Selasa, 18 Agustus 2020

Agama Karimawatn


          Agama diartikan sebagai sebuah sistem yang mengatur kepercayaan dan peribadatan kepada Tuhan yang mahakuasa serta tata kaidah yang berhubungan dengan budaya dan pandangan dunia yang menghubungkan manusia dengan tatanan kehidupan. Agama adat adalah agama yang berkembang pada suatu suku bangsa yang berasal dari kebiasaan nenek moyang sejak awal hingga kepada anak-cucu keturunannya yang masih mengamalkannya.


          Agama adat Dayak kalbar bagian barat adalah agama asal yang lahir dikalangan bangsa Dayak khususnya dari rumpun Dayak Bidayuhik dan dari rumpun Dayak Kanayatnik. Dimasa sekarang beberapa kelompok sesepuh Dayak, terutama dari Dayak Kanayatn berusaha memberikan nama khusus untuk menamai agama adat ini. Mereka menamai agama adat ini dengan nama “agama Karimawatn”.


          Pada dasarnya agama adat Dayak Kalbar bagian barat ini merupakan agama monoteisme yaitu agama yang percaya kepada satu sosok Tuhan semesta alam, yang asli lahir dan tumbuh didalam kebudayaan Dayak. Untuk kasus Kalimantan Barat bagian barat, jika ditilik dari ajaran terhadap pemahaman kepada yang tertinggi yaitu Tuhan yang maha esa dan ritual serta perangkat ritualnya, maka dapat dipastikan bahwa agama ini merupakan pembauran dari tiga agama, yaitu berasal dari agama asal bangsa Dayak yang sama dengan agama asal bangsa Dayak diseluruh pelosok pulau Dayak (Borneo) sebelum masing-masing darinya dipengaruhi oleh ajaran agama asing, kemudian mendapat “banyak” pengaruh yang berasal dari agama Yahudi dan “sebagian kecil” pengaruh yang berasal dari agama Hindu.


          Adanya pembauran ini dapat dilihat secara langsung pada Tambak (Nisan) kuburan di kampung-kampung dipedalaman masa kini. Dimana pada tiap kuburan orang Dayak dipedalaman pasti terdapat tiga buahTambak (Nisan) dengan bentuk yang berbeda. Tambak (Nisan) pertama berbentuk rumah kecil yang merupakan reflika sebuah Lungun (Peti Mati Gantung), berfungsi sebagai simbol dari adat Sandong (Sandung) atau kuburan pada tiang gantung, yaitu cara penguburan yang dilakukan oleh orang Dayak baik yang berasal dari rumpun Dayak Bidayuhik, rumpun Dayak Kanayatnik maupun dari rumpun Dayak lainnya diseluruh Kalimantan sebelum pengaruh agama Yahudi datang.


          Kemudian sebuah Tambak (Nisan) yang berbentuk tegak lurus, yang berasal dari pengaruh agama Yahudi. Kemudian Tambak (Nisan) yang berbentuk salib, ini jelas merupakan Tambak (Nisan) yang berasal dari pengaruh agama Kristen. Sedangkan pengaruh yang berasal dari agama Hindu adalah adanya pembawaan obor yang dinyalakan dengan api yang dibawa oleh para penggali kuburan dan dibawa juga oleh rombongan pengantar jenazah ketika pergi ke kuburan.


          Sebelum mendapat banyak pengaruh dari agama Yahudi dan sedikit pengaruh dari agama Hindu, sebutan Tuhan didalam agama adat Dayak Kalbar bagian barat disebut Neng Daniakng (Sang Pemilik Semesta Alam) atau Neng Panampa (Sang Penempa / Sang Pembentuk / Sang Pencipta), yang pada masyarakat Dayak Bidayuhik timur, yaitu pada Dayak Jangkang, Dayak Pangkodatn, Dayak Ribun, Dayak Gorai, Dayak Simpakng dan Dayak lainnya disebut Ponompa (Sang Penempa / Sang Pembentuk / Sang Pencipta). Sementara imamnya disebut Pamaliatn dan setiap upacara ritual keagamaannya disebut upacara Baliatn. Yang mana upacara Baliatn sendiri terdiri lebih dari satu jenis. Disamping itu, secara asal, agama ini tidak mempunyai Padagi (Mezbah). Tempat suci yang disebut Padagi (Mezbah) mulai dibuat setelah agama adat Dayak Kalbar bagian barat mendapat pengaruh dari agama Yahudi kuno.


          Adalah Neneng Galeber  menurut versi orang Banyadu (Dayak Banyuke) dan orang Bakati (Dayak Rara) atau Enek Guleber  menurut versi orang Bananag (Dayak Kanayatn) yang tidak lain merupakan seorang Rasul (Penyebar Agama) agama Yahudi. Beliau oleh orang tuanya diberi nama Eber. Nama Eber adalah satu nama yang sangat umum dipakai oleh orang-orang keturunan Israel untuk menamai anak-anak mereka. Oleh orang Dayak dimasa kini, untuk menyebutkan masa-masa awal ketika Neng Eber tinggal didalam kota Bawakng Basawag, masa itu disebut “jaman Eber” yang diungkapkan dengan menggunakan bahasa Sanskerta Kala Eber  yang bearti “jaman atau masa atau waktu Eber”. Lama-kelamaan sebutan Kalaeber diucapkan menjadi Kaleber  dan akhirnya diluweskan menjadi Galeber  sesuai dengan lidah masing-masing orang Dayak.


          Beliau dibimbing oleh Tuhan yang "ngotot” mengharuskan dengan “tidak boleh tidak" agar beliau dan keluarganya segera meninggalkan Banua Asog menurut versi orang Banyadu (Dayak Banyuke) atau Banoe Ayog menurut versi orang Bakati (Dayak Banyuke) atau Binua Ayag menurut versi orang Banana (Dayak Kanayatn) atau negeri besar menurut terjemahannya kedalam bahasa Indonesia, negeri yang dimaksudkan itu tidak lain adalah daratan asia khususnya negeri afganistan dan Pakistan atau India bagian barat di Asia selatan.


          Beliau diperintahkan untuk mendatangi Gunung Bawakng yang merupakan lokasi dimana kota Bawakng Basawag yang menjadi ibukota Kerajaan Bawakng (Tamaratos) berada. Ini adalah kerajaan Dayak yang sangat besar dan masyur di jaman kuno, yang ada dibagian barat pulau Dayak (Borneo). Karena kemasyurannya menyebabkan malaikat Tuhan memerintahkan agar keluarga Galeber  bersama kerabatnya mendatang negeri Bawakng (Tamaratos), dengan tujuan agar beliau menyebarkan dasar-dasar agama Yahudi pada orang Dayak penduduk kerajaan Bawakng (Tamaratos).


