Rabu, 09 September 2020

Kerajaan Ot Danum

    Seperti pada kasus kerajaan tertua di Kalimantan Barat yaitu kerajaan Bawakng (Tamaratos) dan kerajaan tertua di Sarawak yaitu kerajaan Panggau libau / Wijayapura (Puchavarao) yang didalam cerita rakyat, kadang-kadang alur cerita yang dikisahkan telah dibumbui dengan rempah-rempah mitos, begitu juga dengan apa yang terjadi pada cerita tentang kerajaan-kerajaan di Kalimantan tengah, khususnya pada cerita tentang kerajaan Banua Ot Danum yang pernah berdiri di bagian utara provinsi Kalimantan Tengah dimasa sekarang.

 

Arca berbentuk Harimau yang berdiri di dekat bukit Beribit di perbatasan Kalimantan Barat dan Kalimantan Tengah. Ini adalah artefak bukti kerajaan Ot Danum pernah berdiri pada sekitar abad 6 masehi.


Untuk dapat memahami seluruh rangkaian ceritanya secara rasional, kita harus mengutamakan cara-cara berfikir dengan menggunakan logika. Karena itu dapat dipercaya bahwa seluruh kisah tentang kerajaan Banua
Ot Danum tersebut adalah bersumber dari sejarah nyata.Namun didalam perjalanannya, kemudian cerita yang dituturkan tentang kerajaan itu mengalami distorsi, sehingga menjadi berubah bahkan terkesan sangat berbau mitos.

 

Kejelian dalam memahami bahasanya adalah sangat mutlak, hingga mengantar kita kepada pemahaman bahwa apa yag dianggap mitos oleh sebagian orang, sebenarnya hanya kepada permasalahan tentang cara memahami gaya bahasa yang dipergunakan didalam cerita itu saja. Umumnya bentuk bahasa yang digunakan didalam cerita tentang kerajaan Ot Danum tersebut adalah berbentuk “Bahasa Fenomena dan bahasa simbolis”.

 

Dikisahkan bahwa terdapat tiga orang raja yaitu raja Sangen, Raja sangiang dan Raja Bunu. Suatu saat mereka menemukan sebuah logam panjang yang bernama Sanaman Leteng didalam air. Setelah itu, ketiga orangraja itu memperebutkannya. Diamana pada saat didalam air, ujung sanaman leteng yang satunya tenggelam, bagian yang tenggelam ini di pegang oleh Raja Bunu, sementara bagian ujung yang mengapung dipegang bersama oleh Sangen dan Sangiang. yang kemudian oleh ayah mereka dibuat menjadi senjata Dohong (Tahta) yang bernama Papan Benteng.

 

          Kemudian ceritanya berlanjut, disebutkan bahwa mereka diaugerahi seekor burung raksasa yang brnama “Gajah Bakapek Bulau Unta Hajaran Tandang Barikur Hintan”, karena memperebuti burung itu, kemudian Raja Sangen menikam burung itu, dan darah yang keluar ditampung dengan sebuah Sangku (Mangkuk) lalu darah itu berubah mejadi emas, berlian dan permata lainnya. Kemudian burung diobati oleh ayah mereka, setelah sembuh, burung itu ditikam oleh Raja Sangiang dan darahnya ditampung serta berubah menjadi emas dan berlian juga. Kemudian kembali diobati, lalu bunupun melakukan hal yang sama, yaitu menikam burung itu hingga darah yang ditampung berubah juga menjadi emas dan berlian. setelah itu ayah mereka berusaha mengobati burung itu, tetapi burung itu tidak bisa sembuh, akhirnya burung itu terbang.

 

Mari Kita Memahami Kisah Yang Dicertakan Dengan Bahasa fenomena Dan Bahasa Simbolis Tersebut Dengan Memakai Logika Agar Kisah Tersebut Menjadi Lebih Rasional Menurut Cara Pikir Alam Modern Kita!

