik: Kranamuning) dilakukan dengan cara memasukan tubuh mereka berdua yang telah diikat ke dalam sebuah Bubu (perangkap ikan) berukuran besar, yang terbuat dari Bemban (nama tumbuhan). Setelah itu, Bubu tersebut dihanyutkan di sungai Entabai yaitu salahsatu anak sunga Sekayam yang mengalir disisi kota Banyau.

Sementara menurut versi Dayak Ibanik penduduk kerajaan Panggau Banyau (Tampun Juwah), bahwa eksekusi terhadap Juwah dan Lemay dilakukan dengan cara di Tamputn. Ini adalah kosakata yang terdapat pada bahasa Dayak, baik dalam bahasa Dayak Ibanik dan dalam bahasa Dayak Bidayuhik maupun dalam bahasa Dayak Kanayatnik, yang dalam bahasa Indonesia kurang lebih bermakna penyambungan.

Pada saat eksekusi dilakukan, tubuh kedua orang terdakwa itu disambungkan menjadi satu. Tubuh Lemay terlentang dan dan tubuh Juwah tertelungkup padanya. Tangan kanan Juwah di ikat dengan tangan kiri Lemay, dan tangan kiri Juwah di ikat dengan tangan kanan Lemay, begitu juga dengan kaki mereka. Setelah itu sebatang bambu runcing ditancapkan ke tubuh mereka berdua, kemudian tubuh mereka dihanyutkan di sungai sekayam. Eksekusi dilakukan oleh seorang algojo yang bernama Lujun. Sejak saat itu negeri kerajaan Panggau Banyau (Tampun Juwah) dikenal dengan sebutan negeri Tamputn Juwah.

Apakah Hukuman Yang Dijatuhkan Kepada Juwah Dan Lemay Hanya Sebagai Penegakan Hukum Semata?
Menurut legenda, hukuman yang dijatuhkan kepada Juwah dan Lemay adalah hukuman mati yang dilakukan dengan cara di tampun (penyambungan). Hukuman mati tersebut dianggap hanya sebagai bagian dari penegakan hukum adat yang berlaku pada masa itu. Yang menjadi permasalahannya adalah bahwa; Lemay melahirkan tujuh orang sekaligus anak kembar. Menurut adat lama bangsa Dayak bahwa seorang raja baru dapat diangkat, apabila pada sebuah komuitas Dayak terdapat sebuah keluarga yang mempuyai tujuh orang anak dari yang tertua hingga yang ke tujuh berjenis kelamin sama semuanya. Maka, ayah dari ketujuh orang anak yang sama jenis kelaminya tersebut harus diangkat menjadi raja baru.

Selain itu, jika pada sebuah keluarga, terdapat istrinya melahirkan anak kembar sekaligus tujuh orang tanpa harus sama jenis kelaminya, maka ayah dari ketujuh orang anak kembar tersebut juga harus diangkat menjadi raja. Karena kasus yang terjadi pada pasangan Juwah dan Lemay yang melahirkan anak kembar tujuh orang sekaligus, maka seharusnya rakyat di kerajaan Panggau Banyau (tampun juwah) mengangkat Juwah menjadi raja baru, tentu saja beliau harus diperintahkan untuk mencari lokasi kerajaan ditempat baru.

Namun yang terjadi malah sebaliknya. Juwah dan Lemay harus dihukum mati. Mereka memang bersalah, namun tidak seharusnya untuk dihukum mati, akan cukup tepat jika mereka seharusnya diusir dari wilayah kerajaan Panggau Banyau (tampun juwah). Alasan yang sangat masuk akal dari kejadian itu adalah, bahwa; raja Ambun Manurun (Embun Turun) merasa kekuasaannya dan keturunannya kelak terancam akan didepak jika seandainya si Juwah harus diangkat menjadi raja di kerajaan Panggau Banyau. Karena itu dengan memanfaatkan alasan “hukum”, beliau kemudian memerintahkan agar Juwah dan Lemay dihukum mati.

KERUNTUHAN TAMPUN JUWAH
          Pada suatu waktu, rombongan pasukan kayau dari kerajaan Lawai (hulu aik), sedang beristirahat di pinggiran sungai Sekayam. Saat beristirahat, pemimpin mereka Singa Sulong (jendral Sulong) alias Singa Tedong Rusi (jendral king cobra) tertidur pulas dan bermimpi. Didalam mimpinya dia mendapat mandat untuk mengambil tujuh orang bayi yang diletakan di dalam tujuh ruas bambu yang dihanyut dengan lanting bambu oleh orang tuanya yang bernama Kranamuna (versi Ibanik: Juwah) dan Kranamuning (versi Ibanik: Lemay).

