Dahulu,
sebelum tahun 4000 SM atau sebelum enam ribu tahun yang lalu. Kelompok-kelompok
Penduduk pertama yang menghuni Pulau Borneo ini merupakan kelompok Dayak nomaden atau para pemburu-pengumpul, argumen ini
didasarkan kepada bukti khusus yang diperolehi dari data ekskavasi (tempat penggalian benda purbakala) di dalam gua-gua yang
terdapat didaerah Niah, Sarawak Malaysia. Kehidupan kelompok Dayak nomaden yang berpindah-pindah
umumnya dilakukan untuk mencari area hutan yang masih memiliki banyak sumber
daya hutan. Baik berupa hewan buruan, maupun sumber makanan lain seperti
ketersediaan sagu, padi liar, umbi-umbian, jejamuran, bebuahan dan
lain-lain.
Awalnya
seluruh komunitas Dayak Nomaden masih
berbicara bukan menggunakan bahasa yang telah bercampur dengan bahasa Austronesia, melainkan 100% memakai bahasa Austroasia. Hal ini diperkuat oleh
hipotesis yang memperlihatkan bahwa bahasa-bahasa dari kelompok Dayak yang
sebelum tahun 4000 SM masih nomaden tersebut, seperti bahasa Dayak Punan, bahasa Dayak rumpun Apaukayan alias komunitas Rejang-Baram (Hudson 1992) dan bahasa rumpun Dayak Bidayuhik, semuanya
memiliki ciri leksikal (kaitan kata atau kaitan
kosakata) dari suatu Substratum
(lapisan bawah / turunan bahasa) lama. Hal ini jelas mengkonfirmasi teori
Hudson bahwa antara Dayak Darat atau
Rumpun Dayak Bidayuhik (selato 1993) dengan komunitas Dayak Apaukayan atau komunitas
Dayak Rejang-Baram dan Dayak Punan adalah komunitas orang-orang Dayak yang berkerabatan.
Substratum (lapisan bawah /
turunan bahasa) bahasa yang dinamakan
Punan-Rejang-Baram-Bidayuh juga memiliki hubungan dengan bahasa diluar Pulau Borneo,
yaitu pada beberapa ciri yang sama yang terdapat pada bahasa suku Aslian penduduk asli Semenanjung
Malaysia, salah satu dari suku bangsa yang berbicara memakai bahasa Austroasia
(Adelaar 1995, Sellato 1993 dan Sellato & Soriente 2015).
Pada
suatu waktu dimasa yang telah lampau, pada kelompok Dayak nomaden yang pernah
hidup bersama dan memiliki budaya yang sama serta pernah berkomunikasi dengan
bahasa yang sama tersebut, kemudian terjadi perpecahan diantara mereka, hingga
menyebabkan mereka berpencar ke segala arah di kedalaman hutan pulau Borneo.
Imbasnya menyebabkan bahasa mereka mengalami perubahan pada masing-masing
kelompok hingga menyebabkan sebagian dari kosakata bahasa mereka menjadi
berbeda. Baik berbeda hanya pada bunyi vokal atau fonemnya saja maupun menjadi
berbeda kosakata pada kata-kata yang sama maknanya.
Perbedaan
pada bahasa-bahasa kelompok Dayak nomaden tersebut menjadi semakin besar
sehubungan dengan semakin banyaknya kehadiran kelompok-kelompok Dayak yang
berbahasa Austronesia yang datang dari berbagai arah. Setiap kelompok Dayak
berbahasa Austronesia tersebut secara langsung mempengaruhi bahasa yang lebih
awal tumbuh di Borneo. Sehingga menyebabkan dimasa kini pulau Borneo menjadi
pusat beragam linguistik dalam rumpun Bahasa Austronesia Barat, yang juga
disebut cabang Bahasa Malayo Polinesia.