Pusat peradaban awal rumpun Dayak Ot Danum adalah kerajaan BanuaOt Danum, yaitu sebuah kerajaan purba yang telah berdiri pada sekitar abad 6 Masehi dengan ibukota kerajaannya bernama kota Lewu Batu Nindan Tarung, dan istana rumah panjangnya bernama Lasang Bangkirai Bahenda Sambung, yang terletak didekat hulu “Pantai Danum Sangiang”  yakni sebuah sungai besar yang dimasa sekarang dikenal dengan nama “Sungai Melawi”  dibagian alam atas (Bagian Utara) tanah penyebaran Dayak Ot Danum dimasa kini, tepatnya diperbatasan antara Kalimantan Barat dengan Kalimantan Tengah.

 

 

 

Raja pendiri kerajaan Banua Ot Danum adalah Patih Antang Bajelu Bulau, yaitu seorang raja yang kemudian lebih dikenal dengan nama gelar Raja Tunggul Garing Janjahunan Laut. Beliau berasal dari kampung “Kalimbahan Laut Mangantung Nyelem Kalang Labehu Handalem”. Beliau memiliki seorang istri yang namanya tidak diketahui, namun terkenal dengan nama gelar “Kameluh Putak Bulau Janjulen Karangan Limut Batu Kamasan Tambun” yang berasal dari kampung “Jalayan Hulu Danum”.

 

Pada Cerita tidak diberitahu berapa jumlah anak mereka, namun dengan memakai konsep yang terdapat pada kerajaan Dayak di Kalimantan Barat dan di sarawak, bahwa seseorang yang diangkat menjadi raja baru pada suatu wilayah tertentu, apabila ia bukan keturunan langsung (Anak Raja) dari raja yang sedang atau telah berkuasa pada suatu wilayah, maka syarat yang harus dipenuhi oleh setiap raja baru adalah, raja tersebut harus memiliki tujuh orang anak yang berjenis kelamin sama secara berurutan atau bisa juga, raja baru tersebut harus memiliki tujuh orang anak kembar tanpa harus memiliki jenis kelamin yag sama. Jika Syarat-syarat tersebut telah terpenuhi, maka seseorang boleh diangkat untuk menjadi pemimpin pada suatu wilayah. Dengan demikian, dugaan kuat bahwa dahulu raja Patih Antang Bajelu Bulau ketika diangkat menjadi raja Dayak Ot Danum, pasti setelah istri beliau melahirkan putranya yang ketujuh.

 

Setelah raja Patih Antang Bajelu Bulaumeninggal dunia, beliau digantikan oleh anaknya yang bernama Lanting. Setelah dinobatkan menjadi raja pengganti ayahnya, raja Patih Lanting lebih dikenal dengan sebutan atau gelar Maharaja Sangen. Ketika beliau berkuasa, kerajaan Banua Ot Danum mulai mengalami kejayaan, sehingga didalam cerita yang berbentuk bahasa fenomena dan bahasa simbolis, beliau dikatakan menikam burung “Gajah Bakapek Bulau Unta Hajaran Tandang Barikur Hintan”, sehingga mengeluarkan darah yang kemudian darah itu berubah menjadi emas, berlian dan batu permata setelah ditampung pada Sangku (Mangkuk). jadi yang dimaksudkan dengan emas, berlian dan batu permata ini merupakan bahasa fenomena untuk menyebutkan kemakmuran dan kejayaan yang dicapai dimasa kepemimpinannya. Dan burung “Gajah Bakapek Bulau Unta Hajaran Tandang Barikur Hintan”, ini merupakan bahasa simbolis untuk menyebutkan kerajaan yang dipimpin olehnya, yaitu kerajaan Banua Ot Danum.

 

Itulah sebabnya didalam ceritaberikutnya disebutkan bahwa logam Sanaman Leteng bahan baku untuk membuat senjata Dohong yang bernama “papan benteng”  tersebut, ketika Sanaman Leteng itu diletakan didalam air, bagian ujung yang dipegang olehnya adalah bagian ujung yang timbul. Hal ini memiliki arti bahwa pemerintahan dan kerajaan Banua Ot Danum pada masa kekuasaan Maharaja Sangen mulai jaya dan menjadi populer, yang disimbolkan dengan logam Sanaman Leteng yang timbul, ketika beliau berkuasa sebagai rajayang disimbolkan dengan “Dohong Papan Benteng.