          Ketika terbangun, Singa Tedong Russi (Jendral Ular King Cobra) kemudian memerintahkan para prajuritnya untuk menunggu lanting yang hanyut dan mengambil sebatang bambu yang ke-tujuh ruasnya berisi bayi-bayi tersebut. Setelah lanting yang dimaksud tiba, salahsatu prajuritnya menarik lanting tersebut dan mengambil bambu yang berisi bayi tersebut. Lalu ruas bambu tersebut dibelah dan mereka mendapati tujuh bayi, seperti dalam mimpinya.
          Setelah pasukan kayau Singa Tedong Rusi (Jendral Ular King Cobra) mendapatkan ketujuh orang bayi tersebut, seperti dalam mimpinya. Kemudian Singa Tedong Rusi (Jendral Ular King Cobra) memerintahkan empat orang prajuritnya untuk pergi melakukan mata-mata ke ibukota kerajaan Panggau Banyau (Tampun Juwah) yang bernama kota Banyau. Mereka mencari informasi tentang situasi dan kondisi di kerajaan Panggau Banyau (Tamputn Juwah).

Setelah mengetahui keadaan di kota Banyau, ke-empat orang mata-mata yang diutus tadi segera kembali ke kemah mereka dan menceritakan keadaan di kota Banyau kepada Singa Tedong Rusi (Jendral Ular King Cobra) dan prajurit lainnya. Mereka mengatakan bahwa situasi dan kondisi di ibukota kerajaan Panggau Banyau (Tamputn Juwah) yang bernama Banyau dalam keadaan aman dan tentram, serta penduduknya hidup makmur dan beradab yang hidup tertib karena diatur dengan hukum adat yang sangat kuat. Diceritakan juga bahwa didalam kota Banyau, terdapat bangunan keraton rumah panjang tempat kediaman raja, dan puluhan buah rumah panjang tempat tinggal penduduknya.

Setelah mendengar cerita dari para mata-matanya, kemudian timbul keinginan didalam hati Singa Tedong Rusi (Jendral Ular King Cobra) untuk menyerang ibukota kerajaan Panggau Banyau (Tamputn Juwah) tersebut, dengan tujuan untuk menjarah semua harta penduduknya dan untuk menangkap banyak hulun (budak) baru. Untuk mewujudkan keinginannya tersebut, Singa Tedong Rusi (Jendral Ular King Cobra) kemudian memerintahkan kembali para mata-mata tersebut agar secepatnya pulang ke kota Labai  Lawai untuk mengantar ketujuh bayi yang diambil beberapa hari yang lalu kepada raja Galor Mandang alias Raja Siag Bahulun (raja yang semakin memiliki banyak budak) supaya beliau mau memeliharanya, sekalian membujuk raja Galor Mandang alias Raja Siag Bahulun (raja yang semakin memiliki banyak budak) agar  beliau mengirim prajurit tambahan untuk menyerang kerajaan Panggau Banyau (Tampun Juwah).

Ketika sampai di kota Labai Lawai, para prajurit yang membawa ketujuh bayi tersebut segera menemui raja Galor Mandang untuk mempersembahkan kepada beliau yang tidak memilik anak, agar dipelihara menjadi anak angkatnya. Selain itu mereka juga menceritakan bagaimana mereka menemui ketujuh bayi tadi, hingga bagaimana awal mulai mereka melakukan mata-mata ke kota Banyau ibukota kerajaan Panggau Banyau (Tampun Juwah).

Juga, mereka mengatakan kepada raja bahwa situasi dan kondisi didalam kota Banyau dalam keadaan maju dan makmur, dan sang Pangalangok (Pemimpin Militer) kerajaan Hulu Aik yaitu Singa Tedong Rusi (Jendral Ular King Cobra) sangat berkeinginan menyerang kota Banyau. Untuk mewujudkan keinginan tersebut beliau berpesan agar raja mengirim prajurit tambahan untuk bergabung dengan prajurit lain, yang sedang menunggu di kemah mereka bersama Singa Tedong Rusi (Jendral Ular King Cobra).

Setelah mendengar cerita dari para mata-mata yang mengantar ketujuh bayi tadi, akhirnya raja Galor Mandang setuju kemudian memerintahkan pengumpulan prajurit tambahan untuk menyusul pasukan Singa Tedong Russi (jendral king cobra) yang sedang menunggu dikemah mereka. Keesokan harinya, ratusan prajurit Kerajaan Lawai (Hulu Aik) telah berkumpul dikota Labai Lawai dan siap untuk segera berangkat menuju kemah Singa tedong Russi (jendral king cobra). 

