Agama diartikan sebagai sebuah sistem
yang mengatur kepercayaan dan peribadatan kepada Tuhan yang mahakuasa serta
tata kaidah yang berhubungan dengan budaya dan pandangan dunia yang
menghubungkan manusia dengan tatanan kehidupan. Agama adat adalah agama yang
berkembang pada suatu suku bangsa yang berasal dari kebiasaan nenek moyang
sejak awal hingga kepada anak-cucu keturunannya yang masih mengamalkannya.
Agama adat Dayak kalbar bagian barat
adalah agama asal yang lahir dikalangan bangsa Dayak khususnya dari rumpun Dayak
Bidayuhik dan dari rumpun Dayak Kanayatnik. Dimasa sekarang beberapa kelompok
sesepuh Dayak, terutama dari Dayak Kanayatn berusaha memberikan nama khusus
untuk menamai agama adat ini. Mereka menamai agama adat ini dengan nama “agama Karimawatn”.
Pada dasarnya agama adat Dayak Kalbar
bagian barat ini merupakan agama monoteisme yaitu agama yang percaya kepada satu
sosok Tuhan semesta alam, yang asli lahir dan tumbuh didalam kebudayaan Dayak. Untuk
kasus Kalimantan Barat bagian barat, jika ditilik dari ajaran terhadap
pemahaman kepada yang tertinggi yaitu Tuhan yang maha esa dan ritual serta
perangkat ritualnya, maka dapat dipastikan bahwa agama ini merupakan pembauran
dari tiga agama, yaitu berasal dari agama asal bangsa Dayak yang sama dengan
agama asal bangsa Dayak diseluruh pelosok pulau Dayak (Borneo) sebelum
masing-masing darinya dipengaruhi oleh ajaran agama asing, kemudian mendapat “banyak” pengaruh yang berasal dari
agama Yahudi dan “sebagian kecil”
pengaruh yang berasal dari agama Hindu.
Adanya pembauran ini dapat dilihat
secara langsung pada Tambak (Nisan)
kuburan di kampung-kampung dipedalaman masa kini. Dimana pada tiap kuburan
orang Dayak dipedalaman pasti terdapat tiga buahTambak (Nisan) dengan bentuk yang berbeda. Tambak (Nisan) pertama
berbentuk rumah kecil yang merupakan reflika sebuah Lungun (Peti Mati Gantung), berfungsi sebagai simbol dari adat Sandong
(Sandung) atau kuburan pada tiang gantung, yaitu cara penguburan yang
dilakukan oleh orang Dayak baik yang berasal dari rumpun Dayak Bidayuhik, rumpun
Dayak Kanayatnik maupun dari rumpun Dayak lainnya diseluruh Kalimantan sebelum
pengaruh agama Yahudi datang.
Kemudian sebuah Tambak (Nisan) yang berbentuk tegak lurus, yang berasal dari
pengaruh agama Yahudi. Kemudian Tambak
(Nisan) yang berbentuk salib, ini jelas merupakan Tambak (Nisan) yang berasal dari pengaruh agama Kristen. Sedangkan
pengaruh yang berasal dari agama Hindu adalah adanya pembawaan obor yang
dinyalakan dengan api yang dibawa oleh para penggali kuburan dan dibawa juga
oleh rombongan pengantar jenazah ketika pergi ke kuburan.
Sebelum mendapat banyak pengaruh dari
agama Yahudi dan sedikit pengaruh dari agama Hindu, sebutan Tuhan didalam agama
adat Dayak Kalbar bagian barat disebut Neng
Daniakng (Sang Pemilik Semesta Alam) atau Neng Panampa (Sang Penempa / Sang Pembentuk / Sang Pencipta), yang
pada masyarakat Dayak Bidayuhik timur, yaitu pada Dayak Jangkang, Dayak
Pangkodatn, Dayak Ribun, Dayak Gorai, Dayak Simpakng dan Dayak lainnya disebut Ponompa (Sang Penempa / Sang Pembentuk /
Sang Pencipta). Sementara imamnya disebut Pamaliatn dan setiap upacara ritual keagamaannya disebut upacara
Baliatn. Yang mana upacara Baliatn sendiri terdiri lebih dari satu jenis.
Disamping itu, secara asal, agama ini tidak mempunyai Padagi (Mezbah). Tempat suci yang disebut Padagi (Mezbah) mulai dibuat setelah agama adat Dayak Kalbar bagian
barat mendapat pengaruh dari agama Yahudi kuno.
Adalah Neneng Galeber menurut versi
orang Banyadu (Dayak Banyuke) dan orang Bakati (Dayak Rara) atau Enek Guleber
menurut versi orang Bananag
(Dayak Kanayatn) yang tidak lain merupakan seorang Rasul (Penyebar Agama) agama Yahudi.
Beliau oleh orang tuanya diberi nama Eber.
Nama Eber adalah satu nama yang
sangat umum dipakai oleh orang-orang keturunan Israel untuk menamai anak-anak
mereka. Oleh orang Dayak dimasa kini, untuk menyebutkan masa-masa awal ketika Neng Eber tinggal didalam kota Bawakng
Basawag, masa itu disebut “jaman Eber”
yang diungkapkan dengan menggunakan bahasa Sanskerta Kala Eber yang bearti “jaman atau masa atau waktu Eber”. Lama-kelamaan
sebutan Kalaeber diucapkan menjadi Kaleber dan akhirnya diluweskan menjadi Galeber sesuai dengan lidah masing-masing orang Dayak.
Beliau dibimbing oleh Tuhan yang "ngotot” mengharuskan dengan “tidak boleh tidak" agar beliau dan
keluarganya segera meninggalkan Banua
Asog menurut versi orang Banyadu
(Dayak Banyuke) atau Banoe Ayog menurut
versi orang Bakati (Dayak Banyuke) atau
Binua Ayag menurut versi orang Banana (Dayak Kanayatn) atau negeri besar menurut terjemahannya kedalam bahasa Indonesia, negeri yang dimaksudkan
itu tidak lain adalah daratan asia
khususnya negeri afganistan dan Pakistan atau India bagian barat di Asia
selatan.
Beliau diperintahkan untuk mendatangi Gunung Bawakng yang merupakan lokasi
dimana kota Bawakng Basawag yang
menjadi ibukota Kerajaan Bawakng
(Tamaratos) berada. Ini adalah kerajaan Dayak yang sangat besar dan masyur
di jaman kuno, yang ada dibagian barat pulau Dayak (Borneo). Karena kemasyurannya menyebabkan malaikat Tuhan
memerintahkan agar keluarga Galeber bersama kerabatnya mendatang negeri Bawakng (Tamaratos), dengan tujuan agar beliau
menyebarkan dasar-dasar agama Yahudi pada orang Dayak penduduk kerajaan Bawakng (Tamaratos).
