Sebelum adat baru ini dibentuk, seluruh
warga Dayak Banyuke (orang Banyadu), Dayak Kanayatn (orang Bananag) dan Dayak
Rara (orang Bakati) dahulu masih memakai adat lama, yaitu adat istiadat yang
dirumuskan ketika para pemimpin mereka masih tinggal di kota Bawakng-Basawag,
ibukota kerajaan Bawakng. Mengingat perubahan jaman
telah terjadi, yaitu dimasa peralihan ke masa baru, karena pada masa baru itu
pulau kalimantan sudah mulai di datangi oleh para pendatang melayu dari
sumatra.
Awal mulai gelombang kedatangan sebagian
kecil kelompok suku Melayu ke Kalimantan Barat adalah terjadi pada masa
peristiwa serangan militer kerajaan Singasari yang disebut ekspedisi Pamalayu
terhadap kerajaan Melayu di Sumatra dahulu. Kelompok terbesar kedatangan suku
melayu ke Kalimantan Barat terjadi pada abad ke-15 Masehi, dimasa penyebaran
agama Islam serta masa kejatuhan kerajaan Malaka milik suku Melayu
disemenanjung Malaya ke tangan Portugis, hingga mencapai puncaknya yaitu pada
abad ke -17 masehi.
Ekspedisi
Pamalayu adalah sebuah serangan militer besar yang dilakukan oleh kerajaan
Singasari di Jawa Timur, terhadap kerajaan Melayu di hulu sungai Batang Hari,
provinsi Jambi sekarang. Pada saat itu, dunia melayu menjadi “kalang-kabut”.
Ibukota kerajaan Melayu, yaitu kota Darmasraya mengalami kehancuran, dan hampir
seluruh penduduknya mati terbunuh karena kerasnya amukan puluhan ribu pria
dewasa asal suku Jawa yang menjadi tentara Singasari itu.
Penduduk-penduduk yang tinggal di luar kota Darmasraya banyak yang
memilih melarikan diri ke daerah-daerah disekitarnya, dan tidak sedikit yang
melarikan diri keluar dari pulau Sumatra. Sebagian besar suku Melayu melarikan
diri ke Semenanjung Malaya yang sangat dekat dengan pulau Sumatra, yang lain
melarikan diri ke pulau-pulau yang masuk pada wilayah provinsi Kepulauan Riau
dimasa sekarang, dan sebagian lagi melarikan diri ke pulau Kalimantan.
Ketika
para pengungsi Melayu tiba di pantai-pantai Kalimantan Barat, kemudian mereka
disebut “orang Laut” oleh penduduk asli Dayak, karena melihat para pengungsi
Melayu tersebut datang dari arah lautan, inilah kejadian sejarah yang menjadi
awal kenapa keturunan suku Melayu yang tinggal di Kalimantan Barat disebut
“orang Laut”. Setelah mendarat di pantai-pantai Kalimantan Barat, orang-orang
Melayu tersebut mulai membangun beberapa buah pemukiman di pesisir Kalimantan
Barat.
Para
pengungsi Melayu yang mendarat di pantai-pantai yang menjadi bagian dari
wilayah kerajaan Bahanapura (Bangkule Rajakng), yaitu pantai-pantai di wilayah
kabupaten Mempawah dimasa sekarang, Setelah beberapa hari menetap di pesisir
pantai, terdapat beberapa orang dari mereka yang memutuskan untuk memasuki
bantangan Karimawatn (Sungai Mempawah) dan bergerak hingga ke hulu. Ketika
sampai di hulu, kemudian mereka mendarat di kota Bahana ibukota kerajaan
Bahanapura (Bangkule Rajakng).
Berbagai
informasi yang didapatkan dari para pengungsi Melayu tersebut, kemudian
disampaikan kepada raja Patih Rumaga pemimpin yang berkuasa dikerajaan
Bahanapura (Bangkule Rajakng) pada waktu itu, bahwa kedatangan para pengungsi
Melayu tersebut terjadi karena untuk menyelamatkan diri mereka dari pembantaian
yang dilakukan oleh tentara kerajaan Singasari.
