Senin, 03 Juni 2019

Kerajaan Ango Talaga


            Kerajaan Ango Talaga (Sengah Temila) adalah salahsatu kerajaan Dayak yang pernah eksis. Sebuah kerajaan baru, yaitu kerajaan yang bukan sambungan atau turunan kerajaan yang telah ada sebelum kerajaan baru tersebut muncul, pada adat budaya bangsa Dayak hanya dapat didirikan apabila terdapat salahsatu keluarga yang memiliki tujuh orang anak yang berkelamin sama. Baik berkelamin laki-laki seluruhnya, ataupun harus berkelamin perempuan seluruhnya. Maka ayah dari ketujuh orang anak yang berkelamin sama tersebut berhak diangkat menjadi raja baru dan harus membangun kerajaannya pada wilayah yang bukan merupakan wilayah suatu kerajaan yang telah ada.

 

          Demikian juga dengan Kerajaan Ango Talaga yang berdiri pada akhir abad ke-13, dan eksis lebih dari 400 tahun. Kerajaan Ango Talaga eksis di sekitar gunung Talaga kabupaten Landak Kalimantan Barat. Nama lain dari kerajaan Ango Talaga adalah Kerajaan Sangah Tumila, hal ini disebabkan wilayahnya meliputi DAS Sangah dan DAS Tumila. Kerajaan ini dirikan oleh keturunan orang-orang Dayak Kanayatn yang bermigrasi dari wilayah kerajaan Keokng-Kanakng (Malipura) menurut versi Dayak Kanayatn (orang Bananag) dan Dayak Banyuke (orang Banyadu) atau Tiong-Kandang menurut versi Dayak Mali (Orang Ba-mag) yang bearti “burung Beo dan burung kurcica / Kacer. Selama berdiri, kerajaan Ango Talaga telah mengalami sebanyak tiga kali perpindahan ibukota. Pertamakali  pemerintahannya berpusat pada kota Tajur Tangkadi, yang kedua di berpindah ke kota Mototn Calikng dan yang terakhir berada di kota Mototn Sisara.

 

          Dahulu, warga Dayak Kanayatn yang bermigrasi ke wilayah Kerajaan Keokng-Kanakng (Malipura) tersebut adalah Nek Dinggan, Nek Ngeba dan Nek Aden. Karena di ibukota kerajaan Keokng-Kanakng mereka tidak diterima dengan baik, maka mereka memilih meninggalkan Keokng-Kanakng dan pindah berkelana ke arah barat wilayah kerajaan Keokng-Kanakng (Malipura) yaitu ke wilayah yang dinamai oleh mereka dengan nama Binua Talaga. Disana mereka menempati hutan yang masih perawan. Setelah sampai disitu mereka memilih berpisah. Nek Dinggan mendiami Tajur Tangkadi. Nek Ngeba mendiami Mototn Calikng (Daratan Bening). Nek Aden mendiami Mototn Sisara. Dari ketiga penyebaran ini terjadilah penyebaran lagi setelah penduduk kawasan gunung Talaga bertambah. Di kampung Tajur Tangkadi, salahsatu cucu Nek Dinggan dengan istrinya bernama Angan melahirkan Rinta, Ledog, Gibul, Sasak dan Lameg. Kemudian Lameg dengan istrinya yang bernama Linatn melahirkan Renek, Binge, Ranang, Tagag tagukng dan Tagag tamula.

 

          Tagag Tamula dengan istrinya yang bernama Nginatn melahirkan Rodo, Titig, Kanjong, Mage, Renan, Bauk dan Bolokng. Setelah Tagag Tamula mempunyai anak sebanyak tujuh orang yang semuanya berjenis kelamin sama yaitu laki-laki. Sesuai dengan tuntutan adat lama Bangsa Dayak yang mengharuskan kepada setiap ayah yang memiliki anak sebanyak tujuh orang yang berkelamin sama untuk diangkat menjadi raja baru, maka Tagag Tamula berhak diangkat menjadi raja dan mendirikan kerajaan baru pada wilayah baru, yang wilayah tersebut bukan menjadi bagian dari sebuah kerajaan. Apabila pada wilayah dimana seorang raja baru muncul, maka sang raja harus mencari daerah baru untuk membangun kerajaannya.

