Minggu, 23 Juni 2019

Kerajaan Bangkule Rajakng




Kerajaan Bahanapura (Bangkule Rajakng) adalah sebuah kerajaan Dayak Kanayatn yang pertama kali berdiri di hulu sungai Sekayu, yaitu salahsatu anak sungai yang dikenal dengan sebutan sungai mempawah dimasa sekarang. Kerajaan ini dinamai dengan bahasa sanskerta yang berbunyi Bahana Pura, yang bearti negeri yang terdengar nyaring atau negeri yang terkenal. Sementara penyebutan kerajaan Bahana Pura dengan sebutan “Bangkule Rajakng” dimulai setelah serangan tentara kerajaan Majapahit pimpinan Patih Gajah Mada, pada masa pemerintahan raja Aria Magat sekitar tahun 1340 Masehi dahulu.

Pada saat itu ribuan tentara kerajaan Majapahit dapat dihadapi dengan gagah berani oleh tentara dan rakyat jelata kerajaan Bahana pura (Bangkule Rajakng) yang dibantu oleh orang Banyadu yang berasal dari tentara dan rakyat jelata kerajaan Satona (Sthanapura) dan juga dibantu oleh orang Bakati yang berasal dari rakyat jelata dan tentara kerajaan Bawakng (Tamaratos). Sebagai ungkapan karena telah selamatnya nyawa Raja Patih Aria Magat, maka setelah kepulangan pasukan tentara Majapahit pimpinan Patih Gajah Mada yang kalah tersebut, kemudian kerajaan Bahanapura mulai disebut oleh rakyatnya dengan sebutan kerajaan “Bangkule  Rajakng” yang bearti kerajaan “nyawa raja”. Hal ini dilakukan sebagai ungkapan atas telah selamatnya nyawa raja Patih Aria Magat dan tetap tegaknya kerajaan Bahanapura (Bangkule Rajakng).

Kerajaan ini didirikan oleh Patih Ramaga (Tembaga), anak laki-laki pertama yang lahir dari pasangan putri Balo Tanang (cahaya tenang / cahaya temaram) dengan suaminya Nyiur Gading (kelapa gading) yang merupakan salah-satu anak raja Patih Laja penguasa kerajaan Panggau Libau / Wijayapura (Puchavarao), yaitu sebuah kerajaan Dayak Iban yang pusat pemerintahannya terletak di dekat muara sungai Rajang sarawak dimasa sekarang. Putri Balo tanang sendiri merupakan anak dari raja Baniamas (Benih Emas) penguasa kerajaan BawakngBalo Tanang (cahaya tenang / cahaya temaram) menamai anaknya dengan memakai nama kakeknya sendiri, yaitu dari nama asli raja Patih Ramaga anak raja patih Langi penguasa kerajaan Bawakng sebelum raja Baniamas (Benih Emas) berkuasa. 

Ketika usianya telah menginjak dewasa, Ramaga putra Balo tanang menikah dengan Santikng Tarig. Dari pernikahan mereka lahirlah tujuh orang anak laki-laki, mereka adalah; Aria Magat, Aria Japu, Aria Kombang, Aria Taja, Aria Manding, Aria Gading dan Aria Jaga. Anak bungsu mereka yang bernama Aria Jaga itulah yang sering disalah-fahami oleh generasi muda Dayak dimasa sekarang, dimana hanya karena disebabkan oleh bunyi nama “Jaga” yang mirif kebalikan dari bunyi nama “Gaja atau Gajah”, kemudian dalam anggapan mereka, Aria Jaga diduga sebagai sosok Pangalangok (pemimpin militer) kerajaan Majapahit yang berama Patih Gajah Mada tersebut, yang dahulu sempat ingin menaklukan dan menghancurkan kerajaan Bahanapura dimasa pemerintahan raja Patih Aria Magat berkuasa.


Sesuai dengan adat  Dayak yang berlaku pada waktu itu, bahwa apabila terdapat pasangan suami istri yang memiliki anak pertama hingga anak yang ke tujuh, yang semuanya memiliki jenis kelamin yang sama, maka si suami dari pasangan suami istri tersebut harus diangkat menjadi raja baru. Kemudian oleh rakyat kerajaan Bawakng, Ramaga putra balo tanang dinobatkan untuk  menjadi raja,