JAMAN NALINO:
Kelompok
Dayak nomaden yang pertama kali
menjelma menjadi Dayak menetap adalah
rumpun Dayak Bidayuhik atau Dayak Darat. Mereka telah hidup menetap jauh
sebelum kehadiran kelompok Dayak yang berbahasa Austronesia. Setelah hidup menetap, perubahan yang terjadi
pada kelompok Dayak nomaden dari
rumpun Dayak Bidayuhik atau Dayak darat, yang semula menjalankan
gaya hidup sebagai pemburu dan pengumpul
kemudian berubah menjadi peladang, yang semula hanya memiliki strata sosial non-formal
homogen, kemudian berubah menjadi memiliki sistem stratifikasi sosial formal
yang berjenjang. Yang semula memiliki jumlah aturan adat yang minim dan
sederhana, kemudian berubah menjadi memiliki aturan adat yang kompleks. Yang
semula kebudayaannya kurang berkembang, kemudian berubah menjadi mengembangkan kebudayaan
yang tinggi.
Proses
perubahan dari hidup nomaden menjadi hidup menetap inilah yang disebut jaman nalino
pada rumpun Dayak Bidayuhik atau Dayak darat. Nalino adalah kosakata yang
berasal dari bahasa rumpun Dayak Bidayuhik, yang terbentuk dari kata na
dan kata lino. Kosakata na merupakan sebuah verba (kata
kerja) yang bearti di. Sementara kosakata lino merupakan sebuah nomina (kata benda),
yang bearti adab. Dengan demikian, kosakata nalino bearti “diadab-kan”.
Kata
nalino yang memiliki arti “diadabkan” setara dengan kata “memperadabkan” yaitu suatu usaha yang
dilakukan supaya kehidupan
yang dijalankan menjadi lebih beradab
atau suatu usaha yang dilakukan untuk lebih meningkatkan dan memajukan taraf hidup,
atau bisa juga bermakna sebagai suatu usaha yang dilakukan agar kehidupan yang
dijalankan menjadi lebih berbudaya. Dari kata nalino yang bermakna diadabkan atau memperadabkan
ini memperlihatkan bahwa diperlukan adanya suatu subjek yang menjadi pihak yang
mengintervensi agar makna kata diadabkan
atau memperadabkan tersebut dapat terlaksana.
Tentu saja subjek itu adalah sesuatu yang asing
bagi pihak objek yang di-nalino-kan.
Bagi
beberapa ilmuwan konvensional tentu akan sangat sulit untuk menerima sebuah opini
yang menyebutkan bahwa pihak asing yang mengintervensi sebuah komunitas agar
menjadi lebih beradab itu adalah makhluk yang datang dari luar planet bumi,
namun faktanya pada seluruh kebudayaan diseluruh permukaan planet bumi, menyebutkan
dan memperlihatkan fenomena yang sama, bahwa seluruh peradaban yang pernah ada
di jaman kuno adalah di intervensi oleh makhluk yang berperadaban agung yang
datang dari luar planet bumi. Demikian juga yang terjadi pada bangsa Dayak, dan
khususnya rumpun Dayak Bidayuhik barat, bahwa dahulu nenek moyang mereka juga diadabkan oleh makhluk yang datang dari
luar planet bumi, yang oleh mereka disebut dengan nama Jabata (Tuhan / Dewa). Para Jabata
tersebut datang dari langit dengan penampilan tubuh yang menyerupai penampilan
tubuh manusia dan berkomunikasi dengan manusia Dayak, mereka mengajari berbagai
macam hal-hal baru kepada nenek moyang Dayak nomaden.
Sebagai
produk dari sebuah proses yang disebut jaman nalino adalah talino
yang bearti teradab-kan. Karena itu, kosakata talino
dipergunakan untuk menyebuti makhluk yang telah beradab
sehingga dapat mengembangkan peradaban
(Tamadun, kultur, kemajuan atau kebudayaan), yaitu manusia. Jadi, didalam
bahasa Rumpun Dayak Bidayuhik atau Dayak Darat, manusia disebut talino
(Teradabkan). Ketika telah hidup menetap, mereka mulai mengembang
kebudayaan yang berupa; adat istiadat, agama, sistem bercocok tanam, sistem pemerintahan,
menciptakan peralatan atau perkakas baik dari logam maupun non logam dan mengembangkan
model pemukiman. Sebagai hasil yang tercapai setelah menjadi talino (teradabkan), maka lahirlah
beberapa kerajaan bangsa Dayak.
