Selasa, 30 Mei 2017

Reformasi Adat Dayak



Sebelum adat baru ini dibentuk, seluruh warga Dayak Banyuke (orang Banyadu), Dayak Kanayatn (orang Bananag) dan Dayak Rara (orang Bakati) dahulu masih memakai adat lama, yaitu adat istiadat yang dirumuskan ketika para pemimpin mereka masih tinggal di kota Bawakng-Basawag, ibukota kerajaan Bawakng. Mengingat perubahan jaman telah terjadi, yaitu dimasa peralihan ke masa baru, karena pada masa baru itu pulau kalimantan sudah mulai di datangi oleh para pendatang melayu dari sumatra.

Awal mulai gelombang kedatangan sebagian kecil kelompok suku Melayu ke Kalimantan Barat adalah terjadi pada masa peristiwa serangan militer kerajaan Singasari yang disebut ekspedisi Pamalayu terhadap kerajaan Melayu di Sumatra dahulu. Kelompok terbesar kedatangan suku melayu ke Kalimantan Barat terjadi pada abad ke-15 Masehi, dimasa penyebaran agama Islam serta masa kejatuhan kerajaan Malaka milik suku Melayu disemenanjung Malaya ke tangan Portugis, hingga mencapai puncaknya yaitu pada abad ke -17 masehi.

    Ekspedisi Pamalayu adalah sebuah serangan militer besar yang dilakukan oleh kerajaan Singasari di Jawa Timur, terhadap kerajaan Melayu di hulu sungai Batang Hari, provinsi Jambi sekarang. Pada saat itu, dunia melayu menjadi “kalang-kabut”. Ibukota kerajaan Melayu, yaitu kota Darmasraya mengalami kehancuran, dan hampir seluruh penduduknya mati terbunuh karena kerasnya amukan puluhan ribu pria dewasa asal suku Jawa yang menjadi tentara Singasari itu.

     Penduduk-penduduk yang tinggal di luar kota Darmasraya banyak yang memilih melarikan diri ke daerah-daerah disekitarnya, dan tidak sedikit yang melarikan diri keluar dari pulau Sumatra. Sebagian besar suku Melayu melarikan diri ke Semenanjung Malaya yang sangat dekat dengan pulau Sumatra, yang lain melarikan diri ke pulau-pulau yang masuk pada wilayah provinsi Kepulauan Riau dimasa sekarang, dan sebagian lagi melarikan diri ke pulau Kalimantan.

    Ketika para pengungsi Melayu tiba di pantai-pantai Kalimantan Barat, kemudian mereka disebut “orang Laut” oleh penduduk asli Dayak, karena melihat para pengungsi Melayu tersebut datang dari arah lautan, inilah kejadian sejarah yang menjadi awal kenapa keturunan suku Melayu yang tinggal di Kalimantan Barat disebut “orang Laut”. Setelah mendarat di pantai-pantai Kalimantan Barat, orang-orang Melayu tersebut mulai membangun beberapa buah pemukiman di pesisir Kalimantan Barat.

    Para pengungsi Melayu yang mendarat di pantai-pantai yang menjadi bagian dari wilayah kerajaan Bahanapura (Bangkule Rajakng), yaitu pantai-pantai di wilayah kabupaten Mempawah dimasa sekarang, Setelah beberapa hari menetap di pesisir pantai, terdapat beberapa orang dari mereka yang memutuskan untuk memasuki bantangan Karimawatn (Sungai Mempawah) dan bergerak hingga ke hulu. Ketika sampai di hulu, kemudian mereka mendarat di kota Bahana ibukota kerajaan Bahanapura (Bangkule Rajakng).

    Berbagai informasi yang didapatkan dari para pengungsi Melayu tersebut, kemudian disampaikan kepada raja Patih Rumaga pemimpin yang berkuasa dikerajaan Bahanapura (Bangkule Rajakng) pada waktu itu, bahwa kedatangan para pengungsi Melayu tersebut terjadi karena untuk menyelamatkan diri mereka dari pembantaian yang dilakukan oleh tentara kerajaan Singasari.