Dari kota Labai Lawai ibukota kerajaan Lawai (Hulu Aik) yang lokasinya terletak dihilir dan dekat muara sungai Labai, dengan menggunakan beberapa buah perahu panjang, mereka bergerak    ke arah utara menyusuri sungai Labai yaitu sebuah sungai yang pada peta Google dinamakan sungai Cimanuk (nama yang berbau intervensi dari pihak luar). Sungai Labai merupakan salah cabang sungai Kapuas yang bermuara di Kabupaten Kayong dimasa sekarang. Ketika telah sampai di bantaran utama sungai Kapuas, kemudian mereka berbelok ke arah kanan menuju kearah hulu Sungai Kapuas, hingga melintasi pulau Tayan, dan bergerak terus sampai ke muara sungai Sekayam. Dimuara sungai Sekayam, kemudian mereka berbelok ke arah kiri untuk memasuki bantaran sungai Sekayam.

Sesampai dikemah Singa Tedong Russi (jendral king cobra), mereka berhenti sehari untuk beristirahat dan menyusun siasat. Keesokan-harinya mereka segera bergerak menuju ke arah hulu, ke lokasi dimana kota Banyau berada. Dari kejauhan rombongan pasukan Singa tedong Rusi (Jendral Ular King Cobra) tersebut, rupanya telah diketahui oleh penduduk kota Banyau, sehingga bersama dengan prajurit Kerajaan Panggau Banyau (Tampun Juah), mereka membendung kedatangan pasukan Singa tedong Rusi (Jendral Ular King Cobra) tersebut, akhirnya perangpun terjadi.

Dalam peperangan ini laskar dari kerajaan Panggau Banyau (Tampun Juah) dengan gigih dan gagah berani berjuang melawan pasukan kerajaan Lawai (Hulu Aik) dibawah pimpinan Singa Tedong Rusi (Jendral Ular King Cobra). Dalam pertempuran ini tentara Singa Tedong Rusi (Jendral Ular King Cobra) dan melarikan diri ke arah hilir. Pada perang yang pertama ini, baik tentara Kerajaan Panggau Banyau (Tamputn Juwah) maupun tentara Kerajaan Lawai (Hulu Aik) sama-sama berperang menggunakan senjata jarak jauh Bangsa Dayak yang disebut sumpit, oleh karena hal itu pula, maka perang yang pertama dikenal dengan nama Perang Sumpit.

Setelah kalah dan prajuritnya banyak yang tewas, Singa Tedong Rusi (Jendral Ular King Cobra) bersama prajuritnya kembali ke kemah mereka dan menyusun siasat baru. Dengan mengadakan ritual gaib, kemudian mereka meminta bantuan kepada makhluk halus untuk bersama dengan mereka bergerak kembali ke kota Banyau untuk melakukan serangan yang kedua. Serangan yang kedua ini juga gagal, karena prajurit Kerajaan Lawai (Hulu Aik) yang dibantu makhluk halus juga dapat dikalahkan oleh prajurit kerajaan Panggau Banyau (Tamputn Juwah).

Setelah serangan yang kedua juga gagal, kemudian mereka kembali menggunakan kesaktian yang mereka miliki. Kali ini mereka berusaha untuk memengaruhi hewan liar baik rimong (harimau kalimantan), macatn (harimau dahan), beruang, kijang, rusa, kulang (serigala) dan hewan lainnya, yang seluruhnya di arahkan dengan kekuatan gaib untuk menyerang kota Banyau. Peperangan yang ketiga akhirnya terjadi, namun pasukan berbagai spesies binatang tersebut juga dapat dikalahkan.

 Karena masih kurang puas dengan serangan yang ketiga kalinya, maka Singa Tedong Rusi (Jendral Ular King Cobra) kembali mencari cara yang lain, kali ini prajuritnya diperintahkan untuk menanam berbagai jenis jamur beracun diladang, dan sekitar pemukiman masyarakat kota Banyau pada malam hari, Akibatnya, banyak rakyat kerajaan Panggau Banyau (Tampun Juah) yang keracunan, tetapi keracunan ini dapat disembuhkan menggunakan akar dan tumbuhan hutan lainnya.

Setelah penduduk kota Banyau sembuh dari racun kulat itu, ternyata efek racun tersebut berdampak pada perubahan intonasi bahasa, logat dan pengucapan kata-kata pada bahasa komunikasi yang menjadi bahasa keseharian penduduk kota Banyau. Kejadian ini kemudian menyebabkan timbulnya kelompok-kelompok bahasa baru yang berbeda dialek dan bunyi kata-kata walaupun masih dapat dimengerti (serumpun).

Melihat perpecahan bahasa tersebut, Singa Tedong Rusi (Jendral Ular King Cobra) mengetahui bahwa hal itu merupakan suatu bentuk kelemahan dan menjadikan hal ini sebagai ide, untuk mengalahkan penduduk kerajaan Panggau Banyau (Tampun Juwah). Singa Tedong Rusi (Jendral Ular King Cobra) tahu bahwa untuk merebut dan mengalahkan kerajaan Panggau Banyau (Tampun Juwah) tidak mampu melalui perang, melainkan dengan mengotori wilayahnya.

