Senin, 17 Juni 2019

Kerajaan Wijayapura

 Sampai pada abad ke-15 Masehi, sebuah kerajaan pada bangsa Dayak secara umum belum dikenal dengan sebutan “Kerajaan atau Diraja” seperti didalam bahasa Indonesia atau melayu, dimana secara asal istilah “kerajaan atau diraja” itu diserap dari bahasa Sanskerta, melainkan lebih dikenal dengan memakai istilah yang berasal dari bahasa Dayak sendiri, yaitu disebut “Menua atau Manua” pada orang Benadai (Dayak Iban), disebut “Banua” pada orang Banyadu (Dayak Banyuke), disebut “Binua” pada orang Bananag (Dayak Kanayatn / Salako) dan disebut “Banoe” pada orang Bakati (Dayak Rara), demikian juga dengan apa yang terjadi terhadap kerajaan Wijayapura. Jadi pada dasarnya sebutan Banua (Menua / Manua / Binua / Banoe) pada bangsa Dayak setara artinya dengan Kerajaan (Diraja / Panembahan / Kesultanan / Kingdom) pada non Dayak.

 

Gambar di atas adalah artepak Agama Budha yang ditemukan didaerah Sambas, yang berasal dari abad 7 Masehi dan diklaim berasal dari kerajaan Wijayapura. Kerajaan Panggau Libau / Wijayapura (Puchavarao) bukanlah kerajaan Budha, melainkan penganut agama asli yang dipengaruhi oleh Hindu India. Dari model patung pada  gambar di atas, dugaan paling kuat, patung tersebut berasal dari Jawa atau Thailand, yang diperjualkan kepada penduduk kerajaan Bawakng (Tamaratos) alias kerajaan Bengkayang yang bermukim di daerah Sambas dahulu. Untuk Diketahui! Bahwa Kerajaan tertua didaerah Sambas Adalah kerajaan Pantanatn / Nek Riuh (Tamenacerim) yang baru terbentuk pada sekitar abad ke 11 - 12 masehi, yang merupakan pecahan kerajaan Bawakng / Bengkayang (Tamaratos). Dan pada jaman dahulu tidak ada sama-sekali negeri yang disebut Wijayapura di daerah Sambas. 


Kerajaan Wijayapura adalah sebuah kerajaan yang dibangun oleh suku Dayak Iban Sarawak pada sekitar abad ke-7 masehi. Nama asli kerajaan ini adalah Menua Panggau Libau (Kerajaan Panggau Libau), yaitu sebuah nama yang berasal dari nama raja pendirinya; tuan Libau Apai Sengalang Burong (Libau Ayah dari Sengalang Burong). Raja Patih Libau dengan istrinya melahirkan tujuh orang anak laki-laki. Karena berdasarkan kepada tuntutan adat lama bangsa Dayak, bahwa apabila terdapat seorang ayah yang memiliki anak sebanyak tujuh orang, dari anak yang pertama sampai anak yang ke-tujuh memiliki jenis kelamin yang sama, maka ayah tersebut harus diangkat menjadi raja pada wilayah dimana beliau tinggal atau pada wilayah lain yang belum memiliki raja.

 

Peta pusat kerajaan Puchavarao / Wijayapura (Panggau Libau) milik Dayak Iban Sarawak pada peta Petrus Bertius 1616 Masehi. Dibawahnya terdapat kota Tamenacerim (Buah Barangan) ibukota kerajaan Pantanatn / Nek Riuh, milik Dayak Bakati Sambas di hilir dekat hulu sungai Bantanan, dan dibawah Tamenacerim (Buah Barangan) terdapat kota Tamaratos (Buah Cempedak) / kota Bawakng Basawag ibukota kerajaan Bawakng / Bengkayang kuno milik Dayak Bakati Bengkayang dihulu sungai Selakau.

Setelah istri beliau melahirkan anak yang ke-tujuh, yang juga berjenis kelamin laki-laki sama seperti jenis kelamin ke-enam orang kakaknya, maka segera setelah itu, tuan Libau langsung diangkat untuk menjadi raja pertama oleh masyarakat Dayak Iban didaerah mereka bermukim. Tujuh orang putra raja Patih Libau tersebut adalah Sengalang Burong, Menjaya, Selempandai (Selempetoh / Selempeta), Semerugah (Sempulang Gana), Ini Andan, Anda Mara (Gangga Ganggong) dan Sibunsu. Setelah dinobatkan menjadi raja, kepada beliau diberi gelar Patih. Gelar Patih disini adalah Patih yang bukan berasal dari bahasa Sanskerta, melainkan gelar Patih yang berasal dari Bahasa Dayak, yang artinya “memang memiliki nasib sangat putih atau memang memiliki nasib sangat mujur, mengingat beliau ditakdirkan oleh Tuhan untuk menjadi raja, dimana oleh Tuhan kepada tuan Libau, dikaruniakan dengan tujuh orang anak yang berjenis kelamin sama, hal itu adalah sebagai tanda bahwa Tuhan memilih beliau untuk menjadi raja. Pusat pemerintahan kerajaan ini dalam bahasa aslinya disebut kota Panggau Libau Lendat Dibiau Takang Satu, yang diyakini berlokasi didekat muara Batangan (Sungai) Rajang, tepatnya diantara kota Sarikei, kota Bintangor dan Kota Sibu Sarawak Malaysia dimasa sekarang. Sebutan sungai Rajang berasal dari kata Rajang / Rajakng, yaitu kosakata hasil penDayakan (dijadikan kosakata bahasa Dayak dan dilafal menurut lidah orang Dayak) yang diserap dari bahasa Sanskerta "Raja". Jadi sungai Rajang bearti "sungai Raja". Sebutan Rajang ini sama halnya dengan sebutan "Sultang / Sultakng" yang merupakan kosakata hasil PenDayakan dari kata arab "Sultan".

 


Pada antara abad 10-12 Masehi, kelompok orang kaya dan para bangsawan diwilayah kerajaan Panggau Libau / Wijayapura (Puchavarao) mulai disebut orang Buah Kana. Sebutan buah Kana berasal dari nama tumbuhan buah yang bernama latin Canarium Album, yaitu spesies tanaman buah sub-tropis yang berasal dari negeri China. Dimasa lampau, oleh orang China, buah Kana sering digunakan untuk membuat manisan, yang kemudian menjadi salah-satu komoditas perdagangan yang dibarter oleh para pedagang dari China dengan orang-orang Dayak Iban penduduk kerajaan Panggau Libau / Wijayapura (Puchavarao. Karena harga manisan buah Kana sangat mahal, maka yang dapat membelinya hanya kelompok elit, yakni orang-orang kaya dan para bangsawan kerajaan Panggau Libau / Wijayapura (Puchavarao) saja. Sementara bagi rakyat jelata, manisan buah Kana hanya menjadi makanan yang di rindukan dan idam-idamkan, yang hanya dapat dimakan didalam khayalan mereka. Oleh karena hal itu, buah Kana kemudian dimaknai sebagai “buah kerinduan atau buah idaman”. Mengingat buah kana adalah makanan prestis yang hanya dapat dinikmati oleh orang-orang kaya dan para bangsawan kerajaan Panggau Libau / Wijayapura (Puchavarao), kemudian oleh masyarakat Dayak Iban kuno, mereka menyebuti kaum bangsawan mereka dengan sebutan “orang buah Kana”, maksudnya adalah “kelompok masyarakat elit, khususnya para bangsawan kerajaan Panggau Libau / Wijayapura (Puchavarao) yang mampu membeli manisan buah Kana”.

