Kerajaan Bahanapura (Bangkule Rajakng) adalah sebuah kerajaan Dayak Kanayatn yang pertama kali
berdiri di hulu sungai Sekayu, yaitu salahsatu anak sungai yang dikenal dengan
sebutan sungai mempawah dimasa sekarang. Kerajaan ini dinamai dengan bahasa
sanskerta yang berbunyi “Bahana Pura”, yang
bearti “negeri yang terdengar nyaring atau negeri yang terkenal”. Sementara penyebutan kerajaan Bahana Pura dengan
sebutan “Bangkule Rajakng” dimulai setelah serangan tentara kerajaan
Majapahit pimpinan Patih Gajah Mada, pada masa pemerintahan raja Aria Magat sekitar tahun 1340 Masehi
dahulu.
Pada saat itu ribuan tentara kerajaan Majapahit dapat dihadapi dengan gagah
berani oleh tentara dan rakyat jelata kerajaan Bahana pura (Bangkule Rajakng) yang dibantu oleh orang Banyadu yang berasal dari tentara
dan rakyat jelata kerajaan Satona
(Sthanapura) dan juga dibantu oleh orang
Bakati yang berasal dari rakyat jelata dan tentara kerajaan Bawakng (Tamaratos). Sebagai ungkapan
karena telah selamatnya nyawa Raja Patih Aria
Magat, maka setelah kepulangan pasukan tentara Majapahit pimpinan Patih Gajah
Mada yang kalah tersebut, kemudian kerajaan Bahanapura
mulai disebut oleh rakyatnya dengan sebutan kerajaan “Bangkule Rajakng” yang bearti kerajaan “nyawa raja”. Hal ini dilakukan sebagai ungkapan atas telah selamatnya nyawa raja Patih Aria Magat dan tetap tegaknya kerajaan Bahanapura (Bangkule Rajakng).
Kerajaan ini didirikan oleh Patih Ramaga (Tembaga), anak laki-laki
pertama yang lahir dari pasangan putri Balo Tanang (cahaya tenang /
cahaya temaram) dengan suaminya Nyiur Gading (kelapa gading) yang
merupakan salah-satu anak raja Patih Laja penguasa kerajaan Panggau Libau / Wijayapura (Puchavarao), yaitu sebuah kerajaan Dayak Iban yang pusat pemerintahannya terletak
di dekat muara sungai Rajang sarawak dimasa sekarang. Putri Balo tanang sendiri merupakan anak dari
raja Baniamas (Benih Emas) penguasa kerajaan Bawakng. Balo Tanang
(cahaya tenang / cahaya temaram) menamai anaknya dengan memakai nama
kakeknya sendiri, yaitu dari nama asli raja Patih Ramaga anak raja patih Langi penguasa kerajaan Bawakng sebelum raja Baniamas
(Benih Emas) berkuasa.
Ketika usianya telah menginjak dewasa, Ramaga
putra Balo tanang menikah dengan Santikng Tarig.
Dari pernikahan mereka lahirlah tujuh orang anak laki-laki, mereka adalah; Aria Magat, Aria Japu, Aria Kombang, Aria Taja,
Aria Manding, Aria Gading dan Aria Jaga. Anak bungsu mereka yang bernama Aria Jaga itulah yang sering
disalah-fahami oleh generasi muda Dayak dimasa sekarang, dimana hanya karena
disebabkan oleh bunyi nama “Jaga”
yang mirif kebalikan dari bunyi nama “Gaja
atau Gajah”, kemudian dalam
anggapan mereka, Aria Jaga diduga
sebagai sosok Pangalangok (pemimpin
militer) kerajaan Majapahit yang berama Patih
Gajah Mada tersebut, yang dahulu sempat ingin menaklukan dan menghancurkan kerajaan
Bahanapura dimasa pemerintahan raja Patih
Aria Magat berkuasa.
Sesuai dengan adat Dayak yang berlaku pada
waktu itu, bahwa apabila terdapat pasangan suami istri yang memiliki anak
pertama hingga anak yang ke tujuh, yang semuanya memiliki jenis kelamin yang
sama, maka si suami dari pasangan suami istri tersebut harus diangkat menjadi
raja baru. Kemudian oleh rakyat kerajaan Bawakng, Ramaga putra balo tanang dinobatkan untuk menjadi raja,
Setelah dinobatkan menjadi raja, kepada beliau diberi
gelar Patih. Gelar Patih disini adalah Patih yang bukan berasal dari bahasa Sanskerta, melainkan gelar Patih yang berasal dari Bahasa Dayak,
yang artinya “memang sangat bernasib
putih / mujur”, mengingat beliau ditakdirkan oleh Tuhan untuk menjadi raja,
yang mana oleh Tuhan kepada Ramaga Putra
Balo Tanang dikaruniakan dengan tujuh orang anak yang berjenis kelamin
sama, hal itu adalah sebagai tanda bahwa Tuhan memilih beliau untuk menjadi seorang
raja. namun beliau tidak diperkenankan untuk memerintah di
kerajaan Bawakng (Tamaratos),
melainkan harus membangun kerajaan baru. Untuk melaksanakan tuntutan
adat tersebut, kemudian raja Patih Ramaga Putra Nyiur Gading, memilih
daerah yang terletak dibagian selatan
wilayah Kerajaan Bawakng (Tamaratos) untuk menjadi wilayah kekuasaannya.