Setelah dinobatkan menjadi raja, kepada beliau diberi gelar Patih. Gelar Patih disini adalah Patih yang bukan berasal dari bahasa Sanskerta, melainkan gelar Patih yang berasal dari Bahasa Dayak, yang artinya “memang sangat bernasib putih / mujur”, mengingat beliau ditakdirkan oleh Tuhan untuk menjadi raja, yang mana oleh Tuhan kepada Ramaga Putra Balo Tanang dikaruniakan dengan tujuh orang anak yang berjenis kelamin sama, hal itu adalah sebagai tanda bahwa Tuhan memilih beliau untuk menjadi seorang raja. namun beliau tidak diperkenankan untuk memerintah di kerajaan Bawakng (Tamaratos), melainkan harus membangun kerajaan baru. Untuk melaksanakan tuntutan adat tersebut, kemudian raja Patih Ramaga Putra Nyiur Gading, memilih daerah yang terletak dibagian selatan wilayah Kerajaan Bawakng (Tamaratos) untuk menjadi wilayah kekuasaannya.

Ketika meninggalkan kota Bawakng Basawag untuk pergi ke daerah selatan, tepatnya dibagian hulu sungai Mempawah, ia di ikuti oleh puluhan orang yang ditugaskan untuk menyertainya, di sana mereka tinggal diantara warga Dayak Kanayatn lokal yang sejak dahulu telah mendiami wilayah itu. Kemudian beliau mendirikan kerajaannya yang diberi nama kerajaan Bahana Pura yang bearti “negeri yang terdengar nyaring atau terkenal”, dengan ibukotanya “Bahana” dari bahasa sanskerta yang bearti “terdengar nyaring atau terkenal”. Suatu saat, oleh generasi selanjutnya, penyebutan nama kota “Bahana” berubah pelafalannya menjadi berbunyi “Bakana”, kemudian terakhir berubah lagi menjadi diucapkan dengan bunyi “Pakana”.

Konflik Antara Kerajaan Bangkule Rajakng (Bahanapura) Versus Kerajaan Bawakng (Tamaratos):
Dahulu, seluruh warga Dayak Banyuke (orang Banyadu), Dayak Kanayatn (orang Bananag) dan Dayak Rara (orang Bakati) masih memakai adat lama, yaitu adat istiadat yang dirumuskan ketika nenek moyang para pemimpin mereka masih tinggal di kota Bawakng Basawag, ibukota kerajaan Bawakng. Mengingat perubahan jaman telah terjadi, yaitu dimasa peralihan ke masa baru, karena pada masa baru itu pulau kalimantan sudah mulai di datangi oleh sekelompok kecil pengungsi melayu dari Sumatra yang datang ke kalimantan untuk menyelamatkan diri mereka dari pembantaian tentara kerajaan Singasari pada waktu itu, yaitu pada masa expedisi Pamalayu terjadi. Maka untuk membendung adat para pendatang tersebut, agar tidak di ikuti oleh masyarakat Dayak kemudian para pemimpin rakyat yaitu para ketua adat, para Pangao atau Panyagahatn (imam agama adat), para Pamaliatn (Imam Balian) dan lain-lain berkumpul di kota Bahana. Mereka semua bersepakat untuk mereformasikan aturan beberapa adat lama yang dirasakan sudah kurang tepat untuk diterapkan di masa yang akan datang.

Keinginan untuk mereformasikan adat lama itu awalnya dipelopori oleh seorang ketua adat yang bernama Karohong bersama dengan istrinya Dayakng Dinar. Mereka berdua berusaha merintis perbaikan tata cara adat serta menyusun tambahan adat baru pada rakyat dinasti bawakng yaitu orang-orang Bananag (Dayak Kanayatn), orang-orang Banyadu (Dayak Banyuke) dan orang-orang Dayak BakatiMeskipun demikian, niat baik itu tidak serta-merta ditanggapi secara positif. Ada cukup warga Dayak dahulu yang menentang perbaikan itu. Bagi sekelompok orang yang menjadi pihak penentang, mereka beranggapan bahwa usaha perbaikan ke dalam bentuk baru itu adalah perbuatan tercela yang merusak tatanan adat yang telah lama berlaku kepada seluruh masyarakat Dayak penduduk kerajaan-kerajaan yang dibangun oleh para Dinasti kerajaan Bawakng (Tamaratos).