 

Dayak Iban yang bernama asli “Orang Benadai” adalah salah-satu rumpun bangsa Dayak yang wilayah teritorial atau wilayah penyebaran aslinya meliputi sebagian besar tanah negara bagian Sarawak Malaysia dan tanah bagian timur dari provinsi Kalimantan Barat Indonesia. Mereka bermukim dari pesisir barat Sarawak menyebar sampai ke timur didekat perbatasan antara Sarawak dengan Brunei dan sampai ke arah selatan, tepatnya tersebar didaerah kabupaten Melawi, daerah kabupaten kapuas hulu, daerah kabupaten Sintang dan daerah kabupaten Sekadau di provinsi Kalimantan Barat Indonesia. Sejak jaman dahulu, orang Dayak Iban terkenal sebagai orang-orang yang gemar mengembara. Mereka mengembara ke berbagai wilayah di kedalaman hutan daratan pulau Dayak (Borneo) untuk mencari kepala kayau dan untuk mencari komoditas yang bernilai ekonomi untuk memenuhi permintaan pasar dari para mitra dagang mereka yaitu para pedagang dari China dan Indochina (Champa Vietnam, Khmer Cambodia dan Siam Thailand). Barang-barang yang dimaksudkan adalah sarang burung walet, damar hutan, kemenyan, kayu gaharu dan lain-lain.

 

Karena kegemaran orang-orang Dayak Iban untuk mengembara ke seluruh kedalaman hutan daratan pulau Dayak (Borneo), kemudian menyebabkan mereka disebut kaum Ivan oleh masyarakat Dayak Kayan, yang bearti para pengembara. Berasal dari sebutan Ivan inilah nama etnis Dayak Iban terbentuk. Sementara pada orang Dayak Bidayuhik Barat, khususnya pada Dayak Banyuke (orang Banyadu), orang Benadai atau Dayak Iban sering disebut dengan nama "Dayak Majang", Nama "Majang" merupakan paduan dua buah singkatan kosakata dalam bahasa rumpun Dayak Bidayuhik, yaitu dari singkatan kata MALAR (selalu) dan dari singkatan kata NYAJANG (Menerjang / Menyerang), yang seharusnya tertulis MALAR NYAJANG, kemudian disingkat menjadi MAJANG. Jadi MAJANG bearti selalu menerjang atau selalu menyerang”. Penggunaan kata Majang yang bearti selalu menerjang atau selalu menyerang ini disebabkan karena dimasa pengayauan dahulu, Dayak Iban selalu mendatangi tempat-tempat yang jauh untuk mengayau tanpa rasa takut sedikitpun, fenomena inilah yang disebut MAJANG (selalu menerjang) tersebut. Karena sejak kedatangan penjajah inggris di Sarawak pada abad ke-17 dan sampai sekarang banyak dari mereka yang masih tinggal di pesisir pantai Sarawak dan bermata pencarian sebagai nelayan, kemudian menyebabkan mereka disebut Dayak Laut oleh para antropolog barat.

 

Orang India dan orang-orang di kepulauan nusantara mengenal kerajaan Panggau Libau dengan nama sanskerta “wijaya pura”, yang menurut ejaan India tertulis “Vijay pur”, yang bearti “negeri kemenangan atau negeri kejayaan. Dari sebutan “Vijay Pur” ini kemudian diterjemahkan oleh para pelaut yang berasal dari orang Spanyol dan Portugis kedalam bahasa mereka dengan sebutan “Pucha Varao”. Kata Pucha ini bermaksud untuk menyebutkan Vijay dalam bahasa sanskerta menurut ejaan versi India, sementara arti kata Varao dalam bahasa Spanyol dan Portugis adalah “manusia atau orang”, jadi Puchavarao berarti negeri orang-orang yang berjaya”. Adapun alasan yang menjadi penyebab kenapa kerajaan Panggau Libau / Wijayapura (Puchavarao) disebut sebagai negeri kemenangan atau negeri kejayaan adalah karena disebabkan oleh tentara merekayang selalu berjaya atau berhasil mengalahkan tentara kerajaan Dayak yang lainnya.

 

Beberapa Kesalah-Fahaman Tentang Kerajaan Panggau Libau / Wijayapura (Puchavarao)

Kesalah-fahaman pertama adalah menganggap bahwa kerajaan Panggau Libau / Wijayapura (Puchavarao) adalah sebuah kerajaan makhluk Dewata dan berada di alam Sebayan (Surgawi). Hal ini terjadi karena adanya pemahaman dari beberapa pencerita yang memahami bagian-bagian alur cerita tentang kerajaan ini, yaitu bagian alur cerita yang telah dibumbui dengan menggunakan rempah-rempah mitos yang berbentuk bahasa fenomena dan bahasa simbolis, yang kemudian difahami secara sangat harafiah. Berdasarkan cerita yang ditutur secara turun-temurun kepada seluruh generasi, disebutkan bahwa, kerajaan Panggau Libau / Wijayapura  (Puchavarao) yang karena kejayaan dan keagungan serta kemakmurannya kemudian menyebabkan kerajaan ini dianggap sebagai kerajaan sebayan (Surgawi) dan para raja serta kaum bangsawannya juga dianggap sebagai para Petara (Dewa) Panggau Libau, yang menjadi panutan dan pujaan bagi masyarakat rumpun Dayak Ibanik.

 

Fenomena ini sama dengan apa yang juga terjadi pada kerajaan Bawakng (Tamartatos)yang terdapat di bagian barat pulau Dayak (Borneo) pada jaman dulu, bahwa oleh rakyatnya, kerajaan Bawakng (Tamaratos) juga dianggap sebagai kerajaan sabayatn (surgawi) dan para raja serta bangsawannya dianggap sebagai para Jubata (dewa) Bawakng, hanya karena disebabkan oleh taraf kehidupan dilingkungan istana dipandang lebih baik dan lebih makmur serta lebih beradab daripada kehidupan rakyatnya. Selain pada kerajaan Panggau Libau / Wijayapura (Puchavarao) dan pada kerajaan Bawakng (Tamaratos), fenomena pada kerajaan Dayak di kalimantan timur, khususnya pada kerajaan Kutai Martadipura juga demikian adanya, bahwa oleh sebagian rakyatnya kerajaan itu dianggap sebagai kerajaan surgawi, dan terlebih disebabkan oleh adanya beberapa orang dari rajanya memiliki nama depan yang berbunyi “dewa. Jadi bukan karena kerajaan Panggau Libau / Wijayapura  (Puchavarao) memang “nyata” sebagai kerajaan Surgawi milik para makhluk Dewata yang kemudian menyebabkannya didalam cerita dianggap sebagai kerajaan Sebayan (Surgawi), melainkan karena disebabkan oleh kedigdayaan, kehebatan dan kekuatan serta kemakmuran yang telah dicapai oleh kerajaan Panggau Libau / Wijayapura  (Puchavarao) dahulu yang telah melebihi pencapaian kerajaan lain dimasa itu.

 

Kesalah-fahaman yang kedua adalah adanya opini yang mengatakan bahwa tidak mungkin orang-orang Dayak Iban telah mempunyai kerajaan di tanah Sarawak pada abad ke-7 masehi, mengingat dalam anggapan mereka orang Dayak Iban baru masuk ke Sarawak setelah pergi dari wilayah kerajaan Panggau Banyau (Tampun Juwah) pada abad 13 masehi dahulu. Sudah jelas ini adalah anggapan yang sangat “ngawur / bulshit”, karena dahulu suku Dayak Iban yang menjadi pengungsi ke kota Banyau ibukota kerajaan Panggau Banyau (Tampun Juwah) tersebut adalah hanya sebagian kecil dari orang-orang Dayak Iban lokal (Iban Kalimantan Barat) yaitu Dayak Iban yang sejak dahulu telah tinggal dibagian timur kalimantan barat, terutama yang berasal dari kampung-kampung yang terletak di kawasan bukit Kujau, bukit ayau, Air Berurung, Balai Bidai dan Tinting Lalang Kuning. Dahulu para pengungsi (Refugees) dari Dayak Iban Kalimantan Barat tersebut mendatangi ibukota kerajaan Pangau Banyau (Tamputn Juwah), untuk menghindari bencana kelaparan akibat kegagalan panen. Tentu saja hal ini bukan bearti bahwa seluruh warga Dayak Iban selatan dahulu mengungsi ke kota Banyau, melainkan hanya beberapa ratus orang saja. Mereka meninggalkan kota Banyau ibukota kerajaan Panggau Banyau (Tampun Juwah) setelah diserang oleh tentara kerajaan Lawai / Hulu Aik (Bakulapura / Tanjungpura) pada abad 13 masehi dahulu.

