Sampai pada abad ke-15 Masehi, sebuah kerajaan pada bangsa Dayak secara umum belum dikenal dengan sebutan “Kerajaan atau Diraja” seperti didalam bahasa Indonesia atau melayu, dimana secara asal istilah “kerajaan atau diraja” itu diserap dari bahasa Sanskerta, melainkan lebih dikenal dengan memakai istilah yang berasal dari bahasa Dayak sendiri, yaitu disebut “Menua atau Manua” pada orang Benadai (Dayak Iban), disebut “Banua” pada orang Banyadu (Dayak Banyuke), disebut “Binua” pada orang Bananag (Dayak Kanayatn / Salako) dan disebut “Banoe” pada orang Bakati (Dayak Rara), demikian juga dengan apa yang terjadi terhadap kerajaan Wijayapura. Jadi pada dasarnya sebutan Banua (Menua / Manua / Binua / Banoe) pada bangsa Dayak setara artinya dengan Kerajaan (Diraja / Panembahan / Kesultanan / Kingdom) pada non Dayak.
Kerajaan Wijayapura adalah sebuah kerajaan yang dibangun oleh suku Dayak Iban Sarawak pada sekitar abad ke-7 masehi. Nama asli kerajaan ini adalah Menua Panggau Libau (Kerajaan Panggau Libau), yaitu sebuah nama yang berasal dari nama raja pendirinya; tuan Libau Apai Sengalang Burong (Libau Ayah dari Sengalang Burong). Raja Patih Libau dengan istrinya melahirkan tujuh orang anak laki-laki. Karena berdasarkan kepada tuntutan adat lama bangsa Dayak, bahwa apabila terdapat seorang ayah yang memiliki anak sebanyak tujuh orang, dari anak yang pertama sampai anak yang ke-tujuh memiliki jenis kelamin yang sama, maka ayah tersebut harus diangkat menjadi raja pada wilayah dimana beliau tinggal atau pada wilayah lain yang belum memiliki raja.
Setelah istri beliau melahirkan anak yang ke-tujuh, yang juga berjenis kelamin laki-laki sama seperti jenis kelamin ke-enam orang kakaknya, maka segera setelah itu, tuan Libau langsung diangkat untuk menjadi raja pertama oleh masyarakat Dayak Iban didaerah mereka bermukim. Tujuh orang putra raja Patih Libau tersebut adalah Sengalang Burong, Menjaya, Selempandai (Selempetoh / Selempeta), Semerugah (Sempulang Gana), Ini Andan, Anda Mara (Gangga Ganggong) dan Sibunsu. Setelah dinobatkan menjadi raja, kepada beliau diberi gelar Patih. Gelar Patih disini adalah Patih yang bukan berasal dari bahasa Sanskerta, melainkan gelar Patih yang berasal dari Bahasa Dayak, yang artinya “memang memiliki nasib sangat putih atau memang memiliki nasib sangat mujur”, mengingat beliau ditakdirkan oleh Tuhan untuk menjadi raja, dimana oleh Tuhan kepada tuan Libau, dikaruniakan dengan tujuh orang anak yang berjenis kelamin sama, hal itu adalah sebagai tanda bahwa Tuhan memilih beliau untuk menjadi raja. Pusat pemerintahan kerajaan ini dalam bahasa aslinya disebut kota Panggau Libau Lendat Dibiau Takang Satu, yang diyakini berlokasi didekat muara Batangan (Sungai) Rajang, tepatnya diantara kota Sarikei, kota Bintangor dan Kota Sibu Sarawak Malaysia dimasa sekarang. Sebutan sungai Rajang berasal dari kata Rajang / Rajakng, yaitu kosakata hasil penDayakan (dijadikan kosakata bahasa Dayak dan dilafal menurut lidah orang Dayak) yang diserap dari bahasa Sanskerta "Raja". Jadi sungai Rajang bearti "sungai Raja". Sebutan Rajang ini sama halnya dengan sebutan "Sultang / Sultakng" yang merupakan kosakata hasil PenDayakan dari kata arab "Sultan".
Pada antara abad 10-12 Masehi, kelompok
orang kaya dan para bangsawan diwilayah kerajaan Panggau Libau / Wijayapura (Puchavarao) mulai disebut orang Buah Kana. Sebutan buah Kana
berasal dari nama tumbuhan buah yang bernama latin Canarium Album, yaitu spesies tanaman buah sub-tropis yang berasal
dari negeri China. Dimasa lampau, oleh orang China, buah Kana sering digunakan
untuk membuat manisan, yang kemudian menjadi salah-satu komoditas perdagangan yang
dibarter oleh para pedagang dari China dengan orang-orang Dayak Iban penduduk
kerajaan Panggau Libau / Wijayapura
(Puchavarao. Karena harga manisan buah Kana sangat mahal,
maka yang dapat membelinya hanya
kelompok elit,
yakni orang-orang kaya dan para bangsawan kerajaan Panggau Libau / Wijayapura (Puchavarao) saja. Sementara bagi rakyat
jelata, manisan buah Kana hanya menjadi makanan yang di rindukan dan
idam-idamkan, yang hanya dapat dimakan didalam khayalan mereka. Oleh karena
hal itu, buah Kana kemudian dimaknai sebagai “buah kerinduan atau buah idaman”. Mengingat buah kana adalah makanan prestis yang hanya
dapat dinikmati oleh orang-orang kaya dan para bangsawan kerajaan Panggau Libau / Wijayapura (Puchavarao),
kemudian oleh masyarakat Dayak Iban kuno, mereka menyebuti kaum bangsawan
mereka dengan sebutan “orang buah Kana”,
maksudnya adalah “kelompok masyarakat
elit, khususnya para bangsawan kerajaan Panggau Libau / Wijayapura (Puchavarao)
yang mampu membeli manisan buah Kana”.
Dayak
Iban yang bernama asli “Orang Benadai”
adalah salah-satu rumpun bangsa Dayak yang wilayah teritorial atau
wilayah penyebaran aslinya meliputi sebagian besar tanah negara bagian Sarawak Malaysia dan tanah
bagian timur dari provinsi Kalimantan Barat Indonesia. Mereka bermukim dari pesisir
barat Sarawak menyebar sampai ke timur didekat perbatasan antara Sarawak dengan
Brunei dan sampai ke arah selatan,
tepatnya tersebar didaerah kabupaten
Melawi, daerah kabupaten
kapuas hulu, daerah kabupaten Sintang dan daerah kabupaten
Sekadau di provinsi Kalimantan
Barat Indonesia. Sejak jaman
dahulu, orang Dayak Iban terkenal sebagai orang-orang
yang gemar mengembara. Mereka mengembara ke berbagai wilayah di kedalaman
hutan daratan pulau Dayak (Borneo) untuk mencari kepala kayau dan untuk mencari komoditas yang
bernilai ekonomi untuk memenuhi permintaan pasar dari para mitra dagang mereka yaitu
para pedagang dari China dan Indochina (Champa Vietnam, Khmer Cambodia dan Siam Thailand).
Barang-barang yang dimaksudkan adalah sarang burung walet, damar hutan, kemenyan,
kayu gaharu dan lain-lain.
Karena kegemaran orang-orang Dayak
Iban untuk mengembara ke seluruh kedalaman hutan daratan pulau Dayak (Borneo),
kemudian menyebabkan mereka disebut kaum Ivan oleh
masyarakat Dayak Kayan, yang
bearti para
pengembara.
