Seperti pada kasus kerajaan tertua di Kalimantan Barat yaitu kerajaan Bawakng (Tamaratos) dan kerajaan tertua di Sarawak yaitu kerajaan Panggau libau / Wijayapura (Puchavarao) yang didalam cerita rakyat, kadang-kadang alur cerita yang dikisahkan telah dibumbui dengan rempah-rempah mitos, begitu juga dengan apa yang terjadi pada cerita tentang kerajaan-kerajaan di Kalimantan tengah, khususnya pada cerita tentang kerajaan Banua Ot Danum yang pernah berdiri di bagian utara provinsi Kalimantan Tengah dimasa sekarang.
Arca berbentuk Harimau yang berdiri di dekat bukit Beribit di perbatasan Kalimantan Barat dan Kalimantan Tengah. Ini adalah artefak bukti kerajaan Ot Danum pernah berdiri pada sekitar abad 6 masehi.
Untuk dapat memahami seluruh rangkaian ceritanya secara
rasional, kita harus mengutamakan cara-cara berfikir dengan menggunakan logika.
Karena itu dapat dipercaya bahwa seluruh kisah tentang kerajaan Banua Ot Danum tersebut adalah bersumber dari
sejarah nyata.Namun didalam perjalanannya, kemudian cerita yang dituturkan
tentang kerajaan itu mengalami distorsi, sehingga menjadi berubah bahkan
terkesan sangat berbau mitos.
Kejelian dalam memahami bahasanya adalah sangat mutlak,
hingga mengantar kita kepada pemahaman bahwa apa yag dianggap mitos oleh
sebagian orang, sebenarnya hanya kepada permasalahan tentang cara memahami gaya
bahasa yang dipergunakan didalam cerita itu saja. Umumnya bentuk bahasa yang
digunakan didalam cerita tentang kerajaan Ot Danum tersebut adalah berbentuk “Bahasa Fenomena dan bahasa simbolis”.
Dikisahkan bahwa terdapat tiga orang raja yaitu raja Sangen, Raja sangiang dan Raja Bunu.
Suatu saat mereka menemukan sebuah logam panjang yang bernama Sanaman Leteng didalam air. Setelah itu,
ketiga orangraja itu memperebutkannya.
Diamana pada saat didalam air, ujung sanaman
leteng yang satunya tenggelam, bagian yang tenggelam ini di pegang oleh Raja Bunu, sementara bagian ujung yang
mengapung dipegang bersama oleh Sangen dan Sangiang. yang kemudian oleh ayah
mereka dibuat menjadi senjata Dohong
(Tahta) yang bernama Papan Benteng.
Kemudian ceritanya
berlanjut, disebutkan bahwa mereka diaugerahi seekor burung raksasa yang brnama “Gajah Bakapek Bulau Unta Hajaran
Tandang Barikur Hintan”, karena memperebuti burung itu, kemudian Raja Sangen menikam burung itu, dan
darah yang keluar ditampung dengan sebuah Sangku
(Mangkuk) lalu darah itu berubah mejadi emas, berlian dan permata lainnya. Kemudian
burung diobati oleh ayah mereka, setelah sembuh, burung itu ditikam oleh Raja Sangiang dan darahnya ditampung
serta berubah menjadi emas dan berlian juga. Kemudian kembali diobati, lalu
bunupun melakukan hal yang sama, yaitu menikam burung itu hingga darah yang
ditampung berubah juga menjadi emas dan berlian. setelah itu ayah mereka
berusaha mengobati burung itu, tetapi burung itu tidak bisa sembuh, akhirnya
burung itu terbang.
Mari
Kita Memahami Kisah Yang Dicertakan Dengan Bahasa fenomena Dan Bahasa Simbolis
Tersebut Dengan Memakai Logika Agar Kisah Tersebut Menjadi Lebih Rasional
Menurut Cara Pikir Alam Modern Kita!
Pusat peradaban awal rumpun Dayak Ot Danum adalah kerajaan BanuaOt Danum, yaitu sebuah kerajaan purba
yang telah berdiri pada sekitar abad 6 Masehi dengan ibukota kerajaannya
bernama kota Lewu Batu Nindan Tarung,
dan istana rumah panjangnya bernama Lasang
Bangkirai Bahenda Sambung, yang terletak didekat hulu “Pantai Danum Sangiang”
yakni sebuah sungai besar yang dimasa sekarang dikenal dengan nama “Sungai Melawi” dibagian alam atas
(Bagian Utara)
tanah penyebaran Dayak Ot Danum dimasa kini, tepatnya diperbatasan antara
Kalimantan Barat dengan Kalimantan Tengah.