Umumnya yang menentang usaha ini adalah warga Dayak Bakati. Mereka adalah sebagian bangsawan yang berasal dari Kerajaan Bawakng (Tamaratos). Sebagai keturunan utama pemangku dan pendiri kerajaan Bawakng (Tamaratos), mereka menginginkan agar tata cara adat perkawinan dan adat yang lainnya harus tetap pada  tata cara lama yang sangat disakralkan sejak permulaan peradaban kerajaan Bawakng (Tamaratos) berdiri. Pemimpin sebagian kelompok orang Bakati yang menentang reformasi tata cara adat tersebut  adalah raja kerajaan Bawakng (Tamaratos) yang berkuasa pada waktu itu yakni raja Patih Suleg Sampayakng dan istrinya seorang panglima perempuan yang sekaligus menjadi pejabat Pangalangok (pemimpin militer) kerajaan Bawakng (Tamaratos) kala itu, yang oleh rakyat kerajaan Bawakng (Tamaratos), ia di sebut dengan peribahasa dalam bahasa Dayak Bakati sebagai Ureg Nyabong Bakute Allo, yang bearti pulang menyabung atau setelah mengadu domba, berkicaulah burung enggang.

Meskipun demikian, tidak semua ketua adat dan para Pangao / Panyagahatn (imam agama adat) serta para Pamaliatn (Imam upacara Balian) orang Bakati yang enggan bersepakat untuk mereformasikan tata cara adat tersebut, terdapat beberapa orang dari mereka yang setuju. Pihak yang setuju dipimpin oleh Singa Taguh (jendral Teguh), yang merupakan adik kandung dari raja Patih Suleg Sampayakng. Dia adalah mantan Pangalangok (pemimpin militer)  kerajaan Bawakng (Tamaratos) yang terdepak oleh kakak iparnya. Kemudian bagi pihak yang tidak setuju, akhirnya tidak dapat menerima, mereka melakukan tindakan perlawanan dengan kekerasan. Perang antara tentara kerajaan Bawakng (Tamaratos) dan tentara kerajaan Bahanapura (Bangkule Rajakng), akhirnya pecah. Pamaliatn (imam Balian) Karohong si pelopor reformasi adat tersebut akhirnya tewas bersama istrinya si Dayakng Dinar.

Peperangan terus berlanjut, pasukan tentara kerajaan Bahanapura (Bangkule Rajakng) yang pada waktu itu dipimpin oleh Pangalangok (Pemimpin Militer) kerajaan Bahanapura (Bangkule Rajakng) yang bernama Singa Udana (jendral Udana) akhirnya dapat memenangi peperangan. Akibat perang tersebut menyebabkan ratusan tentara kerajaan Bawakng (Tamaratos) tewas, termasuk kedua orang pemimpin mereka yaitu raja Patih Suleg Sampayakng bersama istrinya Pangalangok (pemimpin militer) kerajaan Bawakng (Tamaratos) yang disebut dengan peribahasa dalam bahasa Dayak Bakati sebagai Ureg Nyabong Bakute Allo (pulang menyabung / setelah mengadu domba, berkicaulah burung enggang). Dengan kemenangan tersebut, akhirnya cita-cita pamaliatn (Imam upacara Balian) Karohokng bersama istrinya untuk mereformasikan hukum adat, dapat dilanjutkan.

Setelah perang usai, raja Patih Ramaga (Tembaga) yang sudah sangat tua, sebagai raja yang memerintah di kerajaan Bahanapura (Bangkule Rajakng),  lokasi dimana kejadian kesepakatan itu dilakukan, kemudian mengambil alih kewenangan untuk mereformasikan tata cara adat tersebut. Namun sebelum sempat merumuskan tata cara adat yang baru tersebut bersama para bangsawan kerajaan di istana rumah panjangnnya, pada malam hari raja Ramaga bermimpi, dalam mimpinya beliau bertemu dengan Jabata Neng Panitah (Tuhan Sang Pemerintah) yang mewahyukan perintah baru yang berisi lima macam aturan atau tata cara adat-adat baru untuk melengkapi tata cara adat yang akan di reformasikan tersebut. Selain itu, raja Patih Ramaga (Tembaga) juga diberi perintah untuk mengundang tiga orang kerabatnya (Keturunan dinasti kerajaan Bawakng) yang juga menjadi pemimpin negeri di masing-masing wilayahnya, hal ini dilakukan dengan tujuan untuk dapat menjelaskan secara terperinci, untuk memberi perintah pengamalan serta untuk mengembangkan wahyu Jabata Neng Panitah (Tuhan Sang Pemerintah) tersebut.

