Minggu, 07 Juli 2019

Kerajaan Dayak

Dahulu, sebelum tahun 4000 SM atau sebelum enam ribu tahun yang lalu. Kelompok-kelompok Penduduk pertama yang menghuni Pulau Borneo ini merupakan kelompok Dayak nomaden atau para pemburu-pengumpul, argumen ini didasarkan kepada bukti khusus yang diperolehi dari data ekskavasi (tempat penggalian benda purbakala) di dalam gua-gua yang terdapat didaerah Niah, Sarawak Malaysia. Kehidupan kelompok Dayak nomaden yang berpindah-pindah umumnya dilakukan untuk mencari area hutan yang masih memiliki banyak sumber daya hutan. Baik berupa hewan buruan, maupun sumber makanan lain seperti ketersediaan sagu, padi liar, umbi-umbian, jejamuran, bebuahan dan lain-lain.

Awalnya seluruh komunitas Dayak Nomaden masih berbicara bukan menggunakan bahasa yang telah bercampur dengan bahasa Austronesia, melainkan 100% memakai bahasa Austroasia. Hal ini diperkuat oleh hipotesis yang memperlihatkan bahwa bahasa-bahasa dari kelompok Dayak yang sebelum tahun 4000 SM masih nomaden tersebut, seperti bahasa Dayak Punan, bahasa Dayak rumpun Apaukayan alias komunitas Rejang-Baram (Hudson 1992) dan bahasa rumpun Dayak Bidayuhik, semuanya memiliki ciri leksikal (kaitan kata atau kaitan kosakata) dari suatu Substratum (lapisan bawah / turunan bahasa) lama. Hal ini jelas mengkonfirmasi teori Hudson bahwa antara  Dayak Darat atau Rumpun Dayak Bidayuhik (selato 1993) dengan komunitas Dayak Apaukayan atau komunitas Dayak Rejang-Baram dan Dayak Punan adalah komunitas orang-orang Dayak yang berkerabatan.

Substratum (lapisan bawah / turunan bahasa) bahasa yang dinamakan Punan-Rejang-Baram-Bidayuh juga memiliki hubungan dengan bahasa diluar Pulau Borneo, yaitu pada beberapa ciri yang sama yang terdapat pada bahasa suku Aslian penduduk asli Semenanjung Malaysia, salah satu dari suku bangsa yang berbicara memakai bahasa Austroasia (Adelaar 1995, Sellato 1993 dan Sellato & Soriente 2015).   
     
Pada suatu waktu dimasa yang telah lampau, pada kelompok Dayak nomaden yang pernah hidup bersama dan memiliki budaya yang sama serta pernah berkomunikasi dengan bahasa yang sama tersebut, kemudian terjadi perpecahan diantara mereka, hingga menyebabkan mereka berpencar ke segala arah di kedalaman hutan pulau Borneo. Imbasnya menyebabkan bahasa mereka mengalami perubahan pada masing-masing kelompok hingga menyebabkan sebagian dari kosakata bahasa mereka menjadi berbeda. Baik berbeda hanya pada bunyi vokal atau fonemnya saja maupun menjadi berbeda kosakata pada kata-kata yang sama maknanya.

Perbedaan pada bahasa-bahasa kelompok Dayak nomaden tersebut menjadi semakin besar sehubungan dengan semakin banyaknya kehadiran kelompok-kelompok Dayak yang berbahasa Austronesia yang datang dari berbagai arah. Setiap kelompok Dayak berbahasa Austronesia tersebut secara langsung mempengaruhi bahasa yang lebih awal tumbuh di Borneo. Sehingga menyebabkan dimasa kini pulau Borneo menjadi pusat beragam linguistik dalam rumpun Bahasa Austronesia Barat, yang juga disebut cabang Bahasa Malayo Polinesia.