SYARAT PEMBENTUKKAN SEBUAH KERAJAAN BARU PADA BANGSA DAYAK KALBAR
DAN SARAWAK:
Pada tanggal 23 Juli 1994 dahulu, adalah satu hari
yang cukup menghebohkan penduduk kampung Tititareng desa Berinang Manyun,
Kecamatan Menyuke, Kabupaten Landak, Kal-Bar. Betapa tidak? Pada hari itu
penduduk kampung tersebut bertambah satu orang, namun bukanlah pertambahan
penduduknya yang membuat warga heboh, melainkan sang anak yang dilahirkan oleh
istri Bapak Adi Samoko yang juga
seorang anak perempuan. Maka lengkaplah dalam keluarganya memiliki
tujuh orang anak, dari anak yang pertama hingga anak yang baru lahir itu,
seluruhnya memiliki jenis kelamin perempuan. Orang-orang tua di kampung
Tititareng ramai bercanda mengatakan bahwa seorang Raja baru telah muncul. Yang dimaksud Raja baru
yang telah muncul tersebut adalah ayah sang anak yang baru lahir tersebut yaitu
Pak Adi Samoko.
Jauh
sebelum kelahiran putrinya yang ketujuh itu, warga kampung Tititareng telah
sering bercanda dengan beliau dengan mengatakan bahwa apabila anaknya yang
didalam kandungan istrinya kelak lahir seorang perempuan maka beliau dapat dipanggil
dengan sebutan “Pak raja”. Kenapa beliau harus disebut raja apabila anaknya
yang ketujuh tersebut memiliki jenis kelamin perempuan juga? Hal ini terkait
dengan salahsatu adat lama Bangsa Dayak yang telah ditinggalkan berabad-abad
dahulu. Adat tersebut adalah adat yang mengharuskan untuk mengangkat Raja baru
kepada seseorang yang ditunjuk oleh Tuhan agar menjadi raja, yang menurut adat
lama, bahwa tanda Tuhan menunjukan raja baru pada sebuah komunitas Dayak agar
mendirikan sebuah kerajaan baru adalah adanya seorang ayah yang memiliki anak sebanyak
tujuh orang dan jenis kelamin ketujuh orang anaknya tersebut harus sama
seluruhnya, maksudnya adalah; ketujuh anaknya harus laki-laki semuanya atau
perempuan semuanya.
Jadi
berdasarkan adat lama bangsa Dayak, sebuah kerajaan baru boleh dibangun, apabila
disuatu daerah terdapat seorang ayah yang memiliki tujuh orang anak yang seluruh
anaknya tersebut berjenis kelamin sama. Selain disyaratkan oleh seseorang yang
ditunjuk oleh Tuhan, kerajaan baru pada bangsa Dayak juga boleh didirikan oleh
seseorang yang merupakan keturunan langsung dari seorang raja, tanpa memandang
latar belakang suku bangsa, asal dan agamanya.
ALASAN RAJA
BERGELAR PATIH DAN PEMIMPIN MILITERNYA DISEBUT PANGALANGOK:
Seperti
yang dijelaskan diatas, bahwa syarat pembentukan sebuah kerajaan baru pada
bangsa Dayak adalah pendirinya harus telah mempunyai anak sebanyak tujuh orang.
Dimana dari anak pertama hingga anak yang ketujuh harus memiliki jenis kelamin yang
sama, yakni boleh berjenis kelamin laki-laki semuanya dan boleh juga berjenis
kelamin perempuan semuanya.
Jika
pada jaman sekarang saja ketika jumlah manusia sudah sangat banyak, kita jarang
menemui sebuah keluarga yang memilik anak sebanyak tujuh orang, yang dari anak
pertama hingga anak yang ketujuh memiliki jenis kelamin yang sama, apalagi di
jaman kuno ketika jumlah manusia masih sedikit? Maka ketika dijaman kuno
terdapat sebuah keluarga yang mempunyai anak sebanyak tujuh orang dan jenis
kelamin anak-anaknya tersebut sama semuanya, maka hal itu dianggap sebagai
anugerah dari Tuhan yang luar biasa kepada orang tua dari ketujuh anak yang memiliki
jenis kelamin yang sama tersebut. Karena anugerah yang istimewa dan langka
itulah yang menjadi alasan kenapa ayah dari ketujuh orang anak yang berjenis kelamin
sama tersebut dipandang dan dianggap sebagai orang yang sangat mujur atau
beruntung atau bertuah.