          Peristiwa pengasingan dan pembuangan orang-orang Yahudi dari kerajaan Yehuda kuno ke Babilonia oleh Nebukadnezar II pada tahun 586 SM yang telah berlalu selama kurang-lebih 2600 tahun yang lalu. Setelah tinggal di babilonia beberapa tahun, orang yahudi bergerak meninggalkan babilonia dan berpencar ke segala arah. Orang-orang Yahudi yang meninggalkan Babilonia inilah yang disebut “sepuluh suku Israel yang hilang” itu. Mereka ada yang bergerak menuju utara ke eropa dan rusia, yang bergerak ke selatan, mereka menuju ke Yaman hingga menyeberang ke Afrika timur, Sebagian lagi menuju ke arah timur yaitu ke negeri China dan Jepang dan sebagian menuju ke arah tenggara babilonia hingga membentuk bangsa Pahstun yang mendiami tanah Afganistan dan pakistan.


          Setelah lebih dari seribu tahun lamanya orang-orang keturunan Israel tinggal di Afganistan dan Pakistan dengan membentuk kebudayaan baru, kemudian beberapa dari keturunan mereka meninggalkan negerinya. Dari pakistan timur atau India barat mereka pergi berlayar mengarungi samudra Hindia dengan menggunakan kapal layar yang dibuat dari banyak batang bambu, yang di ambil oleh mereka dari hutan pakistan timur atau dari hutan India barat yang kemudian dirakit sedemikian rupa.


          Adapun alasan kenapa bambu dipilih untuk membangun kapal mereka adalah karena bambu lebih kuat, elastis, memiliki daya tahan yang cukup lama dan yang paling penting adalah karena bambu memiliki daya apung yang lebih baik mengingat batang bambu adalah tumbuhan yang memiliki rongga besar. Setelah kapal layar besar mereka telah selesai dibangun, kemudian mereka menaikinya. Oleh hembusan angin samudra Hindia, kapal layar mereka bergerak maju. Dengan bimbingan malaikat Tuhan, mereka menuju ke Kalimantan Barat melalui selat sunda lalu menuju ke arah utara hingga mendarat dipulau Dayak (Borneo) tepatnya di tanah kabupaten kayong provinsi Kalimantan Barat dimasa sekarang.


          Setelah beberapa malam berada di tanah Kayong, kemudian mereka bergerak menggunakan perahu melalui kawasan Pontianak sekarang, lalu masuk ke sungai Tenganap (Sungai Landak) sesampai dimuara sungai Banyuke, mereka berbelok kekiri untuk memasuki sungai Banyuke melewati tanah Banyadu Kuno. Setelah sampai di kota Banyuke (Desa Samade) yang terletak dihulu, kemudian mereka melanjutkan perjalanan melalui jalan utama yang menghubungkan kota Banyuke dan kota Bawakng Basawag, hingga mereka bermalam di kampung Rara yang terletak dihulu sungai Sebalo.


          Setelah pagi tiba, kemudian mereka melanjutkan perjalanan menuju kampung Bagu yaitu nama kuno kota Bengkayang dan beristirahat serta mandi di Riam Bagu (riam Budi) yang terletak dibagian barat laut kota Bengkayang dimasa sekarang. Dahulu kampung Bagu (Bengkayang) masih terletak didekat Riam Bagu (riam Budi), namun sekarang sisa-sisa warga kampung Bagu kuno pindah menempati kampung Bagu baru yaitu kota Bengkayang dimasa sekarang. Umumnya keturunan penduduk asli Bagu (Bengkayang) menepati sebuah kampung kecil yang terletak dibagian selatan kota Bengkayang, sejauh satu kilometer dari pusat kota Bengkayang, tepatnya dibagian timur dari ujung selatan persawahan yang ada di jalan menuju ke kampung Balangko dan bukit panokng (Bukit Jamur).


          Setelah beristirahat di tebing Riam Bagu (Riam Budi) mereka bergerak melanjutkan perjalanan menuju ke kampung Sadag, yaitu sebuah kampung kuno yang telah ditinggalkan penduduknya karena membangun kampung baru ditepi jalan raya yang dimasa sekarang dikenal dengan nama kampung Ketiat. Setelah keluar dari kampung Sadag akhirnya keluarga neneng Galeber sampai ke kota Bawakng Basawag yang terletak tepat di Singakng (Lereng / Kaki Gunung) gunung Bawakng yang terletak dibagian barat laut kota Bengkayang dimasa sekarang.


          Sesampainya dikota Bawakng Basawag, Neneng Galeber langsung memanjat doa sebagai ucapan syukur karena telah tiba ke tempat tujuan dengan selamat. Pada awalnya mereka berinteraksi dengan penduduk kota Bawakng Basawag yang berasal dari orang-orang Bananag (Dayak Kanayatn) dan menyebarkan faham atau ajaran agama baru tersebut kepada mereka. Setelah itu dilanjutkan kepada penduduk asli kota Bawakng Basawag, yaitu orang-orang Bakati (Dayak Rara). Berkat pancaran aura kecantikan khas wanita ras Kaukasoid (Kulit Putih) mereka, tepatnya aura kecantikan putri Neneng Galeber yang bernama Mansero, akhirnya menyebabkan ajaran agama baru yang dibawa oleh mereka itu berhasil masuk ke lingkungan istana kerajaan Bawakng (Tamaratos) dan mempengaruhi sebagaian besar bangsawan kerajaan Bawakng (Tamaratos), terutama setelah raja Rampunutn seorang Dayak Bakati, yang menjadi penguasa kerajaan Bawakng kala itu jatuh cinta kepada putri Mansero, hingga raja Rampunutn memutuskan untuk meminang Mansero untuk menjadi permaisurinya.


          Pancaran aura kecantikan putri Mansero itulah yang menjadi penyebab kenapa nama putri Mansero dijadikan sebagai salah-satu kosakata baru dalam bahasa Dayak yang memiliki arti “berbinar” tersebut. Selain perkawinan dua orang anak bangsa manusia tersebut, agama dan kebudayaan merekapun juga ikut bercampur sehingga melahirkan sebuah agama baru yang dikenal sebagai agama adat Dayak Kalimantan Barat bagian barat, yaitu agama asli yang tetap diamalkan hingga masa kini.