Berbekal informasi yang diteruskan kepada
raja Patih Rumaga tersebut, akhirnya melatar-belakangi keinginan untuk
mereformasikan adat lama serta pembentukan adat baru seperti adat mangkok merah
dan adat lainnya. Maka untuk membendung adat para pendatang tersebut, agar
tidak di ikuti oleh masyarakat Dayak. Para pemimpin rakyat yaitu para pemimpin
adat, para imam, para baliatn dan lain-lain bersepakat untuk mereformasikan
aturan beberapa adat lama yang dirasakan sudah kurang tepat untuk diterapkan di
masa yang akan datang.
Keinginan untuk mereformasikan adat lama
itu di prakasai oleh seorang ketua adat yang bernama Karohong bersama dengan
istrinya Dayakng Dinar. Mereka inilah yang berusaha merintis untuk memperbaiki
tata cara adat Masyarakat dinasti bawakng yaitu orang Bananag (Dayak Kanayatn
sekarang), orang Banyadu (Dayak Banyuke) dan orang Bakati (Dayak Rara).
Meskipun demikian, niat baik itu tidak
serta-merta ditanggapi secara positif. Ada cukup warga Dayak dahulu yang
menentang perbaikan itu, mereka yang menentang ini beranggapan bahwa usaha
perbaikan ke dalam bentuk baru itu adalah perbuatan tercela yang merusak
tatanan yang telah lama berlaku kepada seluruh masyarakat Dayak penduduk
Dinasti Bawakng.
Umumnya yang menentang usaha ini adalah
warga Dayak Bakati yaitu sebagian bangsawan yang berasal dari Kerajaan Bawakng.
Sebagai keturunan utama pemangku dan pendiri kerajaan Bawakng, mereka
menginginkan agar tata cara adat perkawinan dan yang lainnya harus tetap
pada tata cara lama yang sangat disakralkan sejak permulaan
peradaban kerajaan Bawakng. Pemimpin sebagian orang Bakati yang menentang
reformasi tata cara adat tersebut adalah raja kerajaan Bawakng yang
berkuasa pada waktu itu yakni patih Suleg Sampayakng dan pangalangok kerajaan
Bawakng yang merupakan istri raja Patih Suleg Sampayakng sendiri, yakni seorang
panglima perempuan yag disebut dengan peribahasa dalam bahasa Dayak Bakati
sebagai Ureg Nyabong Bakute Allo (pulang
menyabung berkicau enggang) itu.
Meskipun demikian tidak semua pemimpin
adat, para imam dan para baliatn orang Bakati yang enggan
bersepakat untuk mereformasikan tata cara adat tersebut, cukup
banyak dari mereka yang setuju. Pihak yang setuju dipimpin oleh adik kandung
raja Suleg Sampayakng, yaitu Singa Taguh
(Jendral Teguh) yang merupakan mantan pejabat Pangalangok (pemimpin militer) di kerajaan Bawakng (Tamaratos). Bagi pihak yang ngotot ingin
mempertahankannya, akhirnya tidak dapat menerima, mereka melakukan
pemberontakan dengan kekerasan. Peperangan antara tentara kerajaan Bawakng
melawan tentara kerajaan Bahana Pura
(Bangkule Rajakng) akhirnya pecah, Pamaliatn
(imam Upacara Balian) Karohong si penggagas reformasi adat tersebut
akhirnya tewas bersama istrinya .
Peperangan terus berlanjut, pasukan tentara
kerajaan Bahanapura (Bangkule Rajakng)
yang pada waktu itu dipimpin oleh Pangalangok (pemimpin tentara kerajaan Dayak)
kerajaan Bahanapura (Bangkule Rajakng) yakni
Singa Udana (Jendral Udana) dapat
memenangi peperangan tersebut. Kejadian perang tersebut menyebabkan ratusan
tentara kerajaan Bawakng (Tamaratos)
tewas, termasuk kedua orang pemimpin mereka yaitu raja Patih Suleg Sampayakng
bersama pangalangok (Pemimpin Militer)
kerajaan Bawakng (Tamaratos) si Ureg Nyabong Bakute Allo. Dengan
kemenangan tersebut, cita-cita pamaliatn
(Imam Upacara Balian) Karohokng bersama
istrinya untuk mereformasikan hukum adat, dapat dilanjutkan.