 

Maharaja Sangen (Patih Lanting)dengan istrinya Kameluh Kambang Garing memiliki beberapa orang anak yang seluruhnya berjenis kelamin perempuan. Sehingga setelah beliau meninggal dunia, tugas sebagai raja akan diemban oleh salah-satu menantunya. Pengganti Maharaja Sangen adalah menantunya yang semula menjabat sebagai Panglima Perang kerajaan Banua Ot Danum, dia adalahPatih Kerangkang Amban Penyang, yang setelah menjabat sebagai raja, beliau lebih dikenal dengan gelar Maharaja Sangiang. Kampung kelahiran dari Patih Kerangkang Amban Penyang terletak disekitar Tantan Liang Mangan Kaminting (Lereng Bukit Kaminting).Diduga beliau adalah seorang blasteran antara Dayak Ot Danum dengan bangsa Gergasi (Raksasa), sehingga secara fisik penampilan anaknya, yaitu pada Patih Lambung (Raja Bunu) disebutkan memiliki ukuran tubuh tinggi besar dengan warna kulit kemerah-merahan dan memiliki bulu tubuh yang cukup lebat.

 

Ketika beliau berkuasa, puncak kejayaan yang dicapai oleh kerajaan Banua Ot Danum semakin menanjak, sehingga didalam cerita yang berbentuk bahasa fenomena dan bahasa simbolis, beliau juga melakukan apa yang dilakukan oleh mertuanya, Maharaja Sangen, yaitu menikam burung “Gajah Bakapek Bulau Unta Hajaran Tandang Barikur Hintan”, sehingga mengeluarkan darah yang juga berubah menjadi emas, berlian dan batu permata setelah ditampung pada sebuah Sangku (mangkuk), inijuga merupakan bahasa fenomena untuk menyebutkan tentang kemakmuran dan kejayaan yang semakindicapai oleh kerajaan Banua Ot Danum ketika Maharaja Sangiang berkuasa. Dan burung “Gajah Bakapek Bulau Unta Hajaran Tandang Barikur Hintan”, ini merupakan bahasa simbolis untuk menyebutkan kerajaan yang dipimpin olehnya, yaitu kerajaan Banua Ot Danum.

 

Itulah sebabnya didalam cerita berikutnya disebutkan bahwa logam Sanaman Leteng yang menjadi bahan baku untuk membuat senjata Dohong yang bernama “papan beteng” tersebut, ketika Sanaman Leteng itu diletakan didalam air, bagian ujung yang dipegang oleh Maharaja Sangiang adalah bagian ujung yang juga timbul. Hal ini memiliki arti bahwa pemerintahan dan kerajaannya menjadi  semakin jaya dan menjadi semakin populer dan tetap eksis, yang disimbolkan dengan logam Sanaman Leteng yang jugatimbul, ketika beliau berkuasa sebagai raja yang disimbolkan dengan “Dohong Papan Benteng.

 

Agresi Militer Kerajaan Panggau Libau / Wijayapura (Puchavarao)

Setelah Maharaja Sangiang meninggal dunia, tahtanya diduduki oleh anaknya yang bernama Lambung, yaitu raja yang terkenal dengan nama julukan Raja Bunu yang menikah dengan istrinya yang bergelar “Petak Kalabien Bulan yalung Bayan Hintan Kaharingan”. Pada cerita beliau juga melakukan apa yang dilakukan oleh Ayah dan kakeknya, yaitu melakukan juga penikaman terhadap burung“Gajah Bakapek Bulau Unta Hajaran Tandang Barikur Hintan”, sehingga burung itu mengeluarkan darah yang kemudian berubah menjadi emas, berlian dan batu permata juga setelah ditampung pada sebuah mangkuk, yang juga merupakan bahasa fenomena untuk menyebutkan tentang kemakmuran dan kejayaan yang semakin dicapai oleh kerajaannya.

 

Dan burung“Gajah Bakapek Bulau Unta Hajaran Tandang Barikur Hintan”, ini merupakan bahasa simbolis untuk menyebutkan kerajaan yang dipimpin olehnya, yaitu kerajaan Banua Ot Danum. Hanya saja didalam cerita dikisahkan bahwa, luka tikam burung “Gajah Bakapek Bulau Unta Hajaran Tandang Barikur Hintan”, setelah ditikam oleh beliau, luka burung itu tidak dapat sembuh, dan setelah itu burung itu terbang meninggalkannya. Tentu saja hal ini memiliki arti bahwa, semasa beliau berkuasa kerajaan yang dipimpin olehnya mengalami kerusakan yang tidak dapat diperbaiki dengan segera mungkin, sehingga disimbolkan dengan luka yang terdapat pada burung “Gajah Bakapek Bulau Unta Hajaran Tandang Barikur Hintan”, yang tidak dapat diobati dan burung itu langsung terbang pergi meninggalkannya.