Bukti-Bukti Bahwa Agama Adat Dayak Kalbar Bagian Barat Mendapat Pengaruh Dari Agama Israel Kuno Adalah:


1.  Nama Tuhan Menggunakan Yabata atau Jabata

          Entitas Tuhan dalam agama adat Dayak Kalbar bagian barat pada masa sekarang disebutYabata pada orang Bakati (Dayak Rara) atau disebut Jabata  pada orang Banyadu (Dayak Banyuke), orang Bananag (Dayak Kanayatn), orang Bananeg (Dayak Darit), orang Badamea / Badameo (Dayak Salako), orang Balangin (Dayak Behe), orang Bakambai (Dayak Meranti), orang Bamag (Dayak Pantu) dan pada orang Ba’aye (Dayak Tobag / Tobang). Nama Tuhan ini sejatinya berakar dari nama Tuhan bangsa Israel yang disebut YAHWE atau YAHUWA atau JAHOVAH (jahowah / Jahowa), yang mendapat tambahan bunyi kata TA.


          Didalam struktur tata bahasa Dayak rumpun Dayak Bidayuhik dan rumpun Dayak Kanayatnik, ketika bunyi kata TA ditambahkan pada akhir sebuah kata, maka secara langsung bunyi kata TA tersebut akan mempertegaskan atau memperkuat makna kata yang diikutinya, yang dalam hal ini bunyi kata TA memiliki makna;Amat, makin, begitu atau alangkah dan sangat. Selain itu bunyi kata TA juga bermakna “hanya satu-satunya atau hanya atau cuma atau saja.


          Dari nama Tuhan Israel yang disebut dengan versi YAHUWA setelah mendapat tambahan bunyi kata TA sehingga menjadi tertulis YAHUWATA, lama-kelamaan diluweskan agar sesuai dengan lidah orang Dayak Bakati menjadi YAHUBATA, hingga terakhir menjadi YABATA setelah diluweskan kembali. Dan dari nama Tuhan Israel yang disebut dengan versi JAHOVAH (jahowah) setelah  mendapat tambahan bunyi kata TA, sehingga tertulis JAHOVAHTA, lama-kelamaan diluweskan  agar sesuai dengan lidah orang Dayak sehingga menjadi JAHOBAHTA, lalu pada suatu saat diluweskan lagi hingga menjadi JABAHTA, dan terakhir diluweskan lagi menjadi JABATA. Dari sini, sudah sangat jelas bahwa sebutan JABATA adalah berakar dari bahasa Ibrani, tepatnya dari nama Tuhan bangsa Israel yang disebut YAHWE atau YAHUWA atau JAHOVAH (jahowah / Jahowa), yang kemudian di-Dayak-kan  menjadi YABATA atau JABATA. Setelah mendapat tambahan kata TA, maka arti kata JABATA menjadi YAHWE HANYA SATU-SATUNYA atau Tuhan yang Esa.


-      Beberapa Contoh Lain Dari penggunaan bunyi kata TA pada sebuah kata.

pada kata “kuat”, ketika kata “kuat” di tambah dengan akiran TA, sehingga tertulis menjadi “kuatta” maka artinya menjadi “alangkah kuatnya”. Lalu kata Bangat (Banyak) ketika mendapat tambahan bunyi kata TA, sehingga tertulis menjadi “Bangatta”, maka artinya menjadi “alangkah banyaknya” atau “sangat banyak” atau “banyak banget”.


-      Contoh Lain Dari penggunaan bunyi kata TA pada kalimat bahasa Dayak Banyadu berikut ini:   

"Fabianus Oel-TA dag jaji ama pajanang adat sook Banyadu mulei sawag dua ribu nuayug", maka pengertian pada kata "Fabianus Oel-TA" adalah "HANYA Fabianus Oel SATU-SATUNYA", Jadi terjemahan lengkapnya adalah: "Hanya Fabianus Oel satu-satunya yang menjadi ketua Pajanang (Pelestari) adat orang Banyadu mulai (sejak) tahun dua ribu dahulu".


          Berbeda dengan Dayak Kalbar bagian barat, sebutan Tuhan pada suku Dayak Kalimantan Barat bagian selatan, yaitu pada orang-orang Dayak yang bermukim di daerah kabupaten Kayong Utara dan kabupaten Ketapang. Pada mereka sebutan Tuhan menggunakan kata “Duwata”. Meskipun menggunakan kata “Duwata” namun konsep ajaran agama adat mereka juga sama dengan konsep ajaran agama adat Dayak Kalimantan Barat bagian barat yang secara umum berbeda dengan ajaran agama Hindu.


          Mereka menggunakan  sebutan Duwata diduga hanya sebagai upaya apologetis ( pemaafan / pengampunan) untuk melawan konsep dan ajaran Hinduisme yang dibawa oleh orang-orang Jawa setelah kedatangan bangsawan Majapahit yang beragama hindu ke daerah ketapang dahulu, yang setelah menikah dengan seorang putri raja Dayak dari kerajaan Lawai (Hulu Aik / Bakulapura / Tanjungpura), kemudian mereka berdua mendirikan kerajaan Sukadana. Jadi sebutan Duwata pada masyarakat Dayak Kalbar bagian selatan baru mulai digunakan sejak akhir abad ke-14 Masehi, yang sebelumnya juga menggunakan sebutan Jabata.


           Dalam tataran sosiologis, bagi orang Dayak, Jabata (Tuhan) dipandang tidak begitu banyak ikut campur di dalam dunia ini. Semua urusan kehidupan didunia ini diserahkan oleh Tuhan sepenuhnya kepada manusia. Sifat Jabata (Tuhan) dikenal melalui nalar dan pengamatan terhadap alam. Karena itu, adakalanya bagi oknum-oknum tertentu menyakini bahwa alam adalah bagian dari Jabata (Tuhan). IA ada di dalam alam, pada apapun,  layaknya jiwa manusia yang berada di dalam tubuh manusia.  


          Karena oleh hal itu, kemudian timbul anggapan pada sebagian orang yang mengatakan bahwa jumlah Jabata (Tuhan) ada banyak, padahal tidaklah seperti itu adanya. Tentu saja hal ini dapat terjadi mengingat ketidak-mauan  mereka untuk dapat memahami agama adat Dayak tersebut dengan cara bijak. Misal ketika penyebutan nama Jabata (Tuhan), oleh para imam agama dengan menyebutkan nama-nama Jabata (Tuhan) yang tinggal pada tempat-tempat tertentu, sebenarnya hal ini bukanlah bermakna bahwa entitas Jabata (Tuhan) itu ada banyak, melainkan bahwa Tuhan maha hadir, ada dimanapun. Selain itu terdapat juga sebutan Jabata (Tuhan) yang berbeda-beda. Yang akhirnya oleh orang-orang yang berpikiran sempit, kemudian mengatakan bahwa ternyata Jabata (Tuhan) jumlahnya sangat banyak. Sebagai akibatnya mereka menyebutkan bahwa agama adat Dayak adalah sebuah keyakinan yang politeisme, karena menyembah banyak Jabata (Tuhan).