Ketika
meninggalkan kota Bawakng Basawag
untuk pergi ke daerah selatan, tepatnya
dibagian hulu sungai Mempawah, ia di ikuti oleh puluhan orang
yang ditugaskan untuk menyertainya, di sana mereka tinggal diantara warga Dayak Kanayatn lokal yang sejak dahulu
telah mendiami wilayah itu. Kemudian
beliau mendirikan kerajaannya yang diberi nama kerajaan Bahana Pura yang bearti “negeri
yang terdengar nyaring atau terkenal”, dengan ibukotanya “Bahana” dari
bahasa sanskerta yang bearti “terdengar
nyaring atau terkenal”. Suatu saat, oleh generasi selanjutnya, penyebutan
nama kota “Bahana” berubah pelafalannya
menjadi berbunyi “Bakana”, kemudian
terakhir berubah lagi menjadi diucapkan dengan bunyi “Pakana”.
Konflik Antara Kerajaan
Bangkule Rajakng (Bahanapura) Versus Kerajaan Bawakng (Tamaratos):
Dahulu, seluruh warga Dayak Banyuke (orang Banyadu), Dayak Kanayatn
(orang Bananag) dan Dayak Rara (orang Bakati) masih memakai adat lama, yaitu
adat istiadat yang dirumuskan ketika nenek moyang para pemimpin mereka masih
tinggal di kota Bawakng Basawag,
ibukota kerajaan Bawakng. Mengingat perubahan
jaman telah terjadi, yaitu dimasa peralihan ke masa baru, karena pada masa baru
itu pulau kalimantan sudah mulai di datangi oleh sekelompok kecil pengungsi
melayu dari Sumatra yang datang ke kalimantan untuk
menyelamatkan diri mereka dari pembantaian tentara kerajaan Singasari pada
waktu itu, yaitu pada masa expedisi
Pamalayu terjadi. Maka untuk membendung adat para pendatang tersebut,
agar tidak di ikuti oleh masyarakat Dayak kemudian para pemimpin rakyat
yaitu para ketua adat, para Pangao atau Panyagahatn (imam agama adat),
para Pamaliatn (Imam Balian) dan lain-lain berkumpul di kota Bahana. Mereka semua bersepakat untuk mereformasikan aturan
beberapa adat lama yang dirasakan sudah kurang tepat untuk diterapkan di masa
yang akan datang.
Keinginan untuk mereformasikan adat lama itu awalnya dipelopori oleh
seorang ketua adat yang bernama Karohong
bersama dengan istrinya Dayakng Dinar.
Mereka berdua berusaha merintis perbaikan tata cara adat serta menyusun
tambahan adat baru pada rakyat dinasti bawakng yaitu orang-orang Bananag (Dayak Kanayatn), orang-orang Banyadu (Dayak Banyuke) dan orang-orang Dayak Bakati. Meskipun demikian,
niat baik itu tidak serta-merta ditanggapi secara positif. Ada cukup warga
Dayak dahulu yang menentang perbaikan itu. Bagi sekelompok
orang
yang menjadi pihak penentang, mereka beranggapan
bahwa usaha perbaikan ke dalam bentuk baru itu adalah perbuatan tercela yang
merusak tatanan adat yang telah lama berlaku kepada seluruh masyarakat Dayak
penduduk kerajaan-kerajaan yang dibangun oleh para Dinasti kerajaan Bawakng (Tamaratos).