 

Setelah itu, penduduk kota Banyau baik yang berasal dari Dayak Iban, maupun yang berasal dari kelompok Dayak Bidayuhik timur, seluruhnya meninggalkan kota itu. Hanya sebagian kecil saja dari kelompok orang Dayak Iban yang berasal dari kota Banyau, yang masuk ke tanah Sarawak pada waktu itu. Para Keturunan Dayak Iban dari kota Banyau yang tinggal menetap di antara penduduk Dayak Iban lokal Sarawak itulah yang sering bercerita bahwa leluhurnya (Anchestor) datang dari kota Banyau ibukota kerajaan Panggau Banyau (Tampun Juwah), yang kemudian oleh sebagian generasi muda dimasa sekarang, terutama oleh mereka yang pemahamannya sangat dangkal, mereka menganggap dan mengklaim bahwa seolah-olah seluruh Dayak Iban datang dari Tampun Juwah.

 

Agresi Militer Ke Kerajaan Banua Ot Danum

Setelah Raja Patih Libau meninggal dunia, kemudian beliau digantikan oleh anaknya yang bernama Sengalang Burong. Pada waktu pemerintahan Raja Patih Sengalang Burong adalah masa awal bagi kerajaan Panggau Libau / Wijayapura (Puchavarao) untuk melakukan agresi militer ke wilayah kerajaan Dayak yang lain, sehingga setelah ratusan tahun kemudian, roh beliau dianggap serta dijadikan sebagai “dewa perang” oleh masyarakat Dayak Ibanik. Pada masa beliau berkuasa, tentara kerajaan Panggau Libau / Wijayapura (Puchavarao) melakukan agresi militer besar yang pertama. mereka terlibat konflik dengan pihak kerajaan Banua Ot Danum yang terletak diperbatasan antara Kalimantan Barat dengan Kalimantan Tengah, tepatnya dibagian selatan kecamatan Ambalau Kabupaten Melawi Kalimantan Barat dimasa sekarang. Kerajaan Banua Ot Danum adalah sebuah kerajaan milik rumpun Dayak Ot Danum yang telah berdiri pada sekitar abad 6 Masehi dengan ibukota kerajaannya bernama kota Lewu Batu Nindan Tarung. Raja pendiri kerajaan Ot Danum adalah Patih Antang Bajelu Bulau, yaitu seorang raja yang kemudian lebih dikenal dengan nama gelar Raja Tunggul Garing Janjahunan Laut.

 

Pada saat diserang oleh tentara kerajaan Panggau Libau pada sekitar abad 7 Masehi, kerajaan Banua Ot Danum dipimpin oleh raja yang ke-empat yang bernama Patih Lambung, yang kemudian dikenal sebagai raja Bunu. Jika dikaitkan dengan peristiwa serangan tentara kerajaan Panggau Libauini, maka julukan “raja Bunu” memiliki arti sebagai “raja yang pada saat beliau berkuasa, rakyatnya banyak terbunuh”. Karena disebabkan oleh hal itu, kemudian oleh masyarakat Dayak Kalimantan Tengah, Patih Lambung alias raja Bunu dianggap sebagai raja yang tidak kekal karena mengalami kematian dibandingkan dengan tiga raja sebelumnya, yang secara rasional artinya adalah “kerajaan yang dipimpin olehnya mengalami porak-poranda (Tidak berdiri tegak / mundur)”. Pada peperangan dengan tentara kerajaan Panggau Libau pimpinan raja Patih Sengalang Burong waktu itu kerajaan Banua Ot Danum mengalami kehancuran, pemimpinnya yaitu raja Patih Lambung (Raja Bunu) dapat selamat, namun salah-satu kakinya patah, sehingga sewaktu beliau dibawa lari ke alam bawah (maksdunya: arah Selatan) oleh tentaranya, beliau digotong memakai sebuah tandu yang terbuat dari logam mulia yang berkilau, yang dinamai “Palangka Bulau” yang bearti “Tandu logam mulia yang berkilau”. Dari keturunan raja Patih Lambung (Raja Bunu) itulah kelak raja-raja Dayak Kalimantan Tengah, yaitu raja-raja penguasa kerajaan Bataguh, kerajaan Nan Sarunai dan kerajaan yang lainnya akan lahir.

 

Setelah agresi militer ke kerajaan Banua Ot Danum, Patih Sengalang Burong memerintahkan seorang Pangalangok (Pemimpin Militer) kerajaannya, yaitu Singa Bujang Bejie (Jendral Bujang Bejie) bersama sejumlah tentaranya untuk tinggal disekitar muara sungai Melawi dengan tujuan untuk berjaga-jaga sebagai pembendung atau penghadang jika seandainya pihak tentara kerajaan Banua Ot Danum akan melakukan serangan balik dari ibukota kerajaannya yang baru di daerah hilir sungai Kahayan didaerah Kalimantan Tengah dimasa sekarang, ke wilayah kerajaan Panggau Libau / Wijayapura (Puchavarao) bagian selatan yaitu daerah Kabupaten Sintang dimasa sekarang. Dari kejadian sejarah nyata tentang penugasan Singa Bujang Bejie (Jendral Bujang Bejie) sebagai pemimpin tentara “pembendung atau panghadang” inilah, kemudian lahir cerita berbau mitos yang menyebutkan bahwa Singa Bujang Bejie (Jendral Bujang Bejie) menggunakan bukit Kelam yaitu sebuah batu raksasa (sebenarnya merujuk pada tentara kerajaan Panggau Libau), yang akan digunakan untuk membendung atau menghadang sungai melawi, yang mengalir dari arah selatan, yang secara rasional merujuk kepada “tentara kerajaan Banua Ot Danum”, yang kemungkinan besar akan melakukan serangan balik ke wilayah kerajaan Panggau Libau / Wijayapura (Puchavarao).

 

Berasimilasi Dengan Ras Nefilim Dari Bangsa Girgasi.

Raja Patih Sengalang Burong dengan istrinya hanya memiliki satu orang anak yaitu seorang anak perempuan yang bernama Dayang Xia Bunsu Kamba. Karena adat bangsa Dayak lebih mengutamakan agar yang menjadi pemimpin adalah seorang laki-laki, maka dengan terpaksa para bangsawan kerajaan Panggau Libau / Wijayapura (Puchavarao) mempercayai suami putri Dayang Xia Bunsu Kamba yaitu Telichay untuk mengemban tugas sebagai raja, menggantikan kedudukan mertuanya almarhum Patih Sengalang Burong, dengan persyaratan yang telah ditentukan.Patih Telichay adalahputra ketiga dari Singa Bujang Bejie (Jendral Bujang Bejie) yaitu seorang Pangalangok (Pemimpin Militer) kerajaan Panggau Libau / Wijayapura (Puchavarao) yang bertugas sebagai pimpinan pasukan “penghadang / pembendung” untuk menjaga keamanan wilayah selatan kerajaan Panggau Libau / Wijayapura (Puchavarao) dari kemungkinan serangan balik tentara kerajaan Banua Ot Danum.