Pada saat keracunan terjadi dimana-mana, membuat kekuatan masyarakat kerajaan Panggau Banyau (Tampun Juwah) menjadi rapuh. Hal ini tidak disia-siakan oleh Singa Tedong Rusi (Jendral Ular King Cobra), sekali lagi mereka mengirimkan sihirnya yakni dengan cara mengotori setiap tempat kegiatan sehari-hari, tempat tinggal dan perabotan makan dengan kotoran. Karena kotoran terus-menerus muncul dan tak kunjung selesai dalam jangka waktu yang lama, akhirnya banyak masyarakat Tampun Juah menjadi sangat strees dan panik hingga menyebabkan seluruh penduduk kerajaan Panggau Banyau (Tampun Juah) menjadi gempar.

Menyikapi hal itu maka para temenggung segera berkumpul untuk memecahkan permasalahan ini. Pekat Banyau (mupakat kota Banyau) dilakukan dan dari hasil mupakat (musyawarah ) diputuskan untuk meninggalkan Kerajaan Pungau (Tampun Juah) secara berangsur-angsur, inilah alkisah akhir dari keruntuhan kerajaan Panggau Banyau (Tamputn Juwah).

MENINGGALKAN KOTA BANYAU
Menyikapi hal itu maka para temenggung berkumpul untuk memecahkan permasalahan ini. Pekat Banyau (Mupakat kota Banyau) dilakukan dan dari hasil pekat (musyawarah) tersebut, memutuskan agar seluruh penduduk meninggalkan kota Banyau secara berangsur-angsur. Setiap rombongan yang berangkat harus dipimpin oleh masing-masing temenggung, dan yang berangkat dahulu harus membuat tanda dengan menggunakan lujok (tunggul kayu) pada setiap tempat yang dilalui oleh kelompoknya, agar diikuti oleh setiap kelompok yang bergerak belakangan dengan perjanjian: “jika kelak menemukan tempat yang subur, enak dan cocok nanti, mereka dapat berkumpul lagi dan membina kehidupan seperti masa di Tampun Juah. Setelah selesai bepekat (bermupakat) maka diputuskanlah siapa yang berangkat terlebih dahulu.

Kelompok pertama
Mereka yang berangkat pertama kali adalah: kelompok penduduk kota Banyau yang keturunannya dimasa sekarang dikenal dengan sebutan Dayak Iban Batang Lupar. Mereka berangkat menyusuri sungai sa’i, tembus ke muara sungai ketungau dan sampai ke Batang Lupar, Kapuas hulu. Setelah tinggal untuk beberapa lama di DAS Batangan Lupar (sungai lupar), kelompok ini kemudian terpecah dan berpisah. Yang bergerak ke arah timur, keturunannya membentuk Dayak Kantug.

Sementara yang bergerak ke arah utara, keturunannya hidup berbaur dengan suku-suku Dayak Iban lokal asli Sarawak, yaitu orang-orang Dayak Iban yang telah sejak dahulu tinggal di tanah Sarawak yakni orang Sebaruk, orang sebuyau, orang Saribas dan lain-lain. Para keturunan Dayak Iban yang berasal dari kota Banyau yang telah berbaur denga Dayak Iban asli Sarawak inilah yang pada masa sekarang sering bercerita tentang asal usul mereka sebagai orang yang datang dari kota Banyau, ibukota kerajaan Panggau Banyau (tampun juwah) tersebut. Jadi tidak benar jika dikatakan bahwa Dayak Iban Sarawak seluruhnya berasal dari Tamputn Juwah, hanya sebagian kecil saja yang datang dari tamputn juwah, hanya saja mereka telah melebur dengan Dayak Iban asli Sarawak.

Kelompok Kedua Atau Kelompok Ketungau.
Kelompok ini dipimpin langsung oleh raja Ambun Manurun dan istrinya Pukat Mengawan. Mereka menyusuri aliran Sungai Sa’i, lalu masuk ke sungai ketungau, dan menetap disana di sepanjang sungai ketungau dan membentuk kelompok-kelompok kecil diantaranya: Bugao, Banyur, Tabun dan lain-lain. Dilereng Gunung Kujau mereka membangun bandong (ibukota) kerajaan yang baru. Setelah raja Ambun Manurun meninggal dunia, beliau kemudian digantikan oleh putrinya yang bernama Putong Kempat. 

