Demikian
juga dengan Kerajaan Ango Talaga yang berdiri pada akhir abad ke-13, dan eksis
lebih dari 400 tahun. Kerajaan Ango
Talaga eksis di sekitar gunung Talaga kabupaten Landak Kalimantan Barat.
Nama lain dari kerajaan Ango Talaga adalah Kerajaan Sangah Tumila, hal ini disebabkan wilayahnya meliputi DAS Sangah
dan DAS Tumila. Kerajaan ini dirikan oleh keturunan orang-orang Dayak Kanayatn
yang bermigrasi dari wilayah kerajaan Keokng-Kanakng (Malipura) menurut
versi Dayak Kanayatn (orang Bananag) dan Dayak Banyuke (orang Banyadu) atau Tiong-Kandang menurut versi Dayak Mali (Orang Ba-mag) yang bearti “burung Beo dan burung kurcica / Kacer”.
Selama berdiri,
kerajaan Ango Talaga telah mengalami sebanyak tiga kali perpindahan ibukota. Pertamakali pemerintahannya berpusat pada kota Tajur
Tangkadi, yang kedua di berpindah ke kota Mototn Calikng dan yang terakhir
berada di kota Mototn Sisara.
Dahulu,
warga Dayak Kanayatn yang bermigrasi ke wilayah Kerajaan Keokng-Kanakng (Malipura) tersebut
adalah Nek Dinggan, Nek Ngeba dan Nek Aden. Karena di ibukota kerajaan
Keokng-Kanakng mereka tidak diterima dengan baik, maka mereka memilih
meninggalkan Keokng-Kanakng dan pindah berkelana ke arah barat wilayah kerajaan
Keokng-Kanakng (Malipura) yaitu ke wilayah yang dinamai
oleh mereka dengan nama Binua Talaga. Disana mereka menempati hutan yang masih
perawan. Setelah sampai disitu mereka
memilih berpisah. Nek Dinggan mendiami Tajur Tangkadi. Nek Ngeba mendiami
Mototn Calikng (Daratan Bening). Nek Aden mendiami Mototn Sisara. Dari ketiga
penyebaran ini terjadilah penyebaran lagi setelah penduduk kawasan gunung
Talaga bertambah. Di kampung Tajur Tangkadi, salahsatu cucu Nek Dinggan dengan
istrinya bernama Angan melahirkan Rinta, Ledog, Gibul, Sasak dan Lameg.
Kemudian Lameg dengan istrinya yang bernama Linatn melahirkan Renek, Binge,
Ranang, Tagag tagukng dan Tagag tamula.
Tagag
Tamula dengan istrinya yang bernama Nginatn melahirkan Rodo, Titig, Kanjong, Mage,
Renan, Bauk dan Bolokng. Setelah Tagag Tamula
mempunyai anak sebanyak tujuh orang yang semuanya berjenis kelamin sama yaitu
laki-laki. Sesuai dengan tuntutan adat lama Bangsa Dayak yang mengharuskan
kepada setiap ayah yang memiliki anak sebanyak tujuh orang yang berkelamin sama
untuk diangkat menjadi raja baru, maka Tagag Tamula berhak diangkat menjadi
raja dan mendirikan kerajaan baru pada wilayah baru, yang wilayah tersebut
bukan menjadi bagian dari sebuah kerajaan. Apabila pada wilayah dimana seorang
raja baru muncul, maka sang raja harus mencari daerah baru untuk membangun
kerajaannya.
Setelah
Tagag Tamula diangkat menjadi raja
baru diwilayah Talaga, beliau kemudian
diberi gelar Patih Paramula.
Artinya Patih yang pertama di kerajaan Ango
Talaga (Sengah Temila). Gelar Patih
disini adalah Patih yang bukan berasal dari bahasa Sanskerta, melainkan gelar
Patih yang berasal dari Bahasa Dayak, yang artinya “memang sangat bernasib
putih / mujur”, mengingat beliau ditakdirkan oleh Tuhan untuk menjadi raja,
yang mana oleh Tuhan kepada Tagag Tamula dikaruniakan
dengan tujuh orang anak yang berjenis kelamin sama, hal itu adalah sebagai
tanda bahwa Tuhan memilih beliau untuk menjadi raja. Setelah sah menjadi Raja, beliau
mengangkat adiknya yang bernama Tagag tagukng
menjadi Pangalangok (Pemimpin Militer)
kerajaan Ango Talaga. Pada masa
pemerintahan Patih Paramula ini, raja Patih
Aria Magat (Patih Gumantar), raja Kerajaan Bahanapura (Bangkule Rajakng) yang berpusat di Gaong (Bahana), hulu Sungai Mempawah terbunuh oleh serangan
pengayau yang berasal dari kerajaan suku Dayak Biaju (Ngaju, Kalteng).