 

Raja Patih Telichay dengan istrinya Dayang Xia Bunsu Kamba melahirkan enam orang anak laki-laki dan seorang anak perempuan, mereka adalah; Gemuring Gading / Si-Gundi (ayah; Kelieng), Retak Daai (ayah; Sarapoh), Lalak Pala (ayah; Bujang Konunding Mupong), Brenai Sugi (ayah; Kumpai Brenai Rarat Beranatong), Kurong Mayang, Bui Nasi dan Belahan (ayah; Remias yang menikah dengan Patih Ambau yaitu raja kerajaan Selimbau milik Dayak Tamambaloh / Dayak Taman daerah Kapuas Hulu). Setelah Raja Patih Telichay meninggal dunia, kemudian beliau digantikan oleh anak tertuanya, yaitu Gemuring Gading, yang sering disebut juga oleh rakyatnya sebagai “sigundi”. Raja Patih Sigundi (Gemuring Gading) dengan istrinya yang bernama Laing melahirkan dua orang anak laki-laki dan dua orang juga anak perempuan, mereka adalah; Keling (Manok Biring Sempidan Arang, Keling Aji Berani Tau Serang), Bujang Tuai buuk begundai,  Endu Rikok Papan Pelangka (perempuan) dan Endu Sipantang Mayang (perempuan).

 

Setelah Raja Patih Gemuring Gading (Sigundi) meninggal dunia, kemudian beliau digantikan oleh anaknya yang bernama Kelieng. Dia adalah seorang pria yang bertubuh tinggi besar dan kuat, gagah berani, juga memiliki wajah yang sangat tampan untuk ukuran dijamannya. Selain itu, ia juga diyakini memiliki kekuatan gaib karena dapat menghilangkan dirinya dari pandangan mata musuh dan mampu mengubah wajahnya dengan karakter yang berbeda-beda. Dipercaya bahwa pada diri raja Patih Kelieng mengalir darah bangsa Girgasi (Bangsa Manusia Raksasa), yang berasal dari kakeknya raja Patih Telichay. Pada Patih Telichay sendiri, darah Girgasi (Gerasi / Garagasi / Garangsi / Gergasi) mengalir dari neneknya yaitu ibu kandung Singa Bujang Bejie (Jendral Bujang Bejie).

 

Bangsa Girgasi atau dalam bahasa Dayak Iban disebut “Gerasi”, pada bahasa Dayak Banyadu dan Dayak Kanayatn (Salako) disebut “Garagasi”, dan pada bahasa Dayak Bakati disebut “Garangsi”, serta pada bahasa Dayak Apau Kayan (Kayan, Kenyah, Bahau dan lain-lain) maupun pada bahasa Melayu disebut “Gergasi”, sejatinya adalah manusia Hibrida, yaitu ras campuran antara manusia planet bumi dengan Alien beriman (Alien yang percaya kepada Tuhan) yang kemudian membangkang (Berbuat Dosa) setelah mereka mengawini anak-anak perempuan manusia pada waktu mereka bertugas menjadi Malaikat (Utusan Tuhan) untuk memantau keadaan dipermukaan planet bumi ribuan tahun dahulu. Untuk anda (pembaca) yang beragama Kristen, anda bisa membaca tentang ras Nefilim yang disebut bangsa Girgasi pada Alkitab Perjanjian Lama.


1 Tawarikh 1:14 Kanaan adalah juga leluhur orang Yebusi, Amori, Girgasi

 

Ulangan 7:1- 3 Apabila TUHAN, Allahmu, telah membawa engkau ke dalam negeri, ke mana engkau masuk untuk mendudukinya, dan Ia telah menghalau banyak bangsa dari depanmu, yakni orang Het, orang Girgasi, orang Amori, orang Kanaan, orang Feris, orang Hewi dan orang Yebus, tujuh bangsa, yang lebih banyak dan lebih kuat dari padamu, dan TUHAN, Allahmu, telah menyerahkan mereka kepadamu, sehingga engkau memukul mereka kalah, maka haruslah kamu menumpas mereka sama sekali. Janganlah engkau mengadakan perjanjian dengan mereka dan janganlah engkau mengasihani mereka. Janganlah juga engkau kawin-mengawin dengan mereka bagi anak-anakmu.

 

Ulangan 20:17 tetapi, engkau harus menumpas (Ibrani: Charam) mereka dengan tuntas, yaitu orang Het, orang Amori, orang Kanaan, orang Feris, orang Hewi dan orang Yebus, seperti yang telah YAHWEH Elohimmu perintahkan kepadamu.

 

Perhatikan pada ayat Alkitab Perjanjian Lama Ulangan 20:17 diatas! seluruh bangsa dari ras Nefilim yang menempati tanah Kanaan disebutkan, tetapi orang Girgasi tidak lagi disebut, padahal pada ayat-ayat Alkitab sebelumnya, bangsa Girgasi disebutkan. Jika demikian, timbul sebuah pertanyaan kepada diri kita; kenapa orang Girgasi tidak disebutkan dan apa yang terjadi pada mereka? Ternyata setelah kedatangan orang-orang Israel dari Mesir pimpinan Nabi Musa dahulu pada sekitar abad 15 Sebelum Masehi, orang-orang Girgasi memilih pergi secepatnya meninggalkan tanah Kanaan. Kemungkinan besar mereka melakukan perjalanan darat ke arah timur, sehingga suatu saat mereka sampai ke Asia tenggara (Indochina dan Nusantara). Itulah sebabnya, cerita tentang manusia raksasa yang disebut bangsa Girgasi (Gerasi / Garagasi / Garangsi / Gergasi) terdapat hampir diseluruh kebudayaan Asia Tenggara (Indochina dan Nusantara) termasuk pada kebudayaan bangsa Dayak.

 

Pada awalnya antara Bangsa Dayak dengan bangsa Girgasi (Gerasi / Garagasi / Garangsi / Gergasi) dapat hidup bersama, namun karena bangsa Girgasi berperangai jahat dan mempraktekan kanibalisme, menyebabkan mereka sangat dibenci oleh orang Dayak, sehingga muncul julukan kepada mereka dengan sebutan “setan atau hantu”. Jadi sebutan hantu girgasi bukanlah disebabkan karena mereka makhluk roh, melainkan karena tabiat jahat mereka, sementara secara entitas, mereka sama seperti kita manusia, yaitu makhluk jasmani (Fisik) adanya. Setelah itu timbul konflik bersenjata diantara kedua belah pihak, meskipun bangsa Girgasi (Gerasi / Garagasi / Garangsi / Gergasi) bertubuh raksasa, tetapi mereka tidak kebal terhadap racun Ipoh yang dioleskan pada anak sumpit dan unjung Tombak orang Dayak. Karena kalah perang, kemudian bangsa Girgasi (Gerasi / Garagasi / Garangsi / Gergasi) memilih tinggal didalam hutan-hutan rimba yang sangat lebat. Meskipun demikian, beberapa orang dari perempuan bangsa Girgasi (Gerasi / Garagasi / Garangsi / Gergasi) ada yang berperangai baik. Gadis-gadis cantik dan bertubuh besar yang berasal dari keluarga Girgasi yang berperangai baik itu, adakalanya menikah dengan beberapa orang raja dan bangsawan Dayak yang diketahui dalam sejarah, dari keturunan mereka itulah, kemudian muncul raja-raja Dayak yang bertubuh raksasa dengan tinggi diatas dua meter dan warna kulit putih sampai kemerah-merahan.

 

Beberapa raja dan bangsawan Dayak yang ditubuhnya mengalir darah bangsa Girgasi (Gerasi / Garagasi / Garangsi / Gergasi) adalah: Patih Telichay, Patih Kelieng dan Singa Bujang Bejie (Jendral Bujang Bejie) serta Patih Sumbang Lawing pada kerajaan Panggau Libau milik Dayak Ibanik Utara (Sarawak). Patih Butag Bawakng dan Patih Payog (Bujakng Nyangkog Samabue) pada kerajaan Bawakng (Tamaratos) milik Dayak Bakati, Patih Garangsi Japu Tunggal (Tan Unggal) pada Kerajaan Tan Unggal Sambas milik Dayak Bakati, Patih Rugaf Ayag pada kerajaan Ango Talaga (Sangah Tumila) milik Dayak Kanayatn timur, Patih Lambung (Raja Bunu) pada kerajaan Banua Ot Danum milik Dayak Ot Danum, Patih Upai Semaring (Awang Semaun) pada kerajaan Brunei milik Dayak Lundayeh kuno dan raja Patih Abang Bendo raja pertama pada kerajaan Selimbau milik Dayak Taman dan Dayak Ibanik Timur.