          Sejujurnya sosok Jabata (Tuhan) dalam agama adat Dayak yang terkesan berjumlah banyak, disebabkan oleh adanya “nama gelar” tertentu yang disematkan didalam diri Jabata (Tuhan) ketika disebutkan. Umumnya  nama gelar yang disematkan itu berkaitan dengan sifat dan tindakan yang dilakukan oleh Jabata (Tuhan). Jadi sebutan Jabata (Tuhan)  yang banyak itu bukanlah jumlah entitas Jabata (Tuhan)  yang banyak melainkan nama sebutan atau nama gelar Jabata (Tuhan) yang berhubungan dengan sifat dan tindakann-NYA.

 

          Beberapa nama sebutan atau nama gelar dari Jabata (Tuhan) seperti; Jabata Neng Panitah, Jabata Neng Panampa, Jabata Neng Pangedokng, Jabata Neng Pajaji, atau Jabata Neng Pangingu dan lain-lain. Sebutan Neng adalah singkatan dari kata “neneng (Kakek / Nenek)” dalam bahasa Dayak Banyadu atau nek singkatan dari kata “Nenek (Kakek / Nenek)” dalam bahasa Dayak Bananag (Kanayatn), atau “mbah (Kakek / Nenek)” dalam bahasa suku jawa, ini adalah gelar penghormatan terhadap sosok orang yang dituakan dan terhadap sosok Jabata (Tuhan). Sebutan ini setara artinya dengan kata “sang atau tuan” didalam bahasa indonesia atau “Mister” dalam bahasa Inggris. Berikut adalah nama-nama gelar Jabata (Tuhan) dalam kebudayaan Dayak beserta “padanannya” dengan nama-nama gelar Jabata (Tuhan) pada agama Kristen dan Yahudi.


-         Jabata Neng Pangira (Tuhan sang pengira / pemikir), ini adalah nama yang disematkan kepada Tuhan untuk menerangkan perbuatan-NYA karena segala sesuatu sebelum diciptakan terlebih dahulu dipikirkan oleh-NYA.


-         Jabata Neng Pangadu (Tuhan Sang Perancang), ini adalah nama gelar yang disematkan kepada Tuhan karena Tuhan bekerja merancang ciptaannya (berkaitan dengan percobaan dan pencocokan). Jadi ini adalah nama gelar yang berkaitan dengan proses quality control terhadap ciptaan-NYA.


-         Jabata Tukang Nange (Tuhan Sang Tukang Besi),  ini adalah nama yang disematkan kepada Tuhan ketika IA bekerja menciptakan segala sesuatu layaknya seorang pandai besi yang membentuk pisau atau parang yang dibuatnya.


-         Jabata neng Daniang (Tuhan sang pemilik alam semesta), ini adalah nama gelar yang disematkan kepada Tuhan karena IA pemilik Dunia ini. Nama gelar ini sepadan dengan sebutanYHWH Sabaoth (Tuhan semesta Alam) pada ajaran agama Kristen dan Yahudi.


-         Jabata Neng Pajaji (Tuhan Sang Penjadi) , ini adalah nama gelar yang disematkan kepada Tuhan karena IA menciptakan segala sesuatu secara ex Nihilo (penciptaan dari ketiadaan).  Nama gelar ini sepadan dengan Elohim pada ajaran agama Kristen dan Yahudi.


-         Jabata Neng Panitah (Tuhan sang pem-firman), ini adalah nama gelar yang disematkan kepada Tuhan ketika IA berfirman untuk memberi perintah baik pada saat penciptaan maupun perintah untuk memberikan peraturan pada manusia.


-         Jabata Neng Panampa (Tuhan sang penempa), ini adalah nama gelar yang disematkan kepada Tuhan karena IA membentuk  suatu ciptaannya dengan menggunakan sesuatu yang telah ada.


-         Jabata Neng Pangedokng (Tuhan sang Pengamat), ini adalah nama gelar yang disematkan kepada Tuhan ketika IA melakukan pengamatan atas seluruh hasil ciptaan-NYA dan pengamatan-NYA terhadap manusia.


-         Jabata Neng Pangingu (Tuhan sang pemelihara dan pelindung), ini adalah nama gelar yang disematkan kepada Tuhan ketika IA melakukan pemeliharaan dan melindungi semua ciptaan-NYA. Nama gelar ini sepadan dengan sebutanYHWH Rohi  (Tuhan Gembalaku) dan sebutanYHWH Shalom (Tuhan itu keselamatan)  pada ajaran agama Kristen dan Yahudi.


-         Jabata Neng Pangorok (Tuhan Sang pemulih dan penyuci), ini adalah nama gelar yang disematkan kepada Tuhan ketika IA memperbaiki dan membersihkan  seluruh alam ciptaannya dari kerusakan. Nama gelar ini sepadan dengan sebutanYHWH Rapha (Tuhan yang menyembuhkan) pada ajaran agama Kristen dan Yahudi.


-         Jabata neng Taratatn (Tuhan sang Penyegar), ini adalah nama gelar yang disematkan kepada Tuhan karena IA memberi kesegaran jasmani dan rohani.


-         Jabata neng  Amikng Pamijar (Tuhan sang pemberi napas), ini adalah nama gelar yang disematkan kepada Tuhan karena IA telah memberikan energi dan meniupkan nafas hidup kepada semua ciptaan-NYA. Nama gelar ini sepadan dengan sebutanYHWH Jreh (Tuhan Yang Menyediakan) pada ajaran agama Kristen dan Yahudi.


-         Jabata Neng Satapak (Tuhan Sang Penapak), ini adalah nama gelar yang disematkan kepada Tuhan karena IA telah turun dari Sabayatn (Surga) untuk menapaki (menyentuhkan kaki)  datang ke alam dunia ciptaannya. Dalam hal ini adalah sosok Jabata Ahar (Tuhan anak / Eloh putra) yang tidak lain adalah sosok Yesus Kristus pada agama Kristen.

 

2.  Sabayatn Nama Surga Agama Adat Dayak Kalbar Barat Berasal Dari Bahasa Ibrani

          Pada ajaran agama adat Dayak Kalbar bagian barat, Surga disebut SABAYATN (bagi anda yang tidak bisa mengikuti logat Dayak, baca saja: Sabayan). Sebutan ini berasal dari tiga buah kata Ibrani, tepatnya berasal dari kata SYAMAYIM yang bearti ALAM SURGA dan dari kata BANEI yang bearti UMAT atau ANAK-ANAK TUHAN serta dari kata YANA yang merupakan bentuk dari kata JANA yang bearti TUHAN MENGGABUNGKAN. Dari gabungan kata SYAMAYIM BANEI YANA ini kemudian disingkat menjadi SYABAYAN. Selanjutnya pelafalan kata SYABAYAN disesuaikan dengan lidah orang Dayak, sehingga diluweskan menjadi SABAYAN atau SABAYATN. Jadi arti lengkap dari sebutan SABAYAN atau SABAYATN adalah “alam tempat umat Tuhan akan dikumpulkan”.