Berbekal informasi yang diteruskan kepada raja Patih Rumaga tersebut, akhirnya melatar-belakangi keinginan untuk mereformasikan adat lama serta pembentukan adat baru seperti adat mangkok merah dan adat lainnya. Maka untuk membendung adat para pendatang tersebut, agar tidak di ikuti oleh masyarakat Dayak. Para pemimpin rakyat yaitu para pemimpin adat, para imam, para baliatn dan lain-lain bersepakat untuk mereformasikan aturan beberapa adat lama yang dirasakan sudah kurang tepat untuk diterapkan di masa yang akan datang.

Keinginan untuk mereformasikan adat lama itu di prakasai oleh seorang ketua adat yang bernama Karohong bersama dengan istrinya Dayakng Dinar. Mereka inilah yang berusaha merintis untuk memperbaiki tata cara adat Masyarakat dinasti bawakng yaitu orang Bananag (Dayak Kanayatn sekarang), orang Banyadu (Dayak Banyuke) dan orang Bakati (Dayak Rara).

Meskipun demikian, niat baik itu tidak serta-merta ditanggapi secara positif. Ada cukup warga Dayak dahulu yang menentang perbaikan itu, mereka yang menentang ini beranggapan bahwa usaha perbaikan ke dalam bentuk baru itu adalah perbuatan tercela yang merusak tatanan yang telah lama berlaku kepada seluruh masyarakat Dayak penduduk Dinasti Bawakng.

Umumnya yang menentang usaha ini adalah warga Dayak Bakati yaitu sebagian bangsawan yang berasal dari Kerajaan Bawakng. Sebagai keturunan utama pemangku dan pendiri kerajaan Bawakng, mereka menginginkan agar tata cara adat perkawinan dan yang lainnya harus tetap pada  tata cara lama yang sangat disakralkan sejak permulaan peradaban kerajaan Bawakng. Pemimpin sebagian orang Bakati yang menentang reformasi tata cara adat tersebut adalah raja kerajaan Bawakng yang berkuasa pada waktu itu yakni patih Suleg Sampayakng dan pangalangok kerajaan Bawakng yang merupakan istri raja Patih Suleg Sampayakng sendiri, yakni seorang panglima perempuan yag disebut dengan peribahasa dalam bahasa Dayak Bakati sebagai Ureg Nyabong Bakute Allo (pulang menyabung berkicau enggang) itu.
Meskipun demikian tidak semua pemimpin adat, para imam dan para baliatn orang Bakati yang enggan bersepakat  untuk mereformasikan tata cara adat tersebut, cukup banyak dari mereka yang setuju. Pihak yang setuju dipimpin oleh adik kandung raja Suleg Sampayakng, yaitu Singa Taguh (Jendral Teguh) yang merupakan mantan pejabat Pangalangok (pemimpin militer) di kerajaan Bawakng (Tamaratos). Bagi pihak yang ngotot ingin mempertahankannya, akhirnya tidak dapat menerima, mereka melakukan pemberontakan dengan kekerasan. Peperangan antara tentara kerajaan Bawakng melawan tentara kerajaan Bahana Pura (Bangkule Rajakng) akhirnya pecah, Pamaliatn (imam Upacara Balian) Karohong si penggagas reformasi adat tersebut akhirnya tewas bersama istrinya .

Peperangan terus berlanjut, pasukan tentara kerajaan Bahanapura (Bangkule Rajakng) yang pada waktu itu dipimpin oleh Pangalangok (pemimpin tentara kerajaan Dayak) kerajaan Bahanapura (Bangkule Rajakng) yakni Singa Udana (Jendral Udana) dapat memenangi peperangan tersebut. Kejadian perang tersebut menyebabkan ratusan tentara kerajaan Bawakng (Tamaratos) tewas, termasuk kedua orang pemimpin mereka yaitu raja Patih Suleg Sampayakng bersama pangalangok (Pemimpin Militer) kerajaan Bawakng (Tamaratos) si Ureg Nyabong Bakute Allo. Dengan kemenangan tersebut, cita-cita pamaliatn (Imam Upacara Balian) Karohokng bersama istrinya untuk mereformasikan hukum adat, dapat dilanjutkan.