Umumnya yang menentang usaha ini adalah warga Dayak Bakati. Mereka adalah
sebagian bangsawan yang berasal dari Kerajaan Bawakng (Tamaratos). Sebagai keturunan utama pemangku dan pendiri
kerajaan Bawakng (Tamaratos), mereka
menginginkan agar tata cara adat perkawinan dan adat yang lainnya harus tetap
pada tata cara lama yang sangat disakralkan sejak permulaan
peradaban kerajaan Bawakng (Tamaratos)
berdiri. Pemimpin sebagian kelompok orang Bakati yang menentang reformasi tata
cara adat tersebut adalah raja kerajaan Bawakng (Tamaratos) yang berkuasa pada waktu itu yakni raja Patih Suleg
Sampayakng dan istrinya seorang panglima perempuan yang sekaligus
menjadi pejabat Pangalangok (pemimpin militer) kerajaan Bawakng (Tamaratos) kala itu, yang oleh
rakyat kerajaan Bawakng (Tamaratos), ia di sebut dengan peribahasa dalam bahasa
Dayak Bakati sebagai Ureg Nyabong Bakute Allo,
yang bearti pulang menyabung atau setelah
mengadu domba, berkicaulah burung enggang.
Meskipun demikian, tidak semua ketua
adat dan para Pangao / Panyagahatn (imam
agama adat) serta para Pamaliatn
(Imam upacara Balian) orang Bakati yang enggan bersepakat untuk
mereformasikan tata cara adat tersebut, terdapat beberapa orang dari mereka
yang setuju. Pihak yang setuju dipimpin oleh Singa Taguh (jendral Teguh), yang merupakan adik kandung dari raja
Patih Suleg Sampayakng. Dia adalah
mantan Pangalangok (pemimpin militer) kerajaan Bawakng (Tamaratos) yang terdepak oleh
kakak iparnya. Kemudian bagi pihak yang tidak setuju, akhirnya tidak dapat
menerima, mereka melakukan tindakan perlawanan dengan kekerasan. Perang antara
tentara kerajaan Bawakng (Tamaratos) dan tentara kerajaan Bahanapura (Bangkule Rajakng), akhirnya pecah. Pamaliatn (imam Balian) Karohong
si pelopor reformasi adat tersebut akhirnya tewas bersama istrinya si Dayakng
Dinar.
Peperangan terus berlanjut, pasukan tentara kerajaan Bahanapura (Bangkule Rajakng) yang pada waktu itu dipimpin oleh Pangalangok (Pemimpin Militer) kerajaan Bahanapura (Bangkule Rajakng) yang
bernama Singa Udana (jendral Udana) akhirnya dapat memenangi peperangan. Akibat perang
tersebut menyebabkan ratusan tentara kerajaan Bawakng (Tamaratos) tewas, termasuk kedua orang pemimpin mereka
yaitu raja Patih Suleg Sampayakng bersama istrinya Pangalangok
(pemimpin militer) kerajaan Bawakng
(Tamaratos) yang disebut dengan peribahasa dalam bahasa Dayak Bakati
sebagai Ureg Nyabong Bakute Allo (pulang menyabung
/ setelah mengadu domba, berkicaulah burung enggang). Dengan
kemenangan tersebut, akhirnya cita-cita pamaliatn
(Imam upacara Balian) Karohokng
bersama istrinya untuk mereformasikan hukum adat, dapat dilanjutkan.
Setelah perang usai, raja Patih Ramaga (Tembaga) yang
sudah sangat tua, sebagai raja yang memerintah di kerajaan Bahanapura (Bangkule Rajakng), lokasi dimana kejadian kesepakatan itu
dilakukan, kemudian mengambil alih kewenangan untuk mereformasikan tata cara
adat tersebut. Namun sebelum sempat merumuskan tata cara adat yang baru
tersebut bersama para bangsawan kerajaan di istana rumah panjangnnya, pada
malam hari raja Ramaga bermimpi, dalam mimpinya beliau bertemu dengan Jabata Neng Panitah (Tuhan Sang Pemerintah)
yang mewahyukan perintah baru yang berisi lima macam aturan atau tata cara
adat-adat baru untuk melengkapi tata cara adat yang akan di reformasikan
tersebut. Selain itu, raja Patih Ramaga (Tembaga) juga diberi perintah
untuk mengundang tiga orang kerabatnya
(Keturunan dinasti kerajaan Bawakng) yang juga menjadi
pemimpin negeri di masing-masing wilayahnya, hal ini dilakukan dengan tujuan untuk dapat menjelaskan secara terperinci, untuk memberi perintah pengamalan
serta untuk mengembangkan wahyu Jabata
Neng Panitah (Tuhan Sang Pemerintah) tersebut.
Setelah menerima wahyu itu, keesokan harinya raja Patih Ramaga
(Tembaga) mengirimkan pesan undangan melalui tiga orang utusanya
kepada ketiga pemimpin yang dimaksud. Ketiga orang pemimpin itu adalah Singa
Matas (jendral Matas), seorang pemimpin orang Bananag (Dayak Kanayatn) yang
berada disebelah timur, yaitu wilayah yang menjadi wilayah kerajaan Ango Talaga kelak. Kemudian Patih
Taguh yaitu adik kandung almarhum raja Patih Suleg Sampayakng, yang baru diangkat menjadi raja kerajaan Bawakng (Tamaratos), beliau ini tinggal
di ibukota kerajaan Bawakng (Tamaratos)
yang baru, yaitu kota Batangan Raya atau Batang Raya,
yang dimasa sekarang dikenal dengan nama Sungei Raya, kecamatan sungei
Betung Kabupaten Bengkayang.