 

Karena pada jaman dahulu ras raksasa memang terdapat di pulau Dayak (Borneo), maka oleh orang-orang Jawa terutama berdasarkan catatan tertulis yang terdapat pada buku “Serat Maha Parwa”, mereka (orang-orang Jawa) menyebutkan bahwa pulau Dayak (Borneo) atau yang disebut nusa Kencana, merupakan tempat tinggal para raksasa. Jadi bahwa bangsa Girgasi (Gerasi / Garagasi / Garangsi / Gergasi) memang sempat menghuni pulau Dayak (Borneo) jaman dahulu, bukanlah isapan jempol belaka (bukan cerita bohong), tetapi berdasarkan sejarah nyata. Seperti yang kita ketahui, bahwa adat Kayau umumnya menjadikan para raja dan para bangsawan kerajaan pada tiap kerajaan Dayak yang lain sebagai target kayau, maka dengan mengetahui bahwa pada beberapa raja Dayak dimasa dahulu, ternyata didalam tubuhnya mengalir darah Nefilim, maka kita bisa memaklumi bahwa alasan rasional dari “adat Kayau (Headhunter)” dilakukan adalah untuk memutuskan rantai genetik Nefilim pada para pemimpin bangsa Dayak dan siapapun orang yang pertamakali memberikan perintah untuk melakukan adat Kayau (Headhunter), kemungkinan besar dia adalah sosok malaikat Tuhan yang menyamar menjadi orang Dayak pada jaman dulu.

 

Dimasa kelahiran Raja Patih Kelieng diduga bahwa kerajaan Panggau Libau / Wijayapura  (Puchavarao) mulai berhubungan dengan pedagang dan penyebar agama Hindu dari India, sehingga sebagai pengingat akan peristiwa pertemuan pertama kali antara suku Dayak Iban dengan orang-orang India, kemudian menyebabkan Raja Patih Gemuring Gading menamai anaknya dengan nama Kelieng, yaitu nama salah-satu sub-etnis dari bangsa Tamil India yang menyebarkan agama hindu diwilayah kerajaan Panggau Libau / Wijayapura  (Puchavarao) dahulu. Raja Patih Kelieng menikah dengan istrinya yang bernama Lunlong yang dikenal juga dengan nama Dara Kumang, dia adalah salah-seorang putri Batu Anggong (Bujang Sebalu Ngenang) yang berasal dari kota Gelong (Batu Nakong Nyingit Nyingong Sadar Berbaring Sadar) atau yang dikenal dengan nama Long Nawang dimasa sekarang. Kota Gelong Nawang adalah pusat pemerintahan kerajaan Apau Kayan, yaitu sebuah kerajaan milik bangsa Dayak Kayan dan Dayak Kenyah di Kalimantan Utara sekarang.

 

Mereka yang mengungsi ke kerajaan Panggau Libau / Wijayapura (Puchavarao) pada waktu itu adalahBatu Anggong (Bujang Sebalu ngenang) bersama dengan lima orang anaknya, yaitu; Lunlong (Kumang), Ngelai, Tuntong, Indai Abang, Apai Abang. Dara Kumang (Lunlong) adalah seorang gadis yang berwajah sangat cantik, kulitnya putih kuning mulus, rambut  panjang dan lurus serta memiliki mata sipit khas mata masyarakat Dayak Kayan dan Dayak Kenyah. Karena kecantikannya menyebabkan raja patih Keling jatuh cinta dan memperistrikannya. Setelah Raja Patih kelieng menikah dengan Dara Lunlong (Kumang) mereka memiliki beberapa orang anak.Ketika Raja Patih Kelieng meninggal dunia, beliau diganti oleh anaknya yang bernama Landai. Raja Patih Landai dengan istrinya yang bernama Dara Panty melahirkan beberapa orang anak, yang salah-satunya bernama Romuyan. Setelah Raja Patih Landai meninggal dunia, kemudian beliau digantikan oleh anaknya yang bernama Romuyan. Raja Patih Romuyan dengan istrinya yang bernama Shinyau melahirkan beberapa orang anak, yang salah-satunya bernama Bedai, yang kelak menggantikannya untuk menjadi raja di kerajaan Panggau Libau / Wijayapura  (Puchavarao). 

 

Setelah Raja Patih Romuyan meninggal dunia, kerajaan Panggau Libau / Wijayapura  (Puchavarao) diperintah oleh Raja Patih Bedai. Kemudian Raja Patih Bedai dengan istrinya yang bernama Belunan mempunyai beberapa orang anak dan anak mereka yang tertua bernama laja. Harap diketahui bahwa orang yang bernama Laja pada bangsawan kerajaan Panggau Libau / Wijayapura  (Puchavarao) ada dua orang. Dijaman Raja Patih Kelieng berkuasa, salah-satu pengawalnya (Manok Sabong) bernama Laja, namun Laja yang menjadi pengawal tersebut bukanlah anak kandung dari cicitnya yang bernama Bedai, melainkan Laja anak Sanggima yaitu salah-satu kerabat ayahanda Raja Patih Kelieng yang bernama Raja Patih Gemuring Gading.

 

Setelah Raja Patih Bedai meninggal dunia, beliau digantikan oleh anaknya Laja. Raja Patih Laja anak Patih Bedai dengan istrinya melahirkan beberapa orang anak, dimana dua orang anak mereka adalah anak laki-laki, yaitu Nyiur Gading dan Ampang Gading (Pesampang). Pada masa raja Patih Laja anak Patih Bedai berkuasa, anak tertuanya yang bernama Nyiur Gading (Kelapa Gading), datang ke kota Bawakng Basawag ibukota kerajaan Bawakng (Tamaratos) yang terletak didaerah kota Bengkayang Kalimantan Barat dimasa sekarang. Ia datang sebagai peserta yang mewakili pihak kerajaan Panggau Libau / Wijayapura (Puchavarao) yang diundang untuk mengikuti pertandingan Pangka Gasing melawan para pangeran (Anak-anak Raja) dan para bangsawan kerajaan Bawakng (Tamaratos).

 

Pada waktu itu, beliau baru saja menceraikan istrinya yang dikenal sebagai perempuan tukang sihir yang sangat hebat. Konon, dengan kekuatan sihirnya, janda Nyiur Gading tersebut mampu menghadirkan ataupun menghilangkan benda dan hewan-hewan tertentu. Menurut versi orang Banyadu (Dayak Banyuke), orang Bakati (Dayak Rara) dan orang Bananag (Dayak Kanayatn / Salako), istri pertama Nyiur Gading bernama Seputin Dara Sabayan, yang pada versi orang Benadai (Dayak Iban) Sarawak dikenal dengan nama Sabatin. Pangeran Nyiur Gading dengan Seputin Dara Sabayan (Sabatin) mempunyai seorang anak yang bernama Derom. Kelak dari keturunan Derom itulah lahir raja Tugau yang terkenal dengan kekejamannya, yaitu raja pertama di kerajaan Likao milik Dayak Melanau.