 


          Setelah Tagag Tamula diangkat menjadi raja baru diwilayah Talaga, beliau kemudian  diberi gelar Patih Paramula. Artinya Patih yang pertama di kerajaan Ango Talaga (Sengah Temila). Gelar Patih disini adalah Patih yang bukan berasal dari bahasa Sanskerta, melainkan gelar Patih yang berasal dari Bahasa Dayak, yang artinya “memang sangat bernasib putih / mujur”, mengingat beliau ditakdirkan oleh Tuhan untuk menjadi raja, yang mana oleh Tuhan kepada Tagag Tamula dikaruniakan dengan tujuh orang anak yang berjenis kelamin sama, hal itu adalah sebagai tanda bahwa Tuhan memilih beliau untuk menjadi raja. Setelah sah menjadi Raja, beliau mengangkat adiknya yang bernama Tagag tagukng menjadi Pangalangok (Pemimpin Militer) kerajaan Ango Talaga. Pada masa pemerintahan Patih Paramula ini, raja Patih Aria Magat (Patih Gumantar), raja Kerajaan Bahanapura (Bangkule Rajakng) yang berpusat di Gaong (Bahana), hulu Sungai Mempawah terbunuh oleh serangan pengayau yang berasal dari kerajaan suku Dayak Biaju (Ngaju, Kalteng).  

 

          Setelah raja Patih Aria Magat (Patih Gumantar) wafat, istrinya Dara Jampe diangkat menjadi raja, karena seringa bersedih, kemudian beliau memutuskan mengasingkan dirinya di daerah bukit Tihakng. Setelah itu para bangsawan di kerajaan Bahanapura (bangkule Rajakng) mengangkat adik kandung raja Patih Aria Magat (Patih Gumantar) yang bernama Aria Manding untuk menjadi raja sementara, sembari menunggu anak-anak raja Aria Magat (Patih Gumantar) telah dewasa. Setelah itu, putra dan putri almarhum raja Patih Aria Magat (Patih Gumantar) diserahkan untuk dijaga oleh Raja Patih Paramula di istana rumah panjang di kota Tajur Tangkadi. Mereka adalah Aria Nyabakng (Pembendung), Aria Janakng (Lestari) dan Dara Itapm. Demi keamanan putri bungsu Patih Gumantar itu, raja Patih Paramula kemudian memerintahkan agar putri Dara Itapm dititipkan ke rumah panjang tempat  abang Patih Paramula yang bernama Ranang tinggal di kota Tanjung Selimpat, hulu Sungai Behe.

 

          Setelah wafat, Patih Paramula digantikan oleh putra tertuanya yang bernama Bolokng. Raja Patih Bolokng dengan istrinya yang bernama Dara Nane melahirkan Dangah, Lampe, Badakng, Nahutn dan Gandar Anum. Pangeran Gandar Anum kemudian menggantikan kedudukan ayahnya dan bergelar Raja Patih Gandar Anum. Karena kelebihan dan kemampuan yang dimilikinya, beliau merangkap sebagai Dukun. Raja Patih Gandar Anum  dengan istrinya Gumalakng melahirkan Tepak, Rambe, Kampukng, Donag, Pire dan Dara Sinjariti. Putrinya yang bernama Dara Sinjariti  inilah yang kemudian menggantikan kedudukan ayahnya sebagai Raja yang berkuasa di kerajaan Ango Talaga (Sengah temila). Pada saat beliau dinobatkan menjadi Raja, kemudian lepada beliau diberi gelar Raja Patih Nang Bini. Kemudian Raja Patih Nang Bini dengan suaminya yang bernama Jaman melahirkan Denggon, Jolag dan Sutan.

 

Kedatangan Pengungsi Majapahit Ke Kota Tajur Tangkadi

          Pada masa kekuasaan Raja Patih Nang Bini, satu rombongan pengungsi dari  kerajaan Majapahit di Pulau Jawa datang ke kota Tajur Tangkodi. Rombongan orang Jawa ini dipimpin oleh bangsawan Majapahit yang bernama Nek Jaraya (Mbah Jeroyo). Rombongan Nek Jaraya (Mbah Jeroyo) adalah rombongan yang tersesat dari rombongan yang lebih besar, yaitu rombongan yang dipimpinan oleh Prabu Cakra Wirabhumi  yang mendarat di Paloh wilayah Kabupaten Sambas dimasa sekarang. Penyebab pelarian para bangsawan Majapahit tersebut ke Kalimantan Barat adalah karena kehancuran kerajaan Majapahit akibat serangan tentara kerajaan Islam Demak. Oleh karena Nek Jaraya (Mbah Jeroyo) merasa sangat aman hidup dilingkungan orang Dayak, maka beliau melepaskan adat budaya asalnya dan hidup menjadi orang Dayak dengan mengamalkan adat budaya bangsa Dayak serta tunduk kepada peraturan Kerajaan Ango Talaga (Sengah Temila).  Keturunan Nek Jaraya (Mbah Jeroyo)  dan keturunan pengikutnya kemudian berasimilasi dengan orang Dayak warga kerajaan Ango Talaga (Sengah temila).