Setelah perang usai, raja Patih Ramaga (Tembaga) yang sudah sangat tua, sebagai raja yang memerintah di kerajaan Bahanapura (Bangkule Rajakng) lokasi dimana kejadian kesepakatan itu dilakukan, kemudian mengambil alih kewenangan untuk mereformasikan tata cara adat tersebut. Namun sebelum sempat merumuskan tata cara adat yang baru tersebut bersama para bangsawan kerajaan di istana rumah panjangnnya, pada malam hari raja Patih Ramaga bermimpi, dalam mimpinya beliau bertemu dengan Jabata Neng Panitah (Tuhan Sang Pemerintah) yang mewahyukan perintah baru yang berisi lima macam aturan atau tata cara adat-adat baru untuk melengkapi tata cara adat yang akan di reformasikan tersebut.

Juga dalam mimpinya itu, Raja Patih Ramaga (Tembaga) diperintahkan untuk mengundang tiga orang pemimpin negeri tetangga kerajaan Bahanapura (Bangkule Rajakng) , untuk menjelaskan dan mengamalkan serta untuk mengembangkan wahyu Jabata Neng Panitah (Tuhan Sang Pemerintah) tersebut.

Setelah menerima wahyu itu, keesokan harinya raja Patih Ramaga (Tembaga) mengirimkan pesan undangan melalui tiga orang utusannya kepada ketiga pemimpin yang dimaksud. Ketiga pemimpin itu adalah Singa Matas (Jendral Matas), seorang pemimpin Militer kerajaan  Bahanapura (Bangkule Rajakng) bagian timur, yang kelak wilayahnya menjadi wilayah kerajaan Baru yang bernama kerajaan Ango Talaga (Sengah Temila). Kemudian kepada raja Patih Taguh yaitu raja kerajaan Bawakng (Tamaratos) yang baru. yang tinggal di ibukota kerajaan Bawakng (Tamaratos) yang baru, yaitu kota Batangan Raya atau Batang Raya yang dimasa sekarang disebut Sungei Raya, masuk kecamatan sungei Betung Kabupaten Bengkayang. Kemudian yang terakhir adalah raja Patih Aria Jampi, raja orang Banyadu (Dayak Banyuke) yang hidup disepanjang aliran Sungai Banyuke dan DAS Tenganap serta DAS Balantiatn.

Setelah mendengar adanya undangan dari Patih Ramaga (Tembaga), ketiga orang ini kemudian bergegas menuju ke kota Bahana ibukota kerajaan Bahanapura (Bangkule Rajakng). Untuk menyambut tamunya, Patih Ramaga (Tembaga) telah mempersiapkan buis bantatn (Jamuan Agung).

Dalam pertemuan itu, raja Patih Rumaga menceritakan bahwa beberapa waktu lalu, ia berjumpa dengan Jabata Neng Panitah (Tuhan Sang Pemerintah) melalui sebuah mimpi. Jabata Neng Panitah (Tuhan Sang Pemerintah) memberikan wahyu yang berupa tata cara adat yang harus di ikuti oleh seluruh penduduk kerajaan yang didirikan oleh dinasti kerajaan Bawakng (Tamaratos). Adat-adat baru ini berasal dari Jabata Neng Panitah (Tuhan Sang Pemerintah) sendiri dan juga tata cara adat-adat yang lain, yang dimohon dan di amanatkan kepada Jabata Neng Panitah (Tuhan sang pemerintah) oleh para malaikat pemantau dunia serta oleh para roh leluhur Dayak dan juga oleh para roh raja-raja yang pernah memerintah di kerajaan Bawakng (Tamaratos) dahulu, yaitu para roh raja yang menjadi kamang (roh perasuk dan penyemangat) pasukan perang bangsa Dayak pada peperangan dan pengayauan.

Setelah mendengar penjelasan raja Patih Rumaga, ketiga orang pemimpin yang diundang tersebut menyatakan kesanggupannya untuk melaksanakan perintah dari Jabata Neng Panitah (Tuhan Sang Pemerintah). Adat istiadat inilah yang kemudian dijalankan oleh ketiga orang saudara itu, hingga ke-anak cucunya dikemudian hari. Kelima adat itu adalah:
1.   Penekng kunyit mata baras (irisan buah kunyi dan beberapa butir beras). Asal adat ini adalah dari para nenek moyang umat manusia yaitu dari roh almarhum Neng Unteg, dari roh almarhum Neng Bancina di Tanyukng Bunga (leluhur ras kuning / mongol), dari roh almarhum Neng Sali di Sabakal, dan dari roh almarhum Neng Oton di Babao, serta dari roh almarhum Neng Sarukng di Sampuro. Fungsi adat ini adalah sebagai pelindung, menjaga kesabaran dan untuk keselamatan manusia.