Raja pendiri kerajaan Banua
Ot Danum adalah Patih Antang Bajelu
Bulau, yaitu seorang raja yang kemudian lebih dikenal dengan nama gelar
Raja Tunggul Garing Janjahunan Laut.
Beliau berasal dari kampung “Kalimbahan
Laut Mangantung Nyelem Kalang Labehu Handalem”. Beliau memiliki seorang
istri yang namanya tidak diketahui, namun terkenal dengan nama gelar “Kameluh Putak Bulau Janjulen Karangan Limut
Batu Kamasan Tambun” yang berasal dari kampung “Jalayan Hulu Danum”.
Pada Cerita tidak diberitahu berapa jumlah anak mereka,
namun dengan memakai konsep yang terdapat pada kerajaan Dayak di Kalimantan
Barat dan di sarawak, bahwa seseorang yang diangkat menjadi raja baru pada
suatu wilayah tertentu, apabila ia bukan keturunan
langsung (Anak Raja) dari raja yang sedang atau telah berkuasa pada suatu
wilayah, maka syarat yang harus dipenuhi oleh setiap raja baru adalah, raja
tersebut harus memiliki tujuh orang anak yang berjenis kelamin sama secara
berurutan atau bisa juga, raja baru tersebut harus memiliki tujuh orang
anak kembar tanpa harus memiliki jenis kelamin yag sama. Jika Syarat-syarat
tersebut telah terpenuhi, maka seseorang boleh diangkat untuk menjadi pemimpin
pada suatu wilayah. Dengan demikian, dugaan kuat bahwa dahulu raja Patih Antang Bajelu Bulau ketika diangkat
menjadi raja Dayak Ot Danum, pasti setelah istri beliau melahirkan putranya
yang ketujuh.
Setelah raja Patih Antang
Bajelu Bulaumeninggal dunia, beliau digantikan oleh anaknya yang bernama Lanting. Setelah dinobatkan menjadi raja
pengganti ayahnya, raja Patih Lanting
lebih dikenal dengan sebutan atau gelar Maharaja
Sangen. Ketika beliau berkuasa, kerajaan Banua Ot
Danum
mulai mengalami kejayaan, sehingga didalam cerita yang berbentuk bahasa fenomena
dan bahasa simbolis, beliau dikatakan menikam burung “Gajah Bakapek Bulau Unta Hajaran Tandang Barikur Hintan”,
sehingga mengeluarkan darah yang kemudian darah itu berubah menjadi emas,
berlian dan batu permata setelah ditampung pada Sangku (Mangkuk). jadi yang dimaksudkan dengan emas, berlian dan batu permata ini merupakan bahasa fenomena untuk
menyebutkan kemakmuran dan kejayaan yang dicapai dimasa kepemimpinannya. Dan
burung “Gajah Bakapek Bulau Unta Hajaran
Tandang Barikur Hintan”,
ini merupakan bahasa simbolis untuk menyebutkan kerajaan yang dipimpin olehnya,
yaitu kerajaan Banua Ot Danum.
Itulah sebabnya didalam ceritaberikutnya disebutkan bahwa
logam Sanaman Leteng bahan baku untuk
membuat senjata Dohong yang bernama “papan
benteng” tersebut, ketika Sanaman Leteng itu diletakan didalam
air, bagian ujung yang dipegang olehnya adalah bagian ujung yang timbul. Hal
ini memiliki arti bahwa pemerintahan dan
kerajaan Banua Ot Danum pada masa kekuasaan Maharaja Sangen mulai jaya dan
menjadi populer, yang disimbolkan dengan logam Sanaman Leteng yang timbul, ketika
beliau berkuasa sebagai rajayang
disimbolkan dengan “Dohong Papan Benteng.