3.   Kisah Penciptaan Dunia

Kisah penciptaannya alam semesta dan isinya serta penciptaan planet bumi dan manusia pada ajaran agama adat Dayak Kalbar bagian barat sangat kompatibel (Selaras / Nyambung) dengan kisah penciptaan di dalam kitab Kejadian Kristen dan Yahudi, daripada dengan kisah penciptaan pada agama hindu. Satu-satunya perbedaan kisah penciptaan agama adat Dayak Kalbar bagian barat dengan kisah penciptaan pada agama Kristen dan Yahudi adalah pada kisah penciptaan tentang makhluk hidup bergerak baik makhluk manusia maupun makhluk hewan, dimana pada kisah penciptaan menurut ajaran agama adat Dayak bagian barat diungkapkan secara jujur dan sangat vulgar menyebutkan bahwa penciptaan hewan dan manusia adalah melalui jalan evolusi.


Kisah penciptaan menurut agama adat Dayak Kalbar bagian barat ada dua bagian. Bagian pertama mengisahkan penciptaan alam semesta melalui peristiwa bigbang yang terjadi pada ruang alam Pauh Janggi, yang didalam kitab suci agama Yahudi dan Kristen disebut dengan nama Tehom (Samudra Raya), yang tak lain adalah ruang-waktu rumah multiverse  menurut sebutan dalam dunia sains (Ilmu Pengetahuan), khususnya sains astronomi dan fisika quantum beserta turunannya.


Kemudian bagian yang kedua, menceritakan tentang penciptaan manusia, dengan menyebutkan bahwa manusia yang tercipta dari bahan tanah bapopog (bersaripati) tersebut merupakan hasil sebuah proses evolusi, yang bermula dari penciptaannya yang berasal dari materi (bahan) tanah bapopog (bersaripati) sampai menjadi Unteg (kera besar) dan terakhir menjadi manusia awal yang keberadaannya menempati sebuah tembawang (Taman bebuahan). Untuk dapat memahami tentang kisah penciptaan dunia dan isinya menurut agama adat Dayak Kalbar Barat, anda dapat membacanya disini!


4.  Bentuk Doa (Pamang)

Doa upacara keagamaan pada agama Adat Dayak Kalbar umumnya berbentuk doa litani.


5.  Adat Sunat (Babalak)

          Selain itu, beberapa bukti yang memperkuat alasan bahwa agama adat Dayak merupakan turunan agama Israel kuno adalah adanya adat babalak. Adat babalak dalam agama adat Dayak Kalbar bagian barat adalah adat khitan atau sunatan yang diwajibkan oleh agama adat Dayak. Pada jaman dahulu, ketika prosesi sunat dilakukan seluruh kulub kelamin pria di buang, namun didalam perjalanannya karena disebabkan oleh sesuatu hal, semisal disebabkan oleh adanya anak-anak yang akan disunat tersebut memiliki riwayat penyakit Hemofilia (Darah sukar beku) maka sejak itu, pada waktu penyunatan tidak lagi memotong seluruh kulub kelamin, melainkan hanya mengiris atau menoreh sebagian kecil dari kulit kulub kelamin.


          Pada saat ritual adat Babalak (Sunat) dilakukan baik pada agama adat Dayak Kalbar bagian barat maupun pada agama Yahudi, sama-sama mempersembahkan hewan kurban berupa burung. Jika pada agama Israel hewan yang dipersembahan pada saat upacara sunat dilakukan menggunakan burung Kolibri, maka pada sunat berdasarkan agama adat Dayak Kalbar barat, hewan yang dipersembahkan adalah menggunakan burung Enggang, hal ini dilakukan mengingat di kalimantan tidak memiliki burung Kolibri.


          Sampai pada abad ke-15 Masehi, burung enggang yang digunakan adalah burung enggang hidup, tetapi karena burung enggang sudah cukup sulit untuk didapatkan, maka setelah abad ke-15 masehi, masyarakat Dayak kemudian menggunakan burung enggang yang telah dimumifikasi (diawetkan / dikeringkan), tentu saja setiap keluarga orang Dayak masa kini akan menggunakan mumi burung enggang yang dimiliki oleh masing-masing kampung dimana mereka tinggal ketika mereka melakukan adat Babalak (Sunat) kepada anak-anak mereka.


6.  Upacara Persembahan Kurban

          Ritual persembahan agama adat Dayak sejatinya adalah kelanjutan dari tradisi Nabi Abraham yaitu ritual “Persembahan Kurban Bakaran” kepada Allah. Pada ritual nabi Abraham, hewan kurban bakaran yang sering dipersembahkan adalah hewan-hewan herbivora seperti domba dan kambing, hal itu dilakukan mengingat Nabi Abraham adalah seorang peternak dan penggembala hewan. Dan yang lain yang sering di persembahkan oleh orang Israel dahulu adalah sereal (gandum).


          Namun karena sebagian besar orang Dayak dahulu adalah petani padi dan pemelihara hewan babi atau ayam, maka ritual persembahan kurbannya menggunakan ayam dan babi serta beras bersama produk olahan beras seperti Tumpi (Kue), Bontokng (Lontong) dan Lemang.  Karena domba atau kambing belum dikembangbiakkan di kalimantan barat, maka diganti dengan hewan peliharaan yang ada.


          Pada agama adat Dayak Kalbar bagian barat ada dua rangkaian doa utama yang harus dilakukan pada saat titual persembahan kurban. Doa pertama adalah pamang mantag (doa mentah), yaitu doa yang didaraskan sebelum hewan kurban dipotong. Setelah itu dilakukan pamang mansak (Doa masak / matang) yaitu doa yang didaraskan setelah hewan dipotong dan dibersihkan bulu-bulunya dengan cara dibakar. Dimasa sekarang karena umat agama adat Dayak Kalbar bagian barat, ketika melakukan ritual doa tidak harus didalam kompleks Padagi (Mezbah), maka tempat untuk menaruh semua perangkat doa pada Pahar (Piring Berkaki).


7.  Upacara Pashover (Balala)

          Adat balala adalah salahsatu adat warisan agama adat Dayak atau agama Jubata. Balala’ berasal dari kata “ba” yaitu imbuhan kata yang setara dengan imbuhan awalan “ber” didalam bahasa indonesia, kemudian kata “lala”. Kata “lala” sendiri terbentuk dari kata tuLA’ yang bearti “tolak” dan katabaLAyang bearti “wabah atau mara bahaya”. Jadi “balala” bearti “bertolak-bala”. Upacara adat ini dilakukan dengan tujuan untuk membendung segala macam bala, baik berupa wabah penyakit  maupun mara bahaya yang mengancam dan untuk meminta pemulihan dalam rangka menghilangkan semua kesalahan laku yang mungkin terjadi selama setahun berselang.