 

          Setelah Raja Patih Nang Bini meninggal, Pada saat itu anaknya yang pertama, Denggon, baru saja berumur empat belas tahun; anaknya yang kedua, Jolag, berumur sepuluh tahun, dan yang ketiga, Sutan, berumur tujuh tahun. Anak-anak yang semuda ini belum bisa menggantikan kedudukan ibunya sebagai Raja. karena anak-anak Raja Patih Bini masih sangat muda, maka berdasarkan musyawarah para bangsawan kerajaan, kemudian disepakati agar jabatan raja untuk sementara waktu dipercayakan kepada Nek Jaraya (Mbah Jeroyo) meskipun beliau seorang pendatang. Ditunjuknya Nek Jaraya (Mbah Jeroyo) sebagai raja sementara adalah untuk menghormati beliau yang secara biologis juga adalah seorang bangsawan di kerajaan Majapahit. Namun meskipun demikian beliau tunduk kepada peraturan adat di kerajaan Ango Talaga (Sengah temila), dan harus menyerahkan kembali kekuasan sebagai seorang raja kepada anak-anak Patih Nang Bini ketika mereka dewasa.

 

          Pada saat menjabat sebagai raja sementara inilah Nek Jaraya (Mbah Jeroyo) mengajak rakyatnya untuk bergotong-royong secara besar-besaran. Salahsatu bentuk gotong-royong yang dilakukan mereka adalah menanam berbagai macam pohon buah-buahan, dan yang sangat diutamakan adalah pohon Durian, di seluruh kawasan Gunung Talaga. Selesai penanaman buah-buahan, Nek Jaraya (Mbah Jeroyo) mengadakan musyawarah dengan penduduknya, sehingga didapatkan kata sepakat bahwa buah-buahan di gunung Talaga menjadi Kompokng Binua, yang artinya hutan buah yang dimiliki bersama sampai pada keturunan mereka.

 

          Wilayah kekuasaan kerajaan Ango Talaga (Sengah temila) pada waktu itu antara lain Ketemenggungan Talaga Bahumukng (sekarang Temila Ulu II), Ketemenggungan Talaga Timawakng (sekarang Temila Ulu III), Ketemenggungan Semahung I (sekarang Temilia Ilir I), Ketemenggungan Semahung II (sekarang Temila Ilir II), Ketemenggungan Sambih I dan Ketemenggungan Sambih II. Setelah anak-anak raja Patih Nang Bini dewasa dan sudah menikah, maka Nek Jaraya (Mbah Jeroyo) mengembalikan kekuasaannya kepada anak-anak raja Patih Nang Bini. Maka terpilihlah Sutan yang kemudian menggantikan kedudukan ibunya sebagai Raja di kerajaan Ango Talaga. Raja Patih Sutan dengan istrinya Saremamakng melahirkan Jontor, Lamar, Selet, Lanon, Pansuli, Rontok, Siban dan Gargila.

 

          Kemudian Gargila menggantikan kedudukan ayahnya sebagai raja dikerajaan Ango Talaga (Sengah temila) dengan gelar Patih Gargila. Perkawinan antara Raja Patih Gargila dengan istrinya yang bernama Sante melahirkan seorang anak laki-laki yang bernama Somo dan seorang anak perempuan yang bernama Sona. Setelah Patih Gargila wafat, Somo menggantikan kedudukan ayahnya sebagai raja dikerajaan Ango Talaga (Sengah temila.  Pada zaman raja Patih Somo ini wilayah (pasaroh palaya) kerajaan Ango Talaga (Sengah temila) melebar luas sampai ke Sungai Landak, Sungai Mempawah dan di Sungai Ambawang. Setelah lima tahun Raja Patih Somo berkuasa dikerajaan Ango Talaga, sampai kemudian datanglah para pendiri kerajaan feodal yang pertama di Kalimantan Barat yaitu Sultan yang membangun Kota Pontianak.