Setelah menerima wahyu itu, keesokan harinya raja Patih Ramaga (Tembaga) mengirimkan pesan undangan melalui tiga orang utusanya kepada ketiga pemimpin yang dimaksud. Ketiga orang pemimpin itu adalah Singa Matas (jendral Matas), seorang pemimpin orang Bananag (Dayak Kanayatn) yang berada disebelah timur, yaitu wilayah yang menjadi wilayah kerajaan Ango Talaga kelak. Kemudian Patih Taguh yaitu adik kandung almarhum raja Patih Suleg Sampayakng, yang baru diangkat menjadi raja kerajaan Bawakng (Tamaratos), beliau ini tinggal di ibukota kerajaan Bawakng (Tamaratos) yang baru, yaitu kota Batangan Raya atau Batang Raya, yang dimasa sekarang dikenal dengan nama Sungei Raya, kecamatan sungei Betung Kabupaten Bengkayang. Kemudian yang terakhir adalah Aria Jampi (Ria Jambi), raja orang Banyadu (Dayak Banyuke) yang hidup disepanjang DAS (daerah aliran sungai) Sungai Banyuke, hilir sungai Tenganap (sungai Landak) dan DAS Balantiatn.

Setelah mendengar adanya undangan dari raja Patih Ramaga (Tembaga), ketiga orang tersebut kemudian bergegas pergi menuju ke kota Bahana ibukota kerajaan Bahanapura (Bangkule Rajakng). Ketika rombongan ketiga orang tersebut telah tiba, mereka disambut oleh Raja Patih Ramaga (Tembaga) dengan sebuah buis bantatn (Jamuan agung). Pada pertemuan itu, Raja Patih Ramaga (Tembaga) menceritakan kepada mereka  bahwa,  beberapa waktu lalu ia berjumpa dengan Jabata Neng Panitah (Tuhan Sang Pemerintah) melalui sebuah mimpi. Jabata Neng Panitah (Tuhan Sang Pemerintah) memberikan wahyu yang berupa tata cara adat yang harus diikuti oleh seluruh keturunan dinasti kerajaan Bawakng dan rakyatnya. Selain adat-adat baru yang berasal dari Jabata Neng Panitah (Tuhan Sang Pemerintah)  sendiri, juga terdapat tata cara adat-adat yang lain, yang berasal dari para malaikat pemantau dunia serta dari para roh leluhur Dayak.  

Ketika Raja Patih Aria Magat Mempermalukan Patih Gajah Mada Pangalangok (pimpinan militer) Kerajaan Majapahit:
Setelah Raja Patih Ramaga meninggal dunia, kemudian beliau digantikan oleh anaknya yang bernama Aria Magat. Ini adalah nama asli Raja Patih Pagumantar dalam bahasa Dayak Rara (Bakati) yaitu bahasa asli raja Patih Rumaga dan istrinya ketika masih tinggal di kota Bawakng Basawag. Nama “Magat” bearti “memberanikan diri” alias “pemberani”. Nama tersebut diberikan kepada Aria Magat setelah lahir, sebagai bentuk doa agar sang anak ketika dewasa dapat menjadi orang yang sangat disegani dimanapun dia berada.

Patih Gumantar menikah dengan Dara Jampe, yaitu putri raja Sadong atau Patih Ria Bansa dengan istrinya Rariti dari kerajaan Lawai / Hulu Aik (Bakulapura / Tanjungpura) kala itu. Pernikahan mereka melahirkan tiga orang anak, mereka adalah Aria Nyabakng atau Aria Ngabakng (Ria Nyabakng) yang lahir beberapa hari setelah kepulangan pasukan tentara kerajaan Majapahit pimpinan Patih Gajah Mada. Karena rakyat kerajaan Bahanapura (Bangkule Rajakng) telah berhasil membendung tujuan tentara kerajaan Majapahit yang semula bermaksud ingin menaklukan kerajaan Bahanapura (Bangkule Rajakng), maka setelah anak pertama raja patih Aria Magat (Patih Gumantar) lahir, ia kemudian diberi nama Nyabakng atau Ngabakng  yang bearti “pemperisai atau pentameng atau pembendung atau penghadang”, hal ini dilakukan untuk mengingat peristiwa bersejarah itu. 

Kemudian adiknya Aria Panyanakng (Ria Pelestari) seorang anak laki-laki juga, ia lahir dimasa kerajaan Bahanapura (Bangkule Rajakng) dalam keadaan tenang, tentram, aman dan damai, sehingga setelah lahir, anak mereka yang kedua ini diberi nama Nyanakng yang bearti “Lestari”. Anak yang terakhir adalah seorang putri yang lahir setelah tiga bulan ayahnya tewas di kayau, ia diberi nama oleh ibunya dengan nama Dara Itapm, yang bearti putri yang bernasib gelap, hal ini disebabkan karena sejak lahir, ia tidak pernah melihat wajah ayahnya dan tumbuh sebagai anak yatim.