Peristiwa pengasingan dan pembuangan
orang-orang Yahudi dari kerajaan Yehuda kuno ke Babilonia oleh
Nebukadnezar II pada tahun 586 SM yang telah berlalu selama kurang-lebih 2600
tahun yang lalu. Setelah tinggal di babilonia beberapa tahun, orang yahudi
bergerak meninggalkan babilonia dan berpencar ke segala arah. Orang-orang
Yahudi yang meninggalkan Babilonia inilah yang disebut “sepuluh suku Israel yang hilang” itu. Mereka ada yang bergerak
menuju utara ke eropa dan rusia, yang bergerak ke selatan, mereka menuju ke
Yaman hingga menyeberang ke Afrika timur, Sebagian lagi menuju ke arah timur yaitu
ke negeri China dan Jepang dan sebagian menuju ke arah tenggara babilonia hingga
membentuk bangsa Pahstun yang
mendiami tanah Afganistan dan pakistan.
Setelah lebih dari seribu tahun
lamanya orang-orang keturunan Israel tinggal di Afganistan dan Pakistan dengan
membentuk kebudayaan baru, kemudian beberapa dari keturunan mereka meninggalkan
negerinya. Dari pakistan timur atau India barat mereka pergi berlayar mengarungi
samudra Hindia dengan menggunakan kapal layar yang dibuat dari banyak batang bambu,
yang di ambil oleh mereka dari hutan pakistan timur atau dari hutan India barat
yang kemudian dirakit sedemikian rupa.
Adapun alasan kenapa bambu dipilih
untuk membangun kapal mereka adalah karena bambu lebih kuat, elastis, memiliki
daya tahan yang cukup lama dan yang paling penting adalah karena bambu memiliki
daya apung yang lebih baik mengingat batang bambu adalah tumbuhan yang memiliki
rongga besar. Setelah kapal layar besar mereka telah selesai dibangun, kemudian
mereka menaikinya. Oleh hembusan angin samudra Hindia, kapal layar mereka
bergerak maju. Dengan bimbingan malaikat Tuhan, mereka menuju ke Kalimantan
Barat melalui selat sunda lalu menuju ke arah utara hingga mendarat dipulau Dayak (Borneo) tepatnya di tanah
kabupaten kayong provinsi Kalimantan Barat dimasa sekarang.
Setelah beberapa malam berada di tanah
Kayong, kemudian mereka bergerak menggunakan perahu melalui kawasan Pontianak
sekarang, lalu masuk ke sungai Tenganap (Sungai
Landak) sesampai dimuara sungai Banyuke, mereka berbelok kekiri untuk memasuki
sungai Banyuke melewati tanah Banyadu Kuno. Setelah sampai di kota Banyuke (Desa Samade) yang terletak
dihulu, kemudian mereka melanjutkan perjalanan melalui jalan utama yang
menghubungkan kota Banyuke dan kota Bawakng Basawag, hingga mereka bermalam di
kampung Rara yang terletak dihulu
sungai Sebalo.
Setelah pagi tiba, kemudian mereka melanjutkan
perjalanan menuju kampung Bagu yaitu
nama kuno kota Bengkayang dan
beristirahat serta mandi di Riam Bagu
(riam Budi) yang terletak dibagian barat laut kota Bengkayang dimasa
sekarang. Dahulu kampung Bagu (Bengkayang) masih terletak didekat Riam Bagu (riam Budi), namun sekarang
sisa-sisa warga kampung Bagu kuno pindah
menempati kampung Bagu baru yaitu
kota Bengkayang dimasa sekarang. Umumnya keturunan penduduk asli Bagu
(Bengkayang) menepati sebuah kampung kecil yang terletak dibagian selatan kota
Bengkayang, sejauh satu kilometer dari pusat kota Bengkayang, tepatnya dibagian
timur dari ujung selatan persawahan yang ada di jalan menuju ke kampung Balangko dan bukit panokng (Bukit Jamur).
Setelah beristirahat di tebing Riam Bagu (Riam Budi) mereka bergerak melanjutkan
perjalanan menuju ke kampung Sadag, yaitu
sebuah kampung kuno yang telah ditinggalkan penduduknya karena membangun
kampung baru ditepi jalan raya yang dimasa sekarang dikenal dengan nama kampung
Ketiat. Setelah keluar dari kampung Sadag akhirnya keluarga neneng Galeber
sampai ke kota Bawakng Basawag yang
terletak tepat di Singakng (Lereng / Kaki
Gunung) gunung Bawakng yang terletak dibagian barat laut kota Bengkayang
dimasa sekarang.
Sesampainya dikota Bawakng Basawag, Neneng Galeber langsung
memanjat doa sebagai ucapan syukur karena telah tiba ke tempat tujuan dengan
selamat. Pada awalnya mereka berinteraksi dengan penduduk kota Bawakng Basawag yang berasal dari
orang-orang Bananag (Dayak Kanayatn)
dan menyebarkan faham atau ajaran agama baru tersebut kepada mereka. Setelah itu dilanjutkan kepada penduduk asli kota Bawakng Basawag, yaitu orang-orang Bakati (Dayak Rara). Berkat pancaran aura kecantikan khas wanita
ras Kaukasoid (Kulit Putih) mereka, tepatnya
aura kecantikan putri Neneng Galeber yang bernama Mansero, akhirnya menyebabkan ajaran agama baru yang dibawa oleh mereka
itu berhasil masuk ke lingkungan istana kerajaan Bawakng (Tamaratos) dan mempengaruhi sebagaian besar bangsawan
kerajaan Bawakng (Tamaratos), terutama
setelah raja Rampunutn seorang Dayak
Bakati, yang menjadi penguasa kerajaan Bawakng kala itu jatuh cinta kepada
putri Mansero, hingga raja Rampunutn memutuskan untuk meminang Mansero untuk menjadi permaisurinya.
Pancaran aura kecantikan putri Mansero itulah yang menjadi penyebab kenapa
nama putri Mansero dijadikan sebagai
salah-satu kosakata baru dalam bahasa Dayak yang memiliki arti “berbinar” tersebut. Selain perkawinan
dua orang anak bangsa manusia tersebut, agama dan kebudayaan merekapun juga
ikut bercampur sehingga melahirkan sebuah agama baru yang dikenal sebagai agama
adat Dayak Kalimantan Barat bagian barat, yaitu agama asli yang tetap diamalkan
hingga masa kini.
Bukti-Bukti
Bahwa Agama Adat Dayak Kalbar Bagian Barat Mendapat Pengaruh Dari Agama Israel
Kuno Adalah:
1.