Kemudian yang terakhir adalah Aria Jampi
(Ria Jambi), raja orang Banyadu (Dayak Banyuke) yang hidup
disepanjang DAS (daerah aliran sungai) Sungai
Banyuke, hilir sungai Tenganap (sungai Landak) dan DAS Balantiatn.
Setelah mendengar adanya undangan dari raja Patih Ramaga (Tembaga),
ketiga orang tersebut kemudian bergegas pergi menuju ke kota Bahana ibukota
kerajaan Bahanapura (Bangkule Rajakng).
Ketika rombongan ketiga orang tersebut telah tiba, mereka disambut oleh
Raja Patih Ramaga (Tembaga) dengan sebuah buis bantatn (Jamuan
agung). Pada
pertemuan itu, Raja Patih Ramaga (Tembaga) menceritakan kepada mereka bahwa, beberapa
waktu lalu ia berjumpa dengan Jabata Neng
Panitah (Tuhan Sang Pemerintah) melalui sebuah mimpi.
Jabata Neng Panitah (Tuhan Sang Pemerintah) memberikan
wahyu yang berupa tata cara adat yang harus diikuti oleh seluruh keturunan
dinasti kerajaan Bawakng dan rakyatnya. Selain adat-adat baru yang berasal
dari Jabata Neng Panitah (Tuhan Sang Pemerintah) sendiri, juga terdapat tata cara adat-adat
yang lain, yang berasal dari para malaikat pemantau dunia serta dari para roh
leluhur Dayak.
Ketika Raja Patih Aria Magat Mempermalukan Patih Gajah
Mada Pangalangok (pimpinan militer) Kerajaan Majapahit:
Setelah Raja Patih Ramaga meninggal dunia, kemudian beliau digantikan oleh anaknya
yang bernama Aria Magat. Ini adalah nama asli Raja Patih Pagumantar dalam
bahasa Dayak Rara (Bakati) yaitu bahasa asli raja Patih Rumaga dan istrinya
ketika masih tinggal di kota Bawakng Basawag. Nama “Magat” bearti “memberanikan
diri” alias “pemberani”. Nama tersebut diberikan kepada Aria Magat setelah lahir,
sebagai bentuk doa agar sang anak ketika dewasa dapat menjadi orang yang sangat
disegani dimanapun dia berada.
Patih Gumantar menikah dengan Dara
Jampe, yaitu putri raja Sadong atau Patih Ria Bansa dengan istrinya Rariti dari kerajaan Lawai /
Hulu Aik (Bakulapura / Tanjungpura) kala itu. Pernikahan mereka melahirkan tiga orang anak, mereka adalah Aria Nyabakng atau Aria Ngabakng (Ria Nyabakng)
yang lahir beberapa hari setelah kepulangan pasukan tentara kerajaan
Majapahit pimpinan Patih Gajah Mada. Karena rakyat kerajaan Bahanapura (Bangkule Rajakng) telah
berhasil membendung tujuan tentara kerajaan Majapahit yang semula bermaksud
ingin menaklukan kerajaan Bahanapura
(Bangkule Rajakng), maka setelah anak pertama raja patih Aria Magat (Patih Gumantar) lahir, ia kemudian
diberi nama Nyabakng
atau Ngabakng
yang bearti “pemperisai atau
pentameng atau pembendung atau penghadang”, hal ini dilakukan untuk
mengingat peristiwa bersejarah itu.
Kemudian adiknya Aria Panyanakng (Ria Pelestari) seorang
anak laki-laki juga, ia lahir dimasa kerajaan Bahanapura (Bangkule Rajakng) dalam keadaan tenang, tentram, aman
dan damai, sehingga setelah lahir, anak mereka yang kedua ini diberi nama Nyanakng yang
bearti “Lestari”.
Anak yang terakhir adalah seorang putri yang lahir setelah tiga bulan
ayahnya tewas di kayau, ia diberi nama oleh ibunya dengan nama Dara Itapm,
yang bearti “putri
yang bernasib gelap”, hal ini disebabkan karena sejak lahir, ia
tidak pernah melihat wajah ayahnya dan tumbuh sebagai anak yatim.