 

Selain itu, adat Balala juga dilakukan untuk menghindari suatu jenis penyakit biologis tertentu yang diakibatkan karena memakan suatu makanan tertentu. Maka individu yang bersangkutan wajib melakukan Lala’ yaitu dengan cara berpantangan atau berpuasa terhadap makanan yang dipantangkan itu. Karena disebabkan oleh hal itu, maka kata lala’ seringkali juga dimaknai sebagai kegiatan berpuasa atau berpantangan. Adapun pantangan yang tidak boleh dilakukan selama masa Balala’ antara lain; tidak boleh bekerja secara fisik, tidak boleh memetik tangkai baik ranting maupun daun, ini dinamakan ngalayu. Tidak boleh makan sayuran segar (dalam arti yang baru dipetik) dan tidak boleh makan daging berdarah panas.


Upacara Balala dalam agama adat Dayak dilaksanakan oleh penduduk sekampung. Pada hari balala’ tersebut penduduk harus “batamakng”  yang artinya “bermukim” ini mengandung maksud agar seluruh penduduk tanpa terkecuali pada hari balala’ tersebut harus bermukim atau tinggal didalam rumah, mereka dilarang bekerja dan bepergian keluar rumah dan bersuara nyaring sehari penuh. Meskipun begitu mengkonsumsi makanan dan minuman tidak dilarang.  Pada waktu sore menjelang malam, dilakukan prosesi “bacalek” atau dalam bahasa indonesianya disebut “bercelik” yaitu prosesi “berbuka dari keadaan Batamakng (bermukim / tinggal)” didalam rumah seharian.


          Prosesi bacalek (Bercelik) ini dilakukan dengan pengolesan dahi setiap warga kampung dengan menggunakan air sepah para Pangao (Imam). Prosesi “penandaan kening” ini dimulai dari para imam yang akan melakukannya, kemudian kepala kampung disusul dengan keluarganya, lalu para imam mengelilingi rumah penduduk untuk mencelikkan seluruh warga kampung. Dahulu sewaktu orang Dayak masih seluruhnya tinggal didalam rumah panjang, yang dioles pada kening pada waktu prosesi bacalek (Bercelik) adalah darah ayam.


          Namun ketika orang Dayak mulai tinggal berjauhan karena tinggal didalam rumah-rumah terpisah, maka lama-kelamaan darah ayam yang digunakan menjadi beku, sehingga sulit digunakan lagi. Agar prosesi bacalek (Bercelik) tetap berjalan lancar, maka bahan Calek (Celikan) yang berupa darah ayam tadi di ganti dengan menggunakan air sepah para imam, adapun alasannya adalah karena air sepah tidak lekas beku seperti darah, apabila bersentuhan dengan udara terlalu lama, maka hal ini memungkinkan bagi para imam yang berkeliling untuk mencelik / membuka “lala” tersebut, tidak harus tergesa-gesa di jalan.


Karena upacara Balala (Pashover) ini mirif dengan upacara nyepi agama hindu, maka oleh para peneliti terdahulu, agama adat Dayak atau agama Jubata diklaim benar-benar agama hindu, meskipun konsepnya berbeda. Sejatinya upacara balala’ dalam agama adat Dayak atau agama Jubata adalah upacara untuk memperingati tolak bala yang dilakukan oleh bangsa Israel ketika masih diperbudak di mesir dahulu atau dengan kata lain upacara balala adalah peringatan paskah (Passhover) Israel kuno yang dilakukan oleh orang Dayak.


Sewaktu Nabi musa berjuang membebaskan bangsa Israel dari mesir dahulu. Tuhan mendatangkan “tulah atau bala” terhadap seluruh penghuni mesir. Karena hal itu, agar kaum Israel tidak terkena tulah tersebut, maka Tuhan memerintahkan orang Israel agar menandai pintu rumah mereka dengan cara mengoles pintu rumahnya dengan darah domba. Pemberian darah pada pintu setiap rumah israel itulah alasan yang mendasari adanya prosesi pengolesan “air sepah imam” pada dahi setiap warga. Dahi adalah simbol dari pintu entitas pikiran atau otak, yang mengendalikan jiwa dan tubuh manusia. Pengolesan dahi memiliki makna bahwa “rumah jiwa” yaitu badan setiap orang yang diolesi, sudah ditandai agar tulah atau bala tidak akan menghampirinya, sehingga orang-orang yang diolesi tersebut tetap sehat jiwa dan raganya. Sejarah “paskah atau balala” Israel kuno bersumber dari kisah Alkitab keluaran berikut:


Keluaran 12:11-14

12:11 Dan beginilah kamu memakannya: pinggangmu berikat, kasut pada kakimu   dan tongkat di tanganmu; buru-burulah   kamu memakannya; itulah Paskah   bagi TUHAN. 12:12 Sebab pada malam ini Aku akan menjalani   tanah Mesir, dan semua anak sulung,  dari anak manusia sampai anak binatang, akan Kubunuh,  dan kepada semua dewa di Mesir akan Kujatuhkan hukuman, Akulah, TUHAN.  12:13 Dan darah itu menjadi tanda bagimu pada rumah-rumah di mana kamu tinggal: Apabila Aku melihat darah itu, maka Aku akan lewat   dari pada kamu. Jadi tidak akan ada tulah kemusnahan di tengah-tengah kamu, apabila Aku menghukum tanah Mesir.   12:14 Hari ini akan menjadi hari peringatan  bagimu. Kamu harus merayakannya sebagai hari raya bagi TUHAN turun-temurun. Kamu harus merayakannya sebagai ketetapan   untuk selamanya .


Keluaran 12:23                                  

12:23 Dan TUHAN akan menjalani Mesir untuk menulahinya;   apabila Ia melihat darah   pada ambang atas dan pada kedua tiang pintu itu, maka TUHAN akan melewati  pintu itu dan tidak membiarkan pemusnah  masuk ke dalam rumahmu untuk menulahi.


8.  Mezbah (Padagi)

          Agama Jabata (Tuhan) atau agama adat Dayak Kalbar bagian barat mempunya tempat ibadah untuk persembahan yang dinamai dengan sebutan padagi yaitu rangkaian batu mezbah yang sama fungsinya dengan mezbah Nabi Abraham di timur tengah dahulu.

Padagi (Mezbah) Nabi Nuh berbentuk tumpukan batu


          Pada umumnya Padagi (Mezbah) digunakan untuk tempat persembahan korban. Padagi (Mezbah) juga bisa diartikan sebagai sebuah peringatan, artinya: untuk mengingatkan kembali pada suatu pengalaman pertemuan dengan Tuhan yang luar biasa. Padagi (Mezbah)  menandai tempat-tempat penyebaran para nenek moyang bangsa Dayak.