Setelah perang usai, raja Patih Ramaga (Tembaga) yang sudah sangat
tua, sebagai raja yang memerintah di kerajaan Bahanapura (Bangkule Rajakng) lokasi dimana kejadian kesepakatan
itu dilakukan, kemudian mengambil alih kewenangan untuk mereformasikan tata
cara adat tersebut. Namun sebelum sempat merumuskan tata cara adat yang baru
tersebut bersama para bangsawan kerajaan di istana rumah panjangnnya, pada
malam hari raja Patih Ramaga
bermimpi, dalam mimpinya beliau bertemu dengan Jabata Neng Panitah (Tuhan Sang Pemerintah) yang mewahyukan
perintah baru yang berisi lima macam aturan atau tata cara adat-adat baru untuk
melengkapi tata cara adat yang akan di reformasikan tersebut.
Juga dalam mimpinya itu, Raja Patih Ramaga (Tembaga) diperintahkan
untuk mengundang tiga orang pemimpin negeri tetangga kerajaan Bahanapura (Bangkule Rajakng) , untuk
menjelaskan dan mengamalkan serta untuk mengembangkan wahyu Jabata Neng Panitah (Tuhan Sang Pemerintah)
tersebut.
Setelah menerima wahyu itu, keesokan
harinya raja Patih Ramaga (Tembaga)
mengirimkan pesan undangan melalui tiga orang utusannya kepada ketiga pemimpin
yang dimaksud. Ketiga pemimpin itu adalah Singa
Matas (Jendral Matas), seorang pemimpin
Militer kerajaan Bahanapura (Bangkule Rajakng) bagian
timur, yang kelak wilayahnya menjadi wilayah kerajaan Baru yang bernama
kerajaan Ango Talaga (Sengah Temila).
Kemudian kepada raja Patih Taguh
yaitu raja kerajaan Bawakng (Tamaratos)
yang baru. yang tinggal di ibukota kerajaan Bawakng
(Tamaratos) yang baru, yaitu kota Batangan Raya atau Batang
Raya yang dimasa sekarang disebut Sungei Raya, masuk
kecamatan sungei Betung Kabupaten Bengkayang. Kemudian yang
terakhir adalah raja Patih Aria Jampi,
raja orang Banyadu (Dayak Banyuke) yang hidup disepanjang aliran Sungai Banyuke
dan DAS Tenganap serta DAS Balantiatn.
Setelah mendengar adanya undangan dari Patih Ramaga (Tembaga), ketiga orang ini
kemudian bergegas menuju ke kota Bahana
ibukota kerajaan Bahanapura (Bangkule
Rajakng). Untuk menyambut tamunya, Patih
Ramaga (Tembaga) telah mempersiapkan buis
bantatn (Jamuan Agung).
Dalam pertemuan itu, raja Patih Rumaga
menceritakan bahwa beberapa waktu lalu, ia berjumpa dengan Jabata Neng Panitah (Tuhan Sang Pemerintah) melalui sebuah mimpi. Jabata Neng Panitah (Tuhan Sang Pemerintah)
memberikan wahyu yang berupa tata cara adat yang harus di ikuti oleh seluruh penduduk
kerajaan yang didirikan oleh dinasti kerajaan Bawakng (Tamaratos). Adat-adat baru ini berasal dari Jabata Neng Panitah (Tuhan Sang Pemerintah) sendiri
dan juga tata cara adat-adat yang lain, yang dimohon dan di amanatkan kepada Jabata Neng Panitah (Tuhan sang pemerintah)
oleh para malaikat pemantau dunia serta oleh para roh leluhur Dayak dan juga
oleh para roh raja-raja yang pernah memerintah di kerajaan Bawakng (Tamaratos) dahulu, yaitu para roh raja yang menjadi kamang
(roh perasuk dan penyemangat) pasukan perang bangsa Dayak pada peperangan dan
pengayauan.
Setelah mendengar penjelasan raja Patih Rumaga, ketiga orang
pemimpin yang diundang tersebut menyatakan kesanggupannya untuk melaksanakan
perintah dari Jabata Neng Panitah (Tuhan
Sang Pemerintah). Adat istiadat inilah yang kemudian dijalankan oleh ketiga
orang saudara itu, hingga ke-anak cucunya dikemudian hari. Kelima adat itu
adalah:
1.