Diangkatnya Putong Kempat untuk menjadi raja, menyebabkan para saudara kandungnya murka. Untuk menghindari sesuatu yang tidak diinginkan, Putong Kempat bersama sejumlah pengikutnya lari dengan cara menghanyutkan diri (baca: menghilir) disungai Sepauk. Hingga akhirnya mereka membangun ibukota kerajaannya yang baru, yaitu kota Sepauk. Ketika berkuasa di kota Sepauk, raja Putong Kempat menikah dengan Aji Melayu yaitu seorang saudagar dari negeri seberang. perkawinan raja Putong kempat dengan Aji Melayu melahirkan delapan orang anak, mereka adalah; Dayang lengkong, Dayang Randung, Abang Panjang, Demong Karang, Demong kara, Demong Minyak dan Demong Irawan. Kelak anak bungsu mereka yang bernama Demong Irawan dipilih untuk menggantikan kedudukan ibunya Putong Kempat untuk menjadi raja dan di sah-kan sebagai raja pertama di kerajaan Sintang.

Kelompok Ketiga Atau Kelompok Mualang
 Mereka adalah kelompok yang terakhir meinggalkan kota Banyau ibukota kerajaan Panggau Banyau (Tampun Juah), hal ini disebabkan oleh adanya salah seorang penduduk yang melahirkan. Kelompok  dipimpi oleh tuan Guyau yaitu pejabat temenggung dari wilayah Budhi dan seorang Manok Sabong (prajurit pengawal) yang bernama Mualang.

Setelah sekian lama, akhirnya mereka meninggalkan kota Banyau. Mereka bergerak menyusuri Sungai Sa’i, lalu setelah sampai di muara sungai ketungau, mereka berbelok memasuki sungai ketungau. Didalam perjalanan mereka, manok sabong (prajurit pengawal) yang bernama Mualang tersebut meninggal dunia, ia dikubur disebelah kanan mudik sungai ketungau. Mualang diabadikan untuk menyebut nama anak sungai tersebut, dan rombongan tuan Guyau pejabat temenggung dari wilayah budhi mengabadikan nama kelompok yang dipimpinnya tersebut dengan nama Orang Mualang, yang berasal dari sungai Mualang dan lambat laun oleh penerusnya disebut dengan nama Dayak Mualang.

Untuk memenuhi kebutuhan makanan mereka selama didalam perjalanan, mereka melakukan perburuan. Pada saat sedang berburu, mereka (orang Mualang), menemukan kelompok pemburu lainnya yang mempunyai bahasa sama dengan rombongan orang Mualang, tetapi bukan dari rombongan maupun komunitas mereka. Orang-orang tersebut mengaku berasal dari Tanah Tabog (tanah tumbuhan sulur). Berita ini kemudian di sampaikan kepada pimpinan orang Mualang, yakni tuan Guyau pejabat temenggung Budi,  yang akhirnya membawa seluruh orang-orang Mualang yang dipimpinnya untuk bergabung dengan masyarakat di Tanah Tabog (tanah tumbuhan sulur).

Penduduk yang mendiami Tanah Tabog (tanah tumbuhan sulur) merupakan keturunan dari khesekag Busong. Khesekag Busong menikah dengan Dara jantong, dia adalah salahsatu anak perempuan Patih Xeniba yaitu seorang raja yang berkuasa di kerajaan Panggau Libau (wijayapura / Pucavarao).

Sebelum bertemu dan menikah dengan Khesekag Busong, putri Dara jantong diusir dari keraton dan berkelana dihutan jauh dari tempat asalnya. Dihutan, dia tinggal didalam sebuah pondok yang seluruh lantai dan dinding serta atapnya terbuat dari bambu betung yang di ikat dengan tali yang terbuat dari akar kayu Tabog Tengang (Bajakah). Perkawinan Khesekag Busong dengan Dara Jantong melahirkan beberapa orang anak, yang salahsatunya bernama Bujang Panjai.

Gabungan antara kelompok Mualang pimpinan Temenggung Guyau dengan masyarakat Tanah Tabog (tanah tumbuhan sulur) inilah yang disebut dengan nama Dayak Mualang yag mendiami daerah aliran sungai (DAS) Perupuk, yang kemudian dikenal dengan sebutan sungai Belitang, setelah Hulun (budak / hamba sahaya) yang bernama Belitang dikubur dipinggiran sungai tersebut.
                                             
BERTEMU DAN BERASIMILASI DENGAN TENTARA MUSUH
Sebagian dari penduduk kota Banyau yang didalamnya ikutserta dua orang anak gadis raja Ambun Manurun. Mereka bertemu dengan pasukan tentara musuh, yaitu tentara yang berasal dari kerajaan Lawai (hulu aik) yang datang belakangan. Pasukan itu dipimpin oleh dua orang panglima perang yakni Singa Bardat (jendral Bardat) dan Singa Bangi (jendral Bangi).