Maharaja Sangen
(Patih Lanting)dengan istrinya Kameluh
Kambang Garing memiliki beberapa orang anak yang seluruhnya berjenis kelamin
perempuan. Sehingga setelah beliau meninggal dunia, tugas sebagai raja akan
diemban oleh salah-satu menantunya. Pengganti Maharaja Sangen adalah menantunya yang semula menjabat sebagai
Panglima Perang kerajaan Banua Ot Danum,
dia adalahPatih Kerangkang Amban Penyang,
yang setelah menjabat sebagai raja, beliau
lebih dikenal dengan gelar Maharaja
Sangiang. Kampung kelahiran dari Patih Kerangkang
Amban Penyang terletak disekitar Tantan
Liang Mangan Kaminting (Lereng Bukit Kaminting).Diduga beliau adalah
seorang blasteran antara Dayak Ot Danum dengan bangsa Gergasi (Raksasa), sehingga secara fisik penampilan anaknya, yaitu
pada Patih Lambung (Raja Bunu)
disebutkan memiliki ukuran tubuh tinggi besar dengan warna kulit kemerah-merahan
dan memiliki bulu tubuh yang cukup lebat.
Ketika beliau berkuasa, puncak kejayaan yang dicapai oleh
kerajaan Banua Ot Danum semakin
menanjak, sehingga didalam cerita yang berbentuk bahasa fenomena dan bahasa
simbolis, beliau juga melakukan apa yang dilakukan oleh mertuanya, Maharaja Sangen, yaitu menikam burung “Gajah Bakapek Bulau Unta Hajaran Tandang Barikur Hintan”, sehingga
mengeluarkan darah yang juga berubah menjadi emas, berlian dan batu permata
setelah ditampung pada sebuah Sangku (mangkuk), inijuga
merupakan bahasa fenomena untuk menyebutkan tentang kemakmuran dan kejayaan
yang semakindicapai oleh kerajaan Banua
Ot Danum ketika Maharaja Sangiang
berkuasa. Dan burung “Gajah Bakapek Bulau Unta Hajaran
Tandang Barikur Hintan”,
ini merupakan bahasa simbolis untuk menyebutkan kerajaan yang dipimpin olehnya,
yaitu kerajaan Banua Ot Danum.
Itulah sebabnya didalam cerita berikutnya disebutkan bahwa
logam Sanaman Leteng yang menjadi bahan
baku untuk membuat senjata Dohong yang bernama “papan beteng” tersebut, ketika Sanaman
Leteng itu diletakan didalam air, bagian ujung yang dipegang oleh Maharaja Sangiang adalah bagian ujung
yang juga timbul. Hal ini memiliki arti bahwa pemerintahan dan kerajaannya menjadi
semakin jaya dan menjadi semakin populer dan tetap eksis, yang
disimbolkan dengan logam Sanaman Leteng yang
jugatimbul, ketika beliau berkuasa sebagai
raja yang disimbolkan dengan “Dohong Papan Benteng.
Agresi Militer Kerajaan Panggau Libau / Wijayapura (Puchavarao)
Setelah Maharaja
Sangiang meninggal dunia, tahtanya diduduki oleh anaknya yang bernama Lambung, yaitu raja yang terkenal dengan
nama julukan Raja Bunu yang menikah
dengan istrinya yang bergelar “Petak
Kalabien Bulan yalung Bayan Hintan Kaharingan”. Pada cerita beliau juga
melakukan apa yang dilakukan oleh Ayah dan kakeknya, yaitu melakukan juga
penikaman terhadap burung“Gajah Bakapek
Bulau Unta Hajaran Tandang Barikur Hintan”, sehingga burung itu mengeluarkan
darah yang kemudian berubah menjadi emas, berlian dan batu permata juga setelah
ditampung pada sebuah mangkuk, yang juga merupakan bahasa fenomena untuk
menyebutkan tentang kemakmuran dan kejayaan yang semakin dicapai oleh
kerajaannya.