Nama Tuhan Menggunakan Yabata atau Jabata
Entitas Tuhan dalam
agama adat Dayak Kalbar bagian barat pada masa sekarang disebutYabata pada orang Bakati (Dayak
Rara) atau disebut Jabata
pada orang Banyadu (Dayak
Banyuke), orang Bananag (Dayak Kanayatn), orang Bananeg (Dayak
Darit), orang Badamea / Badameo (Dayak Salako), orang Balangin (Dayak
Behe), orang Bakambai (Dayak Meranti), orang Bamag (Dayak Pantu)
dan pada orang Ba’aye (Dayak Tobag / Tobang). Nama Tuhan ini sejatinya
berakar dari nama Tuhan bangsa Israel yang disebut YAHWE atau YAHUWA atau
JAHOVAH (jahowah / Jahowa), yang mendapat tambahan bunyi kata TA.
Didalam struktur tata
bahasa Dayak rumpun Dayak Bidayuhik dan rumpun Dayak Kanayatnik, ketika bunyi kata
TA ditambahkan pada akhir sebuah kata, maka secara langsung bunyi kata TA tersebut
akan mempertegaskan atau memperkuat makna kata yang diikutinya, yang dalam hal
ini bunyi kata TA memiliki makna;Amat, makin, begitu atau
alangkah dan sangat. Selain itu bunyi kata TA juga bermakna “hanya
satu-satunya atau hanya atau cuma atau saja.
Dari nama Tuhan Israel
yang disebut dengan versi YAHUWA setelah mendapat tambahan bunyi kata TA
sehingga menjadi tertulis YAHUWATA,
lama-kelamaan diluweskan agar sesuai dengan lidah orang Dayak Bakati menjadi
YAHUBATA, hingga terakhir menjadi YABATA setelah diluweskan kembali. Dan dari nama
Tuhan Israel yang disebut dengan versi JAHOVAH
(jahowah) setelah mendapat tambahan
bunyi kata TA, sehingga tertulis JAHOVAHTA,
lama-kelamaan diluweskan agar
sesuai dengan lidah orang Dayak sehingga menjadi JAHOBAHTA,
lalu pada suatu saat diluweskan lagi hingga menjadi JABAHTA, dan terakhir diluweskan lagi menjadi JABATA. Dari sini, sudah sangat jelas bahwa
sebutan JABATA adalah berakar dari bahasa Ibrani, tepatnya dari nama Tuhan
bangsa Israel yang disebut YAHWE atau YAHUWA atau JAHOVAH
(jahowah / Jahowa), yang kemudian di-Dayak-kan menjadi YABATA atau JABATA.
Setelah mendapat tambahan kata TA, maka arti kata JABATA menjadi YAHWE
HANYA SATU-SATUNYA atau Tuhan yang Esa.
-
Beberapa Contoh Lain Dari penggunaan bunyi kata TA
pada sebuah kata.
pada kata “kuat”, ketika kata “kuat” di tambah dengan akiran TA,
sehingga tertulis menjadi “kuatta” maka artinya menjadi “alangkah kuatnya”.
Lalu kata Bangat (Banyak) ketika mendapat tambahan bunyi kata TA,
sehingga tertulis menjadi “Bangatta”, maka artinya menjadi “alangkah
banyaknya” atau “sangat banyak” atau “banyak banget”.
-
Contoh Lain Dari penggunaan bunyi kata TA pada
kalimat bahasa Dayak Banyadu berikut ini:
"Fabianus
Oel-TA dag jaji ama pajanang adat sook Banyadu mulei sawag dua ribu
nuayug", maka
pengertian pada kata "Fabianus Oel-TA" adalah "HANYA
Fabianus Oel SATU-SATUNYA", Jadi terjemahan lengkapnya adalah: "Hanya
Fabianus Oel satu-satunya yang menjadi ketua Pajanang (Pelestari) adat
orang Banyadu mulai (sejak) tahun dua ribu dahulu".
Berbeda dengan Dayak
Kalbar bagian barat, sebutan Tuhan pada suku Dayak Kalimantan Barat bagian
selatan, yaitu pada orang-orang Dayak yang bermukim di daerah kabupaten Kayong
Utara dan kabupaten Ketapang. Pada mereka sebutan Tuhan menggunakan kata “Duwata”.
Meskipun menggunakan kata “Duwata” namun konsep ajaran agama adat mereka
juga sama dengan konsep ajaran agama adat Dayak Kalimantan Barat bagian barat
yang secara umum berbeda dengan ajaran agama Hindu.
Mereka menggunakan sebutan Duwata diduga hanya sebagai
upaya apologetis ( pemaafan / pengampunan) untuk melawan konsep
dan ajaran Hinduisme yang dibawa oleh orang-orang Jawa setelah kedatangan
bangsawan Majapahit yang beragama hindu ke daerah ketapang dahulu, yang setelah
menikah dengan seorang putri raja Dayak dari kerajaan Lawai (Hulu Aik /
Bakulapura / Tanjungpura), kemudian mereka berdua mendirikan kerajaan Sukadana.
Jadi sebutan Duwata pada masyarakat Dayak Kalbar bagian selatan baru
mulai digunakan sejak akhir abad ke-14 Masehi, yang sebelumnya juga menggunakan
sebutan Jabata.
Dalam tataran sosiologis, bagi orang Dayak, Jabata (Tuhan) dipandang tidak begitu
banyak ikut campur di dalam dunia ini. Semua urusan kehidupan didunia ini
diserahkan oleh Tuhan sepenuhnya kepada manusia. Sifat Jabata (Tuhan) dikenal melalui nalar dan pengamatan terhadap alam.
Karena itu, adakalanya bagi oknum-oknum tertentu menyakini bahwa alam adalah
bagian dari Jabata (Tuhan). IA ada di
dalam alam, pada apapun, layaknya jiwa manusia
yang berada di dalam tubuh manusia.
Karena oleh hal itu, kemudian timbul anggapan
pada sebagian orang yang mengatakan bahwa jumlah Jabata (Tuhan) ada banyak, padahal tidaklah seperti itu adanya. Tentu
saja hal ini dapat terjadi mengingat ketidak-mauan
mereka untuk dapat memahami agama adat
Dayak tersebut dengan cara bijak. Misal ketika penyebutan nama Jabata (Tuhan), oleh para imam agama dengan
menyebutkan nama-nama Jabata (Tuhan) yang
tinggal pada tempat-tempat tertentu, sebenarnya hal ini bukanlah bermakna bahwa
entitas Jabata (Tuhan) itu ada banyak,
melainkan bahwa Tuhan maha hadir, ada dimanapun. Selain itu terdapat juga sebutan
Jabata (Tuhan) yang berbeda-beda. Yang
akhirnya oleh orang-orang yang berpikiran sempit, kemudian mengatakan bahwa
ternyata Jabata (Tuhan) jumlahnya
sangat banyak. Sebagai akibatnya mereka menyebutkan bahwa agama adat Dayak adalah
sebuah keyakinan yang politeisme, karena menyembah banyak Jabata (Tuhan).