 

Ketika Nyiur Gading mendatangi kota Bawakng Basawag, beliau membawa banyak benih Ansabi (sawi Dayak), benih Arupm (bayam Dayak), benih mentimun dan benih Nyore (sorgum) untuk memperkenalkannya kepada penduduk kota Bawakng Basawag agar mengembang-biakan tanaman tersebut. Pada saat Nyiur Gading mengikuti pertandingan game tradisional yang bernama permainan “Pangka Gasikng (Tabrakan Gasing)” melawan raja Patih Baniamas (Benih Emas) dan kakaknya pangeran Salujatn. Pada saat itu, putri sulung raja Baniamas (Benih Emas) yang bernama Balo Tanang (Cahaya Tenang / Cahaya Temaram) ikut menonton pertandingan tersebut. pada saat itulah Nyiur Gading jatuh cinta dengan putri Balo Tanang (Cahaya Tenang / Cahaya Temaram).

 

Kemudian Nyiur Gading melamar putri Balo Tanang (Cahaya Tenang / Cahaya Temaram) kepada raja Baniamas (Benih Emas) dan di setujui, setelah itu mereka langsung dinikahkan. Pernikahan antara pangeran Nyiur Gading (Kelapa Gading) dengan putri Balo Tanang (Cahaya Tenang / Cahaya Temaram) melahirkan dua orang anak, mereka adalah; Mitha yang berjenis kelamin perempuan dan seorang anak laki-laki yang diberi nama Ramaga, sama seperti nama almarhum kakek putri Balo Tanang (Cahaya tenang / Cahaya Temaram), yaitu almarhum raja Patih Ramaga. Putra mereka yang bernama Ramaga putra Nyiur Gading itulah yang mendirikan kerajaan Bahana Pura (Bangkule Rajakng) sebagai cikal-bakal kerajaan mempawah, di kota Bahana  yang terletak didaerah Karangan dimasa sekarang.

 

Setelah Raja Patih Laja anak Bedai meninggal dunia, kemudian beliau digantikan oleh anaknya yang bernama Ampang Gading (Pesampang). Selain menjadi raja, Patih Ampang Gading (Pesampang) juga merangkap menjadi seorang Lemambang (Imam) dilingkungan istana kerajaan Panggau Libau / Wijayapura (Puchavarao). Setelah Patih Ampang Gading meninggal dunia, beliau digantikan oleh anaknya yang bernama Manok Babari. Raja Patih manok Babari dikenal sebagai raja yang usil dan nakal, maksudnya adalah karena dimasa beliau berkuasa, beliau memperluaskan daerah kekuasaannya sampai ke wilayah kerajaan Panggau Banyau (Tampun Juwah), sehingga menimbulkan konflik dengan penduduk Dayak Iban selatan (Iban Kalbar) yang menjadi bagian dari rakyat kerajaan Panggau Banyau (Tampun Juwah). Setelah raja Patih Manok Babari wafat, beliau digantikan oleh anaknya yang bernama Xeniba. Pada masa beliau berkuasa, kerajaan Panggau Libau / Wijayapura (Puchavarao) mengalami puncak kegemilangannya. Karena kehebatan dan kekayaan serta kepopuleran kerajaannya, kemudian oleh rakyatnya, beliau disebut sebagai Raja Petara (Raja Dewata). Raja Patih Xeniba memiliki tiga orang anak yang semuanya berjenis kelamin perempuan, mereka adalah Dara Jantong, Jelati Dara Sebayan dan Dayang Kaman dara remia.

 

Dimasa pemerintahan Raja Patih Xeniba pada abad 12 masehi, Pangalangok (Pemimpin Militer) kerajaan Pantanatn / Nek Riuh (Tamenacerim) yaitu Singa Barinang (Jendral Belimbing Sayur) datang ke ibukota kerajaan Panggau Libau / Wijayapura (Puchavarao), karena beliau merasa malu jika harus pulang ke kota Barangan yaitu ibukota kerajaan Pantanatn / Nek Riuh (Tamenacerim), disebabkan oleh beliau yang tidak mampu mendapatkan satupun kepala kayau, ketika beliau dan tentaranya mengayau ke wilayah kerajaan Sijakng (Sungkung) milik Dayak Bidayuh. Di ibukota kerajaan Panggau Libau / Wijayapura (Puchavarao), Singa Barinang (Jendral Belimbing Sayur) diterima dengan baik bahkan beliau di jodohkan dengan anak tertua Raja Patih Xeniba yang bernama Dara Jantong, tetapi karena Dara Jantong menolak kemudian Singa Barinang (Jendral Belimbing Sayur) dijodohkan dengan adik Dara Jantong yang bernama Jelati Dara Sebayan atau menurut versi Dayak Rara (Orang Bakati) dan Dayak Banyuke (Orang Banyadu) disebut Jalate Dara Sabayatnatau menurut versi Dayak Kanayatn / Dayak Salako (Orang Bananag) disebut Julate Dara Subayatn.

 

Karena Dara Jantong menolak dijodohkan dengan Singa Barinang (Jendral Belimbing Sayur) menyebabkan dirinya diusir dari istana oleh ayahnya Raja Patih Xeniba dan memaksanya pergi berkelana kearah selatan dan tinggal didalam hutan yang sangat jauh dari tempat asalnya. Didalam hutan, dia tinggal didalam sebuah pondok yang seluruh lantai dan dinding serta atapnya terbuat dari bambu betung yang di ikat dengan tali yang terbuat dari akar kayu Tabog Tengang. Suatu saat Dara Jantong bertemu dan menikah dengan Khesekag Busong. Perkawinan antara Khesekag Busong dengan Dara Jantong melahirkan beberapa orang anak, yang salah-satunya bernama Bujang Panjai . Ketika dewasa Bujang Panjai pergi ke kota asal ibunya, disana dia bertemu dan menikah dengan seorang gadis cantik bernama Dayang Kaman Dara Remia yang ternyata adalah bibi dari Bujang Panjai sendiri. Hal ini terjadi karena pada waktu mereka bertemu dan menikah, Bujang Panjai dan pihak istana Panggau Libau / Wijayapura  (Puchavarao) tidak mengetahui bahwa Bujang Panjai adalah anak Dara Jantong. Setelah mereka kawin dan memiliki beberapa orang anak, suatu waktu Raja Patih Xeniba mengetahui bahwa Bujang Panjai ternyata adalah cucunya, yakni anak dari Dara Jantong, maka Raja Patih Xeniba murka dan mengusir Bujang Panjai agar kembali ke negerinya.

 

Agresi Militer Ke Kerajaan Pantanatn / Nek Riuh (Tamenacerim) Kalimantan Barat Pada Abad 13 Masehi.

Dari perkawinan antara Singa Barinang (Jendral Belimbing Sayur) dengan Jelati Dara Sebayan melahirkan beberapa orang anak dan anak sulung mereka bernama Baruwakng (asal kata: Uwakng = kerabat)”. Didalam bahasa Dayak Bakati yaitu bahasa asal ayahnya, nama Baruwakng atau Baruhakng menurut terjemahan ke dalam bahasa Dayak Banyuke (orang Banyadu) yang bearti Bakamaru atau Bapage pada bahasa Dayak Kanayatn / Dayak Salako (orang Bananag) atau bearti Berkerabatan” pada bahasa Indonesia. Adapun hal yang menjadi alasan kenapa anak tertuanya diberi nama Baruwakng adalah karena Baruwakng seorang anak blasteran (Campuran / Kacukan) yang lahir dari seorang ayah yang berdarah Dayak Bakati dan seorang ibu yang berdarah Dayak Iban, sehingga beliau memiliki darah “kekerabatan” diantara orang Dayak Bakati dan orang Dayak Iban.