Pada waktu raja Patih aria Magat
berkuasa, pasukan penghancur dari majapahit yang dipimpin oleh Patih gajah Mada datang membawa ribuan
prajuritnya ke kota bahana. Namun naas bagi patih
Gajah Mada bahwa kedatangan mereka rupanya telah diketahui oleh para
nelayan Dayak dan prajurit kerajaan Bangkule yang di tugaskan untuk
berjaga-jaga dan memantau laut sebelum muara sungai Karimawatn (sungai Mempawah sekarang). Bahwa kabar kedatangan bala
tentara majapahit telah tersiar ke kota raja, hingga Raja Patih Aria Magat akhirnya mengedarkan perangkat adat mangkok merah ke seluruh negeri
orang Banana (Dayak kanayatn), ke seluruh negeri orang Banyadu (dayak Banyuke) dan ke seluruh
negeri orang Bakati (Dayak rara). Akhirnya bala bantuanpun berdatangan ke kota
bahana, beberapa hari sebelum ribuan tentara majapahit sampai ke pusat kota
bahana, disana telah menanti ribuan juga pasukan ketiga sub-suku Dayak tadi.
Ketika pasukan Gajah Mada datang, mereka telah disambut dengan kesiagaan
dan pekikan perang Dayak yang disebut "Tariu" yang dipekik oleh
ribuan pasukan ketiga sub-suku Dayak yang menyambut dan siap menerima perintah
dari raja Patih Aria Magat, apabila
diperintahkan untuk menyerbu. Tariu ini adalah pekikan perang yang sering
dipekik ketika orang Dayak berperang dengan maksud untuk mengeraskan semangat
serta untuk mempersilahkan kepada para roh "kamang Tariu" agar
merasuki pasukan perang Dayak.
Ketika melihat hal itu, nyali Patih
Gajah Mada pemimpin tentara majapahit tersebut akhirnya menjadi ciut
terlebih melihat ribuan prajuritnya telah menjadi seperti orang gila, menangis
dan bergemetaran, selain itu Gajah Mada
sendiri juga mulai gemetar. Adapun yang membuat ribuan pasukan majapahit
bergemetaran dan bertingkah seperti orang gila adalah karena mereka sendiri
telah dirasuki oleh roh "Kamang Layo", ini adalah entitas roh yang
berkebalikan dan berbeda dari entitas roh "Kamang Tariu", yang mana
jika pada roh "Kamang Tariu" setiap prajurit Dayak yang dirasuki
olehnya akan menjadi garang, ganas, maka pada setiap orang yang dirasuki oleh
roh "Kamang Layo" akan menjadi bergemetaran dan tidak terkontrol
serta menjadi gila, menangis bahkan melakukan bunuh diri atau meninggal dunia
dengan sendirinya.
Pada saat itulah Gajah Mada yang
licik itu akhirnya sadar bahwa kehebatan pasukan tentaranya tidak akan mampu
melawan pasukan bangsa Dayak, sehingga dia mengurungkan niatnya untuk menaklukan
dan menghancurkan kerajaan Bahanapura
(Bangkule Rajakng). Setelah itu Patih Gajah Mada yang masih gemetar itu berlutut
didepan raja Aria Magat (Patih
Pagumantar), ia kemudian berpura-pura dengan mengatakan bahwa kedatangannya
bersama ribuan pasukan tentaranya adalah hanya untuk bermaksud baik, dan
memohon kepada raja Patih Aria Magat untuk membantu kerajaan
Majapahit dengan mengirimkan pasukan Dayak ke negeri Siam (Thailand) guna
bersama-sama dengan tentara Majapahit untuk menghadapi tentara kekaisaran Mongol,
bahkan ia berjanji akan memberikan imbalan kepada raja Aria Magat. Sebagai tanda awal akan adanya imbalan yang dijanjikan
tersebut, Patih Gajah Mada kemudian memberikan sebilah keris miliknya sendiri
kepada Raja Aria Magat yaitu keris susuhan.
Inilah sejarah awal kenapa raja Patih
Aria Magat diberi gelar oleh
rakyatnya dengan gelar Patih Pagumantar atau
disingkat Patih Gumantar yang bearti Patih Penggementar, karena hanya
beliaulah satu-satunya raja di nusantara yang mampu membuat gajah mada
bergemetaran dan bertekuk lutut di hadapannya sehingga tidak berani untuk
melaksanakan niatnya untuk menaklukan dan menghancurkan kerajaan Bahana Pura (Bangkule Rajakng). Meskipun
telah di janjikan akan diberi imbalan oleh kerajaan Majapahit apabila raja Patih Aria Magat mau membantu mereka, namun raja Aria Magat tetap tidak pernah
mau tunduk pada kemauan Patih Gajah Mada tersebut, sehingga beliau
tidak pernah mengirim pasukan Dayak ke negeri Siam (Thailand).