Setelah raja Patih Aria Magat (Patih Gumantar) wafat,
istrinya Dara Jampe diangkat menjadi
raja, karena seringa bersedih, kemudian beliau memutuskan mengasingkan dirinya
di daerah bukit Tihakng. Setelah itu
para bangsawan di kerajaan Bahanapura
(bangkule Rajakng) mengangkat adik kandung raja Patih Aria Magat (Patih Gumantar) yang bernama Aria Manding untuk menjadi raja sementara, sembari menunggu
anak-anak raja Aria Magat (Patih Gumantar) telah dewasa. Setelah itu, putra
dan putri almarhum raja
Patih Aria Magat (Patih Gumantar) diserahkan
untuk dijaga oleh Raja Patih Paramula
di istana rumah panjang di kota Tajur Tangkadi. Mereka adalah Aria Nyabakng (Pembendung), Aria Janakng (Lestari)
dan Dara Itapm. Demi keamanan putri
bungsu Patih Gumantar itu, raja Patih Paramula kemudian memerintahkan
agar putri Dara Itapm dititipkan ke rumah panjang
tempat abang Patih Paramula yang bernama
Ranang tinggal di kota Tanjung
Selimpat, hulu Sungai Behe.
Setelah
wafat, Patih Paramula digantikan oleh
putra tertuanya yang bernama Bolokng. Raja Patih
Bolokng dengan istrinya yang bernama Dara Nane
melahirkan Dangah, Lampe, Badakng, Nahutn
dan Gandar Anum. Pangeran Gandar Anum kemudian
menggantikan kedudukan ayahnya dan bergelar Raja Patih Gandar Anum. Karena kelebihan dan kemampuan yang dimilikinya,
beliau merangkap sebagai Dukun. Raja Patih
Gandar Anum dengan istrinya Gumalakng melahirkan Tepak, Rambe, Kampukng, Donag, Pire dan Dara Sinjariti. Putrinya yang bernama Dara Sinjariti inilah
yang kemudian menggantikan kedudukan ayahnya sebagai Raja yang berkuasa di
kerajaan Ango Talaga (Sengah temila).
Pada
saat beliau dinobatkan menjadi Raja, kemudian lepada beliau diberi gelar Raja Patih Nang Bini.
Kemudian Raja Patih Nang Bini
dengan suaminya yang bernama Jaman
melahirkan Denggon, Jolag dan Sutan.
Kedatangan
Pengungsi Majapahit Ke Kota Tajur Tangkadi
Pada
masa kekuasaan Raja Patih Nang Bini,
satu rombongan pengungsi dari kerajaan
Majapahit di Pulau Jawa datang ke kota Tajur Tangkodi. Rombongan orang Jawa ini
dipimpin oleh bangsawan Majapahit yang bernama Nek Jaraya (Mbah Jeroyo). Rombongan
Nek Jaraya (Mbah Jeroyo) adalah rombongan yang tersesat dari rombongan yang
lebih besar, yaitu rombongan yang dipimpinan oleh Prabu Cakra Wirabhumi yang mendarat di Paloh wilayah Kabupaten Sambas dimasa sekarang. Penyebab pelarian para bangsawan
Majapahit tersebut ke Kalimantan Barat adalah karena kehancuran kerajaan
Majapahit akibat serangan tentara kerajaan Islam Demak. Oleh karena Nek Jaraya (Mbah Jeroyo) merasa sangat aman hidup dilingkungan orang Dayak,
maka beliau melepaskan adat budaya asalnya dan hidup menjadi orang Dayak dengan
mengamalkan adat budaya bangsa Dayak serta tunduk kepada peraturan Kerajaan Ango Talaga (Sengah Temila).
Keturunan Nek Jaraya (Mbah Jeroyo) dan
keturunan pengikutnya kemudian berasimilasi dengan orang Dayak warga kerajaan Ango Talaga (Sengah temila).