Berasal dari sebutan Ivan inilah nama
etnis Dayak “Iban” terbentuk. Sementara pada orang Dayak Bidayuhik Barat, khususnya pada Dayak Banyuke (orang Banyadu), orang
Benadai atau Dayak Iban sering disebut dengan nama "Dayak Majang", Nama "Majang" merupakan paduan dua buah singkatan kosakata dalam bahasa
rumpun Dayak Bidayuhik, yaitu dari singkatan kata MALAR (selalu)
dan dari singkatan kata
NYAJANG (Menerjang / Menyerang),
yang seharusnya tertulis MALAR NYAJANG,
kemudian disingkat menjadi MAJANG. Jadi MAJANG
bearti “selalu
menerjang atau selalu
menyerang”. Penggunaan
kata Majang yang bearti selalu
menerjang atau selalu menyerang ini disebabkan karena dimasa pengayauan dahulu, Dayak Iban selalu mendatangi
tempat-tempat yang jauh untuk mengayau tanpa rasa takut sedikitpun, fenomena
inilah yang disebut MAJANG (selalu
menerjang) tersebut. Karena sejak kedatangan penjajah inggris di Sarawak pada abad ke-17 dan sampai sekarang banyak dari mereka yang masih tinggal di pesisir pantai
Sarawak dan bermata pencarian sebagai nelayan, kemudian menyebabkan mereka disebut Dayak
Laut oleh para antropolog barat.
Orang
India dan orang-orang di kepulauan nusantara
mengenal
kerajaan Panggau Libau dengan nama sanskerta “wijaya pura”, yang menurut ejaan India tertulis “Vijay pur”, yang
bearti “negeri kemenangan atau negeri kejayaan”. Dari sebutan
“Vijay Pur” ini kemudian diterjemahkan
oleh para
pelaut yang berasal dari orang
Spanyol dan Portugis kedalam bahasa mereka dengan
sebutan “Pucha Varao”. Kata Pucha ini bermaksud untuk menyebutkan Vijay dalam bahasa sanskerta menurut
ejaan versi India, sementara arti kata Varao
dalam bahasa Spanyol dan Portugis adalah “manusia
atau orang”, jadi Puchavarao berarti
“negeri orang-orang yang berjaya”. Adapun alasan
yang menjadi penyebab kenapa
kerajaan Panggau Libau / Wijayapura (Puchavarao)
disebut sebagai negeri kemenangan atau negeri kejayaan adalah karena disebabkan oleh tentara merekayang selalu berjaya atau berhasil
mengalahkan tentara
kerajaan Dayak yang lainnya.
Beberapa Kesalah-Fahaman Tentang Kerajaan Panggau Libau / Wijayapura (Puchavarao)
Kesalah-fahaman pertama adalah
menganggap bahwa kerajaan Panggau Libau /
Wijayapura (Puchavarao) adalah sebuah kerajaan makhluk Dewata dan berada di alam Sebayan (Surgawi). Hal ini terjadi karena adanya pemahaman dari beberapa
pencerita yang memahami bagian-bagian alur cerita tentang kerajaan ini, yaitu
bagian alur cerita yang telah dibumbui dengan menggunakan “rempah-rempah mitos” yang
berbentuk bahasa fenomena dan bahasa simbolis, yang kemudian difahami
secara sangat harafiah. Berdasarkan
cerita yang ditutur secara turun-temurun
kepada seluruh
generasi, disebutkan
bahwa, kerajaan Panggau Libau / Wijayapura (Puchavarao) yang karena kejayaan dan keagungan serta
kemakmurannya kemudian
menyebabkan kerajaan ini
dianggap sebagai kerajaan sebayan (Surgawi) dan para raja serta
kaum bangsawannya juga dianggap
sebagai para Petara (Dewa) Panggau Libau, yang
menjadi panutan dan pujaan bagi masyarakat rumpun Dayak Ibanik.
Fenomena ini sama dengan apa yang juga terjadi pada kerajaan Bawakng (Tamartatos)yang
terdapat di bagian barat pulau Dayak
(Borneo) pada jaman
dulu, bahwa oleh
rakyatnya, kerajaan Bawakng (Tamaratos) juga dianggap sebagai kerajaan sabayatn (surgawi) dan para raja serta
bangsawannya dianggap
sebagai para Jubata (dewa) Bawakng, hanya karena
disebabkan oleh taraf kehidupan dilingkungan istana dipandang lebih baik dan
lebih makmur serta lebih beradab daripada kehidupan rakyatnya. Selain pada kerajaan Panggau Libau / Wijayapura (Puchavarao) dan
pada kerajaan Bawakng (Tamaratos), fenomena pada kerajaan Dayak di kalimantan
timur, khususnya pada kerajaan
Kutai Martadipura juga demikian
adanya, bahwa oleh sebagian rakyatnya kerajaan itu dianggap sebagai kerajaan surgawi, dan terlebih disebabkan oleh adanya beberapa orang dari rajanya memiliki nama depan yang berbunyi “dewa”. Jadi bukan karena kerajaan Panggau Libau / Wijayapura (Puchavarao) memang “nyata” sebagai kerajaan Surgawi
milik para makhluk Dewata
yang kemudian menyebabkannya
didalam cerita dianggap sebagai kerajaan Sebayan (Surgawi), melainkan karena disebabkan oleh kedigdayaan, kehebatan dan kekuatan serta kemakmuran yang
telah dicapai oleh kerajaan Panggau Libau
/ Wijayapura (Puchavarao) dahulu
yang telah melebihi pencapaian kerajaan lain dimasa itu.
Kesalah-fahaman yang kedua adalah adanya
opini yang mengatakan bahwa tidak mungkin orang-orang Dayak Iban telah
mempunyai kerajaan di tanah Sarawak pada abad ke-7 masehi, mengingat dalam
anggapan mereka orang Dayak Iban baru masuk ke Sarawak setelah pergi dari
wilayah kerajaan Panggau Banyau (Tampun
Juwah) pada abad 13 masehi dahulu. Sudah jelas ini adalah anggapan yang
sangat “ngawur / bulshit”, karena
dahulu suku Dayak Iban yang menjadi pengungsi ke kota Banyau ibukota kerajaan Panggau
Banyau (Tampun Juwah) tersebut
adalah hanya sebagian kecil dari orang-orang Dayak Iban lokal (Iban Kalimantan Barat) yaitu
Dayak Iban yang sejak dahulu telah tinggal dibagian timur kalimantan barat, terutama yang
berasal dari kampung-kampung yang terletak di
kawasan bukit Kujau, bukit
ayau, Air Berurung, Balai Bidai dan Tinting Lalang Kuning. Dahulu para pengungsi (Refugees) dari Dayak Iban Kalimantan Barat tersebut mendatangi ibukota kerajaan
Pangau Banyau (Tamputn Juwah), untuk menghindari
bencana kelaparan akibat kegagalan panen. Tentu saja hal
ini bukan bearti bahwa seluruh warga Dayak Iban selatan dahulu
mengungsi ke kota Banyau, melainkan
hanya beberapa ratus orang saja.
Mereka
meninggalkan kota Banyau ibukota
kerajaan Panggau Banyau (Tampun Juwah) setelah
diserang oleh tentara kerajaan Lawai /
Hulu Aik (Bakulapura / Tanjungpura) pada abad 13 masehi dahulu.
Setelah itu, penduduk kota Banyau baik yang berasal dari Dayak
Iban, maupun yang berasal dari kelompok Dayak Bidayuhik timur, seluruhnya
meninggalkan kota itu. Hanya sebagian kecil saja dari kelompok orang Dayak Iban
yang berasal dari kota Banyau, yang
masuk ke tanah Sarawak pada waktu itu. Para Keturunan Dayak Iban dari kota Banyau yang tinggal menetap di antara
penduduk Dayak Iban lokal Sarawak itulah yang sering bercerita bahwa leluhurnya (Anchestor)
datang dari kota Banyau ibukota
kerajaan Panggau Banyau (Tampun Juwah), yang kemudian oleh
sebagian generasi muda dimasa sekarang, terutama oleh mereka yang pemahamannya
sangat dangkal, mereka menganggap dan mengklaim bahwa seolah-olah seluruh Dayak
Iban datang dari Tampun Juwah.