JAMAN NALINO:
Kelompok Dayak nomaden yang pertama kali menjelma menjadi Dayak menetap adalah rumpun Dayak Bidayuhik atau Dayak Darat. Mereka telah hidup menetap jauh sebelum kehadiran kelompok Dayak yang berbahasa Austronesia. Setelah hidup menetap, perubahan yang terjadi pada kelompok Dayak nomaden dari rumpun Dayak Bidayuhik atau Dayak darat, yang semula menjalankan gaya hidup sebagai pemburu dan pengumpul kemudian berubah menjadi peladang, yang semula hanya memiliki strata sosial non-formal homogen, kemudian berubah menjadi memiliki sistem stratifikasi sosial formal yang berjenjang. Yang semula memiliki jumlah aturan adat yang minim dan sederhana, kemudian berubah menjadi memiliki aturan adat yang kompleks. Yang semula kebudayaannya kurang berkembang, kemudian berubah menjadi mengembangkan kebudayaan yang tinggi.

Proses perubahan dari hidup nomaden menjadi hidup menetap inilah yang disebut jaman nalino pada rumpun Dayak Bidayuhik atau Dayak darat. Nalino adalah kosakata yang berasal dari bahasa rumpun Dayak Bidayuhik, yang terbentuk dari kata na dan kata lino. Kosakata na merupakan sebuah verba (kata kerja) yang bearti di. Sementara kosakata lino merupakan sebuah nomina (kata benda), yang bearti adab. Dengan demikian, kosakata nalino bearti “diadab-kan”.

Kata nalino yang memiliki arti “diadabkan” setara dengan kata “memperadabkan” yaitu suatu usaha yang dilakukan supaya kehidupan yang dijalankan menjadi lebih beradab atau suatu usaha yang dilakukan untuk lebih meningkatkan dan memajukan taraf hidup, atau bisa juga bermakna sebagai suatu usaha yang dilakukan agar kehidupan yang dijalankan menjadi lebih berbudaya. Dari kata nalino yang bermakna diadabkan atau memperadabkan ini memperlihatkan bahwa diperlukan adanya suatu subjek yang menjadi pihak yang mengintervensi agar makna kata diadabkan atau memperadabkan tersebut dapat terlaksana. Tentu saja subjek itu adalah sesuatu yang asing bagi pihak objek yang di-nalino-kan.

Bagi beberapa ilmuwan konvensional tentu akan sangat sulit untuk menerima sebuah opini yang menyebutkan bahwa pihak asing yang mengintervensi sebuah komunitas agar menjadi lebih beradab itu adalah makhluk yang datang dari luar planet bumi, namun faktanya pada seluruh kebudayaan diseluruh permukaan planet bumi, menyebutkan dan memperlihatkan fenomena yang sama, bahwa seluruh peradaban yang pernah ada di jaman kuno adalah di intervensi oleh makhluk yang berperadaban agung yang datang dari luar planet bumi. Demikian juga yang terjadi pada bangsa Dayak, dan khususnya rumpun Dayak Bidayuhik barat, bahwa dahulu nenek moyang mereka juga diadabkan oleh makhluk yang datang dari luar planet bumi, yang oleh mereka disebut dengan nama Jabata (Tuhan / Dewa). Para Jabata tersebut datang dari langit dengan penampilan tubuh yang menyerupai penampilan tubuh manusia dan berkomunikasi dengan manusia Dayak, mereka mengajari berbagai macam hal-hal baru kepada nenek moyang Dayak nomaden.

Sebagai produk dari sebuah proses yang disebut jaman nalino adalah talino yang bearti teradab-kan. Karena itu, kosakata talino dipergunakan untuk menyebuti makhluk yang telah beradab sehingga dapat mengembangkan peradaban (Tamadun, kultur, kemajuan atau kebudayaan), yaitu manusia. Jadi, didalam bahasa Rumpun Dayak Bidayuhik atau Dayak Darat, manusia disebut talino (Teradabkan). Ketika telah hidup menetap, mereka mulai mengembang kebudayaan yang berupa; adat istiadat, agama, sistem bercocok tanam, sistem pemerintahan, menciptakan peralatan atau perkakas baik dari logam maupun non logam dan mengembangkan model pemukiman. Sebagai hasil yang tercapai setelah menjadi talino (teradabkan), maka lahirlah beberapa kerajaan bangsa Dayak.