Didalam rombongan pasukan kerajaan Lawai (hulu aik) yang datang belakangan itu, ikut juga Dara Nante, dia adalah istri dari Singa Tedong Rusi (jendral king cobra) yang dikenal juga sebagai Babai Cinga / Labai Singa (artinya: Singa / jendral yang berasal dari kota Labai). Pada waktu itu, rombongan tersebut sedang didalam perjalanan menuju ke kota Banyau ibukota kerajaan Panggau Banyau (Tamputn Juwah) untuk mencari Babai Cinga / Labai Singa (Singa / jendral dari kota Labai) beserta para prajuritnya. Rombongan pasukan tentara kerajaan Lawai (Hulu Aik) ini tersesat ketika mencari kota Banyau ibukota kerajaan Panggau Banyau (Tampun Juah).  

Antara warga Tamputn Juwah yang melarikan diri karena serangan yang dilakukan oleh tentara kerajaan Lawai (Hulu Aik) pimpinan Singa Tedong Russi (jendral king cobra), dengan tentara kerajaan Lawai (hulu aik) dalam rombongan Dara Nante tersebut tidak saling berperang, malah sebaliknya mereka saling bekerja sama untuk pergi menjauh dari wilayah kerajaan Panggau Banyau (tamputn juwah).

Pada cerita menurut versi Dayak Iban, dikisahkan bahwa; Singa (jendral) yang berasal dari kota Labai ibukota kerajaan Lawai (hulu aik), dikenal dengan sebutan BABAI CINGA ini sebenarnya adalah bermaksud untuk menyebutkan SINGA LABAI (jendral dari kota labai) yang diucap terbalik dan berubah huruf konsonannya, yang seharusnya SINGA LABAI, lalu terucap menjadi BABAI (labai / kota Labai) CINGA (singa / jendral). Jadi yang dimaksud dengan sebutan BABAI CINGA adalah SINGA LABAI  yang beartiSINGA alias JENDRAL DARI KOTA LABAI ibukota kerajaan Lawai (hulu aik)”.

Seperti yang telah diceritakan diatas, bahwa ketika rombongan penduduk kota Banyau yang melarikan diri dari wilayah kerajaan Panggau Banyau (tampun Juwah) tersebut bertemu dengan pasukan tentara musuh yaitu tentara yang datang dari kota Labai Lawai ibukota kerajaan Lawai (hulu aik), yang dipimpin oleh Singa Bangi (jendral Bangi) dan Singa Bardat (jendral Bardat) serta Dara Nante tersebut, mereka tidak saling berperang, malah yang terjadi adalah sebaliknya, yaitu; mereka saling bekerja sama untuk pergi meninggalkan kota Banyau.

Setelah hidup bersama sebagai satu kelompok didalam perjalanan, kemudian antara orang-orang Dayak Ibanik dan orang-orang Dayak Kayong yang menjadi prajurit kerajaan Lawai (hulu aik) tersebut, menjodohkan dua orang anak raja Ambun Manurun yang bernama Dara Kantag dan Dara genuk tersebut dengan kedua orang Singa (jendral) yang memimpin tentara kerajaan Lawai (hulu aik) yang bernama Singa Bangi (jendral Bangi) dan Singa Bardat (jendral Bardat) tersebut.

Setelah Singa Bangi (jendral Bangi) menikah dengan Dara Kantag, dan Singa Bardat (jendral Bardat) menikah dengan Dara genuk. Setelah  itu mereka berpisah. Selain itu, para anak gadis Dayak Ibanik yang belum berjodoh, juga dinikahkan dengan para personil prajurit kerajaan Lawai (hulu aik) yag dipimpin oleh kedua orang Singa (jendral) tersebut, kelak Keturunan hasil asimilasi mereka itu melahirkan subsuku Dayak Kematu, Dayak Benawas dan Dayak Mualang Sekadau.

 Setelah mereka menikah, masing-masing dari kedua orang Singa (jendral) tersebut bersama istrinya serta para pengikutnya yaitu masing-masing dari sebagian warga kota Banyau dan sebagian prajurit-prajurit kerajaan Lawai (hulu aik) berpisah, untuk mencari tempat menetap masing-masing. Demikian juga dengan Dara Nante yang kemudian di ikuti oleh sebagian dari prajurit kerajaan Lawai (hulu aik). Mereka berpisah untuk melanjutkan pencarian suaminya si Babai Cinga / Labai Singa (Singa / jendral dari kota Labai).