Agresi Militer Ke Kerajaan Banua Ot Danum
Setelah
Raja Patih Libau meninggal dunia,
kemudian beliau digantikan oleh anaknya yang bernama Sengalang Burong. Pada waktu
pemerintahan Raja Patih Sengalang Burong
adalah masa awal bagi kerajaan Panggau
Libau / Wijayapura (Puchavarao) untuk melakukan agresi militer ke wilayah
kerajaan Dayak yang lain, sehingga setelah ratusan tahun kemudian, roh beliau
dianggap serta dijadikan sebagai “dewa
perang” oleh masyarakat Dayak
Ibanik. Pada masa beliau berkuasa, tentara kerajaan Panggau Libau / Wijayapura (Puchavarao) melakukan
agresi militer besar yang pertama. mereka terlibat konflik dengan pihak
kerajaan Banua
Ot Danum yang terletak
diperbatasan antara Kalimantan Barat dengan Kalimantan Tengah, tepatnya
dibagian selatan kecamatan Ambalau Kabupaten Melawi Kalimantan Barat dimasa
sekarang. Kerajaan Banua Ot Danum
adalah sebuah kerajaan milik rumpun Dayak Ot Danum yang telah berdiri pada
sekitar abad 6 Masehi dengan ibukota kerajaannya bernama kota Lewu
Batu Nindan Tarung. Raja pendiri kerajaan Ot Danum adalah Patih Antang Bajelu Bulau, yaitu seorang raja yang
kemudian lebih dikenal dengan nama gelar Raja Tunggul Garing Janjahunan Laut.
Pada saat diserang oleh tentara
kerajaan Panggau Libau pada sekitar
abad 7 Masehi, kerajaan Banua Ot Danum
dipimpin oleh raja yang ke-empat yang bernama Patih Lambung,
yang kemudian
dikenal sebagai raja Bunu. Jika dikaitkan
dengan peristiwa serangan tentara kerajaan Panggau
Libauini, maka julukan “raja Bunu” memiliki arti sebagai “raja yang pada saat beliau berkuasa,
rakyatnya banyak terbunuh”. Karena disebabkan oleh hal itu, kemudian
oleh masyarakat Dayak Kalimantan Tengah, Patih
Lambung alias raja Bunu dianggap
sebagai raja yang tidak kekal karena mengalami kematian dibandingkan dengan
tiga raja sebelumnya, yang secara rasional artinya adalah “kerajaan yang dipimpin olehnya mengalami porak-poranda (Tidak berdiri
tegak / mundur)”. Pada
peperangan dengan tentara kerajaan Panggau
Libau pimpinan raja Patih Sengalang Burong
waktu itu kerajaan Banua Ot Danum mengalami kehancuran, pemimpinnya yaitu raja Patih Lambung (Raja Bunu) dapat selamat,
namun salah-satu kakinya patah, sehingga sewaktu beliau dibawa lari ke alam bawah
(maksdunya: arah Selatan) oleh
tentaranya, beliau digotong memakai sebuah tandu yang terbuat dari logam mulia
yang berkilau, yang dinamai “Palangka
Bulau” yang bearti “Tandu logam mulia
yang berkilau”. Dari keturunan
raja Patih Lambung (Raja Bunu) itulah
kelak raja-raja Dayak Kalimantan Tengah, yaitu raja-raja penguasa kerajaan
Bataguh, kerajaan Nan Sarunai dan kerajaan yang lainnya akan lahir.
Setelah agresi militer ke kerajaan Banua Ot Danum, Patih Sengalang Burong memerintahkan seorang Pangalangok (Pemimpin Militer) kerajaannya,
yaitu Singa Bujang Bejie (Jendral Bujang
Bejie) bersama
sejumlah tentaranya untuk tinggal disekitar muara sungai Melawi dengan tujuan untuk
berjaga-jaga sebagai pembendung
atau
penghadang jika seandainya pihak tentara kerajaan Banua Ot Danum akan melakukan serangan balik dari ibukota
kerajaannya yang baru di daerah hilir sungai Kahayan didaerah Kalimantan Tengah
dimasa sekarang, ke wilayah kerajaan Panggau
Libau / Wijayapura (Puchavarao) bagian selatan yaitu daerah Kabupaten
Sintang dimasa sekarang.
Dari kejadian
sejarah nyata tentang penugasan Singa
Bujang Bejie (Jendral Bujang Bejie) sebagai pemimpin tentara “pembendung atau panghadang”
inilah, kemudian lahir cerita berbau mitos yang menyebutkan bahwa Singa Bujang Bejie (Jendral Bujang Bejie)
menggunakan bukit Kelam yaitu sebuah batu
raksasa (sebenarnya merujuk pada tentara kerajaan Panggau Libau), yang akan
digunakan untuk membendung atau menghadang sungai melawi, yang mengalir dari
arah selatan, yang secara rasional merujuk kepada “tentara kerajaan Banua Ot Danum”, yang kemungkinan besar akan
melakukan serangan balik ke wilayah kerajaan Panggau Libau / Wijayapura (Puchavarao).
Berasimilasi Dengan Ras
Nefilim Dari Bangsa Girgasi.
Raja
Patih Sengalang Burong dengan
istrinya hanya memiliki satu orang anak yaitu seorang anak perempuan yang bernama Dayang Xia Bunsu Kamba. Karena adat
bangsa Dayak lebih mengutamakan agar yang menjadi pemimpin adalah
seorang laki-laki, maka dengan terpaksa para bangsawan kerajaan Panggau Libau / Wijayapura (Puchavarao)
mempercayai suami putri Dayang Xia Bunsu
Kamba yaitu Telichay untuk
mengemban tugas sebagai raja, menggantikan
kedudukan mertuanya almarhum Patih
Sengalang Burong, dengan
persyaratan yang telah ditentukan.Patih Telichay adalahputra ketiga dari Singa Bujang Bejie (Jendral
Bujang Bejie) yaitu seorang Pangalangok
(Pemimpin Militer)
kerajaan Panggau Libau / Wijayapura (Puchavarao) yang bertugas sebagai
pimpinan pasukan “penghadang /
pembendung” untuk menjaga keamanan wilayah
selatan kerajaan Panggau Libau /
Wijayapura (Puchavarao) dari kemungkinan serangan balik tentara kerajaan Banua Ot Danum.
Raja
Patih Telichay dengan istrinya Dayang Xia Bunsu Kamba melahirkan enam orang anak
laki-laki dan seorang anak perempuan, mereka adalah; Gemuring Gading / Si-Gundi (ayah; Kelieng), Retak Daai (ayah; Sarapoh), Lalak
Pala (ayah; Bujang Konunding Mupong), Brenai Sugi (ayah; Kumpai Brenai Rarat
Beranatong), Kurong Mayang, Bui Nasi dan Belahan (ayah; Remias yang menikah dengan Patih Ambau yaitu raja kerajaan Selimbau milik Dayak Tamambaloh /
Dayak Taman daerah Kapuas Hulu). Setelah Raja Patih
Telichay meninggal dunia, kemudian beliau digantikan oleh anak tertuanya,
yaitu Gemuring Gading, yang sering disebut juga oleh
rakyatnya sebagai “sigundi”. Raja
Patih Sigundi (Gemuring Gading)
dengan istrinya yang bernama Laing
melahirkan dua orang anak laki-laki dan dua orang juga anak
perempuan, mereka adalah; Keling (Manok Biring Sempidan Arang, Keling
Aji Berani Tau Serang), Bujang Tuai buuk begundai, Endu Rikok Papan Pelangka
(perempuan) dan
Endu Sipantang Mayang (perempuan).