2.   Baras banyu banyang (bulir beras yang diberi minyak). Adat kedua ini berasal dari Jabata nek Panitah (Tuhan Sang Pemerintah) sendiri, karena DIA sendiri yang menjadi Pangingu dan Pangorok (pelindung, pembina, pembimbing dan pemelihara) manusia. Tujuan adat ini adalah sebagai upacara bagi manusia untuk meminta rejeki dan berkat.

3.   Baras ijo (Beras Hijau). Adat ketiga ini berasal dari roh almarhum Bujakng Nyangko Dama dan dari roh almarhum Kamang Muda dari Santulangan (raja Patih bunsug santulangan). Fungsi adat ini adalah untuk melindungi penduduk dari serangan maut yang datangnya dari luar.

4.   Baras sasah (Beras Yang Di Basahi). Adat ke-empat ini berasal dari para malaikat Tuhan, yaitu dari Gira-Giro (Malaikat pemantau langit). Dari Beta-Beto (Malaikat pemantau bumi) dan dari Rajakng Nabau (Malaikat pemantau laut). Fungsi adat ini adalah untuk membersihkan hal-hal yang jahat dan kotor, dan

5.   Langir binyak (kulit buah langir yang diberi minyak). Adat kelima ini berasal dari para roh leluhur raja-raja Bawakng dahulu, yaitu dari roh almarhum Bunga Putih Ochok Bawakng (raja ketiga di kerajaan Bawakng), dari roh almarhum Neng Lopo panungkakng Bawakng (roh Pangeran Salopo penunjang Dinasti kerajaan Bawakng), dari roh almarhum Sudug Nu’ Namput Ngalamputn Sengat (penyambung nafas kehidupan), dari roh almarhum Patog Nug Alang Ngalalu Balah, dan dari roh almarhum Dayakng Nug Dandeng Bagago Jiba Sumangat, serta dari roh almarhum Bayu Ransamakng Harta Muda Dunia. Fungsi adat ini adalah untuk mengobati manusia yang sakit dan mengusir penyakit.

Selain adat diatas, adat lain yang dibentuk adalah adat mangkok merah, adat yang mengatur perkawinan yang baru dan adat lainnya. Sebelum pulang, ketiga orang ini kemudian mengadakan adat “totokng kanayatn“ untuk menerima lima adat yang diceritakan oleh raja Patih Ramaga. Untuk pelaksanaan adat ini, harus dengan 3 ekor ayam. Karena ketiga orang ini berasal dari tempat yang berlainan, maka diadakan musyawarah yang dipimpin oleh rajakng Ramaga. Ini dilaksanakan agar dikemudian hari tidak terdapat perselisihan atas pelaksanaannya.

Hasilnya musyawarah itu adalah totokng kanayatn berupa buis bantatn yang diterima Singa Matas (Jendral Matas), tiga ayamnya dua telungkup dan satu telentang. Untuk raja PatihTaguh, buisnya tiga ekor ayam telungkup semuanya dan untuk raja Patih Aria Jampi tiga ekor ayamnya telentang semua. Setelah upacara totokng selesai, ketiga orang tamu raja Patih Ramaga tadi langsung pulang ke kampungnya masing-masing dan segera mengumpulkan para ketua adat, para imam, para baliatn dan lain-lainnya, agar seluruhnya mempelajari tata cara adat-adat yang direformasi maupun yang baru tersebut.

Pada jaman belanda, hukum adat ini menarik perhatian pemerintah Landscaap ( Kolonial Belanda ). Oleh pemerintah Belanda, seluruh  Kepala Kampung diundang untuk berkumpul dan merumuskan serta menuliskannya. Pertemuan itu diadakan dikampung Sungag. Kemudian hari untuk mengenang pertemuan itu, nama kampung ini diubah menjadi Karangan.





0 komentar :

Posting Komentar

 

Translate

Label

Adat (5) Bigbang (14) Budaya (5) Dayak (10) Kerajaan Dayak (11) Multiverse (3)