Setelah sisa-sisa tentara Majapahit tersebut pulang, kemudian rakyat kerajaan
Bahanapura mulai menyebut kerajaan Bahanapura
dengan sebutan Bangkule Rajakng, yang
bearti “nyawa raja”, hal ini
dilakukan sebagai ungkapan atas telah selamatnya nyawa raja Patih Aria Magat dan tetap tegaknya kerajaan Bahanapura (Bangkule Rajakng).
Karena kerajaan ini tidak
dapat ditaklukkan oleh kerajaan Jawa, maka nama kerajaan BAHANA PURA tidak
tercantum didalam kitab kakawin Majapahit. Selain kerajaan Bahanapura (Bangkule Rajakng), kerajaan Dayak Kalimantan Barat yang
lain yang tidak pernah dapat ditaklukan oleh kerajaan Majapahit dan
pendahulunya yakni kerajaan Singasari adalah: kerajaan Bawakng milik Dayak
Bakati Selatan, kerajaan Satona
(Sthanapura) milik Dayak Banyuke (Orang Banyadu), kerajaan Pantanatn / Nek Riuh (Tamenacerim) milik
Dayak Bakati utara, kerajaan Sijakng
(Gantekng Siyong / Gantikng Siyang) milik Dayak Sungkung, kerajaan Ango Talaga (Sengah Temila) milik Dayak
Kanayatn Timur, kerajaan Keokng-Kanakng
(Tiong Kandang) milik Dayak Mali dan kerajaan Panggau Banyau / Tampun Juah (Tamaiao Baiao) milik Dayak Bidayuhik
timur dan Dayak Iban selatan (Iban Kalimantan Barat).
Konflik Kerajaan Bangkule (Bahanapura) Versus Kerajaan
Satona (Sthana Pura):
Kabar tentang bertekuk-lututnya patih Gajah Mada kepada raja Aria Magat
akhirnya tersebar ke segenap pelosok pulau Kalimantan, termasuk ke kerajaan
Bataguh milik Dayak Biaju (Ngaju) di bantaran DAS Biaju kecil (Sungai Kapuas
Kalteng). Mendengar kabar itupula Raja Bataguh bersama para
pembesar kerajaannya berniat untuk mengayau raja Aria Magat. Dalam
adat budaya bangsa Dayak, yang layak di jadikan target kayau adalah para raja
dan pembesar-pembesar pada suatu kelompok Dayak lain, terlebih jika target
kayau tersebut adalah orang yang sangat sakti, karena di yakini bahwa tengkorak
seorang raja sakti sangat berkhasiat, terutama dalam mencegah penyakit sampar,
hama tanaman dan lain-lain. Maka setelah berunding mereka kemudian mengirim
ratusan prajurit kayau ke kota bahana dengan beberapa buah ajung (kapal).
Pada suatu tengah malam yang tidak terduga, pasukan kayau Dayak Biaju yang
dipimpin oleh rajanya sendiri, yang oleh orang Dayak Kal-bar digelari raja
Bangkaka. Sebutan
bangkaka adalah nama burung air yang bernama latin Alceminadae. Mereka menerobos
ke dalam istana rumah panjang kota Bahana, karena raja Aria Magat yang tertidur
pulas dan tidak sedang mengenakan jimat pengebal yang dimilikinya,
mengakibatkan beliau dengan mudah digorok oleh salah-seorang pengayau kerajaan Bataguh. Setelah berhasil mengayau raja Aria Magat para pengayau langsung
meluncurkan ajung (kapal) mereka
secepatnya meninggalkan kota bahana, namun sebagian prajuritnya tertangkap oleh
prajurit kerajaan Bahanapura (Bangkule
Rajakng) dan di interogasi serta dihukum mati.
Untuk beberapa tahun kemudian, istrinya Dara
Jampe mengemban tugas sebagai raja, namun semakin lama, Dara jampe menjadi
sering bersedih, hingga beliau memutuskan mengasingkan dirinya di wilayah
lereng Gunung Tihakng, tepatnya di kampung Tiang Tanjung, desa Tunang kecamatan
Mempawah Hulu dimasa sekarang. Setelah ditinggalkan oleh Dara Jampe, anak-anaknya dititipkan kepada pihak raja Patih Paramula (Tagak Tamula) penguasa
kerajaan Ango Talaga (Sengah Temila).
Untuk mengisi kekosongan kekuasaan dikerajaan Bahanapura (Bangkule Rajakng), kemudian para bangsawan kerajaan Bahanapura (bangkule Rajakng) mengangkat
adik kandung raja Aria Magat (Patih Gumantar),
yang bernama Aria Manding untuk
menjadi raja sementara, hal ini dilakukan mengingat anak-anak raja Aria Magat
masih belum cukup umur. Setelah dinobatkan menjadi raja, Patih Aria Manding, dikenal dengan sebutan Patih Ridu.