Penekng kunyit mata
baras (irisan buah kunyi dan beberapa butir beras). Asal adat ini adalah
dari para nenek moyang umat manusia yaitu dari roh almarhum Neng Unteg, dari
roh almarhum Neng Bancina di Tanyukng Bunga (leluhur ras kuning / mongol), dari
roh almarhum Neng Sali di Sabakal, dan dari roh almarhum Neng Oton di Babao,
serta dari roh almarhum Neng Sarukng di Sampuro. Fungsi adat ini adalah sebagai
pelindung, menjaga kesabaran dan untuk keselamatan manusia.
2.
Baras banyu banyang
(bulir beras yang diberi minyak). Adat kedua ini berasal dari Jabata nek Panitah (Tuhan Sang Pemerintah)
sendiri, karena DIA sendiri yang menjadi Pangingu
dan Pangorok (pelindung, pembina, pembimbing dan pemelihara) manusia.
Tujuan adat ini adalah sebagai upacara bagi manusia untuk meminta rejeki dan
berkat.
3.
Baras ijo (Beras Hijau). Adat ketiga ini
berasal dari roh almarhum Bujakng Nyangko
Dama dan dari roh almarhum Kamang
Muda dari Santulangan (raja Patih bunsug santulangan). Fungsi adat ini
adalah untuk melindungi penduduk dari serangan maut yang datangnya dari luar.
4.
Baras sasah (Beras Yang
Di Basahi). Adat ke-empat ini berasal dari para malaikat Tuhan, yaitu dari Gira-Giro (Malaikat pemantau langit).
Dari Beta-Beto (Malaikat pemantau bumi)
dan dari Rajakng Nabau (Malaikat pemantau
laut). Fungsi adat ini adalah untuk membersihkan hal-hal yang jahat dan
kotor, dan
5.
Langir binyak (kulit
buah langir yang diberi minyak). Adat kelima ini berasal dari para roh
leluhur raja-raja Bawakng dahulu, yaitu dari roh almarhum Bunga Putih Ochok
Bawakng (raja ketiga di kerajaan
Bawakng), dari roh almarhum Neng Lopo panungkakng Bawakng (roh Pangeran Salopo penunjang Dinasti kerajaan
Bawakng), dari roh almarhum Sudug Nu’
Namput Ngalamputn Sengat (penyambung nafas kehidupan), dari roh almarhum Patog Nug Alang Ngalalu Balah, dan dari
roh almarhum Dayakng Nug Dandeng Bagago Jiba
Sumangat, serta dari roh almarhum Bayu
Ransamakng Harta Muda Dunia. Fungsi adat ini adalah untuk mengobati manusia
yang sakit dan mengusir penyakit.
Selain adat diatas, adat lain yang dibentuk adalah adat
mangkok merah, adat yang mengatur perkawinan yang baru dan adat lainnya. Sebelum
pulang, ketiga orang ini kemudian mengadakan adat “totokng kanayatn“ untuk
menerima lima adat yang diceritakan oleh raja Patih Ramaga. Untuk pelaksanaan adat ini, harus dengan 3 ekor ayam.
Karena ketiga orang ini berasal dari tempat yang berlainan, maka diadakan
musyawarah yang dipimpin oleh rajakng Ramaga. Ini dilaksanakan agar dikemudian
hari tidak terdapat perselisihan atas pelaksanaannya.
Hasilnya musyawarah itu adalah totokng kanayatn berupa
buis bantatn yang diterima Singa Matas
(Jendral Matas), tiga ayamnya dua telungkup dan satu telentang. Untuk raja PatihTaguh, buisnya tiga ekor ayam
telungkup semuanya dan untuk raja Patih Aria
Jampi tiga ekor ayamnya telentang semua. Setelah upacara totokng
selesai, ketiga orang tamu raja Patih Ramaga
tadi langsung pulang ke kampungnya masing-masing dan segera mengumpulkan para
ketua adat, para imam, para baliatn dan lain-lainnya, agar seluruhnya
mempelajari tata cara adat-adat yang direformasi maupun yang baru tersebut.
Pada jaman belanda, hukum adat ini
menarik perhatian pemerintah Landscaap ( Kolonial Belanda ). Oleh pemerintah
Belanda, seluruh Kepala Kampung diundang
untuk berkumpul dan merumuskan serta menuliskannya. Pertemuan itu diadakan
dikampung Sungag. Kemudian hari untuk
mengenang pertemuan itu, nama kampung ini diubah menjadi Karangan.
0 komentar :
Posting Komentar