Sejujurnya sosok Jabata (Tuhan) dalam agama adat Dayak yang terkesan berjumlah banyak, disebabkan oleh adanya “nama gelar” tertentu yang disematkan didalam diri Jabata (Tuhan) ketika disebutkan. Umumnya nama gelar yang disematkan itu berkaitan dengan sifat dan tindakan yang dilakukan oleh Jabata (Tuhan). Jadi sebutan Jabata (Tuhan) yang banyak itu bukanlah jumlah entitas Jabata (Tuhan) yang banyak melainkan nama sebutan atau nama gelar Jabata (Tuhan) yang berhubungan dengan sifat dan tindakann-NYA.
Beberapa nama sebutan atau nama gelar
dari Jabata (Tuhan) seperti; Jabata Neng
Panitah, Jabata Neng Panampa, Jabata Neng Pangedokng, Jabata Neng Pajaji, atau Jabata
Neng Pangingu dan lain-lain. Sebutan Neng
adalah singkatan dari kata “neneng (Kakek
/ Nenek)” dalam bahasa Dayak Banyadu
atau nek singkatan dari kata “Nenek (Kakek / Nenek)” dalam bahasa Dayak Bananag (Kanayatn), atau “mbah (Kakek / Nenek)” dalam bahasa suku
jawa, ini adalah gelar penghormatan terhadap sosok orang yang dituakan dan
terhadap sosok Jabata (Tuhan).
Sebutan ini setara artinya dengan kata “sang
atau tuan” didalam bahasa indonesia atau “Mister” dalam bahasa Inggris. Berikut adalah nama-nama gelar Jabata (Tuhan) dalam kebudayaan Dayak
beserta “padanannya” dengan nama-nama
gelar Jabata (Tuhan) pada agama Kristen dan Yahudi.
-
Jabata
Neng Pangira (Tuhan sang pengira / pemikir),
ini adalah nama yang disematkan kepada Tuhan untuk menerangkan perbuatan-NYA karena
segala sesuatu sebelum diciptakan terlebih dahulu dipikirkan oleh-NYA.
-
Jabata
Neng Pangadu (Tuhan Sang Perancang), ini
adalah nama gelar yang disematkan kepada Tuhan karena Tuhan bekerja merancang
ciptaannya (berkaitan dengan percobaan dan pencocokan). Jadi ini adalah nama gelar yang berkaitan dengan
proses quality control terhadap ciptaan-NYA.
-
Jabata
Tukang Nange (Tuhan Sang Tukang Besi), ini adalah nama yang disematkan kepada Tuhan
ketika IA bekerja menciptakan segala sesuatu layaknya seorang pandai besi yang
membentuk pisau atau parang yang dibuatnya.
-
Jabata
neng Daniang (Tuhan sang pemilik alam semesta),
ini adalah nama gelar yang disematkan
kepada Tuhan karena IA pemilik Dunia ini. Nama gelar ini sepadan dengan sebutanYHWH Sabaoth (Tuhan semesta Alam) pada
ajaran agama Kristen dan Yahudi.
-
Jabata Neng Pajaji (Tuhan Sang Penjadi) , ini adalah nama gelar yang disematkan kepada
Tuhan
karena IA menciptakan segala sesuatu
secara ex Nihilo (penciptaan dari
ketiadaan). Nama gelar ini
sepadan dengan Elohim
pada ajaran agama Kristen dan Yahudi.
-
Jabata Neng Panitah (Tuhan sang pem-firman), ini adalah nama gelar yang disematkan kepada
Tuhan ketika IA berfirman untuk memberi perintah baik pada saat penciptaan
maupun perintah untuk memberikan peraturan pada manusia.
-
Jabata Neng Panampa (Tuhan sang penempa), ini adalah nama gelar yang disematkan kepada
Tuhan karena IA membentuk suatu ciptaannya dengan menggunakan sesuatu
yang telah ada.
-
Jabata Neng Pangedokng (Tuhan sang Pengamat), ini adalah nama gelar yang disematkan kepada
Tuhan ketika IA melakukan pengamatan atas seluruh hasil ciptaan-NYA dan
pengamatan-NYA terhadap manusia.
-
Jabata Neng Pangingu (Tuhan sang pemelihara dan pelindung), ini adalah nama gelar yang disematkan kepada
Tuhan ketika IA melakukan pemeliharaan dan melindungi semua ciptaan-NYA. Nama
gelar ini sepadan dengan sebutanYHWH
Rohi (Tuhan Gembalaku) dan sebutanYHWH Shalom (Tuhan itu keselamatan) pada ajaran agama Kristen dan Yahudi.
-
Jabata Neng Pangorok (Tuhan Sang pemulih dan
penyuci), ini adalah nama gelar yang disematkan kepada Tuhan ketika IA
memperbaiki dan membersihkan seluruh
alam ciptaannya dari kerusakan. Nama gelar ini sepadan dengan sebutanYHWH Rapha (Tuhan yang menyembuhkan)
pada ajaran agama Kristen dan Yahudi.
-
Jabata neng Taratatn (Tuhan sang Penyegar),
ini adalah nama gelar yang
disematkan kepada Tuhan karena IA memberi kesegaran jasmani dan rohani.
-
Jabata
neng Amikng Pamijar (Tuhan sang pemberi
napas), ini adalah nama gelar yang disematkan kepada Tuhan karena IA
telah memberikan energi dan meniupkan nafas hidup kepada semua ciptaan-NYA. Nama
gelar ini sepadan dengan sebutanYHWH Jreh
(Tuhan Yang Menyediakan) pada ajaran agama Kristen dan Yahudi.
-
Jabata
Neng Satapak (Tuhan Sang Penapak), ini adalah nama gelar yang disematkan kepada Tuhan karena IA
telah turun dari Sabayatn (Surga)
untuk menapaki (menyentuhkan kaki) datang ke alam dunia ciptaannya. Dalam hal
ini adalah sosok Jabata Ahar (Tuhan anak
/ Eloh putra) yang tidak lain adalah sosok Yesus Kristus pada agama
Kristen.
2. Sabayatn Nama Surga Agama
Adat Dayak Kalbar Barat Berasal Dari Bahasa Ibrani
Pada ajaran agama adat Dayak Kalbar
bagian barat, Surga disebut SABAYATN (bagi
anda yang tidak bisa mengikuti logat Dayak, baca saja: Sabayan). Sebutan
ini berasal dari tiga buah kata Ibrani, tepatnya berasal dari kata SYAMAYIM yang bearti ALAM SURGA
dan dari kata BANEI yang bearti UMAT atau ANAK-ANAK TUHAN serta dari kata YANA
yang merupakan bentuk dari kata JANA
yang bearti TUHAN MENGGABUNGKAN. Dari
gabungan kata SYAMAYIM BANEI YANA ini
kemudian disingkat menjadi SYABAYAN.