Setelah
Raja Patih Gemuring Gading (Sigundi)
meninggal dunia, kemudian beliau digantikan oleh anaknya yang bernama Kelieng. Dia adalah seorang pria yang bertubuh
tinggi besar dan kuat,
gagah berani, juga memiliki wajah yang sangat tampan untuk ukuran dijamannya.
Selain itu, ia
juga diyakini memiliki kekuatan gaib karena dapat menghilangkan dirinya dari
pandangan mata musuh
dan mampu mengubah wajahnya
dengan karakter yang berbeda-beda. Dipercaya bahwa pada diri raja Patih Kelieng mengalir darah bangsa Girgasi
(Bangsa Manusia Raksasa), yang berasal dari kakeknya
raja Patih Telichay. Pada Patih Telichay sendiri, darah Girgasi (Gerasi / Garagasi / Garangsi /
Gergasi) mengalir dari neneknya yaitu ibu kandung Singa Bujang Bejie (Jendral Bujang Bejie).
Bangsa Girgasi atau dalam bahasa Dayak Iban disebut “Gerasi”, pada bahasa Dayak Banyadu dan Dayak Kanayatn (Salako) disebut “Garagasi”,
dan pada bahasa Dayak Bakati disebut “Garangsi”,
serta pada bahasa Dayak Apau Kayan
(Kayan, Kenyah, Bahau dan lain-lain) maupun pada bahasa Melayu disebut “Gergasi”, sejatinya adalah manusia
Hibrida, yaitu ras campuran antara manusia planet bumi dengan Alien beriman (Alien yang percaya kepada
Tuhan) yang kemudian membangkang
(Berbuat Dosa) setelah mereka mengawini anak-anak perempuan manusia pada
waktu mereka bertugas menjadi Malaikat (Utusan Tuhan) untuk memantau keadaan dipermukaan planet bumi ribuan tahun dahulu.
Untuk anda (pembaca) yang beragama
Kristen, anda bisa membaca tentang ras Nefilim yang disebut bangsa Girgasi pada
Alkitab Perjanjian Lama.
1
Tawarikh 1:14 Kanaan adalah juga leluhur orang Yebusi, Amori, Girgasi
Ulangan
7:1- 3 Apabila TUHAN, Allahmu, telah membawa engkau ke dalam negeri, ke mana
engkau masuk untuk mendudukinya, dan Ia telah menghalau banyak bangsa dari
depanmu, yakni orang Het, orang Girgasi, orang Amori, orang Kanaan, orang
Feris, orang Hewi dan orang Yebus, tujuh bangsa, yang lebih banyak dan lebih
kuat dari padamu, dan TUHAN, Allahmu, telah menyerahkan mereka kepadamu,
sehingga engkau memukul mereka kalah, maka haruslah kamu menumpas mereka sama
sekali. Janganlah engkau mengadakan perjanjian dengan mereka dan janganlah
engkau mengasihani mereka. Janganlah juga engkau kawin-mengawin dengan mereka
bagi anak-anakmu.
Ulangan 20:17 tetapi, engkau harus menumpas (Ibrani: Charam) mereka dengan
tuntas, yaitu orang Het, orang Amori, orang Kanaan, orang Feris, orang Hewi dan
orang Yebus, seperti yang telah YAHWEH Elohimmu perintahkan kepadamu.
Perhatikan pada ayat Alkitab
Perjanjian Lama Ulangan 20:17 diatas! seluruh bangsa dari ras Nefilim yang menempati tanah
Kanaan disebutkan, tetapi
orang Girgasi
tidak lagi disebut, padahal pada ayat-ayat Alkitab sebelumnya, bangsa Girgasi
disebutkan. Jika demikian, timbul sebuah pertanyaan kepada diri kita; kenapa orang Girgasi tidak disebutkan dan
apa yang terjadi pada mereka? Ternyata
setelah kedatangan orang-orang Israel dari Mesir pimpinan Nabi Musa dahulu pada
sekitar abad 15 Sebelum
Masehi, orang-orang Girgasi memilih pergi secepatnya meninggalkan tanah Kanaan.
Kemungkinan besar mereka melakukan perjalanan darat ke arah timur, sehingga
suatu saat mereka sampai ke Asia tenggara
(Indochina dan Nusantara). Itulah sebabnya, cerita tentang manusia raksasa
yang disebut bangsa Girgasi (Gerasi /
Garagasi / Garangsi / Gergasi) terdapat hampir diseluruh kebudayaan Asia Tenggara (Indochina dan Nusantara) termasuk pada
kebudayaan bangsa Dayak.
Pada awalnya antara Bangsa Dayak
dengan bangsa Girgasi (Gerasi / Garagasi
/ Garangsi / Gergasi) dapat hidup
bersama, namun karena bangsa Girgasi berperangai jahat dan mempraktekan kanibalisme, menyebabkan mereka sangat dibenci oleh
orang Dayak, sehingga muncul julukan kepada mereka dengan sebutan “setan atau hantu”.
Jadi sebutan hantu girgasi bukanlah disebabkan karena mereka makhluk roh,
melainkan karena tabiat jahat mereka, sementara secara entitas, mereka sama
seperti kita manusia, yaitu makhluk jasmani
(Fisik) adanya. Setelah itu timbul konflik bersenjata diantara kedua belah
pihak, meskipun bangsa Girgasi (Gerasi /
Garagasi / Garangsi / Gergasi) bertubuh
raksasa, tetapi mereka tidak kebal terhadap racun Ipoh yang dioleskan pada anak
sumpit dan unjung Tombak orang Dayak. Karena kalah perang, kemudian bangsa Girgasi (Gerasi / Garagasi / Garangsi / Gergasi)
memilih tinggal didalam hutan-hutan rimba yang sangat lebat. Meskipun
demikian, beberapa orang dari perempuan bangsa Girgasi (Gerasi / Garagasi / Garangsi / Gergasi) ada yang berperangai
baik. Gadis-gadis cantik dan bertubuh besar yang berasal dari keluarga Girgasi
yang berperangai baik itu, adakalanya menikah dengan beberapa orang raja dan
bangsawan Dayak yang diketahui dalam sejarah, dari keturunan mereka itulah,
kemudian muncul raja-raja Dayak yang bertubuh raksasa dengan tinggi diatas dua
meter dan warna kulit putih sampai kemerah-merahan.
Beberapa raja dan bangsawan Dayak yang
ditubuhnya mengalir darah bangsa Girgasi
(Gerasi / Garagasi / Garangsi / Gergasi) adalah: Patih
Telichay, Patih Kelieng dan Singa Bujang
Bejie (Jendral Bujang Bejie) serta Patih
Sumbang Lawing pada kerajaan Panggau Libau milik Dayak Ibanik Utara (Sarawak). Patih Butag Bawakng dan Patih Payog (Bujakng Nyangkog Samabue) pada
kerajaan Bawakng (Tamaratos) milik
Dayak Bakati, Patih Garangsi Japu Tunggal
(Tan Unggal) pada Kerajaan Tan Unggal Sambas milik Dayak Bakati, Patih
Rugaf Ayag pada kerajaan Ango Talaga
(Sangah Tumila) milik Dayak Kanayatn timur, Patih Lambung (Raja Bunu) pada kerajaan Banua Ot Danum milik Dayak Ot
Danum, Patih Upai Semaring (Awang Semaun)
pada kerajaan Brunei milik Dayak Lundayeh kuno dan raja Patih Abang Bendo raja
pertama pada kerajaan Selimbau milik Dayak Taman dan Dayak Ibanik Timur.