Karena
dianggap sebagai orang yang mujur atau beruntung, maka ketika diangkat menjadi
Raja, ayah dari ketujuh orang anak yang memiliki jenis kelamin yang sama
tersebut diberi gelar Patih. Lalu apa
sebenarnya yang dimaksud dengan gelar Patih pada Raja Bangsa Dayak tersebut?
Gelar Patih pada Raja Dayak adalah berasal dari penyingkatan dua buah kata, tepatnya
dari ujung-ujung kata TAMPA dan ujung kata PUTIH,
gabungan antara ujung kata tamPA dan ujung kata puTIH,
yang seharusnya tertulis dengan ejaan tamPA puTIH inilah yang membentuk
kata PATIH.
Dalam
bahasa Dayak rumpun Bidayuhik kata TAMPA berarti; memang sangat, memang amat, memang nyata, memang benar, memang betul,
memang serius dan memang sungguh.
Sementara kata PUTIH bearti; warna putih,
nasib mujur, nasib bertuah,nasib beruntung, nasib baik, terang, bersih, suci
dan bersifat baik. Dengan demikian makna dari kata tamPA puTIH yang
disingkat PATIH adalah “memang sangat
mujur atau memang sangat beruntung”. Nasib baik atau nasib beruntung atau
nasib mujur yang dianugerahi oleh Tuhan kepada ayah ketujuh anak yang
berkelamin sama itulah yang menjadi alasan kenapa setiap Raja pada kerajaan
bangsa Dayak digelari dengan gelar Patih.
Berbeda
dengan pada kerajaan Dayak, pada kerajaan Jawa gelar patih adalah sebutan pembantu
Raja, tepatnya pemimpin militer atau
perdana mentri pada kerajaan Jawa. Sebutan patih pada
kerajaan Jawa berasal dari bahasa Sanskerta yang bearti; menurut
(mendengarkan) perintah atau
patuh. Jika pada kerajaan Jawa pemimpin militer atau perdana mentri mereka disebut Patih, sementara pada kerajaan Dayak
pemimpin militernya disebut Pangalangok. Istilah pangalangok adalah
istilah yang dibentuk dari gabungan antara kata “panga” yang merupakan sebuah imbuhan (bunyi yang ditambahkan pada sebuah kata) yang setara dengan imbuhan “peng” pada bahasa Indonesia dan kata “langok”
yang bearti “aroma”. Jadi secara harafiah istilah pangalangok bearti
“pengaroma”.
Adapun
hal yang menjadi alasan kenapa seorang pemimpin militer pada kerajaan Dayak
disebut Pangalangok (peng-aroma)
adalah dikarena akan menjadi terkenal harum-busuknya atau baik-buruknya atau
kuat-lemahnya sebuah kerajaan Dayak, sangat tergantung kepada kecakapan seorang
Pangalangok atau pemimpin militer kerajaan
yang bersangkutan. Hal itulah yang menjadi alasan kenapa pemimpin militer pada
kerajaan Dayak disebut Pangalangok (peng-aroma).
Umumnya, pangkat yang sering diberikan kepada seorang pejabat Pangalangok adalah pangkat Singa
atau pangkat Macan. Singa adalah pangkat yang diberikan kepada seorang panglima
yang ketika sedang memimpin peperangan, maka panglima tersebut berada didepan
pasukannya. Sedangkan pangkat Macan adalah pangkat yang diberikan kepada panglima
perang, yang apabila didalam peperangan maka ia berada dibagian depan, namun
kemudian bisa bergerak ke bagian samping kanan ataupun bergerak ke bagian samping
kiri dan juga dapat bergerak ke belakang ataupun bergerak ke bagian tengah
pasukan yang dipimpin olehnya. Dengan kata lain pangkat Macan adalah gelar untuk seorang Panglima Peloncat.