Padagi (Mezbah) agama Karimawatn Dayak Banyadu berbentuk tanduk batu, yang terdapat di puncak gunung Jalo kecamatan Teriak Kabupaten Bengkayang Kal-Bar


          Padagi (Mezbah) Dayak harus dibuat dengan menggunakan batu alam dengan bentuk aslinya, tanpa di bentuk atau ditatah dengan menggunakan peralatan, disamping itu batu-batu tersebut juga tidak boleh dicuci, seluruh kotoran yang berasal dari lumut, tanah dan pasir yang menempel harus tetap dibiarkan. Ini sama dengan apa yang dilakukan oleh bangsa Israel kuno seperti yang tercatat didalam Alkitab berikut ini;


Keluaran 20:24-25

20:24 Kaubuatlah bagi-Ku mezbah  dari tanah dan persembahkanlah di atasnya korban bakaranmu  dan korban keselamatanmu, kambing dombamu dan lembu sapimu. Pada setiap tempat yang Kutentukan menjadi tempat peringatan bagi nama-Ku,  Aku akan datang kepadamu dan memberkati   engkau. 20:25 Tetapi jika engkau membuat bagi-Ku mezbah dari batu, maka jangan engkau mendirikannya dari batu pahat, sebab apabila engkau mengerjakannya dengan beliung,   maka engkau melanggar kekudusannya.

 

Ulangan 27:5-6

27:5 Juga haruslah kaudirikan di sana mezbah  bagi TUHAN, Allahmu, suatu mezbah dari batu yang tidak boleh kau olah dengan perkakas  besi. 27:6 Dari batu yang tidak dipahat haruslah kaudirikan mezbah TUHAN, Allahmu, itu dan di atasnya haruslah kaupersembahkan korban bakaran kepada TUHAN, Allahmu.

 

          Padagi (Mezbah) Dayak tidak boleh dibangun ditebing atau dipinggir dan di tengah perairan, baik dipinggir sungai, danau, kolam maupun dipinggir laut. Padagi (Mezbah) Dayak yang dibangun pertama kali umumnya berada dipuncak bukit dan dipuncak gunung. Ini sama dengan Padagi (Mezbah) orang Israel kuno yang terdapat diatas gunung sinai dan gunung lainnya. Jika batu pada Padagi (Mezbah) Dayak dibuat bertumpuk, maka penumpukannya tidak boleh dibuat bertingkat seperti pada Punden Berundak (Padagi agama Pagan). Dan jika Padagi (Mezbah) Dayak dibuat dari batu tunggal yang berukuran besar, maka batu yang dipilih adalah batu yang secara asal, permukaannya telah berbentuk datar. Jika Padagi (Mezbah) Dayak dibuat langsung diatas tanah tanpa menggunakan alas (lantai) tumpukan batu, maka pada seluruh sisinya atau kearah empat penjuru mata angin, harus ditancap batu alam yang secara asal berbentuk memanjang, sehingga ketika batu-batu tersebut telah ditancap ke dalam tanah, batu-batu tersebut akan terlihat seperti tanduk. Batu-batu yang berdiri seperti tanduk ini menjadi simbol kekuasaan Jabata (Tuhan), ini juga sama dengan mezbah-mezbah orang Israel kuno.

 

1 Raja-raja 1:50-51

50 Takutlah Adonia kepada Salomo, sebab itu Ia segera pergi memegang tanduk-tanduk mezbah. 51 Lalu diberitahukanlah kepada Salomo: “ternyata Adonia takut kepada raja Salomo, dan ia telah memegang tanduk-tanduk mezbah, serta berkata: Biarlah raja Salomo lebih dahulu bersumpah mengenai aku, bahwa ia takkan membunuh hambanya ini dengan pedang”.

 

Pengaruh Agama Hindu Pada Agama Dayak Kalbar Bagian Barat

Jujur memang tidak dapat dibantah bahwa ketika agama hindu datang ke Kalimantan Barat bagian barat yang dibawa oleh para penyebar agama Hindu dari pulau Jawa sekitar abad 10 M dahulu. Ajaran agama Hindu sempat mempengaruhi para tokoh masyarakat dan para petinggi kerajaan Dayak, hal ini dapat dilihat dari beberapa raja Dayak yang namanya berasal dari bahasa Sanskerta. sementara rakyat jelata Dayak tidak terpengaruh sama sekali, hal ini disebabkan oleh “konsep-konsep dasar” agama adat Dayak atau agama Jubata yang “sangat berbeda” dengan ajaran agama Hindu. Kenapa para petinggi kerajaan Dayak kuno begitu mudah terpengaruh dengan kebudayaan luar? Hal ini tentu saja tidak lepas dari sifat manusia kaum bangsawan yang selalu merasa berhak “sebagai yang utama atau yang pertama” untuk dapat mencoba atau menerima hal-hal baru yang datang langsung kepada mereka melalui hubungannya dengan kebudayaan-kebudayaan diluar kalimantan, sebelum hal-hal baru tersebut diterima oleh kaum rakyat jelata.


Fenomena kaum bangsawan yang mudah menerima pengaruh dari luar, nampaknya tidak hanya terjadi pada bangsawan Dayak, karena pada kebudayaan di pulau lain di nusantara ini, begitu juga adanya. Seperti pada penyebaran agama hindu di pulau jawa dan bahkan juga pada kerajaan-kerajaan Dayak di pedalaman umumnya dimulai dari keraton.


Agama Hindu masuk di Kalimantan dikuatkan dengan bukti-bukti sejarah yang ditemukan di berbagai tempat. Di Kalimantan Barat, ditemukan tulisan teks bahasa sangskerta yakni batu pahat di batu pahit (dekat sungai Tekarek anak sungai Kapuas) dibuat akhir abad ke 4 (380-420 M). Benda yang disebut Lingga (Phalus) dan patung Ciwa (Putung Kempat) di Nanga Sepauk kabupaten Sintang. Meski begitu, pengaruh agama Hindu tidak serta-merta diterima oleh orang Dayak, hanya beberapa subsuku Dayak saja yang dapat menerima ajaran Hindu awal tersebut, terutama yang daerahnya tempat kedatangan secara langsung dari para pembawa pengaruh agama Hindu tersebut.


Pengaruh agama Hindu pada agama Dayak Kalbar barat, yang masuk pada abad 10 Masehi dahulu dapat dilihat pada tambahan perangkat ritual dan sesajiannya serta pada benda-benda yang ditambahkan pada kompleks tempat sucinya yaitu dilingkungan kompleks Padagi (Mezbah) yang meniru kompleks kuil Hindu. Jika sebelum pengaruh agama hindu masuk, sesaji yang perbolehkan untuk dipersembahkan pada ritual agama adat Dayak adalah hanya beras ketan dan beras biasa yang dimakan sehari-hari dan produk olahannya yang berupa lemang dan tumpi (Kue), serta hewan ayam dan babi.