Selanjutnya pelafalan kata SYABAYAN
disesuaikan dengan lidah orang Dayak, sehingga diluweskan menjadi SABAYAN atau SABAYATN. Jadi arti lengkap dari sebutan SABAYAN atau SABAYATN
adalah “alam tempat umat Tuhan akan
dikumpulkan”.
3. Kisah Penciptaan Dunia
Kisah penciptaannya alam semesta dan isinya serta
penciptaan planet bumi dan manusia pada ajaran agama adat Dayak Kalbar bagian
barat sangat kompatibel (Selaras / Nyambung) dengan kisah penciptaan di
dalam kitab Kejadian Kristen dan Yahudi, daripada dengan kisah
penciptaan pada agama hindu. Satu-satunya perbedaan kisah penciptaan agama adat
Dayak Kalbar bagian barat dengan kisah penciptaan pada agama Kristen dan Yahudi
adalah pada kisah penciptaan tentang makhluk hidup bergerak baik makhluk
manusia maupun makhluk hewan, dimana pada kisah penciptaan menurut ajaran agama
adat Dayak bagian barat diungkapkan secara jujur dan sangat vulgar menyebutkan
bahwa penciptaan hewan dan manusia adalah melalui jalan evolusi.
Kisah penciptaan menurut agama adat Dayak Kalbar
bagian barat ada dua bagian. Bagian pertama mengisahkan penciptaan alam semesta
melalui peristiwa bigbang yang terjadi pada ruang alam Pauh Janggi, yang
didalam kitab suci agama Yahudi dan Kristen disebut dengan nama Tehom
(Samudra Raya), yang tak lain adalah ruang-waktu rumah multiverse menurut sebutan dalam dunia sains (Ilmu
Pengetahuan), khususnya sains astronomi dan fisika quantum beserta
turunannya.
Kemudian bagian yang kedua, menceritakan tentang
penciptaan manusia, dengan menyebutkan bahwa manusia yang tercipta dari bahan
tanah bapopog (bersaripati) tersebut merupakan hasil sebuah proses evolusi,
yang bermula dari penciptaannya yang berasal dari materi (bahan) tanah bapopog
(bersaripati) sampai menjadi Unteg (kera besar) dan terakhir menjadi
manusia awal yang keberadaannya menempati sebuah tembawang (Taman bebuahan).
Untuk dapat memahami tentang kisah penciptaan dunia dan isinya menurut agama
adat Dayak Kalbar Barat, anda dapat membacanya disini!
4. Bentuk Doa (Pamang)
Doa
upacara keagamaan pada agama Adat Dayak Kalbar umumnya berbentuk doa litani.
5. Adat Sunat (Babalak)
Selain itu, beberapa bukti
yang memperkuat alasan bahwa agama adat Dayak merupakan turunan agama Israel
kuno adalah adanya adat babalak. Adat babalak dalam agama adat
Dayak Kalbar bagian barat adalah adat khitan atau sunatan yang diwajibkan oleh
agama adat Dayak. Pada jaman dahulu, ketika prosesi sunat dilakukan seluruh
kulub kelamin pria di buang, namun didalam perjalanannya karena disebabkan oleh
sesuatu hal, semisal disebabkan oleh adanya anak-anak yang akan disunat
tersebut memiliki riwayat penyakit Hemofilia (Darah sukar beku) maka sejak
itu, pada waktu penyunatan tidak lagi memotong seluruh kulub kelamin, melainkan
hanya mengiris atau menoreh sebagian kecil dari kulit kulub kelamin.
Pada saat ritual adat Babalak
(Sunat) dilakukan baik pada agama adat Dayak Kalbar bagian barat maupun
pada agama Yahudi, sama-sama mempersembahkan hewan kurban berupa burung. Jika
pada agama Israel hewan yang dipersembahan pada saat upacara sunat dilakukan
menggunakan burung Kolibri, maka pada sunat berdasarkan agama adat Dayak Kalbar
barat, hewan yang dipersembahkan adalah menggunakan burung Enggang, hal ini dilakukan
mengingat di kalimantan tidak memiliki burung Kolibri.
Sampai pada abad ke-15
Masehi, burung enggang yang digunakan adalah burung enggang hidup, tetapi
karena burung enggang sudah cukup sulit untuk didapatkan, maka setelah abad
ke-15 masehi, masyarakat Dayak kemudian menggunakan burung enggang yang telah dimumifikasi
(diawetkan / dikeringkan), tentu saja setiap keluarga orang Dayak masa kini
akan menggunakan mumi burung enggang yang dimiliki oleh masing-masing
kampung dimana mereka tinggal ketika mereka melakukan adat Babalak (Sunat)
kepada anak-anak mereka.
6.
Upacara Persembahan Kurban
Ritual
persembahan agama adat Dayak sejatinya adalah kelanjutan dari tradisi Nabi
Abraham yaitu ritual “Persembahan Kurban
Bakaran” kepada Allah. Pada ritual nabi Abraham, hewan kurban bakaran yang
sering dipersembahkan adalah hewan-hewan herbivora seperti domba dan kambing,
hal itu dilakukan mengingat Nabi Abraham adalah seorang peternak dan
penggembala hewan. Dan yang lain yang
sering di persembahkan oleh orang Israel dahulu adalah sereal (gandum).
Namun karena sebagian besar orang
Dayak dahulu adalah petani padi dan pemelihara hewan babi atau ayam, maka
ritual persembahan kurbannya menggunakan ayam dan babi serta beras bersama produk
olahan beras seperti Tumpi (Kue), Bontokng
(Lontong) dan Lemang. Karena domba
atau kambing belum dikembangbiakkan di kalimantan barat, maka diganti dengan
hewan peliharaan yang ada.
Pada agama adat Dayak Kalbar bagian
barat ada dua rangkaian doa utama yang harus dilakukan pada saat titual
persembahan kurban. Doa pertama adalah pamang
mantag (doa mentah), yaitu doa yang didaraskan sebelum hewan kurban
dipotong. Setelah itu dilakukan pamang
mansak (Doa masak / matang) yaitu doa yang didaraskan setelah hewan
dipotong dan dibersihkan bulu-bulunya dengan cara dibakar. Dimasa sekarang
karena umat agama adat Dayak Kalbar bagian barat, ketika melakukan ritual doa
tidak harus didalam kompleks Padagi
(Mezbah), maka tempat untuk menaruh semua perangkat doa pada Pahar (Piring Berkaki).
7. Upacara Pashover (Balala)
Adat balala adalah salahsatu
adat warisan agama adat Dayak atau agama Jubata. Balala’ berasal dari kata “ba”
yaitu imbuhan kata yang setara dengan imbuhan awalan “ber” didalam bahasa
indonesia, kemudian kata “lala”. Kata “lala” sendiri terbentuk dari kata tuLA’
yang bearti “tolak” dan kata “baLA” yang bearti “wabah atau mara bahaya”.