Membangun Kerajaan Belitang Dan Sekadau
Rombongan tentara kerajaan Hulu Aik yang dipimpin oleh Singa Bangi (jendral Bangi) yang telah bercampur dengan warga Tamputn Juwah yang lari tersebut, menyusuri hulu sungai ke daerah yang disebut Belitang, keturunan mereka itu disebut Dayak Mualang Belitang. Setelah mereka hidup menetap daerah Belitang, mereka kemudian mengangkat Dara Kantag anak raja Ambun Manurun, yaitu istri dari Singa Bangi (jendral Bangi), untuk menjadi raja. Karena berdasarkan tuntutan adat lama bangsa Dayak, dia memiliki hak untuk membangun kerajaan baru. Namun, dikarenakan dalam adat kuno bangsa Dayak yang lebih mengutamakan agar yang menjadi pemimpin adalah seorang laki-laki. Akhirnya mereka menugaskan suami Dara Kantag yaitu Singa Bangi (jendral Bangi) untuk mengembankan tugas sebagai raja, dengan persyaratan yang telah ditentukan. Pada saat Singa Bangi (jendral Bangi) dinobatkan sebagai raja, kepada beliau diberi gelar Patih, sehingga dikenal sebagai Patih Bangi.

Perkawinan antara Dara Kantag anak raja Ambun Manurun raja kerajaan Panggau Banyau (Tampun Juwah) dengan seorang panglima perang kerajaan Lawai (hulu aik) yang bernama Singa Bangi (jendral Bangi) tersebut melahirkan seorang anak yang bernama pangeran Engkong. Setelah raja Patih Bangi meninggal dunia, kemudian beliau diganti oleh anaknya pangeran Engkong. Raja pangeran Engkong dengan istrinya melahirkan tiga orang putra, mereka adalah: pangeran Agong, pangeran Kadar dan pangeran Senarong. Sesudah Pangeran Engkong (Raja Sekadau) wafat, dia digantikan oleh Pangeran Kadar, sedangkan Pangeran Senarong, yang meneruskan keturunan Raja-Raja Belitang.

Kerajaan Sekadau mulai memeluk agama Islam setelah pangeran Kadar wafat dan digantikan oleh anaknya yang bernama pangeran Suma, dia mendalami agama Islam di Mempawah. Dayak Kematu yang merupakan gabungan dari pecahan rombongan Dara Nante dan Dayak Mualang di sekitar Sekadau, adalah yang pertama memeluk agama Islam di daerah Sekadau, selanjutnya berangsur-angsur di ikuti beberapa suku Dayak lainnya. mereka kemudian menyebut dirinya dengan sebutan Senganan (orang Dayak yang memeluk agama Islam). Perkembangan agama Islam di kerajaan Sekadau semakin pesat, maka pindahlah pusat kerajaan Sekadau ke sungai bara dan disitu didirikan sebuah Mesjid Besar.

Membangun Kerajaan Lawang Kuwari
Karena Dara Genuk adalah anak kandung raja Ambun Manurun, yang berdasarkan pada adat kuno bangsa Dayak, maka dia memiliki hak untuk membangun sebuah kerajaan. Kemudian gabungan antara Dayak Mualang dan pasukan kerajaan Lawai (hulu aik) pimpinan Singa Bardat (jendral Bardat) tersebut mengangkat Dara Genuk anak raja Ambun Turun tersebut untuk menjadi raja. Namun karena adat Dayak kuno yang lebih mengutamakan agar jabatan seorang raja harus seorang laki-laki, hal ini memaksa mereka untuk mempercayai suami Dara Genuk untuk mengemban tugas sebagai raja, yang dalam hal ini adalah Singa Bardat (jendral Bardat). Akhirnya Singa Bardat (jendral Bardat) dinobatkan menjadi pengemban tugas raja, dan kepada beliau diberi gelar “patih”, sehingga kita mengenalnya dengan sebutan “Patih Bardat”.

Berdasarkan cerita yang telah “dibumbui” dengan “rempah mitos”, disebutkan bahwa; kerajaan Lawang Kuari runtuh setelah dikutuk, sehingga istana rumah panjangnya lebur menjadi batu. Kenyataannya bukanlah demikian, melainkan runtuh karena diserang oleh Pangeran Agong dan pengikutnya yang berasal dari sebagian tentara kerajaan Sekadau dimasa pemerintahan Pangeran Kadar. Serangan tentara kerajaan Sekadau tersebut tersebut dipimpin oleh pangeran Agong yaitu salahsatu adik kandung raja pangeran Kadar. Pada saat itu pangeran Agong yang “ngambek” karena tidak dapat menerima kakaknya si Pangeran Kadar, yang diangkat untuk menjadi raja pengganti ayahya. Akhirnya dia dan pengikutnya mendatangi kerajaan Lawang Kuwari bermaksud ingin merampas kekuasaan raja Lawang Kuwari. Hal inilah yang menyebabkan terjadinya peperangan di kerajaan Lawang Kuwari.

Pada peperangan ini, pangeran Agong dan seluruh pasukannya tewas terbunuh, dan raja terakhir yang berkuasa di kerajaan Lawang Kuwari  yaitu cucu Singa Bardat (Jendral Bardat) dan sebagian tentara kerajaannya juga tewas terbunuh. Dalam peperangan tersebut, istana rumah panjang kerajaan Lawang Kuwari menjadi lebur setelah dibakar oleh pasukan pangeran Agong, sebelum mereka semua tewas terbunuh. Hingga hari ini, lokasi dimana ibukota kerajaan Lawang Kuari tersebut pernah berdiri, dianggap sebagai tempat keramat oleh penduduk yang tinggal disekitarnya.