Namun ketika pengaruh agama Hindu datang, perangkat ritual dan sesaji persembahannya bertambah, dimana pada perangkat Roba Palantar (Altar sesajian) disertai dengan sebuah lampu pelita, lalu sebuah koin atau potongan besi sebagai Pangkaras (Pengeras Semangat) yang diletakan didalam piring beras ketan, Mandoh (Periuk Dayak) yang didalamnya dimasukan Latok (Parang Bengkok / Mandau Bengkok) atau Sunag (Pisau Dayak / Anak Latok). lalu sebutir telur ayam kampung yang diletakan pada atas mangkuk beras ketan. Lalu semangkuk air yang didalamnya diberi potongan Antamu (Temu Lawak / Curcuma Zanthorhiza) dan kulit kering buah Langir (Albizia Saponaria) serta bunga selasih (Ocimum Basilicium) kering.


Lalu secangkir Urap (paduan Makanan), yaitu paduan makanan yang berasal dari irisan kecil bagian putih dan bagian kuning telur rebus ayam kampung yang dicampur dengan nasi biasa, nasi lemang, garam dan irisan Tumpi (Kue) dan irisan kecil daging hewan kurban terutama irisan hati dan bagian-bagian tertentu dari hewan kurban. Kemudian secangkir Baras Sasah (Beras Terbasahi) yang dibasahi dengan minyak goreng (Baras Binyak) atau dibasahi dengan sedikit air (Baras Banyu). Kemudian pada saat Pangao (Imam) mendaraskan Pamang (Doa), terlebih dahulu diawali dengan pemukulan Pabaneg (Gong Kecil) atau Ushig Baliukng (Kapak Beliung Khas Dayak) sebayak empat belas kali pukulan, dimana tujuh pukulan bagian pertama dengan tempo irama yang sangat cepat, kemudian dilanjutkan dengan tujuh pukulan bagian kedua dengan tempo irama lambat.


Selain perangkat doa atau ritualnya, kompleks tempat suci yang disebut Padagi (Mezbah) juga mendapat pengaruh dari agama Hindu. Sebelumnya, selain batu-batu Padagi (Mezbah), pada kompleks Padagi (Mezbah) tidak diperbolehkan menanam bunga, bambu ataupun tumbuhan lain. Tidak hanya itu, Pantak (Patung / Totem) berbentuk apapun serta benda-benda gerabah, tempayan, mangkuk dan lain-lainnya juga tidak diperbolehkan untuk diletakan didalam kompleks Padagi (Mezbah). Namun sejak pengaruh agama Hindu datang, kompleks Padagi (Mezbah) mulai dihiasi dengan beragam tumbuhan bunga tertentu dan tumbuhan bambu tertentu dan disitu juga diletakan beberapa pantak (Patung / Totem) nenek moyang serta benda-benda lainnya. Setelah mendapat pengaruh dari agama Hindu inilah kompleks Padagi (Mezbah) mulai disebut dengan nama “Panyugu”.


          Bagi beberapa orang akan menganganggap bahwa batu-batu Padagi (Mezbah) yang ditancap pada gundukan tanah yang dibuat datar, disebut sebagai simbol lingga dan yoni yaitu simbol penyembahan terhadap Dewa Siwa. Baik pada Padagi (Mezbah) yang dibangun didataran rendah maupun pada Padagi (Mezbah) yang dibangun diatas bukit atau diatas gunung. Tentu saja hal itu terjadi karena ketidak-mengertian mereka, mengingat bahwa kebiasaan orang Hindu asli yang umumnya meletakkan bangunan lingga dan yoni didekat tepi air, baik di tepi sungai, tepi kolam, ditepi danau dan ditepi laut. Didaratan india negeri asal muasal ajaran Hindu, lingga dan yoni seluruhnya dibangun ditebing atau ditengah sungai atau danau dan laut, kenapa bisa demikian?


          Tadinya, mayoritas para peneliti dan ahli mengklaim bahwa Bangunan Lingga dan Yoni merupakan simbol alat kelamin pria dan wanita, yaitu sebagai wadah pemujaan kepada Dewa Siwa. Namun dimasa sekarang para ahli telah sepakat bahwa bangunan lingga dan yoni bukanlah simbol kelamin manusia, melainkan bangunan yang didirikan oleh orang India kuno untuk meniru bangunan reaktor nuklir para Dewa (Alien) bangsa India kuno. Yaitu para makluk Alien yang datang ke bumi dan tinggal diantara orang India kuno.


Di negeri India, para Dewa (Alien) itu membangun reaktor nuklir yang didirikan persis didekat perairan. Hal itu dilakukan agar pengambilan bahan pendingin (air) reaktor tersebut sangat dekat. Berdasarkan penelitian terbaru bahwa hancurnya kota Mohenjo Daro di India kuno adalah kehancuran yang diakibatkan oleh bom nuklir pada waktu peperangan para Dewa (Alien) India kuno seperti yang diceritakan pada kisah Ramayana dan Mahabarata. Jadi bangunan lingga dan yoni atau tiruan reaktor nuklir para Dewa (Alien) India tersebut harusnya diletakkan didekat perairan, bukan di didaratan yang jauh dari tebing perairan dan bukan juga dibangun di puncak bukit atau dipuncak gunung.


Selain mempengaruhi perangkat ritual serta penampilan kompleks Padagi (Mezbah), pengaruh agama Hindu yang sempat dilakukan oleh orang Dayak Kalbar bagian barat dahulu adalah melakukan adat pembakaran mayat. Adat ini dilakukan oleh orang Dayak selama kurang-lebih 600 tahun. Adat ini dihentikan pada sekitar 1700 M atas dasar perintah ketua adat yang bernama neng Matas (Kakek Matas). Banyak pertimbangan yang dipikirkan oleh beliau agar adat ini dihentikan dan diganti dengan cara menguburkan mayat ke dalam tanah kembali seperti dimasa sebelum pengaruh agama Hindu datang. Jadi adat Dayak Kalbar kembali kepada tata cara penguburan telah dilakukan selama kurang-lebih 300-400 tahun belakangan ini. Untuk mengetahui bagaimana cara pembakaran mayat pada orang Dayak Kalbar bagian barat jaman dahulu, anda bisa membacanya disini!

 

 

0 komentar :

Posting Komentar

 

Translate

Label

Adat (5) Bigbang (14) Budaya (5) Dayak (10) Kerajaan Dayak (11) Multiverse (3)