Pada masa raja Aria Manding atau Patih Ridu berkuasa, beberapa tahun
kemudian, terjadi keretakan hubungan antara kerajaan Bahanapura (Bangkule Rajakng) dengan pihak kerajaan Satona (Sthanapura), hal ini disebabkan
oleh sebuah kesalah-fahaman. Karena gusar dengan pihak kerajaan Bahanapura (Bangkule Rajakng), akhirnya
para pemimpin orang Banyadu bersepakat untuk menghukum pihak kerajaan Bahanapura (Bangkule Rajakng) di DAS mempawah.
Akhirnya ratusan pasukan orang Banyadu di kerahkan ke kota Bahana,
disana terjadilah satu-satunya perang saudara antara orang Banyadu yang melawan orang Bananag DAS
Mempawah, dalam peperangan tersebut, orang bananag mengalami kekalahan, dan
raja Patih Ridu (Aria Manding) tewas
terbunuh.
dan untuk menghindari jumlah korban lebih banyak, kemudian para kerabat
raja dan bangsawannya beserta para tentara kerajaan Bahanapura (Bangkule Rajakng) di ungsikan ke daerah hilir sungai Karimawatn (Sungai lintah), yaitu sungai
yang dimasa sekarang dikenal dengan nama sungai mempawah, tepatnya di daerah Banyalitn (kota Menjalin sekarang). Disana mereka membangun ibukota baru yang
dinamai kota Singaok atau menurut
versi orang Banyadu (Dayak Banyuke) disebut Sangahok.
Istilah Sangahok atau Singaok bearti “Sehardikan
atau Sebentakan” maksudnya untuk
menyebuti “sekelompok atau kumpulan
orang-orang yang dihardik atau dibentak”.
Digunakannya kata Singaok untuk menamai ibukota kerajaan yang baru ini
adalah sebagai pengingat akan kejadian serangan pertama orang Banyadu (Dayak
Banyuke) ke kota Gaong atau Bahana, Jadi serangan pertamakali pasukan Dayak
Banyuke (orang Banyadu) tersebut di ibaratkan sebagai hardikan atau bentakan
kepada rakyat kerajaan Bangkule Rajakng
(Bahanapura). Perang saudara antara orang Banyadu (Dayak Banyuke) dan orang
Bananag (Dayak Kanayatn) inilah yang menjadi awal mula pengayauan yang sering
dilakukan oleh orang Banyadu ke kerajaan Bahanapura
(Bangkule Rajakng).
Setelah Patih Ridu wafat, anak
raja Aria Magat yang bernama Aria Panyabakng (Ria Pembendung) diangkat
menjadi raja. Dimasa kepemimpinannya, pihak kerajaan Majapahit kembali ingin
menaklukan kerajaan Bahanapura (Bangkule
Rajakng), setelah dimasa tentara mereka yang dipimpin oleh Patih Gajahmada
dahulu gagal. Kali ini kerajaan Majapahit mengirim pasukan besar di bawah
pimpinan Patih Logender. Pada waktu itu pihak kerajaan Bahanapura (Bangkule
Rajakng) bersekutu dengan pihak kerajaan Sintang untuk melawan tentara
Majapahit. Perang akhirnya terjadi, pihak tentara kerajaan Bahanapura (Bangkule Rajakng) melakukan perlawanan yang dipimpin
langsung oleh rajanya, yaitu Patih
Panyabakng atau Pangabakng pada
peperangan di sungai Tenganap (Sungai
Landak).
Raja Patih Pangabakng tewas dalam
peperangan di Pulobendu, meskipun
demikian, tentara kerajaan Bahanapura
(Bangkule Rajakng) mampu mengusir sisa tentara Majapahit bersama
komandannya Patih Logender. Untuk
mengenang peristiwa tersebut, kemudian lokasi peperangan yang bernama Pulobendu itu dinamakan Ngabakng, yaitu sebuah lokasi dimana kota
Ngabang dimasa sekarang berdiri. Para
tentara Majapahit yang melarikan diri ke arah muara Sungai landak tersebut,
akhirnya bertemu dengan pasukan tentara kerajaan Sintang dibawah pimpinan Demong Nutup. Meskipun tentara kerajaan
Sintang banyak menewaskan sisa tentara Majapahit tersebut, namun sayangnya,
pemimpin mereka yaitu Demong Nutup
dapat ditangkap oleh tentara Majapahit, ia ditawan dan akhirnya dibawa ke pulau
Jawa.