Selain
memiliki arti “aroma”, istilah Langok
juga dapat diartikan untuk menyebutkan situasi ketika diri kita menjadi tidak
bernafsu untuk memakani makanan tertentu atau meminumi minuman tertentu, karena
merasa telah terpuaskan dengan hanya melihat atau mencium aroma makanan ataupun
minuman tersebut. Kosakata lain yang berakar dari kata Langok adalah seperti
kata Tabalangok. Istilah ini
digunakan untuk menyebutkan seseorang atau diri sendiri yang menjadi tertegun
atau terperanjat, seolah-olah telah terbius atau terhipnotis oleh suatu aroma
tertentu ketika melihat sesuatu hal.
BOLEH DIALIHKAN KEPADA ORANG YANG BERHAK ATAU YANG DITUNJUK
DENGAN KETENTUAN YANG DIATUR OLEH ADAT:
Dalam
sejarah kerajaan-kerajaan Dayak Kal-Bar, terdapat beberapa kerajaan yang
rajanya dialihkan sementara kepada
orang yang berhak atau orang yang ditunjukan melalui sebuah mufakat dan proses
pelaksanaan atau pengembanan tugas raja sementara tersebut diatur dengan
ketentuan adat yang berlaku. Jadi, seorang Raja sementara tidak boleh menjabat
selamanya dan tidak boleh juga menurunkan jabatannya tersebut kepada anak
kandungnya. Namun bagaimana jika seandainya terjadi penguasaan kerajaan secara
permanen oleh Raja sementara? Maka rakyat kerajaan tersebut akan melakukan
sanksi adat yang sangat berat terhadap Raja sementara tersebut. Dimana sang
Raja sementara tersebut akan ditangkap dan dijatuhi hukuman mati.
Contoh
pengalihan sementara jabatan raja yang pernah terjadi didalam sejarah kerajaan
Dayak adalah pada kerajaan Sengah Temila (Ango Talaga), pada waktu itu jabatan
Raja pernah dialihkan untuk dijabat oleh Nek
Jaraya (mbah Jeroyo) yaitu seorang
keturunan Raja Majapahit yang mengungsi ke Kalimantan untuk menyelamatkan diri
dari pembunuhan yang dilakukan oleh tentara kerajaan islam Demak. Melalui
mufakat adat, Nek Jaraya (mbah Jeroyo) dipercaya
oleh rakyat kerajaan Sengah Temila (Ango
Talaga) agar menjadi Raja sementara menggantikan jabatan Raja Patih Dara Sinjariti (Patih Bini) yang pada
waktu itu meninggal dunia pada saat anak-anaknya masih kecil. Dipilihnya Nek Jaraya (mbah Jeroyo) adalah sebuah
bentuk penghormatan rakyat kerajaan
Sengah Temila kepada beliau, mengingat beliau adalah anak Raja Majapahit
yang terakhir. Namun demikian, dengan ketentuan adat Dayak yang berlaku, Nek Jaraya (mbah Jeroyo) tidak
dibenarkan untuk menjabat sebagai Raja selamanya, apalagi jika sampai
menurunkannya kepada anak-anak kandungnya. Maka Nek Jaraya (mbah Jeroyo) dan keturunannya, bahkan terhadap para
pengikutnya yang datang bersama beliau dari pulau Jawa memiliki resiko berat,
dimana mereka akan menghadapi konsekuensi hukuman mati.
DAFTAR KERAJAAN-KERAJAAN DAYAK KALBAR DAN
SARAWAK Dimasa Pra Hindu, masa Hindu dan masa Islam:
Kerajaan Sinjang (Sungkung)
·
Kerajaan Satona (Sthana Pura)
·
Kerajaan Pantanatn (Sanujuh)
· Kerajaan Keokng-Kanakng
·
Kerajaan Lawai (Hulu Aik)
Kerajaan Tanjung Pura (Sukadana)
Kerajaan Matan
Kerajaan Tayan
Kerajaan Meliau
Kerajaan Simpang
Kerajaan Tanjung Pura (Sukadana)
Kerajaan Matan
Kerajaan Tayan
Kerajaan Meliau
Kerajaan Simpang
·
Kerajaan Panggau Banyau (Tampun Juwah)
·
Kerajaan Belitang (Sekadau Kuno)
·
Kerajaan Lawang Kuwari
·
Kerajaan Sanggau
·
Kerajaan Sintang
·
Kerajaan Malanau
0 komentar :
Posting Komentar