Dan burung“Gajah
Bakapek Bulau Unta Hajaran Tandang Barikur Hintan”, ini merupakan bahasa
simbolis untuk menyebutkan kerajaan yang dipimpin olehnya, yaitu kerajaan Banua Ot Danum. Hanya
saja didalam cerita dikisahkan bahwa, luka tikam burung “Gajah Bakapek Bulau Unta Hajaran Tandang Barikur Hintan”, setelah
ditikam oleh beliau, luka burung itu tidak dapat sembuh, dan setelah itu burung
itu terbang meninggalkannya. Tentu saja hal ini memiliki arti bahwa, semasa
beliau berkuasa kerajaan yang dipimpin olehnya mengalami kerusakan yang tidak
dapat diperbaiki dengan segera mungkin, sehingga disimbolkan dengan luka yang
terdapat pada burung “Gajah Bakapek Bulau Unta Hajaran
Tandang Barikur Hintan”, yang tidak dapat diobati dan burung
itu langsung terbang pergi meninggalkannya.
Kenapa bisa demikian?
Ternyata karena pada waktu Patih Lambung (raja bunu) berkuasa pada sekitar abad 7 Masehi,
kejayaan kerajaan Banua Ot Danum telah berada pada puncaknya. Gaung tentang
kehebatan kerajaan Banua Ot Danum telah menyebar kemana-mana, hal ini
menyebabkan banyak kerajaan lain yang ingin menaklukannya. Dan salah-satu
kerajaan yang berani melakukan penaklukan terhadap kerajaan Banua Ot Danum adalah pihak kerajaan Panggau Libau / Wijayapura (Puchavarao)
milik Dayak Iban di tanah Sarawak. Dengan mengerahkan bala tentara yang besar dibawah
pimpinan raja Patih Sengalang Burong, mereka
dapat memporak-porandakan kerajaan Banua
Ot Danum.
Jika dikaitkan dengan peristiwa serangan bala tentara
kerajaan Panggau Libau / Wijayapura
(Puchavarao) itu, maka julukan“raja Bunu” kepada Patih Lambung penguasa kerajaan Banua
Ot Danum kala itu, memiliki arti sebagai “raja yang pada saat beliau berkuasa, rakyatnya banyak terbunuh”. Karena
disebabkanoleh hal itu, kemudian oleh masyarakat Dayak Kalimantan Tengah, Patih Lambung alias raja Bunu dianggap sebagai raja yang tidak kekal karena mengalami
kematian dibandingkan dengan tiga raja sebelumnya, yang secara rasional artinya
adalah “kerajaan yang dipimpin olehnya
mengalami porak-poranda / tidak berdiri tegak / mundur”.
Itulah sebabnya didalam cerita berikutnya disebutkan bahwa
logam Sanaman Leteng bahan baku untuk
membuat senjata Dohong yang bernama “papan
benteng” tersebut, ketika Sanaman
Leteng itu diletakan didalam air, bagian ujung yang dipegang oleh Patih Lambung (Raja Bunu) adalah bagian ujung
yang tenggelam. Ini merupakan bahasa fenomena sekaligus bahasa simbolis yang
memiliki arti bahwa pemerintahandan kejayaan
kerajaan Banua Ot Danum menjadi redup hingga mengalami kemunduran dan akhirnya
tenggelam, ketika beliau berkuasa sebagai raja yang disimbolkan dengan
“Dohong Papan Benteng.
Pada peperangan dengan tentara kerajaan Panggau Libau pimpinan raja Patih Sengalang Burong, waktu itu
kerajaan Banua Ot Danum mengalami
kehancuran, pemimpinnya yaitu raja Patih
Lambung(Raja Bunu) dapat selamat,
namun salah-satu kakinya patah, sehingga sewaktu beliau dibawa lari ke alam bawah
(Arah Selatan) oleh
tentaranya, beliau digotong dengan memakai tandu Palangka Bulau (ogam mulia). yang
diberi nama “Lambayung Nyahu”. Selain
tandu raja bunu, para sisa tentara
kerajaan Banua Ot Danum juga membawa dua buah tandu lainnya, yaitu sebuah tandu
yang dipakai untuk membawa gabah padi yang disebut “Parei Manyangen Tingang”, dan tandu yang satunya dipakai untuk
membawa “Bawin Ayah” yaitu seorang
imam besar di kerajaan Ot Danum.