Banyak Yang Menganggap Pihak Musuh Yang Menyerang Tampun Juwah Adalah Tentara Kerajaan Sukadana
          Kebanyakan orang mengira bahwa yang melakukan penyerangan ke kerajaan Panggau Banyau (tampun juwah) adalah tentara kerajaan Sukadana. Sudah jelas itu adalah klaim yang sangat salah. Karena kerajaan Sukadana yang merupakan pecahan kerajaan Lawai (hulu aik) baru berdiri pada abad 14 Masehi, atau kurang lebih dua abad setelah peristiwa negeri Tampun Juwah diserang. Jadi adalah sebuah bentuk kesalahan jika memaksakan diri untuk mengklaim bahwa pihak penyerang kerajaan Panggau Banyau (tampu juwah) tersebut adalah tentara kerajaan Sukadana.

          Raja yang berkuasa di kerajaan Lawai (Hulu Aik) pada waktu penyerangan kerajaan Panggau Banyau (Tampun Juwah) adalah Patih Galor Mandang atau yag sering juga disebut raja Shiag Bahulun (raja yang semakin memiliki banyak budak), dia adalah raja yang kedua yang berkuasa dikerajaan Lawai (Hulu Aik). Setelah Raja Patih Galor Mandanng meinggal dunia, beliau diganti oleh anak angkatnya yang bernama Patih Sadong, yang tak lain adalah anak kandung Juwah dan Lemay penduduk kerajaan Panggau Banyau (Tampun Juwah) yang dihukum mati dengan cara di Tampun (penyambungan) dan mayat mereka dihanyutkan ke sungai Entabai dahulu.

Kakak kandung raja Patih sadong yang bernama Dayakng Putukng alias Putri Junjung Buih bersama suaminya yang berasal dari pulau Jawa yaitu seorang bangsawan Majapahit yang bernama Prabu Jaya atau Brawijaya memilih membangun kerajaan sendiri. Kerajaan mereka itu berpusat di Sukadana, sehingga disebut kerajaan Sukadana.

Menganggap Pihak Tentara Musuh Dibantu Oleh Tentara Jawa
Karena kebanyakan orang menganggap bahwa yang melakukan penyerangan adalah kerajaan Sukadana, akhirnya mereka menganggap bahwa tentara yang menyerang kerajaan Panggau Banyau (Tampun Juwah) tersebut, dibantu oleh prajurit Jawa. Hal ini mengingat kerajaan Sukadana didirikan oleh Putri Junjung Buih dan suaminya Brawijaya yang berasal dari jawa, yang dimasa berdirinya kerajaan Sukadana tersebut pernah bersekutu dengan kerajaan asal dari suami Putri Junjung Buih, yaitu kerajaan Majapahit di Jawa Timur.

Seluruh prajurit kerajaan Lawai (Hulu Aik) pimpinan Singa Sulong (jendral Sulong) alias Singa Tedong Rusi (jendral king cobra) alias Singa Shiag Bahulun (jendral dari raja yang semakin banyak memiliki budak), yang menyerang kerajaan Panggau Banyau (Tampun Juwah) tersebut adalah asli orang-orang Dayak penduduk wilayah kerajaan Lawai (Hulu Aik), yaitu orang-orang Dayak Tobag (Tobang), Dayak Kayong, Dayak Pesaguan, Dayak Kereho (krio), Dayak Simpakng, Dayak Gorai, Dayak Jalai dan Dayak Biaju (Ngaju) asal Kalimantan tengah, yang dahulu di tangkap oleh prajurit kerajaan Lawai (Hulu Aik).

Menganggap Dara Nante Adalah Anak Angkat Raja Patih Galor Mandang Alias Raja Shiag Bahulun (Raja Yang Semakin Memiliki Banyak Budak).
          Dara Nante sejatinya bukanlah anak angkat raja Patih Galor Mandang alias raja Shiag Bahulun (raja yang semakin memiliki banyak budak), melainkan istri abang kandung raja Shiag Bahulun, yaitu istri Pangalangok (pemimpin militer) kerajaan Lawai (Hulu Aik) yang bernama Singa Sulong (jendral Sulong) alias Singa Tedong Rusi (jendral King Cobra) alias Singa Shiag Bahulun (Jendral dari Raja yag semakin memiliki banyak budak).



0 komentar :

Posting Komentar

 

Translate

Label

Adat (5) Bigbang (14) Budaya (5) Dayak (10) Kerajaan Dayak (11) Multiverse (3)