Karena pada jaman dahulu ras raksasa
memang terdapat di pulau Dayak (Borneo),
maka oleh orang-orang Jawa terutama berdasarkan catatan tertulis yang terdapat pada
buku “Serat Maha Parwa”,
mereka
(orang-orang Jawa) menyebutkan
bahwa pulau Dayak (Borneo) atau yang
disebut nusa Kencana, merupakan tempat tinggal para raksasa. Jadi bahwa bangsa Girgasi (Gerasi / Garagasi / Garangsi /
Gergasi) memang sempat
menghuni pulau Dayak (Borneo)
jaman dahulu, bukanlah isapan jempol
belaka (bukan cerita bohong), tetapi berdasarkan sejarah nyata. Seperti yang
kita ketahui, bahwa adat Kayau umumnya menjadikan para raja dan para bangsawan
kerajaan pada tiap kerajaan Dayak yang lain sebagai target kayau, maka dengan
mengetahui bahwa pada beberapa raja Dayak dimasa dahulu, ternyata didalam tubuhnya
mengalir darah Nefilim, maka kita bisa memaklumi bahwa alasan rasional dari “adat Kayau (Headhunter)” dilakukan adalah untuk memutuskan rantai genetik Nefilim
pada para pemimpin bangsa Dayak dan siapapun orang yang pertamakali memberikan
perintah untuk melakukan adat Kayau
(Headhunter), kemungkinan besar dia adalah sosok malaikat Tuhan yang
menyamar menjadi orang Dayak pada jaman dulu.
Dimasa
kelahiran Raja Patih Kelieng diduga bahwa kerajaan Panggau Libau / Wijayapura
(Puchavarao) mulai berhubungan dengan pedagang dan penyebar agama
Hindu dari India,
sehingga sebagai pengingat akan peristiwa pertemuan pertama kali antara suku
Dayak Iban dengan orang-orang
India, kemudian menyebabkan Raja
Patih Gemuring Gading menamai anaknya
dengan nama Kelieng, yaitu nama salah-satu sub-etnis dari
bangsa Tamil India yang menyebarkan agama
hindu diwilayah
kerajaan Panggau Libau / Wijayapura (Puchavarao) dahulu. Raja Patih Kelieng menikah dengan istrinya yang
bernama Lunlong yang dikenal
juga dengan nama Dara
Kumang, dia adalah
salah-seorang putri Batu Anggong (Bujang Sebalu
Ngenang) yang berasal
dari kota Gelong (Batu Nakong Nyingit
Nyingong Sadar Berbaring Sadar) atau yang dikenal dengan nama Long Nawang
dimasa sekarang. Kota Gelong Nawang adalah pusat
pemerintahan kerajaan Apau Kayan, yaitu sebuah kerajaan milik
bangsa Dayak Kayan dan Dayak Kenyah di Kalimantan Utara sekarang.
Mereka
yang mengungsi ke kerajaan Panggau Libau
/ Wijayapura (Puchavarao) pada waktu itu adalahBatu Anggong (Bujang Sebalu ngenang) bersama dengan
lima orang anaknya, yaitu; Lunlong (Kumang), Ngelai, Tuntong, Indai Abang, Apai
Abang. Dara
Kumang (Lunlong) adalah seorang gadis yang berwajah
sangat cantik, kulitnya putih kuning mulus, rambut panjang dan lurus serta memiliki mata sipit khas mata masyarakat
Dayak Kayan dan Dayak Kenyah. Karena kecantikannya menyebabkan raja patih Keling jatuh cinta dan
memperistrikannya. Setelah Raja Patih kelieng
menikah dengan Dara Lunlong (Kumang)
mereka memiliki beberapa orang anak.Ketika
Raja Patih Kelieng meninggal dunia, beliau diganti oleh anaknya yang bernama Landai. Raja Patih Landai dengan istrinya yang bernama Dara Panty melahirkan beberapa orang anak, yang salah-satunya
bernama Romuyan. Setelah Raja Patih Landai meninggal dunia, kemudian beliau
digantikan oleh anaknya yang bernama Romuyan.
Raja Patih Romuyan dengan istrinya
yang bernama Shinyau melahirkan
beberapa orang anak, yang salah-satunya bernama Bedai, yang kelak menggantikannya untuk
menjadi raja di kerajaan Panggau Libau /
Wijayapura (Puchavarao).
Setelah
Raja Patih Romuyan meninggal dunia,
kerajaan Panggau Libau / Wijayapura (Puchavarao) diperintah oleh Raja Patih Bedai. Kemudian
Raja Patih Bedai
dengan istrinya yang bernama Belunan
mempunyai beberapa orang anak dan anak mereka yang tertua bernama laja. Harap diketahui bahwa orang yang
bernama Laja pada bangsawan kerajaan Panggau Libau / Wijayapura (Puchavarao) ada dua orang. Dijaman Raja Patih Kelieng berkuasa, salah-satu pengawalnya (Manok Sabong) bernama Laja, namun Laja yang menjadi pengawal tersebut bukanlah anak kandung dari
cicitnya yang bernama Bedai,
melainkan Laja anak Sanggima yaitu
salah-satu kerabat ayahanda Raja Patih Kelieng yang bernama Raja Patih Gemuring
Gading.
Setelah
Raja Patih Bedai
meninggal dunia, beliau digantikan oleh anaknya Laja. Raja Patih Laja anak
Patih Bedai dengan istrinya melahirkan beberapa orang
anak, dimana dua orang anak mereka
adalah anak laki-laki,
yaitu Nyiur Gading dan Ampang Gading (Pesampang). Pada masa raja Patih Laja anak Patih Bedai berkuasa, anak
tertuanya yang bernama Nyiur Gading (Kelapa Gading), datang ke kota Bawakng Basawag ibukota kerajaan Bawakng (Tamaratos) yang
terletak didaerah kota Bengkayang Kalimantan Barat dimasa sekarang. Ia datang
sebagai peserta yang mewakili pihak kerajaan Panggau Libau / Wijayapura (Puchavarao) yang diundang untuk
mengikuti pertandingan Pangka Gasing
melawan para pangeran (Anak-anak Raja) dan para bangsawan kerajaan Bawakng (Tamaratos).
Pada waktu itu, beliau baru saja menceraikan istrinya yang dikenal sebagai perempuan tukang sihir yang
sangat hebat. Konon, dengan
kekuatan sihirnya, janda Nyiur Gading
tersebut mampu menghadirkan ataupun menghilangkan benda dan hewan-hewan
tertentu. Menurut versi orang Banyadu
(Dayak Banyuke), orang Bakati (Dayak Rara) dan orang Bananag (Dayak Kanayatn / Salako),
istri pertama Nyiur Gading bernama Seputin
Dara Sabayan,
yang pada versi orang Benadai (Dayak
Iban) Sarawak dikenal dengan nama Sabatin. Pangeran Nyiur Gading dengan Seputin Dara Sabayan (Sabatin) mempunyai
seorang anak yang bernama Derom.
Kelak dari keturunan Derom itulah
lahir raja Tugau yang terkenal dengan
kekejamannya, yaitu raja pertama di kerajaan Likao milik Dayak Melanau.
Ketika Nyiur Gading mendatangi kota Bawakng Basawag, beliau membawa
banyak benih Ansabi (sawi Dayak), benih
Arupm (bayam Dayak), benih mentimun dan
benih Nyore (sorgum) untuk
memperkenalkannya kepada penduduk kota Bawakng
Basawag agar mengembang-biakan tanaman tersebut. Pada
saat Nyiur Gading mengikuti pertandingan
game
tradisional yang bernama permainan “Pangka Gasikng (Tabrakan Gasing)”
melawan raja Patih
Baniamas
(Benih Emas)
dan kakaknya pangeran Salujatn. Pada saat
itu, putri sulung raja Baniamas (Benih Emas) yang bernama Balo Tanang (Cahaya Tenang / Cahaya Temaram)
ikut menonton pertandingan tersebut. pada saat itulah Nyiur Gading jatuh cinta dengan putri Balo Tanang (Cahaya Tenang / Cahaya Temaram).