 

          Raja Patih Somo dengan istrinya yang bernama Sidatn melahirkan Sandayan, Dengka, Joatn, Limbuh, Lomen, Da’ah dan Kurobokng. Anaknya yang bernama Kurobokng kemudian terpilih untuk menggantikan kedudukan ayahnya sebagai raja dikerajaan Ango Talaga (Sengah temila). Raja Patih Kurobokng dengan istrinya yang bernama Insum melahirkan Gante, Kolah, Sadon, Santang, Milah, Polak, Berong dan Rugap Ayag. Kemudian  Rugaf Ayag menggantikan kedudukan ayahnya sebagai raja dikerajaan Ango Talaga (Sengah temila). Pada masa  Raja Patih Rugaf Ayag berkuasa, tepatnya setelah beliau menjadi raja selama dua puluh tahun, penjajahan bangsa Belanda datang di Kalimantan Barat. Raja Patih Rugaf Ayag denga istrinya bernama Sonte melahirkan dua orang anak perempuan yaitu Sampuh dengan adiknya yang bernama Nyalam.

 

          Setelah mendapat anak dua orang Raja Patih Rugaf Ayag meninggal dunia. Untuk mengisi kekosongan seorang pimpinan diangkatlah Dehepm menggantikan kedudukan Raja Patih Rugaf Ayag. Sebelum  Dehepm diangkat menjadi Raja kerajaan Ango Talaga, beliau adalah seorang Pangalangok (Pemimpin Militer) kerajaan Ango Talaga (Sengah temila). Delapan belas tahun lamanya Patih Dehepm berkuasa sebagai Raja, kemudian beliau menyerahkan kembali kedudukan sebagai Raja kepada anak keturunan Raja Patih Rugaf Ayag, karena dua orang anak-anak Raja Patih Rugaf Ayag masing-masing sudah menikah. Sampuh menikah dengan suaminya yang bernama Bo’ong dan adiknya yang bernama Nyalam menikah dengan suaminya yang bernama Garak.

          Karena Raja Patih Rugaf Ayag  tidak mempunyai anak laki-laki, maka menantunya yang bernama Garak yang kemudian menduduki jabatan mertuanya sebagai raja di kerajaan Ango Talaga (Sengah temila). Raja Patih Garak ini adalah Raja terakhir di kerajaan Ango Talaga (Sengah temila) pada abad ke-18. Hancurnya kerajaan Ango Talaga (Sengah temila) adalah akibat kalah perang menghadapi puluhan ribu bala tentara sekutu yaitu gabungan tentara Belanda, tentara republik Lanfang (bentuk pemerintahan Tionghoa di Mandor), tentara kerajaan Landak, tentara Kesultanan Pontianak dan tentara Kesultanan Mempawah.

 

          Adapun hal yang menyebabkan kekalahan tentara Kerajaan Ango Talaga (Sengah temila). adalah ketidak-cakapan dan kesombongan Raja Patih Garak yang baru saja merasakan menjadi seorang Raja, beliau terlena dan tidak mau mengindahkan nasehat para panglima perang Kerajaan serta nasehat para bangsawan di Kerajaannya, yang menginginkan agar Raja Patih Garak mengedarkan perangkat adat mangkok merah ke wilayah Dayak Banyuke (Orang Banyadu), ke wilayah Dayak Rara (orang Bakati) dan ke wilayah Dayak lainnya.  Sehingga secara otomatis serangan puluhan ribu tentara sekutu antara tentara Belanda, tentara Tionghoa dan tentara kerajaan melayu, hanya dihadapi oleh kurang dari seribu orang saja prajurit kerajaan Ango Talaga (Sengah temila). Karena kalah jumlah tentara dan kalah sistem persenjataan menyebabkan prajurit Kerajaan Ango Talaga (Sengah temila) dengan mudah di kalahkan oleh Belanda yang dibantu oleh puluhan ribu tentara sekutunya.

 

Berikut raja-raja Ango Talaga:

1.    Patih Paramula,  Abad 13

2.    Patih Bolokng

3.    Patih Gandar Anum

4.    Patih Nang Bini (Putri Sinjariti)

5.    Patih Jaraya (Mbah Jeroyo)

6.    Patih Sutan

7.    Patih Gargila

8.    Patih Somo

9.    Patih Kurobokng

10.       Patih Rugaf Ayag

11.       Patih Dehepm

12.       Patih Garak, abad 18  

 

 

 

0 komentar :

Posting Komentar

 

Translate

Label

Adat (5) Bigbang (14) Budaya (5) Dayak (10) Kerajaan Dayak (11) Multiverse (3)