 

Sewaktu Singa Barinang (jendral Belimbing sayur) masih hidup dan tinggal memerintah sebagai raja untuk mengganti almarhum raja Patih Xeniba yang tidak memiliki anak laki-laki, antara pihak kerajaan Pantanatn / Nek Riuh (Tamenacerim) dan pihak kerajaan Panggau Libau (wijayapura / Puchavarao) masih berhubungan dengan sangat baik, bahkan setelah anak raja Patih Singa Barinang (jendral belimbing sayur) yang bernama Baruwakng (berkerabatan) bercerai dengan istri lamanya, raja kerajaan Pantanatn / Nek Riuh (Tamenacerim) yang berkuasa pada waktu itu, yakni raja Patih Enal  (Patih Pemicu) mengirim Patone (utusan pelamar pengantin) ke kerajaan Panggau Libau (wijayapura / Puchavarao), untuk meminta kepada Singa Barinang(jendral belimbing sayur), agar beliau bersedia menjodohkan anaknya yang bernama Baruwakng dengan anak raja Patih Enal (patih pemicu) yang bernama Jamani

 

Kemudian atas perintah ayahandanya, Pangeran Baruwakng yang telah menduda itu hijrah ke kota Barangan untuk menikah dengan Putri Jamani, anak raja Patih Enal (patih pemicu). Sewaktu mendatangi kota Barangan, pangeran Baruwakng (berkerabatan) bersama utusan dari kerajaan Pantanatn / Nek Riuh (Tamenacerim) membawa banyak bibit padi Dayak Iban yang mempunyai rasa se-enak rasa buah, yaitu varietas padi yang pada masa sekarang dikenal denga nama padi “palawakng”. Nama padi PALAWAKNG merupakan paduan dari singkatan kosakata PAde (padi) LAngok (aroma dan rasa) baWAKNG (buah) yang bearti “padi yang berasnya memiliki aroma dan rasa se-enak buah”. Namun oleh orang-orang yang menterjemahkan kata kulub tersebut sebagai kulub kelamin pria, menurut mereka sebutan Palawakng merupakan singkatan dari kosakata Palat baruwakng yang bearti “area kulub kemaluan Baruwakng”. Pada dasarnya bukan karena benih padi yang dibawa itu disembunyikan didalam kulub kelaminnya, seperti yang disebutkan pada cerita yang telah terkontaminasi oleh mitos, melainkan karena seluruh gabah benih padi tersebut dibungkus dengan menggunakan kain kulub (kain selimut). Penggunaan kain kulub (kain selimut) tersebut dilakukan agar gabah-gabah yang dibawa tidak mudah tumpah atau berceceran selama berada diatas ajung (kapal laut), karena satu-satunya cara untuk mendatangi kota Barangan yang paling cepat adalah melalui jalur laut.

 

Karena Baruwakng pada waktu itu belum disunat, maka sesuai dengan tradisi adat Dayak Bakati, sebelum menikah Baruwakng harus disunat dahulu. Mengetahui bahwa pangeran Baruwakng belum disunat, banyak penduduk kota Barangan yang meledekinya, dengan menyebutkan “Baruwakng Kulub”. Sejak saat itu Baruwakng populer dikenal dengan sebutan “Baruwakng Kulub”, yang berarti “si Baruwakng yang belum disunat”. Setelah selesai disunat, pangeran Baruwakng kemudian dinikahkan dengan putri Jamani. Perkawinan mereka melahirkan empat orang anak, yaitu; Kalikng Rangit, Ummug Arakng (Neng Rio’ / Nek Riuh), Dara Ngatapm dan Jamawar. Anak mereka yang bernama Kalikng Rangit (Kubah Langit) pada waktu masih kecil pernah mengalami “mati suri”, kemudian setelah hidup kembali, ia dihantar untuk dititipkan kepada raja Patih Singa Barinang (Jendral Belimbing Sayur), kakeknya yang tinggal memerintah di kerajaan Panggau Libau / Wijayapura (Puchavarao).

 

Setelah raja Patih Enal (patih pemicu) meninggal dunia, sudah menjadi tradisi pada kerajaan Dayak, bahwa setiap raja yang tidak memiliki anak-laki-laki, maka tugas sebagai raja akan diemban oleh suami dari anak perempuan terpilih, demikian juga dengan putri Jamani yang dipilih untuk menjadi raja, yang kemudian tugas sebagai raja tersebut harus diemban oleh suaminya si Baruwakng Kulub. Setelah raja Patih Baruwakg Kulub meninggal dunia, beliau digantikan oleh anaknya yang bernama Ummug Arakng. Awalnya, antara pihak kerajaan Pantanatn / Nek Riuh (Tamenacerim) dan pihak kerajaan Panggau Libau / Wijayapura  (Puchavarao) masih berhubungan dengan sangat baik, bahkan anak raja Patih Enal (patih pemicu) dijodohkan dengan Baruwakng. Namun dimasa kerajaan Pantanatn / Nek Riuh (Tamenacerim) telah dipimpin oleh anak raja Patih Baruwakng Kulub, yang bernama raja Patih Ummug Arakng, hubungan kedua kerajaan menjadi retak.

 

Adapun hal yang menjadi penyebab keretakan hubungan antara kerajaan Pantanatn / Nek Riuh (Tamenacerim) dengan kerajaan Panggau Libau / Wijayapura (Puchavarao) tersebut adalah karena adanya niat perebutan kekuasaan yang dilakukan oleh Pangeran Kalikng Rangit (Kubah Langit) terhadap adik kandungnya raja Patih Ummug Arakng. Pangeran Kalikng Rangit (Kubah Langit) yang kala itu tinggal dilingkungan istana kerajaan Panggau Libau / Wijayapura (Puchavarao), merasa tidak dapat menerima atas terpilihnya Ummug Arakng, adik kandungnya sendiri sebagai raja untuk menggantikan kedudukan almarhum ayahnya raja Patih Baruwakng Kulub. Karena marah, kemudian atas seijin pamannya raja yang berkuasa di kerajaan Panggau Libau / Wijayapura (Puchavarao), Pangeran Kalikng Rangit (Kubah Langit) mengerahkan sebagian kekuatan militer kerajaan Panggau Libau / Wijayapura (Puchavarao) ke kota Barangan ibukota kerajaan Pantanatn / Nek Riuh (Tamenacerim), akibatnya perangpun tak terhindarkan. Pada peperangan tersebut, raja kerajaan Pantanatn / Nek Riuh (Tamenacerim) yang berkuasa pada waktu itu, yakni; raja Patih Ummug Arakng yang merupakan adik kandung dari Kalikng Rangit sendiri, tewas terpenggal ditangan tentara kerajaan Panggau Libau (wijayapura / Puchavarao).

 

Karena ini adalah murni perkara perebutan tahta antar anak raja di kerajaan Pantanantn / Nek Riuh (Tamenacerim), maka pasukan tentara Panungkakng Bawakng (Penunjang Dinasti Bawakng) tidak diperkenankan untuk ikut campur, pada perkara yang terjadi didalam negeri kerajaan Pantanantn / Nek Riuh (Tamenacerim) tersebut. Maka dari itu, pihak pengurus dewan Panungkakng Bawakng (penunjang dinasti Bawakng) yang berada di kota Bawakng Basawag ibukota kerajaan Bawakng (Tamaratos) tidak dapat mengirim pasukannya ke wilayah kerajaan Pantanantn / Nek Riuh (Tamenacerim). Terbunuhnya raja Patih Ummug Arakng ditangan tentara kerajaan Panggau Libau / Wijayapura (Puchavarao) yang dikerahkan oleh pangeran Kalikng Rangit (Kubah Langit), abang kandungnya sendiri, akhirnya menyebabkan diseluruh wilayah kerajaan Pantanatn / Nek Riuh (Tamenacerim) terjadi suasana yang dalam bahasa Dayak Bakati disebut  “riog” atau dalam bahasa Dayak Banyadu dikenal dengan sebutan “rioh / Chioh”, atau dalam bahasa Dayak Kanayatn dikenal dengan sebutan “riuh”, yang bearti “gempar”. Ini adalah suasana kegemparan besar yang melanda rakyat kerajaan Pantanantn / Nek Riuh (Tamenacerim), karena tewasnya raja mereka.