SYARAT PEMBENTUKKAN SEBUAH KERAJAAN BARU PADA BANGSA DAYAK KALBAR DAN SARAWAK:
 Pada tanggal 23 Juli 1994 dahulu, adalah satu hari yang cukup menghebohkan penduduk kampung Tititareng desa Berinang Manyun, Kecamatan Menyuke, Kabupaten Landak, Kal-Bar. Betapa tidak? Pada hari itu penduduk kampung tersebut bertambah satu orang, namun bukanlah pertambahan penduduknya yang membuat warga heboh, melainkan sang anak yang dilahirkan oleh istri Bapak Adi Samoko yang juga seorang anak perempuan. Maka lengkaplah dalam keluarganya memiliki tujuh orang anak, dari anak yang pertama hingga anak yang baru lahir itu, seluruhnya memiliki jenis kelamin perempuan. Orang-orang tua di kampung Tititareng ramai bercanda mengatakan bahwa seorang Raja  baru telah muncul. Yang dimaksud Raja baru yang telah muncul tersebut adalah ayah sang anak yang baru lahir tersebut yaitu Pak Adi Samoko.
Berikut Adalah Photo: Pak Adi Samoko Bersama Anak Cucunya. Anak Pertamanya Tidak Ikut Dalam Photo. Beliau Memiliki Anak Sebanyak Delapan Orang. Anak Pertama Hingga Anak Yang Ketujuh Berjenis Kelamin Perempuan, Sementara Anak Bungsu Yaitu Anak Yang Ke Delapan Berjenis Kelamin Laki-Laki. Andai Kejadiannya Dimasa Lalu, Setelah Istri Beliau Melahirkan Putri Yang Ketujuh, Menurut Ketentuan Adat Lama Bangsa Dayak, Maka Beliau Harus Diangkat Menjadi Raja Baru Di Wilayah Aliran Sungai Entawak, Dan Akan Beribukota Di Tititareng.

Jauh sebelum kelahiran putrinya yang ketujuh itu, warga kampung Tititareng telah sering bercanda dengan beliau dengan mengatakan bahwa apabila anaknya yang didalam kandungan istrinya kelak lahir seorang perempuan maka beliau dapat dipanggil dengan sebutan “Pak raja”. Kenapa beliau harus disebut raja apabila anaknya yang ketujuh tersebut memiliki jenis kelamin perempuan juga? Hal ini terkait dengan salahsatu adat lama Bangsa Dayak yang telah ditinggalkan berabad-abad dahulu. Adat tersebut adalah adat yang mengharuskan untuk mengangkat Raja baru kepada seseorang yang ditunjuk oleh Tuhan agar menjadi raja, yang menurut adat lama, bahwa tanda Tuhan menunjukan raja baru pada sebuah komunitas Dayak agar mendirikan sebuah kerajaan baru adalah adanya seorang ayah yang memiliki anak sebanyak tujuh orang dan jenis kelamin ketujuh orang anaknya tersebut harus sama seluruhnya, maksudnya adalah; ketujuh anaknya harus laki-laki semuanya atau perempuan semuanya.

Jadi berdasarkan adat lama bangsa Dayak, sebuah kerajaan baru boleh dibangun, apabila disuatu daerah terdapat seorang ayah yang memiliki tujuh orang anak yang seluruh anaknya tersebut berjenis kelamin sama. Selain disyaratkan oleh seseorang yang ditunjuk oleh Tuhan, kerajaan baru pada bangsa Dayak juga boleh didirikan oleh seseorang yang merupakan keturunan langsung dari seorang raja, tanpa memandang latar belakang suku bangsa, asal dan agamanya. 

ALASAN RAJA BERGELAR PATIH DAN PEMIMPIN MILITERNYA DISEBUT PANGALANGOK:
Seperti yang dijelaskan diatas, bahwa syarat pembentukan sebuah kerajaan baru pada bangsa Dayak adalah pendirinya harus telah mempunyai anak sebanyak tujuh orang. Dimana dari anak pertama hingga anak yang ketujuh harus memiliki jenis kelamin yang sama, yakni boleh berjenis kelamin laki-laki semuanya dan boleh juga berjenis kelamin perempuan semuanya.

Jika pada jaman sekarang saja ketika jumlah manusia sudah sangat banyak, kita jarang menemui sebuah keluarga yang memilik anak sebanyak tujuh orang, yang dari anak pertama hingga anak yang ketujuh memiliki jenis kelamin yang sama, apalagi di jaman kuno ketika jumlah manusia masih sedikit? Maka ketika dijaman kuno terdapat sebuah keluarga yang mempunyai anak sebanyak tujuh orang dan jenis kelamin anak-anaknya tersebut sama semuanya, maka hal itu dianggap sebagai anugerah dari Tuhan yang luar biasa kepada orang tua dari ketujuh anak yang memiliki jenis kelamin yang sama tersebut. Karena anugerah yang istimewa dan langka itulah yang menjadi alasan kenapa ayah dari ketujuh orang anak yang berjenis kelamin sama tersebut dipandang dan dianggap sebagai orang yang sangat mujur atau beruntung atau bertuah.