Setelah
Raja Patih Nang Bini
meninggal, Pada saat itu anaknya yang pertama, Denggon, baru saja berumur empat
belas tahun; anaknya yang kedua, Jolag, berumur
sepuluh tahun, dan yang ketiga, Sutan, berumur tujuh tahun. Anak-anak yang
semuda ini belum bisa menggantikan kedudukan ibunya sebagai Raja. karena
anak-anak Raja Patih Bini masih sangat muda, maka berdasarkan musyawarah para
bangsawan kerajaan, kemudian disepakati agar jabatan raja untuk sementara waktu
dipercayakan kepada Nek Jaraya (Mbah
Jeroyo) meskipun beliau seorang pendatang. Ditunjuknya Nek Jaraya (Mbah Jeroyo) sebagai raja sementara adalah untuk
menghormati beliau yang secara biologis juga adalah seorang bangsawan di
kerajaan Majapahit. Namun meskipun demikian beliau tunduk kepada peraturan adat
di kerajaan Ango Talaga (Sengah temila), dan harus menyerahkan kembali
kekuasan sebagai seorang raja kepada anak-anak Patih Nang Bini
ketika mereka dewasa.
Pada
saat menjabat sebagai raja sementara inilah Nek
Jaraya (Mbah Jeroyo) mengajak rakyatnya untuk bergotong-royong secara besar-besaran.
Salahsatu bentuk gotong-royong yang dilakukan mereka adalah menanam berbagai
macam pohon buah-buahan, dan yang sangat diutamakan adalah pohon Durian, di
seluruh kawasan Gunung Talaga. Selesai penanaman buah-buahan, Nek Jaraya (Mbah Jeroyo) mengadakan
musyawarah dengan penduduknya, sehingga didapatkan kata sepakat bahwa
buah-buahan di gunung Talaga menjadi Kompokng Binua, yang artinya hutan buah
yang dimiliki bersama sampai pada keturunan mereka.
Wilayah
kekuasaan kerajaan Ango Talaga (Sengah temila) pada waktu itu antara lain
Ketemenggungan Talaga Bahumukng (sekarang
Temila Ulu II), Ketemenggungan Talaga
Timawakng (sekarang Temila Ulu III), Ketemenggungan Semahung I (sekarang Temilia Ilir I), Ketemenggungan Semahung II (sekarang Temila Ilir II),
Ketemenggungan Sambih I dan
Ketemenggungan Sambih II. Setelah
anak-anak raja Patih Nang Bini
dewasa dan sudah menikah, maka Nek Jaraya
(Mbah Jeroyo) mengembalikan kekuasaannya kepada anak-anak raja Patih Nang Bini.
Maka terpilihlah Sutan yang kemudian
menggantikan kedudukan ibunya sebagai Raja di kerajaan Ango Talaga. Raja Patih Sutan dengan istrinya Saremamakng melahirkan Jontor, Lamar, Selet, Lanon, Pansuli,
Rontok, Siban dan Gargila.
Kemudian
Gargila menggantikan kedudukan
ayahnya sebagai raja dikerajaan Ango
Talaga (Sengah temila) dengan gelar Patih Gargila. Perkawinan antara Raja Patih Gargila dengan istrinya yang
bernama Sante melahirkan seorang anak laki-laki yang bernama Somo dan seorang
anak perempuan yang
bernama Sona.
Setelah Patih Gargila wafat, Somo menggantikan kedudukan ayahnya sebagai raja dikerajaan Ango Talaga (Sengah temila.
Pada
zaman raja Patih Somo ini wilayah
(pasaroh palaya) kerajaan Ango Talaga (Sengah temila) melebar luas sampai ke Sungai
Landak, Sungai Mempawah dan di Sungai Ambawang. Setelah lima tahun Raja Patih Somo berkuasa dikerajaan Ango
Talaga, sampai kemudian datanglah para pendiri kerajaan feodal yang pertama di
Kalimantan Barat yaitu Sultan yang membangun Kota Pontianak.