Pada waktu raja Patih aria Magat berkuasa, pasukan penghancur dari majapahit yang dipimpin oleh Patih gajah Mada datang membawa ribuan prajuritnya ke kota bahana. Namun naas bagi patih Gajah Mada bahwa kedatangan mereka rupanya telah diketahui oleh para nelayan Dayak dan prajurit kerajaan Bangkule yang di tugaskan untuk berjaga-jaga dan memantau laut sebelum muara sungai Karimawatn (sungai Mempawah sekarang). Bahwa kabar kedatangan bala tentara majapahit telah tersiar ke kota raja, hingga Raja Patih Aria Magat akhirnya mengedarkan perangkat adat mangkok merah ke seluruh negeri orang Banana (Dayak kanayatn), ke seluruh negeri orang Banyadu (dayak Banyuke) dan ke seluruh negeri orang Bakati (Dayak rara). Akhirnya bala bantuanpun berdatangan ke kota bahana, beberapa hari sebelum ribuan tentara majapahit sampai ke pusat kota bahana, disana telah menanti ribuan juga pasukan ketiga sub-suku Dayak tadi.

Ketika pasukan Gajah Mada datang, mereka telah disambut dengan kesiagaan dan pekikan perang Dayak yang disebut "Tariu" yang dipekik oleh ribuan pasukan ketiga sub-suku Dayak yang menyambut dan siap menerima perintah dari raja Patih Aria Magat, apabila diperintahkan untuk menyerbu. Tariu ini adalah pekikan perang yang sering dipekik ketika orang Dayak berperang dengan maksud untuk mengeraskan semangat serta untuk mempersilahkan kepada para roh "kamang Tariu" agar merasuki pasukan perang Dayak.

Ketika melihat hal itu, nyali Patih Gajah Mada pemimpin tentara majapahit tersebut akhirnya menjadi ciut terlebih melihat ribuan prajuritnya telah menjadi seperti orang gila, menangis dan bergemetaran, selain itu Gajah Mada sendiri juga mulai gemetar. Adapun yang membuat ribuan pasukan majapahit bergemetaran dan bertingkah seperti orang gila adalah karena mereka sendiri telah dirasuki oleh roh "Kamang Layo", ini adalah entitas roh yang berkebalikan dan berbeda dari entitas roh "Kamang Tariu", yang mana jika pada roh "Kamang Tariu" setiap prajurit Dayak yang dirasuki olehnya akan menjadi garang, ganas, maka pada setiap orang yang dirasuki oleh roh "Kamang Layo" akan menjadi bergemetaran dan tidak terkontrol serta menjadi gila, menangis bahkan melakukan bunuh diri atau meninggal dunia dengan sendirinya.

Pada saat itulah Gajah Mada yang licik itu akhirnya sadar bahwa kehebatan pasukan tentaranya tidak akan mampu melawan pasukan bangsa Dayak, sehingga dia mengurungkan niatnya untuk menaklukan dan menghancurkan kerajaan Bahanapura (Bangkule Rajakng). Setelah itu Patih Gajah Mada yang masih gemetar itu berlutut didepan raja Aria Magat (Patih Pagumantar), ia kemudian berpura-pura dengan mengatakan bahwa kedatangannya bersama ribuan pasukan tentaranya adalah hanya untuk bermaksud baik, dan memohon kepada raja Patih Aria Magat untuk membantu kerajaan Majapahit dengan mengirimkan pasukan Dayak ke negeri Siam (Thailand) guna bersama-sama dengan tentara Majapahit untuk menghadapi tentara kekaisaran Mongol, bahkan ia berjanji akan memberikan imbalan kepada raja Aria Magat. Sebagai tanda awal akan adanya imbalan yang dijanjikan tersebut, Patih Gajah Mada kemudian memberikan sebilah keris miliknya sendiri kepada Raja Aria Magat yaitu keris susuhan.

Inilah sejarah awal kenapa raja Patih Aria Magat diberi gelar oleh rakyatnya dengan gelar Patih Pagumantar atau disingkat Patih Gumantar yang bearti Patih Penggementar, karena hanya beliaulah satu-satunya raja di nusantara yang mampu membuat gajah mada bergemetaran dan bertekuk lutut di hadapannya sehingga tidak berani untuk melaksanakan niatnya untuk menaklukan dan menghancurkan kerajaan Bahana Pura (Bangkule Rajakng). Meskipun telah di janjikan akan diberi imbalan oleh kerajaan Majapahit apabila raja Patih Aria Magat mau membantu mereka, namun raja Aria Magat tetap tidak pernah mau tunduk pada kemauan Patih Gajah Mada tersebut, sehingga beliau tidak pernah mengirim pasukan Dayak ke negeri Siam (Thailand).