Karena dianggap sebagai orang yang mujur atau beruntung, maka ketika diangkat menjadi Raja, ayah dari ketujuh orang anak yang memiliki jenis kelamin yang sama tersebut diberi gelar Patih. Lalu apa sebenarnya yang dimaksud dengan gelar Patih pada Raja Bangsa Dayak tersebut? Gelar Patih pada Raja Dayak adalah berasal dari penyingkatan dua buah kata, tepatnya dari ujung-ujung kata TAMPA dan ujung kata PUTIH, gabungan antara ujung kata tamPA dan ujung kata puTIH, yang seharusnya tertulis dengan ejaan tamPA puTIH inilah yang membentuk kata PATIH.

Dalam bahasa Dayak rumpun Bidayuhik kata TAMPA berarti; memang sangat, memang amat, memang nyata, memang benar, memang betul, memang serius dan  memang sungguh. Sementara kata PUTIH bearti; warna putih, nasib mujur, nasib bertuah,nasib beruntung, nasib baik, terang, bersih, suci dan bersifat baik. Dengan demikian makna dari kata tamPA puTIH yang disingkat PATIH adalah “memang sangat mujur atau memang sangat beruntung”. Nasib baik atau nasib beruntung atau nasib mujur yang dianugerahi oleh Tuhan kepada ayah ketujuh anak yang berkelamin sama itulah yang menjadi alasan kenapa setiap Raja pada kerajaan bangsa Dayak digelari dengan gelar Patih.

Berbeda dengan pada kerajaan Dayak, pada kerajaan Jawa gelar patih adalah sebutan pembantu Raja, tepatnya pemimpin militer atau perdana mentri pada kerajaan Jawa. Sebutan patih pada kerajaan Jawa berasal dari bahasa Sanskerta yang bearti; menurut (mendengarkan) perintah atau patuh. Jika pada kerajaan Jawa pemimpin militer atau perdana mentri mereka disebut Patih, sementara pada kerajaan Dayak pemimpin militernya disebut Pangalangok. Istilah pangalangok adalah istilah yang dibentuk dari gabungan antara kata “panga” yang merupakan sebuah imbuhan (bunyi yang ditambahkan pada sebuah kata) yang setara dengan imbuhan  “peng” pada bahasa Indonesia dan kata “langok” yang bearti “aroma”. Jadi secara harafiah istilah pangalangok bearti “pengaroma”.

Adapun hal yang menjadi alasan kenapa seorang pemimpin militer pada kerajaan Dayak disebut Pangalangok (peng-aroma) adalah dikarena akan menjadi terkenal harum-busuknya atau baik-buruknya atau kuat-lemahnya sebuah kerajaan Dayak, sangat tergantung kepada kecakapan seorang Pangalangok atau pemimpin militer kerajaan yang bersangkutan. Hal itulah yang menjadi alasan kenapa pemimpin militer pada kerajaan Dayak disebut Pangalangok (peng-aroma).

Umumnya, pangkat yang sering diberikan kepada seorang pejabat Pangalangok adalah pangkat Singa atau pangkat Macan. Singa adalah pangkat yang diberikan kepada seorang panglima yang ketika sedang memimpin peperangan, maka panglima tersebut berada didepan pasukannya. Sedangkan pangkat Macan adalah pangkat yang diberikan kepada panglima perang, yang apabila didalam peperangan maka ia berada dibagian depan, namun kemudian bisa bergerak ke bagian samping kanan ataupun bergerak ke bagian samping kiri dan juga dapat bergerak ke belakang ataupun bergerak ke bagian tengah pasukan yang dipimpin olehnya. Dengan kata lain pangkat Macan adalah gelar untuk seorang Panglima Peloncat.