 

Kenapa bisa demikian?

 

Ternyata karena pada waktu Patih Lambung (raja bunu) berkuasa pada sekitar abad 7 Masehi, kejayaan kerajaan Banua Ot Danum telah berada pada puncaknya. Gaung tentang kehebatan kerajaan Banua Ot Danum telah menyebar kemana-mana, hal ini menyebabkan banyak kerajaan lain yang ingin menaklukannya. Dan salah-satu kerajaan yang berani melakukan penaklukan terhadap kerajaan Banua Ot Danum adalah pihak kerajaan Panggau Libau / Wijayapura (Puchavarao) milik Dayak Iban di tanah Sarawak. Dengan mengerahkan bala tentara yang besar dibawah pimpinan raja Patih Sengalang Burong, mereka dapat memporak-porandakan kerajaan Banua Ot Danum.

 

Jika dikaitkan dengan peristiwa serangan bala tentara kerajaan Panggau Libau / Wijayapura (Puchavarao)  itu, maka julukan“raja Bunu” kepada Patih Lambung penguasa kerajaan Banua Ot Danum kala itu, memiliki arti sebagai “raja yang pada saat beliau berkuasa, rakyatnya banyak terbunuh”. Karena disebabkanoleh hal itu, kemudian oleh masyarakat Dayak Kalimantan Tengah, Patih Lambung alias raja Bunu dianggap sebagai raja yang tidak kekal karena mengalami kematian dibandingkan dengan tiga raja sebelumnya, yang secara rasional artinya adalah “kerajaan yang dipimpin olehnya mengalami porak-poranda / tidak berdiri tegak / mundur”.

 

Itulah sebabnya didalam cerita berikutnya disebutkan bahwa logam Sanaman Leteng bahan baku untuk membuat senjata Dohong yang bernama “papan benteng” tersebut, ketika Sanaman Leteng itu diletakan didalam air, bagian ujung yang dipegang oleh Patih Lambung (Raja Bunu) adalah bagian ujung yang tenggelam. Ini merupakan bahasa fenomena sekaligus bahasa simbolis yang memiliki arti bahwa pemerintahandan kejayaan kerajaan Banua Ot Danum menjadi redup hingga mengalami kemunduran dan akhirnya tenggelam, ketika beliau berkuasa sebagai raja yang disimbolkan dengan “Dohong Papan Benteng.

 

Pada peperangan dengan tentara kerajaan Panggau Libau pimpinan raja Patih Sengalang Burong, waktu itu kerajaan Banua Ot Danum mengalami kehancuran, pemimpinnya yaitu raja Patih Lambung(Raja Bunu)  dapat selamat, namun salah-satu kakinya patah, sehingga sewaktu beliau dibawa lari ke alam bawah (Arah Selatan) oleh tentaranya, beliau digotong dengan memakai tandu Palangka Bulau (ogam mulia). yang diberi nama “Lambayung Nyahu”. Selain tandu raja bunu, para sisa tentara kerajaan Banua Ot Danum juga membawa dua buah tandu lainnya, yaitu sebuah tandu yang dipakai untuk membawa gabah padi yang disebut “Parei Manyangen Tingang”, dan tandu yang satunya dipakai untuk membawa “Bawin Ayah” yaitu seorang imam besar di kerajaan Ot Danum.

 

Setelah sampai ke alam bawah (Bagian selatan), disana mereka membangun pusat pemerintahan yang barudi daerah Pantai Danum Kalune (Sungai Kahayan), yang terletak di sekitar Tantan Puruk Samatuan (Lereng Bukit Samatuan) tepatnya berada didaerah yang dimasa sekarang dikenal dengan nama Kahayan Roto dan Kahayan Katinting. Pada waktu tinggal di pusat pemerintahannya yang baru, Patih Lambung (Raja Bunu) dan istrinya melahirkan lima orang anak, yang berjenis kelamin laki-laki bernama Litih dan yang berjenis kelamin perempuan sebanyak empat orang yaitu Nyai Sikan, Kamulung Tenek Bulau, Nyai Lentar Katinel Bulau dan Kameluh Buwoi Bulau.