Setelah sisa-sisa tentara Majapahit tersebut pulang, kemudian rakyat kerajaan Bahanapura mulai menyebut kerajaan Bahanapura dengan sebutan Bangkule Rajakng, yang bearti “nyawa raja”, hal ini dilakukan sebagai ungkapan atas telah selamatnya nyawa raja Patih Aria Magat dan tetap tegaknya kerajaan Bahanapura (Bangkule Rajakng).

          Karena kerajaan ini tidak dapat ditaklukkan oleh kerajaan Jawa, maka nama kerajaan BAHANA PURA tidak tercantum didalam kitab kakawin Majapahit. Selain kerajaan Bahanapura (Bangkule Rajakng), kerajaan Dayak Kalimantan Barat yang lain yang tidak pernah dapat ditaklukan oleh kerajaan Majapahit dan pendahulunya yakni kerajaan Singasari adalah: kerajaan Bawakng milik Dayak Bakati Selatan, kerajaan Satona (Sthanapura) milik Dayak Banyuke (Orang Banyadu), kerajaan Pantanatn / Nek Riuh (Tamenacerim) milik Dayak Bakati utara, kerajaan Sijakng (Gantekng Siyong / Gantikng Siyang) milik Dayak Sungkung, kerajaan Ango Talaga (Sengah Temila) milik Dayak Kanayatn Timur, kerajaan Keokng-Kanakng (Tiong Kandang) milik Dayak Mali dan kerajaan Panggau Banyau / Tampun Juah (Tamaiao Baiao) milik Dayak Bidayuhik timur dan Dayak Iban selatan (Iban Kalimantan Barat).

Konflik Kerajaan Bangkule (Bahanapura) Versus Kerajaan Satona (Sthana Pura):
Kabar tentang bertekuk-lututnya patih Gajah Mada kepada raja Aria Magat akhirnya tersebar ke segenap pelosok pulau Kalimantan, termasuk ke kerajaan Bataguh milik Dayak Biaju (Ngaju) di bantaran DAS Biaju kecil (Sungai Kapuas Kalteng). Mendengar kabar itupula Raja Bataguh bersama para pembesar  kerajaannya berniat untuk mengayau raja Aria Magat. Dalam adat budaya bangsa Dayak, yang layak di jadikan target kayau adalah para raja dan pembesar-pembesar pada suatu kelompok Dayak lain, terlebih jika target kayau tersebut adalah orang yang sangat sakti, karena di yakini bahwa tengkorak seorang raja sakti sangat berkhasiat, terutama dalam mencegah penyakit sampar, hama tanaman dan lain-lain. Maka setelah berunding mereka kemudian mengirim ratusan prajurit kayau ke kota bahana dengan beberapa buah ajung (kapal).

Pada suatu tengah malam yang tidak terduga, pasukan kayau Dayak Biaju yang dipimpin oleh rajanya sendiri, yang oleh orang Dayak Kal-bar digelari raja Bangkaka. Sebutan bangkaka adalah nama burung air yang bernama latin Alceminadae. Mereka menerobos ke dalam istana rumah panjang kota Bahana, karena raja Aria Magat yang tertidur pulas dan tidak sedang mengenakan jimat pengebal yang dimilikinya, mengakibatkan beliau dengan mudah digorok oleh salah-seorang pengayau kerajaan Bataguh. Setelah berhasil mengayau raja Aria Magat para pengayau langsung meluncurkan ajung (kapal) mereka secepatnya meninggalkan kota bahana, namun sebagian prajuritnya tertangkap oleh prajurit kerajaan Bahanapura (Bangkule Rajakng) dan di interogasi serta dihukum mati.

Untuk beberapa tahun kemudian, istrinya Dara Jampe mengemban tugas sebagai raja, namun semakin lama, Dara jampe menjadi sering bersedih, hingga beliau memutuskan mengasingkan dirinya di wilayah lereng Gunung Tihakng, tepatnya di kampung Tiang Tanjung, desa Tunang kecamatan Mempawah Hulu dimasa sekarang. Setelah ditinggalkan oleh Dara Jampe, anak-anaknya dititipkan kepada pihak raja Patih Paramula (Tagak Tamula) penguasa kerajaan Ango Talaga (Sengah Temila). Untuk mengisi kekosongan kekuasaan dikerajaan Bahanapura (Bangkule Rajakng), kemudian para bangsawan kerajaan Bahanapura (bangkule Rajakng) mengangkat adik kandung raja Aria Magat (Patih Gumantar), yang bernama Aria Manding untuk menjadi raja sementara, hal ini dilakukan mengingat anak-anak raja Aria Magat masih belum cukup umur. Setelah dinobatkan menjadi raja, Patih Aria Manding, dikenal dengan sebutan Patih Ridu.