Setelah sampai ke alam
bawah (Bagian selatan), disana mereka membangun pusat pemerintahan yang
barudi daerah Pantai Danum Kalune (Sungai
Kahayan), yang terletak di sekitar Tantan
Puruk Samatuan (Lereng Bukit Samatuan) tepatnya berada didaerah yang dimasa
sekarang dikenal dengan nama Kahayan Roto
dan Kahayan Katinting. Pada waktu
tinggal di pusat pemerintahannya yang baru, Patih
Lambung (Raja Bunu) dan istrinya melahirkan lima orang anak, yang berjenis
kelamin laki-laki bernama Litih dan yang berjenis kelamin
perempuan sebanyak empat orang yaitu Nyai Sikan, Kamulung Tenek Bulau,
Nyai Lentar Katinel Bulau dan Kameluh Buwoi Bulau.
Anak-anak Patih Lambung
(raja Bunu) kelak akan membangun kerajaan baru. Anak perempuannya yag
bernama Sikan (Nyai Sikan) membangun
kerajaan Siang yaitu kerajaan Dayak
Siang yang berlokasi disekitar Tantan
Puruk Kambang (Lereng Bukit Kambang) daerah Barito hulu.Anaknya yang
bernama Litih yang bergelar “Tiung Layang Racha Memegang Jalan Tarusan
Bulan Racha Jagan Pukung Pahewan” mendirikan kerajaan baru, dengan
ibukota Tumbang Danum Dohong, yang
terletak jauh ke dalam bawah tanah (selatan
Pulau) di tepi laut, sehingga beliau dikenal sebagai sebagai raja Jatha (Raja Naga) yaitu penguasa
daratan dan perairan laut, yang kemungkinan merupakan cikal bakal kerajaan Bataguh. Kemudian anaknya yang bernama Kamulung Tenek Bulau membangun kerajaan Datah Takasiang yang terletak disebelah
barat. dan anaknya yang bernama Nyai
Lentar Katinel Bulau akan melanjutkan kepemimpinannya di kerajaan Ot Danum.
Setelah penyerangan ke kerajaan Banua Ot Danum, Patih Sengalang
Burong memerintahkan seorang Pangalangok
(Pemimpin Militer) kerajaannya, yaitu Singa
Bujang Bejie (Jendral Bujang Bejie) bersama sejumlah tentaranya untuk
tinggal disekitar muara sungai Melawi dengan tujuan untuk berjaga-jaga sebagai
pembendung atau penghadang jika seandainya pihak tentara kerajaan Banua Ot Danum akan melakukan serangan
balik dari ibukota kerajaannya yang baru di daerah hilir sungai Kahayan
didaerah Kalimantan Tengah dimasa sekarang, ke wilayah kerajaan Panggau Libau / Wijayapura (Puchavarao) bagian
selatan yaitu daerah Kabupaten Sintang dimasa sekarang.
Dari kejadian sejarah nyata tentang penugasan Singa Bujang Bejie (Jendral Bujang Bejie)
sebagai pemimpin tentara “pembendung atau
panghadang” inilah, kemudian lahir
cerita berbau mitos didaerah Sintang Kalimantan Barat dimasa sekarang, yang
menyebutkan bahwa Singa Bujang Bejie
(Jendral Bujang Bejie) menggunakan bukit Kelam yaitu sebuah batu raksasa (sebenarnya merujuk pada
tentara kerajaan Panggau Libau), yang akan digunakan untuk membendung atau
menghadang sungai melawi, yang mengalir dari arah selatan, yang secara rasional
merujuk kepada “tentara kerajaan Banua Ot
Danum”, yang kemungkinan besar akan melakukan serangan balik ke wilayah
kerajaan Panggau Libau / Wijayapura
(Puchavarao).
Kisah tentang eksistansi kerajaan Banua Ot Danum ini kemudian disalah-artikan oleh masyarakat Dayak
Kalimantan Tengah, menurut mereka itu adalah kisah tentang kemunculan manusia
menurut agama adat mereka yang dinamai “Agama
Kaharingan” itu, sehingga seluruh kisah tentang eksistensi kerajaan Banua Ot Danumitu kemudian dibukukan sebagai kitab suci
mereka. Fenomena semacam ini, ternyata juga terjadi di Kalimantan Barat, dimana
seluruh kisah tentang eksistensi kerajaan Bawakng
(Tamaratos) sebagai kerajaan Dayak tertua di Kalimantan Barat bagian barat,
juga dijadikan sebagai bagian dari kisah yang terdapat didalam kitab suci agama
adat mereka, yaitu agama yang bernama “Agama
Karimawatn” tersebut.
0 komentar :
Posting Komentar