Kemudian
Nyiur Gading melamar putri Balo Tanang (Cahaya Tenang / Cahaya Temaram)
kepada raja Baniamas (Benih Emas) dan
di setujui, setelah itu mereka langsung dinikahkan. Pernikahan antara pangeran Nyiur
Gading (Kelapa Gading)
dengan putri Balo Tanang (Cahaya Tenang /
Cahaya Temaram) melahirkan dua orang anak, mereka adalah; Mitha yang
berjenis kelamin perempuan dan seorang anak laki-laki yang diberi nama Ramaga, sama
seperti nama almarhum kakek putri Balo Tanang
(Cahaya tenang / Cahaya Temaram),
yaitu almarhum raja Patih Ramaga. Putra mereka yang bernama Ramaga putra Nyiur Gading itulah yang
mendirikan kerajaan Bahana Pura (Bangkule
Rajakng) sebagai cikal-bakal
kerajaan mempawah, di kota Bahana yang terletak didaerah Karangan dimasa sekarang.
Setelah
Raja Patih Laja anak
Bedai
meninggal dunia, kemudian beliau digantikan oleh anaknya yang bernama Ampang Gading (Pesampang). Selain
menjadi raja, Patih Ampang Gading (Pesampang)
juga merangkap menjadi seorang Lemambang
(Imam) dilingkungan istana kerajaan Panggau
Libau / Wijayapura (Puchavarao). Setelah Patih Ampang Gading meninggal dunia, beliau digantikan oleh anaknya yang
bernama Manok Babari. Raja Patih manok Babari dikenal sebagai raja yang
usil dan nakal, maksudnya adalah karena dimasa beliau berkuasa, beliau memperluaskan
daerah kekuasaannya sampai ke wilayah kerajaan Panggau Banyau (Tampun Juwah), sehingga menimbulkan konflik dengan
penduduk Dayak Iban selatan (Iban Kalbar)
yang menjadi bagian dari rakyat kerajaan Panggau
Banyau (Tampun Juwah). Setelah raja
Patih Manok Babari wafat, beliau digantikan oleh anaknya yang bernama Xeniba. Pada masa beliau berkuasa, kerajaan Panggau Libau / Wijayapura (Puchavarao) mengalami puncak
kegemilangannya. Karena
kehebatan dan kekayaan serta kepopuleran kerajaannya, kemudian oleh rakyatnya, beliau disebut
sebagai Raja Petara (Raja
Dewata). Raja Patih Xeniba memiliki tiga orang anak yang
semuanya berjenis kelamin perempuan, mereka
adalah Dara
Jantong, Jelati Dara Sebayan dan Dayang Kaman dara remia.
Dimasa
pemerintahan Raja Patih Xeniba pada abad 12 masehi,
Pangalangok (Pemimpin Militer) kerajaan Pantanatn /
Nek Riuh (Tamenacerim) yaitu Singa
Barinang (Jendral Belimbing Sayur) datang ke ibukota kerajaan Panggau Libau / Wijayapura (Puchavarao),
karena beliau merasa malu jika harus
pulang ke kota Barangan yaitu ibukota
kerajaan Pantanatn / Nek Riuh
(Tamenacerim), disebabkan oleh
beliau yang tidak mampu mendapatkan satupun kepala
kayau, ketika beliau dan tentaranya
mengayau ke wilayah kerajaan Sijakng (Sungkung) milik Dayak Bidayuh. Di ibukota kerajaan Panggau
Libau / Wijayapura (Puchavarao), Singa Barinang (Jendral Belimbing Sayur) diterima dengan baik bahkan beliau
di jodohkan dengan anak tertua Raja Patih
Xeniba yang bernama Dara Jantong,
tetapi karena Dara Jantong menolak
kemudian Singa Barinang (Jendral
Belimbing Sayur) dijodohkan dengan adik Dara
Jantong yang bernama Jelati Dara Sebayan atau menurut
versi Dayak Rara (Orang Bakati)
dan Dayak Banyuke (Orang Banyadu)
disebut Jalate Dara Sabayatn, atau menurut versi Dayak Kanayatn / Dayak
Salako (Orang Bananag) disebut Julate Dara Subayatn.
Karena
Dara Jantong menolak dijodohkan
dengan Singa Barinang (Jendral Belimbing
Sayur) menyebabkan dirinya diusir dari istana oleh ayahnya Raja Patih Xeniba dan memaksanya pergi
berkelana kearah selatan dan tinggal didalam hutan yang sangat jauh dari tempat
asalnya. Didalam hutan,
dia tinggal didalam sebuah pondok yang seluruh lantai dan dinding serta atapnya
terbuat dari bambu betung yang di ikat dengan tali yang terbuat dari akar kayu Tabog Tengang. Suatu saat Dara Jantong bertemu dan menikah dengan Khesekag Busong. Perkawinan antara Khesekag
Busong dengan Dara Jantong melahirkan beberapa orang
anak, yang salah-satunya
bernama Bujang Panjai . Ketika dewasa
Bujang Panjai pergi ke kota asal
ibunya, disana dia bertemu dan menikah dengan seorang gadis cantik bernama Dayang Kaman Dara Remia yang ternyata
adalah bibi dari Bujang Panjai
sendiri. Hal ini terjadi karena pada waktu mereka bertemu dan menikah, Bujang Panjai dan pihak istana Panggau Libau / Wijayapura (Puchavarao) tidak mengetahui bahwa Bujang Panjai adalah anak Dara Jantong. Setelah mereka kawin dan
memiliki beberapa orang anak, suatu waktu Raja Patih Xeniba mengetahui bahwa Bujang
Panjai ternyata adalah cucunya, yakni anak dari Dara Jantong, maka Raja Patih
Xeniba murka dan mengusir Bujang
Panjai agar kembali
ke negerinya.
Agresi Militer Ke Kerajaan Pantanatn / Nek Riuh (Tamenacerim) Kalimantan Barat Pada Abad 13
Masehi.
Dari perkawinan antara Singa Barinang (Jendral Belimbing
Sayur) dengan Jelati Dara Sebayan melahirkan beberapa orang
anak dan anak sulung mereka bernama “Baruwakng
(asal kata: Uwakng = kerabat)”. Didalam bahasa Dayak Bakati yaitu
bahasa asal ayahnya, nama Baruwakng
atau “Baruhakng”
menurut terjemahan ke dalam bahasa Dayak
Banyuke (orang Banyadu) yang bearti “Bakamaru atau Bapage” pada bahasa Dayak
Kanayatn / Dayak
Salako (orang Bananag)
atau bearti “Berkerabatan” pada bahasa Indonesia. Adapun hal yang menjadi alasan
kenapa anak tertuanya diberi nama Baruwakng
adalah karena Baruwakng seorang anak blasteran (Campuran / Kacukan) yang
lahir dari seorang ayah yang berdarah Dayak Bakati dan seorang ibu yang
berdarah Dayak Iban, sehingga beliau memiliki darah “kekerabatan” diantara orang
Dayak Bakati dan orang Dayak Iban.
Sewaktu
Singa Barinang (jendral Belimbing sayur)
masih hidup dan tinggal memerintah sebagai raja untuk mengganti almarhum raja Patih Xeniba yang tidak memiliki anak laki-laki,
antara pihak kerajaan
Pantanatn / Nek Riuh (Tamenacerim) dan
pihak kerajaan Panggau Libau (wijayapura / Puchavarao) masih berhubungan dengan
sangat baik, bahkan setelah anak raja Patih Singa Barinang (jendral belimbing
sayur) yang bernama Baruwakng (berkerabatan) bercerai
dengan istri lamanya,
raja kerajaan Pantanatn / Nek Riuh
(Tamenacerim) yang berkuasa pada waktu itu, yakni raja Patih Enal (Patih Pemicu)
mengirim Patone (utusan pelamar
pengantin) ke kerajaan Panggau Libau
(wijayapura / Puchavarao), untuk meminta kepada Singa Barinang(jendral belimbing sayur), agar beliau bersedia
menjodohkan anaknya yang bernama Baruwakng dengan anak raja Patih
Enal (patih pemicu) yang bernama Jamani.