Pada masa raja Aria Manding atau Patih Ridu berkuasa, beberapa tahun kemudian, terjadi keretakan hubungan antara kerajaan Bahanapura (Bangkule Rajakng) dengan pihak kerajaan Satona (Sthanapura), hal ini disebabkan oleh sebuah kesalah-fahaman. Karena gusar dengan pihak kerajaan Bahanapura (Bangkule Rajakng), akhirnya para pemimpin orang Banyadu bersepakat untuk menghukum pihak kerajaan Bahanapura (Bangkule Rajakng) di DAS mempawah. Akhirnya ratusan pasukan orang Banyadu di kerahkan ke kota Bahana, disana terjadilah satu-satunya perang saudara antara orang Banyadu yang melawan orang Bananag DAS Mempawah, dalam peperangan tersebut, orang bananag mengalami kekalahan, dan raja Patih Ridu (Aria Manding) tewas terbunuh.

dan untuk menghindari jumlah korban lebih banyak, kemudian para kerabat raja dan bangsawannya beserta para tentara kerajaan Bahanapura (Bangkule Rajakng) di ungsikan ke daerah hilir sungai Karimawatn (Sungai lintah), yaitu sungai yang dimasa sekarang dikenal dengan nama sungai mempawah, tepatnya di daerah Banyalitn (kota Menjalin sekarang).  Disana mereka membangun ibukota baru yang dinamai kota Singaok atau menurut versi orang Banyadu (Dayak Banyuke) disebut Sangahok. Istilah Sangahok atau Singaok bearti “Sehardikan atau Sebentakan”  maksudnya untuk menyebuti “sekelompok atau kumpulan orang-orang yang dihardik atau dibentak”.

Digunakannya kata Singaok untuk menamai ibukota kerajaan yang baru ini adalah sebagai pengingat akan kejadian serangan pertama orang Banyadu (Dayak Banyuke) ke kota Gaong atau Bahana, Jadi serangan pertamakali pasukan Dayak Banyuke (orang Banyadu) tersebut di ibaratkan sebagai hardikan atau bentakan kepada rakyat kerajaan Bangkule Rajakng (Bahanapura). Perang saudara antara orang Banyadu (Dayak Banyuke) dan orang Bananag (Dayak Kanayatn) inilah yang menjadi awal mula pengayauan yang sering dilakukan oleh orang Banyadu ke kerajaan Bahanapura (Bangkule Rajakng).

Setelah Patih Ridu wafat, anak raja Aria Magat yang bernama Aria Panyabakng (Ria Pembendung) diangkat menjadi raja. Dimasa kepemimpinannya, pihak kerajaan Majapahit kembali ingin menaklukan kerajaan Bahanapura (Bangkule Rajakng), setelah dimasa tentara mereka yang dipimpin oleh Patih Gajahmada dahulu gagal. Kali ini kerajaan Majapahit mengirim pasukan besar di bawah pimpinan Patih Logender. Pada waktu itu pihak kerajaan Bahanapura (Bangkule Rajakng) bersekutu dengan pihak kerajaan Sintang untuk melawan tentara Majapahit. Perang akhirnya terjadi, pihak tentara kerajaan Bahanapura (Bangkule Rajakng) melakukan perlawanan yang dipimpin langsung oleh rajanya, yaitu Patih Panyabakng atau Pangabakng pada peperangan di sungai Tenganap (Sungai Landak).

Raja Patih Pangabakng tewas dalam peperangan di Pulobendu, meskipun demikian, tentara kerajaan Bahanapura (Bangkule Rajakng) mampu mengusir sisa tentara Majapahit bersama komandannya Patih Logender. Untuk mengenang peristiwa tersebut, kemudian lokasi peperangan yang bernama Pulobendu itu dinamakan Ngabakng, yaitu sebuah lokasi dimana kota Ngabang dimasa sekarang berdiri. Para tentara Majapahit yang melarikan diri ke arah muara Sungai landak tersebut, akhirnya bertemu dengan pasukan tentara kerajaan Sintang dibawah pimpinan Demong Nutup. Meskipun tentara kerajaan Sintang banyak menewaskan sisa tentara Majapahit tersebut, namun sayangnya, pemimpin mereka yaitu Demong Nutup dapat ditangkap oleh tentara Majapahit, ia ditawan dan akhirnya dibawa ke pulau Jawa.