 

Setelah peristiwa terbunuhnya raja patih Ummug Arakng inilah yang menyebabkan rakyat kerajaan Pantanantn / Nek Riuh (Tamenacerim) mulai menyebutkan almarhum raja Patih Ummug Arakng sebagai “Patih Riog atau patih rioh / Chioh atau patih riuh”, yang bearti “raja yang menyebabkan kegemparan”, dan sejak itu pula kerajaan Pantanatn (Tamenacerim) mulai dikenal sebagai kerajaan Nek Riuh (Kakek Riuh). Setelah tentara kerajaan Pantanatn / Nek Riuh (Tamenacerim) dibantu oleh pasukan dari orang Bananag (Dayak Kanayatn / Dayak Salako) pada masa pemerintahan Patih Jamawar, kemudian tentara kerajaan Panggau Libau / Wijayapura (Puchavarao) dapat dikalahkan, bahkan pemimpinnya Kalikng Rangit (Kubah Langit) terbunuh. Setelah itu sebagian sisa tentara kerajaan Panggau Libau / Wijayapura (Puchavarao) pulang ke negerinya, dan sebagian lagi memilih tinggal dan mengawini gadis-gadis Orang Bakati (Dayak Rara) disitu, keturunan mereka menjadi penduduk Dayak Iban daerah Lundu dan Sematan dimasa sekarang.

 

Agresi Militer Ke Wilayah Kalimantan Utara Dan Kalimantan Timur Pada Akhir Abad 14 Masehi.

Raja terakhir yang berkuasa di kerajaaPanggau Libau / Wijayapura (Puchavarao) pada akhir abad 14 masehi bernama Patih Sumbang Lawing. Dimasa Patih Sumbang Lawing berkuasa beberapa kerajaan Dayak di kalimantan timur dan kalimantan utara dihancurkan oleh pasukan tentara kerajaan Panggau Libau / Wijayapura (Puchavarao). Raja Patih Sumbang Lawing dengan prajuritnya bergerak dari kota kerajaannya dengan menyusuri Batangan Rajang (Sungai Raja) ke arah hulu, kemudian masuk ke Batangan (sungai) Baleh (lihat peta dibawah!), setelah sampai dihulu sungai Baleh mereka berjalan kaki, memasuki wilayah kerajaan Apau Kayan, yaitu sebuah kerajaan milik Dayak Kayan dan Dayak Kenyah, disana tentaranya dapat mengalahkan tentara kerajaan Apau Kayan, hingga menyebabkan raja Wan Paren penguasa kerajaan Apau Kayan pada waktu itu mati terbunuh. Setelah menyerang kerajaan Apau Kayan, kemudian mereka mendatangi hulu Batangan (sungai) mahakam. Dari hulu Batangan (sungai) mahakam mereka bergerak dengan menggunakan rakit bambu. Ketika sampai diwilayah kerajaan Penihing, yaitu sebuah kerajaan milik Dayak Bahau di hulu sungai Mahakam, kerajaan itu dihancurkan oleh mereka dan rajanya tewas terpenggal, kemudian serangan berlanjut ke wilayah kerajaan Sendawar milik Dayak Benuag, kerajaan itu juga dihancurkan oleh mereka.

 

Peta Lokasi Pusat Kerajaan Panggau Libau / Wijayapura (Puchavarao)

Setelah menghancurkan kerajaan Sendawar, tentara kerajaan Panggau Libau / Wijayapura (Puchavarao) yang dipimpinan langsung oleh rajanya Patih Sumbang Lawing bermaksud ingin menyerang kerajaan Kutai Kartanegara yaitu sebuah kerajaan milik Dayak Kutai (Kutai adalah etnis baru hasil campuran Dayak Benuag dan Dayak Tunjung), Setelah menganut agama Islam kerajaan tersebut kemudian tumbuh menjadi kerajaan yang berbudaya melayu, setelah meninggalkan budaya aslinya yaitu budaya Dayak. Pada peperangan melawan tentara kerajaan Kutai Kartanegara itu, menyebabkan Raja kerajaan Panggau Libau / Wijayapura (Puchavarao) yang bernama Patih Sumbang Lawing tersebut tewas terbunuh ditangan tentara Kerajaan Kutai Kartanegara. Setelah rajanya terbunuh, sisa-sisa tentara kerajaan Panggau Libau / Wijayapura (Puchavarao) melarikan diri untuk pulang ke negerinya. Sepeninggalan Raja Patih Sumbang Lawing, kerajaan Panggau Libau / Wijayapura (Puchavarao) yang tidak memiliki penerus akhirnya runtuh.

 

Daftar Raja-Raja Kerajaan Panggau Libau / Wijayapura (Puchavarao):

·        Raja Patih Libau, Abad 7 M

·        Raja Patih Sengalang Burong, Abad 7 M

·        Raja Patih Telichay, Abad 8 M

·        Raja Patih Gemuring Gading, Abad 8 M

·        Raja Patih Kelieng, Abad 9 M

·        Raja Patih Landai, Abad 9 M

·        Raja Patih Romuyan, Abad 10M

·        Raja Patih Bedai, Abad 10 M

·        Raja Patih Laja anak Bedai, Abad 11 M

·        Raja Patih Ampang Gading (Pesampang), Abad 11 M

·        Raja Patih Manok Babari, Abad 12 M

·        Raja Patih Xeniba, Abad 12 M

·        Raja Patih Barinang, Abad 13 M

·        Raja Patih Salumang, Abad 13 M

·        Raja Patih Sabulid, Abad 14 M

·        Raja Patih Sumbang Lawing, Abad 14 M

4 komentar :

  1. sumber cerita ini apakah ada referensinya

    BalasHapus
    Balasan
    1. Banyak di internet dan ditambah dari folk story.

      Hapus
  2. Tiada Kerajaan Panggau di Kuala Rajang..blogger tidak benar. Panggau Libau bukanlah sebuah kerajaan tetapi sebuah rumah panjang dalam cerita orang Iban didiami oleh Keling gerasi nading bujang berani kempang dan saudara mara seperti Laja lau moa, Sempurai, Pandak segatak dan lain- lain.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Untuk lokasi pastinya kita tidak tahu, informasi yang menyebutkan lokasinya didekat muara Sungai Rajang adalah dari arkeolog Inggris untuk menjelaskan artefak yang diklaim sejaman dengan masa Wijayapura berdiri. Dan dari bahasa Dayak, baik dari bahasa rumpun Dayak Ibanik, Bidayuhik, kanayatnik dan otdanumik (khusus nya Dayak Ngaju), istilah RAJANG adalah istilah yang lahir dari penDayakan (diserap dan dijadikan salah satu kosakata bahasa Dayak) dari bahasa Sanskrit "Raja". Nama sungai "Rajang (raja)" tersebut, menyiratkan bahwa sungai tersebut dimasa lalu memang menjadi urat nadi / jalur utama untuk menuju ke pusat pemerintahan suatu kerajaan, maka dari itu sungai itu dinamakan "sungai Rajang". Dalam folk story memang tidak disebutkan jika panggau libau adalah sebuah kerajaan, karena istilah kerajaan dahulu dalam bahasa Dayak lebih dikenal dengan nama " Banua / binua / manua / menua / banoe". Dan istana tiap kerajaan Dayak jaman dulu umumnya berbentuk rumah panjang. Karena jaman dulu kita tidak memiliki aksara menyebabkan nya tidak tercatat secara tulisan, namun tercatat didalam memori para leluhur/ nenek moyang, yang kemudian diceritakan secara turun temurun (folk story) yang sangat rentan mengalami perubahan, sehingga dari antara kita kemudian tidak menganggap bahwa panggau libau adalah sebuah pusat peradaban / tamaddun, termasuk anda.

      Hapus

 

Translate

Label

Adat (5) Bigbang (14) Budaya (5) Dayak (10) Kerajaan Dayak (11) Multiverse (3)