Setelah raja Patih Ngabakng (Ria
Pembendung) wafat, kemudian ia digantikan oleh anaknya yang bernama Satingi Dirig (Kehebatan Kita Semua),
yang kemudian terkenal dengan sebutan Patih
Patingi (Patih terhebat). Setelah raja Patih
Patingi (Patih terhebat) wafat, beliau digantikan oleh putranya yang
bernama Rakang. Setelah raja Rakang wafat, beliau digantikan oleh putranya Aria Ladong. Raja Ladong lahir dalam
keadaan cacat yakni tidak memiliki tangan, oleh karena hal itu pula, ia
kemudian dinamakan Ladong. Setelah menjadi raja, ia dikenal dengan sebutan raja
Kudong, sebutan ini merupakan singkatan dari sebutan “rajaku Ladong” yang artinya “rajaku manusia yang tidak memiliki
tangan”.
Raja Kudong menikah dengan Dara Bakelepm (Putri Berkelim), yaitu putri raja
kerajaan Siak Riau. Pernikahan mereka melahirkan anak yang bernama
Dara rode. Setelah dewasa Dara Rode dengan suaminya Kangod Manto Baniamas melahirkan Sangkawuk atau Sangkawok menurut versi Dayak
Banyuke (Orang Banyadu) atau Singkuwuk
menurut versi Dayak Kanayatn (Orang Bananag). Setelah Raja Patih Kodong wafat,
kemudian beliau digantikan oleh adiknya yang bernama Katukong Aji. Adapun yang menjadi alasan
tidak terpilihnya putrinya yang bernama Dara Rode adalah karena adat Dayak yang
lebih mengutamakan seorang pemimpin harus seorang laki-laki.
Setelah raja Katukong Aji wafat sekitar abad 16
masehi, kemudian beliau digantikan oleh cucu raja Kudong, yaitu anak Dara Rode
yang bernama Singkuwuk menurut versi
Dayak Kanayatn atau Sangkawok menurut
versi Dayak Banyadu.
Singkawuk
diberi gelar “Panembahan Inag bapusat man badarah
putih” yang artinya
“Panembahan yang tidak memiliki pusar dan memiliki
darah yang berwarna putih”, hal ini mengingat
beliau terlahir tidak memiliki pusar dan mempunyai darah yang berwarna putih.
Raja Singkuwuk menikah dengan Putri Cermin anak Raja Qahar dari
Indragiri, Sumatera Selatan kira-kira tahun 1625 M. Pada saat Putri Cermin
sedang mengandung, telah diramalkan oleh seorang nujum bahwa jika anak yang dilahirkan
adalah perempuan, maka kekuasaan akan berpindah tangan ke suku lain. Ketika
tiba waktu melahirkan, maka lahirlah seorang bayi perempuan dan diberi nama Amas
Panyusah (Mas
Indrawati).
Ketika
dewasa, Amas Panyusah (Mas
Indrawati) menikah dengan Sultan Muhammad Zainuddin
dari Kerajaan Matan. Seminggu setelah pernikahan, maka Sultan Muhammad
Zainuddin kembali ke Kerajaan Matan dengan membawa Amas Panyusah (Mas Indrawati) yang
telah dia nikahi. Dari sinilah mulai terjalinnya hubungan kekeluargaan antara
Kerajaan Mempawah dan Kerajaan Matan.
Dari
pernikahan Mas Indrawati dan Sultan Muhammad Zainuddin, lahirlah seorang putri
yang bernama Putri Kesumba. Kelak Putri Kesumba menikah dengan Opu Daeng Menambon yang merupakan seorang pengembara dari tanah Bugis.
Sepeninggalnya Panembahan Singkuwuk,
Kerajaan Mempawah dipimpin oleh Opu Daeng
Menambon anak raja Tante Borong Daeng Rilike penguasa
kerajaan Bone, kira-kira tahun 1655 M. Saat itulah sistem kerajaan yang
semulanya bercorak hindu beralih ke sistem syariat Islam.
Berikut Adalah Daftar
Raja-Raja Yang Pernah Berkuasa Dikerajaan Bahana pura (Bangkule Rajakng):
·
Patih
Ramaga
·
Patih
Aria Magat / Patih Gumantar
·
Dara
Jampe
·
Patih
Aria Mandheng / Patih Ridu
·
Patih
Aria Panyabakng / Aria Pangabakng
·
Patih
Satingi Dirig / Patih Patingi
·
Patih
Rakang
·
Patih
Kudong
·
Patih
katukong Aji
·
Patih
Singkuwuk
·
Daeng
Manambon
Terimakasih informasi yg sangat berharga....
BalasHapus