Setelah raja Patih Ngabakng (Ria Pembendung) wafat, kemudian ia digantikan oleh anaknya yang bernama Satingi Dirig (Kehebatan Kita Semua), yang kemudian terkenal dengan sebutan Patih Patingi (Patih terhebat). Setelah raja Patih Patingi (Patih terhebat) wafat, beliau digantikan oleh putranya yang bernama Rakang. Setelah raja Rakang wafat, beliau digantikan oleh putranya Aria Ladong. Raja Ladong lahir dalam keadaan cacat yakni tidak memiliki tangan, oleh karena hal itu pula, ia kemudian dinamakan Ladong. Setelah menjadi raja, ia dikenal dengan sebutan raja Kudong, sebutan ini merupakan singkatan dari sebutan “rajaku Ladong” yang artinya “rajaku manusia yang tidak memiliki tangan”.

Raja Kudong menikah dengan Dara Bakelepm (Putri Berkelim), yaitu putri raja kerajaan Siak Riau. Pernikahan mereka melahirkan anak yang bernama Dara rode. Setelah dewasa Dara Rode dengan suaminya Kangod Manto Baniamas melahirkan Sangkawuk atau Sangkawok menurut versi Dayak Banyuke (Orang Banyadu) atau Singkuwuk menurut versi Dayak Kanayatn (Orang Bananag). Setelah Raja Patih Kodong wafat, kemudian beliau digantikan oleh adiknya yang bernama Katukong Aji. Adapun yang menjadi alasan tidak terpilihnya putrinya yang bernama Dara Rode adalah karena adat Dayak yang lebih mengutamakan seorang pemimpin harus seorang laki-laki. 

Setelah raja Katukong Aji wafat sekitar abad 16 masehi, kemudian beliau digantikan oleh cucu raja Kudong, yaitu anak Dara Rode yang bernama Singkuwuk menurut versi Dayak Kanayatn atau Sangkawok menurut versi Dayak Banyadu. Singkawuk diberi gelar Panembahan Inag bapusat man badarah putih” yang artinya “Panembahan yang tidak memiliki pusar dan memiliki darah yang berwarna putih”, hal ini mengingat beliau terlahir tidak memiliki pusar dan mempunyai darah yang berwarna putih. 

     Raja Singkuwuk menikah dengan Putri Cermin anak Raja Qahar dari Indragiri, Sumatera Selatan kira-kira tahun 1625 M. Pada saat Putri Cermin sedang mengandung, telah diramalkan oleh seorang nujum bahwa jika anak yang dilahirkan adalah perempuan, maka kekuasaan akan berpindah tangan ke suku lain. Ketika tiba waktu melahirkan, maka lahirlah seorang bayi perempuan dan diberi nama Amas Panyusah (Mas Indrawati).

         Ketika dewasa, Amas Panyusah (Mas Indrawati) menikah dengan Sultan Muhammad Zainuddin dari Kerajaan Matan. Seminggu setelah pernikahan, maka Sultan Muhammad Zainuddin kembali ke Kerajaan Matan dengan membawa Amas Panyusah (Mas Indrawati) yang telah dia nikahi. Dari sinilah mulai terjalinnya hubungan kekeluargaan antara Kerajaan Mempawah dan Kerajaan Matan.

        Dari pernikahan Mas Indrawati dan Sultan Muhammad Zainuddin, lahirlah seorang putri yang bernama Putri Kesumba. Kelak Putri Kesumba menikah dengan Opu Daeng Menambon yang merupakan seorang pengembara dari tanah Bugis. Sepeninggalnya Panembahan Singkuwuk, Kerajaan Mempawah dipimpin oleh Opu Daeng Menambon anak raja Tante Borong Daeng Rilike penguasa kerajaan Bone, kira-kira tahun 1655 M. Saat itulah sistem kerajaan yang semulanya bercorak hindu beralih ke sistem syariat Islam.

Berikut Adalah Daftar Raja-Raja Yang Pernah Berkuasa Dikerajaan Bahana pura (Bangkule Rajakng):
·        Patih Ramaga
·        Patih Aria Magat / Patih Gumantar
·        Dara Jampe
·        Patih Aria Mandheng / Patih Ridu
·        Patih Aria Panyabakng / Aria Pangabakng
·        Patih Satingi Dirig / Patih Patingi
·        Patih Rakang
·        Patih Kudong
·        Patih katukong Aji
·        Patih Singkuwuk
·        Daeng Manambon










1 komentar :

 

Translate

Label

Adat (5) Bigbang (14) Budaya (5) Dayak (10) Kerajaan Dayak (11) Multiverse (3)