         

Anak-anak Patih Lambung (raja Bunu) kelak akan membangun kerajaan baru. Anak perempuannya yag bernama Sikan (Nyai Sikan) membangun kerajaan Siang yaitu kerajaan Dayak Siang yang berlokasi disekitar Tantan Puruk Kambang (Lereng Bukit Kambang) daerah Barito hulu.Anaknya yang bernama Litih yang bergelar “Tiung Layang Racha Memegang Jalan Tarusan Bulan Racha Jagan Pukung Pahewan” mendirikan kerajaan baru, dengan ibukota Tumbang Danum Dohong, yang terletak jauh ke dalam bawah tanah (selatan Pulau) di tepi laut, sehingga beliau dikenal sebagai sebagai raja Jatha (Raja Naga) yaitu penguasa daratan dan perairan laut, yang kemungkinan merupakan cikal bakal kerajaan Bataguh. Kemudian anaknya yang bernama Kamulung Tenek Bulau membangun kerajaan Datah Takasiang yang terletak disebelah barat. dan anaknya yang bernama Nyai Lentar Katinel Bulau akan melanjutkan kepemimpinannya di kerajaan Ot Danum.

 

Setelah penyerangan ke kerajaan Banua Ot Danum, Patih Sengalang Burong memerintahkan seorang Pangalangok (Pemimpin Militer) kerajaannya, yaitu Singa Bujang Bejie (Jendral Bujang Bejie) bersama sejumlah tentaranya untuk tinggal disekitar muara sungai Melawi dengan tujuan untuk berjaga-jaga sebagai pembendung atau penghadang jika seandainya pihak tentara kerajaan Banua Ot Danum akan melakukan serangan balik dari ibukota kerajaannya yang baru di daerah hilir sungai Kahayan didaerah Kalimantan Tengah dimasa sekarang, ke wilayah kerajaan Panggau Libau / Wijayapura (Puchavarao) bagian selatan yaitu daerah Kabupaten Sintang dimasa sekarang.

 

Dari kejadian sejarah nyata tentang penugasan Singa Bujang Bejie (Jendral Bujang Bejie) sebagai pemimpin tentara “pembendung atau panghadang”  inilah, kemudian lahir cerita berbau mitos didaerah Sintang Kalimantan Barat dimasa sekarang, yang menyebutkan bahwa Singa Bujang Bejie (Jendral Bujang Bejie) menggunakan bukit Kelam yaitu sebuah batu raksasa (sebenarnya merujuk pada tentara kerajaan Panggau Libau), yang akan digunakan untuk membendung atau menghadang sungai melawi, yang mengalir dari arah selatan, yang secara rasional merujuk kepada “tentara kerajaan Banua Ot Danum”, yang kemungkinan besar akan melakukan serangan balik ke wilayah kerajaan Panggau Libau / Wijayapura (Puchavarao).

 

Kisah tentang eksistansi kerajaan Banua Ot Danum ini kemudian disalah-artikan oleh masyarakat Dayak Kalimantan Tengah, menurut mereka itu adalah kisah tentang kemunculan manusia menurut agama adat mereka yang dinamai “Agama Kaharingan” itu, sehingga seluruh kisah tentang eksistensi kerajaan Banua Ot Danumitu kemudian dibukukan sebagai kitab suci mereka. Fenomena semacam ini, ternyata juga terjadi di Kalimantan Barat, dimana seluruh kisah tentang eksistensi kerajaan Bawakng (Tamaratos) sebagai kerajaan Dayak tertua di Kalimantan Barat bagian barat, juga dijadikan sebagai bagian dari kisah yang terdapat didalam kitab suci agama adat mereka, yaitu agama yang bernama “Agama Karimawatn” tersebut.

 

 

 



0 komentar :

Posting Komentar

 

Translate

Label

Adat (5) Bigbang (14) Budaya (5) Dayak (10) Kerajaan Dayak (11) Multiverse (3)