Jadi “balala”
bearti “bertolak-bala”. Upacara
adat ini dilakukan dengan tujuan untuk membendung segala macam bala, baik
berupa wabah penyakit maupun mara bahaya
yang mengancam dan untuk meminta pemulihan
dalam rangka menghilangkan semua kesalahan laku yang mungkin terjadi selama
setahun berselang.
Selain itu, adat Balala juga dilakukan untuk menghindari suatu jenis penyakit biologis
tertentu yang diakibatkan karena memakan suatu makanan tertentu. Maka individu
yang bersangkutan wajib melakukan Lala’ yaitu dengan cara berpantangan
atau berpuasa terhadap makanan yang dipantangkan itu. Karena disebabkan oleh hal
itu, maka kata lala’ seringkali juga dimaknai sebagai kegiatan berpuasa atau
berpantangan. Adapun pantangan yang tidak boleh dilakukan selama masa Balala’
antara lain; tidak
boleh bekerja secara fisik, tidak boleh memetik tangkai baik ranting maupun
daun, ini dinamakan ngalayu. Tidak
boleh makan sayuran segar (dalam arti yang baru dipetik) dan tidak boleh makan
daging berdarah panas.
Upacara Balala dalam agama adat Dayak
dilaksanakan oleh penduduk sekampung. Pada hari balala’ tersebut penduduk harus
“batamakng” yang artinya “bermukim”
ini mengandung maksud agar seluruh penduduk tanpa terkecuali pada hari balala’
tersebut harus bermukim atau tinggal didalam rumah, mereka dilarang bekerja dan
bepergian keluar rumah dan bersuara nyaring sehari penuh. Meskipun begitu
mengkonsumsi makanan dan minuman tidak dilarang. Pada waktu sore menjelang malam, dilakukan
prosesi “bacalek” atau dalam bahasa indonesianya disebut “bercelik”
yaitu prosesi “berbuka dari keadaan Batamakng (bermukim / tinggal)”
didalam rumah seharian.
Prosesi bacalek
(Bercelik) ini dilakukan dengan pengolesan dahi setiap warga kampung dengan
menggunakan air sepah para Pangao (Imam). Prosesi “penandaan
kening” ini dimulai dari para imam yang akan melakukannya, kemudian kepala
kampung disusul dengan keluarganya, lalu para imam mengelilingi rumah penduduk
untuk mencelikkan seluruh warga kampung. Dahulu sewaktu orang Dayak masih
seluruhnya tinggal didalam rumah panjang, yang dioles pada kening pada waktu
prosesi bacalek (Bercelik) adalah darah ayam.
Namun ketika orang Dayak
mulai tinggal berjauhan karena tinggal didalam rumah-rumah terpisah, maka
lama-kelamaan darah ayam yang digunakan menjadi beku, sehingga sulit digunakan
lagi. Agar prosesi bacalek (Bercelik) tetap berjalan lancar, maka bahan Calek
(Celikan) yang berupa darah ayam tadi di ganti dengan menggunakan air sepah
para imam, adapun alasannya adalah karena air sepah tidak lekas beku seperti
darah, apabila bersentuhan dengan udara terlalu lama, maka hal ini memungkinkan
bagi para imam yang berkeliling untuk mencelik / membuka “lala”
tersebut, tidak harus tergesa-gesa di jalan.
Karena upacara Balala (Pashover) ini mirif
dengan upacara nyepi agama hindu, maka oleh para peneliti terdahulu, agama adat
Dayak atau agama Jubata diklaim benar-benar agama hindu, meskipun konsepnya
berbeda. Sejatinya upacara balala’ dalam agama adat Dayak atau agama Jubata
adalah upacara untuk memperingati tolak bala yang dilakukan oleh bangsa Israel
ketika masih diperbudak di mesir dahulu atau dengan kata lain upacara balala
adalah peringatan paskah (Passhover) Israel kuno yang dilakukan oleh
orang Dayak.
Sewaktu Nabi musa berjuang membebaskan bangsa
Israel dari mesir dahulu. Tuhan mendatangkan “tulah atau bala” terhadap
seluruh penghuni mesir. Karena hal itu, agar kaum Israel tidak terkena tulah
tersebut, maka Tuhan memerintahkan orang Israel agar menandai pintu rumah
mereka dengan cara mengoles pintu rumahnya dengan darah domba. Pemberian darah
pada pintu setiap rumah israel itulah alasan yang mendasari adanya prosesi
pengolesan “air sepah imam” pada dahi setiap warga. Dahi adalah simbol
dari pintu entitas pikiran atau otak, yang mengendalikan jiwa dan tubuh
manusia. Pengolesan dahi memiliki makna bahwa “rumah jiwa” yaitu badan
setiap orang yang diolesi, sudah ditandai agar tulah atau bala tidak akan
menghampirinya, sehingga orang-orang yang diolesi tersebut tetap sehat jiwa dan
raganya. Sejarah “paskah atau balala” Israel kuno bersumber dari kisah
Alkitab keluaran berikut:
Keluaran
12:11-14
12:11 Dan
beginilah kamu memakannya: pinggangmu berikat, kasut pada kakimu dan
tongkat di tanganmu; buru-burulah kamu memakannya;
itulah Paskah bagi TUHAN. 12:12 Sebab pada malam ini Aku akan menjalani tanah
Mesir, dan semua anak sulung, dari anak manusia sampai
anak binatang, akan Kubunuh, dan kepada semua dewa di
Mesir akan Kujatuhkan hukuman, Akulah, TUHAN. 12:13 Dan darah itu menjadi tanda bagimu pada
rumah-rumah di mana kamu tinggal: Apabila Aku melihat darah itu, maka
Aku akan lewat dari pada kamu. Jadi tidak akan
ada tulah kemusnahan di tengah-tengah kamu, apabila Aku menghukum tanah Mesir. 12:14 Hari ini akan menjadi hari peringatan bagimu.
Kamu harus merayakannya sebagai hari raya bagi TUHAN turun-temurun. Kamu harus
merayakannya sebagai ketetapan untuk selamanya .
Keluaran 12:23
12:23 Dan TUHAN
akan menjalani Mesir untuk menulahinya; apabila
Ia melihat darah pada ambang atas dan pada
kedua tiang pintu itu, maka TUHAN akan melewati pintu itu
dan tidak membiarkan pemusnah masuk ke dalam rumahmu untuk
menulahi.
8. Mezbah (Padagi)
Agama Jabata (Tuhan) atau agama adat Dayak Kalbar bagian barat mempunya
tempat ibadah untuk persembahan yang dinamai dengan sebutan padagi yaitu rangkaian batu mezbah yang
sama fungsinya dengan mezbah Nabi Abraham di timur tengah dahulu.