Selain memiliki arti “aroma”, istilah Langok juga dapat diartikan untuk menyebutkan situasi ketika diri kita menjadi tidak bernafsu untuk memakani makanan tertentu atau meminumi minuman tertentu, karena merasa telah terpuaskan dengan hanya melihat atau mencium aroma makanan ataupun minuman tersebut. Kosakata lain yang berakar dari kata Langok adalah seperti kata Tabalangok. Istilah ini digunakan untuk menyebutkan seseorang atau diri sendiri yang menjadi tertegun atau terperanjat, seolah-olah telah terbius atau terhipnotis oleh suatu aroma tertentu ketika melihat sesuatu hal.

BOLEH DIALIHKAN  KEPADA ORANG YANG BERHAK ATAU YANG DITUNJUK DENGAN KETENTUAN YANG DIATUR OLEH ADAT:
Dalam sejarah kerajaan-kerajaan Dayak Kal-Bar, terdapat beberapa kerajaan yang rajanya dialihkan sementara kepada orang yang berhak atau orang yang ditunjukan melalui sebuah mufakat dan proses pelaksanaan atau pengembanan tugas raja sementara tersebut diatur dengan ketentuan adat yang berlaku. Jadi, seorang Raja sementara tidak boleh menjabat selamanya dan tidak boleh juga menurunkan jabatannya tersebut kepada anak kandungnya. Namun bagaimana jika seandainya terjadi penguasaan kerajaan secara permanen oleh Raja sementara? Maka rakyat kerajaan tersebut akan melakukan sanksi adat yang sangat berat terhadap Raja sementara tersebut. Dimana sang Raja sementara tersebut akan ditangkap dan dijatuhi hukuman mati.

Contoh pengalihan sementara jabatan raja yang pernah terjadi didalam sejarah kerajaan Dayak adalah pada kerajaan Sengah Temila (Ango Talaga), pada waktu itu jabatan Raja pernah dialihkan untuk dijabat oleh Nek Jaraya (mbah Jeroyo) yaitu seorang keturunan Raja Majapahit yang mengungsi ke Kalimantan untuk menyelamatkan diri dari pembunuhan yang dilakukan oleh tentara kerajaan islam Demak. Melalui mufakat adat, Nek Jaraya (mbah Jeroyo) dipercaya oleh rakyat kerajaan Sengah Temila (Ango Talaga) agar menjadi Raja sementara menggantikan jabatan Raja Patih Dara Sinjariti (Patih Bini) yang pada waktu itu meninggal dunia pada saat anak-anaknya masih kecil. Dipilihnya Nek Jaraya (mbah Jeroyo) adalah sebuah bentuk penghormatan rakyat kerajaan Sengah Temila kepada beliau, mengingat beliau adalah anak Raja Majapahit yang terakhir. Namun demikian, dengan ketentuan adat Dayak yang berlaku, Nek Jaraya (mbah Jeroyo) tidak dibenarkan untuk menjabat sebagai Raja selamanya, apalagi jika sampai menurunkannya kepada anak-anak kandungnya. Maka Nek Jaraya (mbah Jeroyo) dan keturunannya, bahkan terhadap para pengikutnya yang datang bersama beliau dari pulau Jawa memiliki resiko berat, dimana mereka akan menghadapi konsekuensi hukuman mati.


DAFTAR KERAJAAN-KERAJAAN DAYAK KALBAR DAN SARAWAK Dimasa Pra Hindu, masa Hindu dan masa Islam:
                  Kerajaan Sinjang (Sungkung)
·        Kerajaan Bawakng
·        Kerajaan Satona (Sthana Pura)
·        Kerajaan Pantanatn (Sanujuh)
·        Kerajaan Keokng-Kanakng
·        Kerajaan Lawai (Hulu Aik)
         Kerajaan Tanjung Pura (Sukadana)
          Kerajaan Matan
          Kerajaan Tayan
          Kerajaan Meliau
          Kerajaan Simpang
·        Kerajaan Panggau Banyau (Tampun Juwah)
·        Kerajaan Belitang (Sekadau Kuno)
·        Kerajaan Lawang Kuwari
·        Kerajaan Sanggau
·        Kerajaan Sintang
·        Kerajaan Malanau

0 komentar :

Posting Komentar

 

Translate

Label

Adat (5) Bigbang (14) Budaya (5) Dayak (10) Kerajaan Dayak (11) Multiverse (3)