Kemudian atas perintah ayahandanya, Pangeran Baruwakng yang telah menduda itu hijrah ke kota Barangan untuk menikah dengan Putri Jamani, anak raja Patih Enal (patih pemicu). Sewaktu
mendatangi kota Barangan, pangeran Baruwakng (berkerabatan) bersama utusan
dari kerajaan Pantanatn / Nek Riuh
(Tamenacerim) membawa banyak bibit padi Dayak Iban yang mempunyai rasa se-enak rasa buah, yaitu varietas padi yang pada masa sekarang
dikenal denga nama padi “palawakng”. Nama
padi PALAWAKNG merupakan paduan dari singkatan kosakata “PAde (padi) LAngok
(aroma dan rasa) baWAKNG (buah)” yang bearti “padi yang berasnya memiliki
aroma dan rasa se-enak
buah”. Namun oleh
orang-orang yang menterjemahkan kata kulub tersebut sebagai kulub kelamin pria,
menurut mereka sebutan
Palawakng merupakan
singkatan dari kosakata
Palat baruwakng
yang bearti “area kulub kemaluan
Baruwakng”. Pada dasarnya bukan karena benih padi yang dibawa itu disembunyikan
didalam kulub kelaminnya, seperti yang disebutkan pada cerita yang telah
terkontaminasi oleh mitos, melainkan karena seluruh gabah benih padi tersebut dibungkus dengan menggunakan kain kulub (kain selimut). Penggunaan kain kulub (kain selimut) tersebut dilakukan agar gabah-gabah yang dibawa tidak
mudah tumpah atau berceceran selama berada diatas ajung (kapal laut), karena satu-satunya cara untuk mendatangi kota Barangan yang paling cepat adalah
melalui jalur laut.
Karena
Baruwakng pada waktu itu
belum disunat, maka sesuai dengan
tradisi adat Dayak Bakati, sebelum menikah Baruwakng
harus disunat dahulu. Mengetahui bahwa pangeran Baruwakng belum disunat, banyak penduduk kota Barangan yang meledekinya,
dengan menyebutkan “Baruwakng Kulub”.
Sejak saat itu Baruwakng populer
dikenal dengan sebutan “Baruwakng Kulub”,
yang berarti “si Baruwakng yang belum
disunat”. Setelah selesai disunat, pangeran Baruwakng kemudian dinikahkan dengan putri Jamani. Perkawinan mereka melahirkan empat orang anak, yaitu; Kalikng Rangit, Ummug Arakng (Neng Rio’ / Nek Riuh), Dara Ngatapm dan Jamawar. Anak mereka yang bernama Kalikng Rangit (Kubah Langit) pada waktu
masih kecil pernah mengalami “mati suri”,
kemudian setelah hidup kembali, ia dihantar untuk dititipkan kepada raja Patih Singa
Barinang (Jendral Belimbing Sayur),
kakeknya yang tinggal memerintah di
kerajaan Panggau Libau / Wijayapura
(Puchavarao).
Setelah
raja Patih Enal (patih pemicu)
meninggal dunia, sudah menjadi tradisi pada kerajaan Dayak, bahwa setiap raja
yang tidak memiliki anak-laki-laki, maka tugas sebagai raja akan diemban oleh
suami dari anak perempuan terpilih, demikian juga dengan putri Jamani yang dipilih untuk menjadi raja,
yang kemudian tugas sebagai raja tersebut harus diemban oleh suaminya si Baruwakng Kulub. Setelah raja Patih Baruwakg Kulub meninggal dunia, beliau
digantikan oleh anaknya yang bernama Ummug
Arakng. Awalnya,
antara pihak kerajaan
Pantanatn / Nek Riuh (Tamenacerim)
dan pihak kerajaan Panggau Libau / Wijayapura (Puchavarao) masih berhubungan dengan
sangat baik, bahkan anak raja Patih Enal
(patih pemicu) dijodohkan dengan Baruwakng. Namun dimasa kerajaan Pantanatn / Nek Riuh (Tamenacerim) telah
dipimpin oleh anak raja Patih Baruwakng
Kulub, yang bernama raja Patih Ummug
Arakng, hubungan kedua kerajaan menjadi
retak.
Adapun
hal yang menjadi penyebab keretakan hubungan antara kerajaan Pantanatn / Nek Riuh (Tamenacerim)
dengan kerajaan Panggau Libau /
Wijayapura (Puchavarao) tersebut adalah karena adanya niat perebutan
kekuasaan yang dilakukan oleh Pangeran Kalikng
Rangit (Kubah Langit) terhadap adik kandungnya raja Patih Ummug Arakng. Pangeran Kalikng Rangit (Kubah Langit) yang kala
itu tinggal dilingkungan istana kerajaan Panggau
Libau / Wijayapura (Puchavarao), merasa tidak dapat menerima atas
terpilihnya Ummug Arakng, adik
kandungnya sendiri sebagai raja untuk menggantikan kedudukan almarhum ayahnya
raja Patih Baruwakng Kulub. Karena
marah, kemudian atas seijin pamannya raja yang berkuasa di kerajaan Panggau Libau / Wijayapura (Puchavarao),
Pangeran Kalikng Rangit (Kubah Langit) mengerahkan sebagian kekuatan militer
kerajaan Panggau Libau / Wijayapura
(Puchavarao) ke kota Barangan
ibukota kerajaan Pantanatn / Nek Riuh
(Tamenacerim), akibatnya perangpun tak terhindarkan. Pada peperangan
tersebut, raja kerajaan Pantanatn / Nek
Riuh (Tamenacerim) yang berkuasa pada waktu itu, yakni; raja Patih Ummug Arakng yang merupakan adik kandung
dari Kalikng Rangit sendiri, tewas
terpenggal ditangan tentara kerajaan Panggau
Libau (wijayapura / Puchavarao).
Karena
ini adalah murni perkara perebutan tahta antar anak raja di kerajaan Pantanantn / Nek Riuh (Tamenacerim), maka pasukan tentara Panungkakng Bawakng (Penunjang Dinasti Bawakng)
tidak diperkenankan untuk ikut
campur, pada perkara yang terjadi didalam negeri kerajaan Pantanantn / Nek Riuh
(Tamenacerim) tersebut.
Maka dari itu, pihak pengurus dewan Panungkakng
Bawakng (penunjang dinasti Bawakng) yang berada di kota Bawakng Basawag
ibukota kerajaan Bawakng (Tamaratos)
tidak dapat mengirim pasukannya ke wilayah kerajaan
Pantanantn / Nek Riuh (Tamenacerim). Terbunuhnya raja Patih Ummug Arakng ditangan tentara kerajaan Panggau Libau / Wijayapura (Puchavarao)
yang dikerahkan oleh pangeran Kalikng
Rangit (Kubah Langit), abang kandungnya sendiri, akhirnya menyebabkan
diseluruh wilayah kerajaan Pantanatn /
Nek Riuh (Tamenacerim) terjadi suasana yang dalam bahasa Dayak Bakati disebut “riog”
atau dalam bahasa Dayak Banyadu dikenal dengan sebutan “rioh / Chioh”, atau dalam bahasa Dayak Kanayatn dikenal dengan
sebutan “riuh”, yang bearti “gempar”. Ini adalah suasana kegemparan
besar yang melanda rakyat kerajaan Pantanantn / Nek Riuh (Tamenacerim), karena tewasnya raja mereka.