Raja
Patih Somo dengan istrinya yang
bernama Sidatn melahirkan Sandayan, Dengka, Joatn, Limbuh, Lomen,
Da’ah dan Kurobokng. Anaknya yang bernama Kurobokng
kemudian terpilih
untuk menggantikan
kedudukan ayahnya sebagai raja dikerajaan Ango
Talaga (Sengah temila). Raja Patih Kurobokng dengan istrinya yang
bernama Insum melahirkan Gante, Kolah, Sadon, Santang, Milah, Polak,
Berong dan Rugap Ayag. Kemudian Rugaf
Ayag menggantikan kedudukan ayahnya sebagai raja dikerajaan Ango Talaga (Sengah temila).
Pada masa Raja Patih Rugaf Ayag berkuasa, tepatnya setelah
beliau menjadi raja selama dua puluh tahun, penjajahan bangsa Belanda datang di
Kalimantan Barat.
Raja Patih Rugaf Ayag denga istrinya
bernama Sonte melahirkan dua orang anak perempuan yaitu Sampuh
dengan adiknya yang bernama Nyalam.
Setelah
mendapat anak dua orang Raja Patih Rugaf
Ayag meninggal dunia. Untuk mengisi kekosongan seorang pimpinan diangkatlah
Dehepm menggantikan kedudukan Raja Patih Rugaf Ayag. Sebelum Dehepm
diangkat menjadi Raja kerajaan Ango Talaga, beliau adalah seorang Pangalangok (Pemimpin Militer)
kerajaan Ango Talaga (Sengah temila). Delapan
belas tahun lamanya Patih Dehepm
berkuasa sebagai Raja, kemudian beliau menyerahkan kembali kedudukan sebagai
Raja kepada anak keturunan Raja Patih
Rugaf Ayag, karena dua orang anak-anak Raja Patih Rugaf Ayag masing-masing sudah menikah. Sampuh menikah dengan suaminya yang bernama Bo’ong dan adiknya yang bernama Nyalam
menikah dengan suaminya yang bernama Garak.
Karena
Raja Patih Rugaf Ayag tidak mempunyai anak laki-laki, maka
menantunya yang bernama Garak yang
kemudian menduduki jabatan mertuanya sebagai raja di kerajaan Ango Talaga (Sengah temila). Raja
Patih Garak ini adalah Raja terakhir
di kerajaan Ango Talaga (Sengah temila) pada abad ke-18. Hancurnya
kerajaan Ango Talaga (Sengah temila) adalah akibat kalah perang
menghadapi puluhan ribu bala tentara sekutu yaitu gabungan tentara Belanda,
tentara republik Lanfang (bentuk
pemerintahan Tionghoa di Mandor), tentara kerajaan Landak, tentara
Kesultanan Pontianak dan tentara Kesultanan Mempawah.
Adapun
hal yang menyebabkan kekalahan tentara Kerajaan Ango Talaga (Sengah temila).
adalah ketidak-cakapan dan kesombongan Raja Patih
Garak yang baru saja merasakan menjadi seorang Raja, beliau terlena dan
tidak mau mengindahkan nasehat para panglima perang Kerajaan serta nasehat para
bangsawan di Kerajaannya, yang menginginkan agar Raja Patih Garak mengedarkan perangkat adat mangkok
merah ke wilayah Dayak Banyuke (Orang Banyadu), ke
wilayah Dayak Rara (orang Bakati) dan ke wilayah Dayak lainnya. Sehingga
secara otomatis serangan puluhan ribu tentara sekutu antara tentara Belanda,
tentara Tionghoa dan tentara kerajaan melayu, hanya dihadapi oleh kurang dari
seribu orang saja prajurit kerajaan Ango
Talaga (Sengah temila). Karena kalah
jumlah tentara dan kalah sistem persenjataan menyebabkan prajurit Kerajaan Ango Talaga (Sengah temila)
dengan mudah di kalahkan oleh Belanda yang dibantu oleh puluhan ribu tentara
sekutunya.
Berikut
raja-raja Ango Talaga:
1.
Patih Paramula, Abad 13
2.
Patih Bolokng
3.
Patih Gandar Anum
4.
Patih Nang Bini (Putri Sinjariti)
5.
Patih Jaraya (Mbah Jeroyo)
6.
Patih Sutan
7.
Patih Gargila
8.
Patih Somo
9.
Patih Kurobokng
10.
Patih Rugaf Ayag
11.
Patih Dehepm
12.
Patih Garak, abad 18
0 komentar :
Posting Komentar