Padagi (Mezbah) Nabi Nuh berbentuk tumpukan batu |
Pada umumnya Padagi (Mezbah) digunakan untuk tempat persembahan korban. Padagi (Mezbah) juga bisa diartikan sebagai sebuah peringatan, artinya: untuk mengingatkan kembali pada suatu pengalaman pertemuan dengan Tuhan yang luar biasa. Padagi (Mezbah) menandai tempat-tempat penyebaran para nenek moyang bangsa Dayak.
Padagi (Mezbah) agama Karimawatn Dayak Banyadu berbentuk tanduk batu, yang terdapat di puncak gunung Jalo kecamatan Teriak Kabupaten Bengkayang Kal-Bar |
Padagi
(Mezbah) Dayak harus dibuat dengan menggunakan batu alam dengan bentuk
aslinya, tanpa di bentuk atau ditatah dengan menggunakan peralatan, disamping
itu batu-batu tersebut juga tidak boleh dicuci, seluruh kotoran yang berasal
dari lumut, tanah dan pasir yang menempel harus tetap dibiarkan. Ini sama
dengan apa yang dilakukan oleh bangsa Israel kuno seperti yang tercatat didalam
Alkitab berikut ini;
Keluaran 20:24-25
20:24 Kaubuatlah bagi-Ku mezbah
dari tanah dan persembahkanlah di atasnya korban bakaranmu dan korban keselamatanmu, kambing dombamu dan
lembu sapimu. Pada setiap tempat yang Kutentukan menjadi tempat peringatan bagi
nama-Ku, Aku akan datang kepadamu dan
memberkati engkau. 20:25 Tetapi jika
engkau membuat bagi-Ku mezbah dari batu, maka jangan engkau mendirikannya dari
batu pahat, sebab apabila engkau mengerjakannya dengan beliung, maka engkau melanggar kekudusannya.
Ulangan 27:5-6
27:5 Juga haruslah kaudirikan di sana mezbah bagi TUHAN, Allahmu, suatu mezbah
dari batu yang tidak boleh kau olah dengan perkakas besi. 27:6 Dari batu yang tidak dipahat
haruslah kaudirikan mezbah TUHAN, Allahmu, itu dan di atasnya haruslah
kaupersembahkan korban bakaran kepada TUHAN, Allahmu.
Padagi
(Mezbah) Dayak tidak boleh dibangun ditebing atau dipinggir dan di tengah
perairan, baik dipinggir sungai, danau, kolam maupun dipinggir laut. Padagi (Mezbah) Dayak yang dibangun
pertama kali umumnya berada dipuncak bukit dan dipuncak gunung. Ini sama dengan
Padagi (Mezbah) orang Israel kuno
yang terdapat diatas gunung sinai dan gunung lainnya. Jika batu pada Padagi (Mezbah) Dayak dibuat bertumpuk, maka penumpukannya tidak boleh dibuat bertingkat
seperti pada Punden Berundak (Padagi agama Pagan). Dan jika Padagi (Mezbah) Dayak dibuat dari batu
tunggal yang berukuran besar, maka batu yang dipilih adalah batu yang secara
asal, permukaannya telah berbentuk datar. Jika Padagi (Mezbah) Dayak dibuat langsung diatas tanah tanpa
menggunakan alas (lantai) tumpukan
batu, maka pada seluruh sisinya atau kearah empat penjuru mata angin, harus
ditancap batu alam yang secara asal berbentuk memanjang, sehingga ketika
batu-batu tersebut telah ditancap ke dalam tanah, batu-batu tersebut akan terlihat
seperti tanduk. Batu-batu yang berdiri seperti tanduk ini menjadi simbol
kekuasaan Jabata (Tuhan), ini juga
sama dengan mezbah-mezbah orang Israel kuno.
1 Raja-raja 1:50-51
50 Takutlah Adonia kepada Salomo, sebab itu Ia segera pergi memegang
tanduk-tanduk mezbah. 51 Lalu diberitahukanlah kepada Salomo: “ternyata Adonia
takut kepada raja Salomo, dan ia telah memegang tanduk-tanduk mezbah, serta
berkata: Biarlah raja Salomo lebih dahulu bersumpah mengenai aku, bahwa ia
takkan membunuh hambanya ini dengan pedang”.
Pengaruh Agama Hindu Pada Agama Dayak Kalbar
Bagian Barat
Jujur memang tidak dapat dibantah bahwa ketika
agama hindu datang ke Kalimantan Barat bagian barat yang dibawa oleh para
penyebar agama Hindu dari pulau Jawa sekitar abad 10 M dahulu. Ajaran agama Hindu
sempat mempengaruhi para tokoh masyarakat dan para petinggi kerajaan Dayak, hal
ini dapat dilihat dari beberapa raja Dayak yang namanya berasal dari bahasa
Sanskerta. sementara rakyat jelata Dayak tidak terpengaruh sama sekali, hal ini
disebabkan oleh “konsep-konsep dasar” agama adat Dayak atau agama Jubata
yang “sangat berbeda” dengan ajaran agama Hindu. Kenapa para petinggi
kerajaan Dayak kuno begitu mudah terpengaruh dengan kebudayaan luar? Hal ini
tentu saja tidak lepas dari sifat manusia kaum bangsawan yang selalu merasa
berhak “sebagai yang utama atau yang pertama” untuk dapat mencoba atau
menerima hal-hal baru yang datang langsung kepada mereka melalui hubungannya
dengan kebudayaan-kebudayaan diluar kalimantan, sebelum hal-hal baru tersebut
diterima oleh kaum rakyat jelata.
Fenomena kaum bangsawan yang mudah menerima
pengaruh dari luar, nampaknya tidak hanya terjadi pada bangsawan Dayak, karena
pada kebudayaan di pulau lain di nusantara ini, begitu juga adanya. Seperti
pada penyebaran agama hindu di pulau jawa dan bahkan juga pada
kerajaan-kerajaan Dayak di pedalaman umumnya dimulai dari keraton.
Agama Hindu masuk di Kalimantan dikuatkan dengan
bukti-bukti sejarah yang ditemukan di berbagai tempat. Di Kalimantan Barat,
ditemukan tulisan teks bahasa sangskerta yakni batu pahat di batu pahit (dekat
sungai Tekarek anak sungai Kapuas) dibuat akhir abad ke 4 (380-420 M). Benda yang
disebut Lingga (Phalus) dan patung Ciwa (Putung Kempat) di Nanga Sepauk
kabupaten Sintang. Meski begitu, pengaruh agama Hindu tidak serta-merta
diterima oleh orang Dayak, hanya beberapa subsuku Dayak saja yang dapat
menerima ajaran Hindu awal tersebut, terutama yang daerahnya tempat kedatangan
secara langsung dari para pembawa pengaruh agama Hindu tersebut.