Setelah
peristiwa terbunuhnya raja patih Ummug
Arakng inilah yang menyebabkan rakyat kerajaan Pantanantn / Nek Riuh
(Tamenacerim) mulai
menyebutkan almarhum raja Patih Ummug
Arakng sebagai “Patih Riog atau patih
rioh / Chioh atau patih riuh”, yang bearti “raja yang menyebabkan kegemparan”, dan sejak itu pula kerajaan Pantanatn (Tamenacerim) mulai dikenal
sebagai kerajaan Nek Riuh (Kakek Riuh). Setelah
tentara kerajaan Pantanatn / Nek Riuh
(Tamenacerim) dibantu oleh pasukan dari orang
Bananag (Dayak Kanayatn / Dayak Salako) pada masa pemerintahan Patih Jamawar, kemudian tentara kerajaan Panggau Libau / Wijayapura (Puchavarao)
dapat dikalahkan, bahkan pemimpinnya Kalikng
Rangit (Kubah Langit) terbunuh. Setelah itu sebagian sisa tentara kerajaan Panggau Libau / Wijayapura (Puchavarao)
pulang ke negerinya, dan sebagian lagi memilih tinggal dan mengawini
gadis-gadis Orang Bakati (Dayak Rara)
disitu, keturunan mereka menjadi penduduk Dayak Iban daerah Lundu dan Sematan
dimasa sekarang.
Agresi Militer Ke Wilayah Kalimantan Utara Dan Kalimantan
Timur Pada Akhir Abad 14 Masehi.
Raja
terakhir yang berkuasa di kerajaan Panggau Libau / Wijayapura
(Puchavarao) pada akhir abad 14 masehi bernama Patih Sumbang
Lawing. Dimasa Patih Sumbang Lawing
berkuasa beberapa kerajaan Dayak di kalimantan timur dan kalimantan utara
dihancurkan oleh pasukan tentara
kerajaan Panggau Libau / Wijayapura
(Puchavarao). Raja Patih Sumbang Lawing dengan prajuritnya bergerak dari kota kerajaannya
dengan menyusuri Batangan
Rajang (Sungai Raja) ke arah hulu, kemudian masuk ke Batangan (sungai)
Baleh (lihat peta dibawah!), setelah
sampai dihulu sungai Baleh mereka berjalan kaki, memasuki wilayah
kerajaan Apau Kayan, yaitu sebuah
kerajaan milik Dayak Kayan dan Dayak Kenyah, disana tentaranya dapat
mengalahkan tentara kerajaan Apau Kayan, hingga menyebabkan raja Wan
Paren penguasa kerajaan Apau Kayan pada waktu itu mati terbunuh.
Setelah menyerang kerajaan Apau Kayan,
kemudian mereka mendatangi hulu Batangan (sungai)
mahakam. Dari hulu
Batangan (sungai) mahakam mereka bergerak dengan menggunakan rakit bambu. Ketika sampai diwilayah kerajaan Penihing, yaitu sebuah kerajaan milik Dayak Bahau di hulu sungai Mahakam, kerajaan itu
dihancurkan oleh mereka dan rajanya tewas terpenggal, kemudian serangan
berlanjut ke wilayah kerajaan
Sendawar milik Dayak Benuag, kerajaan itu
juga dihancurkan oleh mereka.
![]() |
Peta Lokasi Pusat Kerajaan Panggau Libau / Wijayapura (Puchavarao) |
Setelah menghancurkan kerajaan
Sendawar, tentara kerajaan Panggau Libau /
Wijayapura (Puchavarao) yang dipimpinan
langsung oleh rajanya Patih Sumbang
Lawing bermaksud ingin menyerang
kerajaan Kutai
Kartanegara yaitu sebuah kerajaan milik Dayak Kutai (Kutai adalah etnis baru hasil campuran Dayak Benuag dan Dayak
Tunjung), Setelah
menganut agama
Islam kerajaan tersebut kemudian tumbuh menjadi kerajaan yang berbudaya melayu,
setelah meninggalkan budaya aslinya yaitu budaya Dayak. Pada peperangan
melawan tentara kerajaan Kutai
Kartanegara itu, menyebabkan Raja kerajaan Panggau Libau / Wijayapura (Puchavarao)
yang bernama Patih Sumbang Lawing
tersebut tewas terbunuh ditangan
tentara Kerajaan Kutai
Kartanegara. Setelah
rajanya terbunuh,
sisa-sisa tentara kerajaan Panggau Libau / Wijayapura (Puchavarao) melarikan diri untuk pulang
ke negerinya. Sepeninggalan Raja Patih Sumbang
Lawing, kerajaan Panggau Libau /
Wijayapura (Puchavarao) yang tidak
memiliki penerus akhirnya runtuh.
Daftar Raja-Raja Kerajaan
Panggau Libau / Wijayapura
(Puchavarao):
·
Raja
Patih Libau, Abad 7 M
·
Raja
Patih Sengalang Burong, Abad 7 M
·
Raja
Patih Telichay, Abad 8 M
·
Raja
Patih Gemuring Gading, Abad 8 M
·
Raja
Patih Kelieng, Abad 9 M
·
Raja
Patih Landai, Abad 9 M
·
Raja
Patih Romuyan, Abad 10M
·
Raja
Patih Bedai, Abad 10 M
·
Raja
Patih Laja anak Bedai, Abad 11 M
·
Raja
Patih Ampang Gading (Pesampang), Abad 11 M
·
Raja
Patih Manok Babari, Abad 12 M
·
Raja
Patih Xeniba, Abad 12 M
·
Raja Patih Barinang, Abad 13 M
·
Raja Patih Salumang, Abad 13 M
·
Raja Patih Sabulid, Abad 14 M
·
Raja
Patih Sumbang Lawing, Abad 14 M
sumber cerita ini apakah ada referensinya
BalasHapusBanyak di internet dan ditambah dari folk story.
HapusTiada Kerajaan Panggau di Kuala Rajang..blogger tidak benar. Panggau Libau bukanlah sebuah kerajaan tetapi sebuah rumah panjang dalam cerita orang Iban didiami oleh Keling gerasi nading bujang berani kempang dan saudara mara seperti Laja lau moa, Sempurai, Pandak segatak dan lain- lain.
BalasHapusUntuk lokasi pastinya kita tidak tahu, informasi yang menyebutkan lokasinya didekat muara Sungai Rajang adalah dari arkeolog Inggris untuk menjelaskan artefak yang diklaim sejaman dengan masa Wijayapura berdiri. Dan dari bahasa Dayak, baik dari bahasa rumpun Dayak Ibanik, Bidayuhik, kanayatnik dan otdanumik (khusus nya Dayak Ngaju), istilah RAJANG adalah istilah yang lahir dari penDayakan (diserap dan dijadikan salah satu kosakata bahasa Dayak) dari bahasa Sanskrit "Raja". Nama sungai "Rajang (raja)" tersebut, menyiratkan bahwa sungai tersebut dimasa lalu memang menjadi urat nadi / jalur utama untuk menuju ke pusat pemerintahan suatu kerajaan, maka dari itu sungai itu dinamakan "sungai Rajang". Dalam folk story memang tidak disebutkan jika panggau libau adalah sebuah kerajaan, karena istilah kerajaan dahulu dalam bahasa Dayak lebih dikenal dengan nama " Banua / binua / manua / menua / banoe". Dan istana tiap kerajaan Dayak jaman dulu umumnya berbentuk rumah panjang. Karena jaman dulu kita tidak memiliki aksara menyebabkan nya tidak tercatat secara tulisan, namun tercatat didalam memori para leluhur/ nenek moyang, yang kemudian diceritakan secara turun temurun (folk story) yang sangat rentan mengalami perubahan, sehingga dari antara kita kemudian tidak menganggap bahwa panggau libau adalah sebuah pusat peradaban / tamaddun, termasuk anda.
Hapus