Pengaruh agama Hindu pada agama Dayak Kalbar barat,
yang masuk pada abad 10 Masehi dahulu dapat dilihat pada tambahan perangkat
ritual dan sesajiannya serta pada benda-benda yang ditambahkan pada kompleks
tempat sucinya yaitu dilingkungan kompleks Padagi (Mezbah) yang meniru
kompleks kuil Hindu. Jika sebelum pengaruh agama hindu masuk, sesaji yang perbolehkan
untuk dipersembahkan pada ritual agama adat Dayak adalah hanya beras ketan dan
beras biasa yang dimakan sehari-hari dan produk olahannya yang berupa lemang
dan tumpi (Kue), serta hewan ayam dan babi.
Namun ketika pengaruh agama Hindu datang, perangkat
ritual dan sesaji persembahannya bertambah, dimana pada perangkat Roba
Palantar (Altar sesajian) disertai dengan sebuah lampu pelita, lalu sebuah koin
atau potongan besi sebagai Pangkaras (Pengeras Semangat) yang diletakan
didalam piring beras ketan, Mandoh (Periuk Dayak) yang didalamnya
dimasukan Latok (Parang Bengkok / Mandau Bengkok) atau Sunag (Pisau
Dayak / Anak Latok). lalu sebutir telur ayam kampung yang diletakan pada
atas mangkuk beras ketan. Lalu semangkuk air yang didalamnya diberi potongan Antamu
(Temu Lawak / Curcuma Zanthorhiza) dan kulit kering buah Langir (Albizia
Saponaria) serta bunga selasih (Ocimum Basilicium) kering.
Lalu secangkir Urap (paduan Makanan), yaitu
paduan makanan yang berasal dari irisan kecil bagian putih dan bagian kuning
telur rebus ayam kampung yang dicampur dengan nasi biasa, nasi lemang, garam
dan irisan Tumpi (Kue) dan irisan kecil daging hewan kurban terutama
irisan hati dan bagian-bagian tertentu dari hewan kurban. Kemudian
secangkir Baras Sasah (Beras Terbasahi) yang dibasahi dengan minyak
goreng (Baras Binyak) atau dibasahi dengan sedikit air (Baras Banyu).
Kemudian pada saat Pangao (Imam) mendaraskan Pamang (Doa),
terlebih dahulu diawali dengan pemukulan Pabaneg (Gong Kecil) atau Ushig
Baliukng (Kapak Beliung Khas Dayak) sebayak empat belas kali pukulan, dimana
tujuh pukulan bagian pertama dengan tempo irama yang sangat cepat, kemudian
dilanjutkan dengan tujuh pukulan bagian kedua dengan tempo irama lambat.
Selain perangkat doa atau ritualnya, kompleks
tempat suci yang disebut Padagi (Mezbah) juga mendapat pengaruh dari
agama Hindu. Sebelumnya, selain batu-batu Padagi (Mezbah), pada kompleks Padagi (Mezbah) tidak diperbolehkan
menanam bunga, bambu ataupun tumbuhan lain. Tidak hanya itu, Pantak (Patung / Totem) berbentuk apapun
serta benda-benda gerabah, tempayan, mangkuk dan lain-lainnya juga tidak
diperbolehkan untuk diletakan didalam kompleks Padagi (Mezbah). Namun
sejak pengaruh agama Hindu datang, kompleks Padagi (Mezbah) mulai dihiasi
dengan beragam tumbuhan bunga tertentu dan tumbuhan bambu tertentu dan disitu
juga diletakan beberapa pantak (Patung /
Totem) nenek moyang serta
benda-benda lainnya. Setelah mendapat pengaruh dari agama Hindu inilah kompleks
Padagi (Mezbah) mulai disebut dengan nama
“Panyugu”.
Bagi beberapa orang akan menganganggap
bahwa batu-batu Padagi (Mezbah) yang
ditancap pada gundukan tanah yang dibuat datar, disebut sebagai simbol lingga dan yoni yaitu simbol penyembahan
terhadap Dewa Siwa. Baik pada Padagi
(Mezbah) yang dibangun didataran rendah maupun pada Padagi (Mezbah) yang dibangun diatas bukit atau diatas gunung.
Tentu saja hal itu terjadi karena ketidak-mengertian
mereka, mengingat bahwa kebiasaan
orang Hindu asli yang umumnya meletakkan bangunan lingga dan yoni didekat tepi
air, baik di tepi sungai, tepi kolam, ditepi danau dan ditepi laut. Didaratan india
negeri asal muasal ajaran Hindu, lingga dan yoni seluruhnya dibangun ditebing
atau ditengah sungai atau danau dan laut, kenapa bisa demikian?
Tadinya,
mayoritas para peneliti dan ahli mengklaim bahwa Bangunan Lingga dan Yoni
merupakan simbol alat kelamin pria dan wanita, yaitu sebagai wadah pemujaan
kepada Dewa Siwa. Namun dimasa sekarang para ahli telah sepakat bahwa bangunan
lingga dan yoni bukanlah simbol kelamin manusia, melainkan bangunan yang
didirikan oleh orang India kuno untuk meniru bangunan reaktor nuklir para Dewa
(Alien) bangsa India kuno. Yaitu para makluk Alien yang datang ke bumi dan
tinggal diantara orang India kuno.
Di negeri India, para Dewa (Alien) itu membangun reaktor nuklir yang didirikan persis didekat perairan. Hal itu dilakukan agar pengambilan bahan pendingin (air) reaktor tersebut sangat dekat. Berdasarkan penelitian terbaru bahwa hancurnya kota Mohenjo Daro di India kuno adalah kehancuran yang diakibatkan oleh bom nuklir pada waktu peperangan para Dewa (Alien) India kuno seperti yang diceritakan pada kisah Ramayana dan Mahabarata. Jadi bangunan lingga dan yoni atau tiruan reaktor nuklir para Dewa (Alien) India tersebut harusnya diletakkan didekat perairan, bukan di didaratan yang jauh dari tebing perairan dan bukan juga dibangun di puncak bukit atau dipuncak gunung.
Selain mempengaruhi perangkat ritual serta
penampilan kompleks Padagi (Mezbah), pengaruh agama Hindu yang sempat
dilakukan oleh orang Dayak Kalbar bagian barat dahulu adalah melakukan adat
pembakaran mayat. Adat ini dilakukan oleh orang Dayak selama kurang-lebih 600
tahun. Adat ini dihentikan pada sekitar 1700 M atas dasar perintah ketua adat
yang bernama neng Matas (Kakek Matas). Banyak pertimbangan yang dipikirkan
oleh beliau agar adat ini dihentikan dan diganti dengan cara menguburkan mayat
ke dalam tanah kembali seperti dimasa sebelum pengaruh agama Hindu datang. Jadi
adat Dayak Kalbar kembali kepada tata cara penguburan telah dilakukan selama
kurang-lebih 300-400 tahun belakangan ini. Untuk mengetahui bagaimana cara
pembakaran mayat pada orang Dayak Kalbar bagian barat jaman dahulu, anda bisa
membacanya disini!
0 komentar :
Posting Komentar